Selasa, 29 September 2015

Umar Malin Parmato, yang Cemas pada Kepunahan

Maestro Musik Gandang Botuang
OLEH Nasrul Azwar (Jurnalis)
Umar Malin Parmato bersama MC SIMFest 2015 (Foto Fadil)
Malam itu, wajah Umar Malin Parmato ceria.  Bersama anak perempuan dan 2 cucunya, keempatnya tampil dalam Sawahlunto International Music Festival (SIMFest) VI pada hari ketiga penutupan iven ini musik dunia ini, Minggu (20/9/2015) lalu.
Alat musik tradisi gandang botuang (gendang bambu) atau masyarakat umum menyebutnya talempong batuang (telempong bambu), dimainkan dengan sangat sederhana, dan nada-nada yang dimunculkan juga