|
Kebakaran di konsesi PT RHM. Foto: Walhi
|
Beberapa waktu lalu, lembaga Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi) merilis daftar perusahaan besar di balik kebakaran
hutan dan lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Daftar itu hasil analisis
kebakaran hutan dan lahan di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat,
dan Kalimantan Tengah.
“Hasil analisis menunjukkan mayoritas
titik api di dalam konsesi perusahaan. Di HTI 5.669 titik api, perkebunan sawit
9.168,” kata Edo Rahkman, Manajer Kampanye Walhi Nasional di Jakarta, pekan
lalu.
Dia merinci daftar berbagai grup besar
terlibat membakar hutan dan lahan adalah:
Provinsi Kalimantan
Tengah
1. Sinar Mas (3 anak perusahaan)
2. Wilmar (14 anak
perusahaan)
Provinsi Riau
1. Anak usaha Asia Pulp and
Paper (APP) (6 perusahaan)
2. Sinar Mas (6 perusahaan)
3. APRIL (6 perusahaan)
4. Simederby (1 perusahaan)
5. First Resources (1
perusahaan)
6. Provident (1 perusahaan).
Provinis Sumatera
Selatan
1. Sinar Mas ( 8
perusahaan)
2. Wilmar (11 perusahaan)
3. Sampoerna (4 perusahaan)
4. PTPN (tiga perusahaan)
5. Simederby (1 perusahaan)
6. Cargil (1 perusahaan)
7. Marubeni (3 perusahaan)
Provinsi Kalimantan
Barat
1. Sinar Mas (6 perusahaan)
2. RGM/APRI (6 perusahaan)
Provinsi Jambi
1. Sinar Mas (2 perusahaan)
2. Wilmar (2 perusahaan).
Berdasarkan data LAPAN periode
Januari-September 2015 ada 16.334 titik api, 2014 ada 36.781. Berdasarkan data
NASA FIRM 2015 ada 24.086 titik api, dan
2014 ada 2.014.
Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan
warga terserang ISPA. Di Jambi ada 20.471 orang, Kalteng 15.138, Sumsel 28.000,
dan Kalbar 10.010 orang.
Arie Rompas Direktur Eksekutif Walhi Kalteng mengatakan, kebakaran karena pola
penguasaan lahan korporasi terlalu luas. Dari 15,3 juta hektaree luas Kalteng,
12,7 juta hektare (78%) dikuasai investasi, baik HPH, sawit maupun
pertambangan.
“Kalteng memiliki lahan gambut paling
luas 3,1 juta hektare. Sudah habis untuk investasi perkebunan sawit. Kesalahan
pemerintah yakni pembangunan lahan gambut sejuta haktar zaman Soeharto dan
membuka gambut yang menjadi titik api. Gambut itu ekosistem basah yang ketika
kering mudah terbakar,” katanya.
Tahun 2015, ada 17.676 titik api di
Kalteng. Kebanyakan di konsesi. Namun upaya penegakan hukum masih kurang. Baru
ada 30 perusahaan disidik, 10 disegel,
tetapi belum jelas tindak lanjut seperti apa.
“Yang ditetapkan tersangka Mabes Polri
cuma tiga. Itupun perusahaan kecil. Ini menunjukkan penegakkan hukum belum
mengarah aktor besar yang mengakumulasi praktik besar pembakaran hutan.”
Dia menyebutkan, grup besar yang seharusnya disasar dalam
upaya penegakan hukum antara lain Grup Wilmar, Best Agro International, Sinar
Mas, Musimas, Minamas, dan Julong Grup.
Grup-grup ini, katanya, mengakumulasi mulai pemilik lahan, membeli
CPO dari perusahaan menengah dan kecil, hingga mendapatkan keuntungan dari
pembakaran hutan dan lahan.
Senada diungkapkan Anton P Wijaya,
Direktur Eksekutif Walhi Kalbar. Dia
mengatakan, Kalbar sebenarnya sudah habis dibagj untuk konsesi. Dari
luas 14.680.700 hektare, konsesi perkebunan sawit 5.387.610,41 hektare (550
perusahaan), pertambangan 6,4 juta hektare (817 IUP), dan HTI 2,4 juta hektare
(52 perusahaan).
Gambut di Kalbar, 2.383.227,114 hektare,
di dalamnya, perkebunan sawit 153 perusahaan seluas 860.011,81 hektare. HTI 27
perusahaan seluas 472.428,86 hektare. Total konsesi di lahan gambut
1.302.498,92 hektare.
“Sebaran
Januari-September ada 7.104 titik api. Sebaran di HPH 329, HTI 1.247, sawit
2.783, tambang 2.600 dan gambut 2.994 titik api. Sejak 8 Juli-22 September,
setidaknya 40 perusahaan perkebunan ini konsesi terbakar 24.529 hektare.
Hasil pemantauan 1-22 September ada 739
titik api. Berada di satu HPH, tiga HTI, 11 perkebunan dan sembilan
pertambangan.
“Data tak kami berikan kepada kepolisian.
Kami berikan kepada KLHK dengan harapan segera ditindak serius. Kami kecewa
progres penegakan hukum kepolisian.”
Modus Baru
Modus pembakaran hutan dan lahan oleh
perusahaan, kata Anton, bukan hanya land clearing penyiapan lahan juga
mengklaim asuransi. “Ini modus baru.”
Di beberapa perusahaan, katanya,
kebakaran lahan ada kaitan dengan kepentingan asuransi. “Ini sedang kita
dalami. Kita melihat ada kesengajaan. Ketika kebun dibuka dalam hitungan
ekonomi tak produktif, maka dihanguskan agar mendapatkan asuransi, uang membuka
kebun baru di wilayah lain.”
Anton belum bersedia menyebut nama-nama
perusahaan tetapi dia memastikan ada grup-grup besar terlibat.
“Di Kalbar kita menyiapkan gugatan kepada
penyelenggara negara melalui citizen law suit. Kiita menuntut tanggung jawab
negara yang belum memenuhi hak-hak masyarakat. Ada tujuh posko pendaftaran
gugatan di Pontianak. Harapannya ini mendapatkan dukungan masyarakat.”
Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif Walhi
Sumsel mengatakan, titik api banyak di lahan gambut hingga muncul asap tebal
dua bulan belakangan.
Di Sumsel, ada 3.679 titik api dengan sebaran perkebunan
830 dan HTI 2.509. “Hampir seluruhnya di konsesi. Negara harus memastikan
tanggungjawab penuh dari perusahaan dan berani menuntut,” katanya.
Bahkan, ada satu HTI terbakar minggu
lalu, ketika masyarakat berduyun-duyun mengambil air dan memadamkan dihadang
kepolisian. Polisi menanyakan SIM dan STNK. Padahal itu di tengah hutan.
Masyarakat tidak melihat kepolisan menghadang untuk memadamkan api.
“Masyarakat memadamkan karena takut kebun
terbakar. Karena ada kebun karet masyarakat 30 hektare terbakar,” katanya.
Rudiansyah dari Walhi Jambi mengatakan,
lima tahun terakhir kebakaran di konsesi sama. Sejak 2011, sebaran titik api
naik 40%.
“Walaupun ada komitmen pemerintan pusat
dan daerah tapi titik api terus
meningkat. Tahun 2015, ada 5.000 an titik api di konsesi, 80% lahan gambut. HTI
maupun sawit.”
Dalam Januari-Agustus 2015, ada 33.000 hektare
terbakar dan ISPU sampai 406 hingga membayakan kesehatan.
Menurut dia, rata-rata perusahaan di
Jambi pemasok Wilmar. Modus pembakaran, katanya, pada lahan sisa yang akan
ditanami. Yang membakar, selain karyawan,
juga masyarakat dengan upah Rp5 juta. Motif pakai tali nilon dipasang
jarak 200 meter. Pakai minyak tanah, dinyalakan dengan obat nyamuk.
“Ini kesaksian masyarakat sebagai pelaku.
Pembakaran itu disengaja. Akhirnya masyarakat jadi korban.”
Sebenarnya Polda Jambi maupun KLHK sudah
merilis dengan mengindentifikasi 15 perusahaan pembakar lahan sengaja.
“Kami menunjukkan grup Sinar Mas, PT Tebo
Multi Agro, PT Wira Karya Sakti. Sudah masuk list kepolisian jambi dan KLHK.
Dalam proses penyelidikan kepolisian belum sampai.”
Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi
Riau melalui sambungan Skype mengatakan, kebakaran hutan dan lahan di Riau
sepanjang Juli-Agustus juga banyak di konsesi.
Walhi Riau juga ada posko pengaduan
masyarakat agar bisa menggugat class action. Walhi Riau juga akan melaporkan ke
PBB karena ada kelalaian negara melindungi masyarakat.
Gugatan perdata ada 20 perusahaan. Dua
perusahaan sebagai tersangka. Satu izin HPH dicabut KLHK.
Muhnur Satyahaprabu, Manajer Kebijakan
dan Pembelaan Hukum Walhi Nasional juga
menanggapi. Dia mengatakan, data ini bukan berdasar asumsi dan
halusinasi Walhi. Semua berdasarkan investigasi dan terkonfirmasi dari sumber relevan.
“Kita bertanggungjawab atas rilis ini.
Kejadian tahun ini seharusnya membuka peluang negara bertindak. Jangan sampai
sepeser uang masyarakat terambil. Rilis korporasi besar bukan hanya mengungkap
kejahatan, juga meminta pertanggungjawaban.”
Muhnur meminta, pemerintah menggunakan
hak representatif warga untuk mengajukan gugatan. Hak representatif ini jarang
dan tidak pernah dilakukan pemerintah. Seharusnya pemerintah bisa mewakili
rakyat mengklaim semua kerugian dan biaya supaya diganti perusahaan.
Catatan Walhi, 2013 ada 117 perusahaan
dilaporkan tetapi hanya satu dipidana. Sekarang ada kekhawatiran akan terulang.
Dari hampir 300 perusahaan, belum jelas proses hukumnya.
Asosiasi dan korporasi menanggapi. “Kalau
yang sudah terpublikasi di media, itu oleh anggota IPOP akan diverifikasi dulu.
Apakah benar mereka melakukan? Jadi kita tak hanya menerima nama dari media.
Kami akan mengecek langsung ke perusahaan,” kata Direktur Eksekutif Indonesian
Palm Oil Pledge (IPOP), Nurdiana Darus
di Jakarta, Senin (5/10/15).
Dia mengatakan, kalau pemasok sawit
terbukti membakar, setiap anggota IPOP akan mengikuti kebijakan masing-masing
perusahaan.
Managing Director Sustainability and
Strategic Stakeholders Engagement Golden Agri Resources Agus Purnomo
mengatakan, dalam upaya verifikasi akan meminta bantuan tim legal independen.
“Soal kebakaran, itu dari 18-20
perusahaan yang diangkat oleh media massa diduga membakar, hanya tiga atau
empat perusahaan pemasok kami. Dari tiga perusahaan itu, satu dicabut izin oleh
KLHK. Otomatis kami berhenti membeli sawit dari mereka.”
KLHK memang belum mencabut izin tiga
perusahaan sawit, baru membekukan izin sampai proses hukum selesai. Namun, Agus
belum mendapat informasi jelas.
“Bersama-sama teman IPOP dalam minggu ini
meminta bantuan tim legal independen hingga kemudian keputusan kami akurat.”
Meski begitu, katanya, lima perusahaan
anggota IPOP serius tidak deforestasi, tidak mengkonversi gambut, juga
membakar. “Bahwa kebun kita banyak titik api, itu iya. Tidak kita bantah. Kenyataan
memang terbakar. Di lapangan, api terbang karena angin kencang. pohon-pohon
kami meskipun sudah delapan tahun, daun-daun di atasnya kering. Mudah
terbakar.”
Namun, kalaupun terbakar, tim pemadam api
perusahaan sudah siap. Akhir September tak ada titik api terisisa. “Semua
habis. Bahwa ada kebakaran lagi, karena api masih banyak berterbangan. Di kebun
kami api mati bulan-bulan ini antara tiga sampai empat jam setelah diketahui.
Kalau Agustus, satu jam padam. Sekarang agak sulit, karena air sudah tak ada.
Sungai-sungai kecil kering. Jadi kami mau mematikan api pakai apa?”
Kawasan konservasi perusahaanpun
terbakar. Tidak ada jalan kecuali membawa alat pemadam api ke tengah-tengah
kawasan. Akhir bulan lalu, dia meminta kesepakatan beberapa LSM terpaksa
membuat jalan ke kawasan koservasi agar bisa mematikan api.
“Kami janji pada Januari, begitu El-Nino
berakhir, jalan memadamkan api kami bongkar dan tanami pohon. Direstorasi
semula. Ini menunjukkan kesungguhan dan keterbukaan. Tidak betul di kebun kita
tak ada kebakaran. Banyak. Tapi mati semua dalam beberapa jam.”
Pada 7 Oktober 2015, Cargil
menanggapi laporan Walhi soal korporasi-korporasi penyumbang asap. Lewat
Colin Lee, Director, Corporate Affairs Cargil, menyatakan, awal minggu ini, Cargil mengindetifikasi satu
titik api di kebun sawit mereka, PT Hindoli, di Sumatera Utara. Tim mereka di
lapangan langsung turun dan berhati-hati memantau situasi di sana, terutama di
beberapa wilayah perambahan.
Untuk kebun Kalimantan Barat, tak ada
laporan kebakaran, meskipun ada titik api di sekitarnya.
Di Sumut, katanya, titik api saat ini
berada di dekat perkebunan mereka, PT Hindoli. “Ini berada di luar izin dan tak
masuk dalam izin atau HGU kami.”
Pada kebun Cargil yang lain di Mukut,
juga di Sumut, api disebarkan dari kebun tetangga yang berjarak sekitar delapan
kilometer dari high conservation value (HCV) perusahaan. Upaya tim pemadam api
Cargil menangani kebakaran berulang di area itu mulai awal September, dan baru
berhasil memadamkan api minggu lalu.
“Kami sudah membangun sebuah kanal 6×4
meter kanal untuk menjaga perluasan api di teluk, juga sekaligus sebagai
penyimpanan air guna memadamkan kebakaran selama periode kering panjang,”
katanya.
Di Mukut ini, api juga menjalar mendekati
lahan warga, tetap di luar batas Cargil yang terbentang sekitar 9 km. Kebakaran
juga berbatasan dengan perusahaan
perkebunan lain. “Tim pemadam kebakaran Cargil masih membantu masyarakat dan
pemerintah daerah mematikan api itu.”
Minggu lalu, katanya, helikopter water
bombing BNPB juga berupaya memadamkan api itu. Sejak upaya dihentikan, api
terus menyebar ke wilayah lain sekitar tiga km, bergerak menuju kebun Cargil.
“Pemadam kebakaran kami berhari-hari berada di area hingga kini, terus berupaya
memadamkan api.”
Perusahaan, katanya, telah mengerahkan
eksavator besar dan kecil, banyak pompa air dilengkapi selang tambahan untuk
memadamkan api baik di maupun di luar wilayah mereka. “Tahap ini, kami telah
mengerahkan empat tim pemadam kebakaran.”
Cargil telah melaporkan semua insiden
kebakaran ini ke polisi lengkap dari lapangan maupun foto-foto lewat drone.
“Juga bekerja bersama masyarakat lokal untuk segera memberitahu kantor regional
kami dan pihak berwenang setempat jika ada terditeksi kebakaran atau pembakaran
pada atau dekat batas-batas kebun kami.”
Dia menjelaskan, Cargill memiliki
kebijakan ketat zero-burning. “Kami benar-benar tidak membenarkan pembakaran
lahan untuk cara apapun, baik pertanian, ekonomi atau sosial.”
Cargil, katanya, terus memberikan bantuan
pemadam kebakaran kepada pemerintah daerah untuk mengelola kebakaran yang
sering menyebar. Selama musim kemarau panjang ini, bara api cepat berkembang
menjadi kebakaran ketika terkena angin. “Kabut asap kebakran berdampak parah
bagi kesehatan dan mata pencaharian jutaan hidup di masyarakat lokal kita,
termasuk rekan-rekan kami.”
Soal pernyataan Cargil, Walhi menanggapi.
Zenzi Suhadi, Manajer Kampanye Walhi Nasional mengatakan, relasi kebakaran
dengan korporasi bisa dalam maupun di luar konsesi.
“Kebakaran menjadi tanggung jawab
korporasi ketika terjadi di sekitar konsesi karena dampai penurunan fungsi
ekosistem dari kawasan itu.”
Di dalam Analisis mengenai dampak
lingkungan (Amdal), Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UKL/UPL), setiap konsesi tapak proyek wajib melakukan kajian
lingkungan hidup, meminimalisir dampak juga mengendalikan kerusakan di dalam maupun
sekitar konsesi.
“Jadi perusahaan tak bisa mengatakan ini
berada di dalam atau luar konsesi. Karena UKL UPL, Amdal, izin lingkungan, HGU
dan izin produksi itu dalam satu kesatuan hukum. Tak akan terbit HGU tanpa izin
produksi, tanpa izin lingkungan.”
Zenzi mengatakan, izin lingkungan juga
tak akan keluar jika berdampak pada ekosistem di sekitar. Artinya, korporasi tak hanya bertanggung jawab di
dalam konsesi, juga pada kawasan penyangga.
Dia mengatakan, organisasi masyarakat
sipil juga sulit mendapatkan informasi mengenai wilayah konsesi perusahaan.
“Kita minta kepada korporasi-korporasi bukan hanya Cargil tetapi seluruh
korporasi membuka peta mereka kepada publik. Hingga publik luas bisa terlibat
melihat korporasi mana yang terlibat dan tidak. Jadi publik bisa memberikan
penilaian,” katanya.
Selama ini, katanya, jangankan masyarakat, Walhi saja mengakses
data konsesi sangat sulit. Artinya, ada bagian ditutupi oleh korporasi maupun
pemerintah.
“Jangan lagi korporasi menutup data-data.
Kalau Walhi tidak riset orang tidak akan tahu kalau korporasi terlibat
kebakaran.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar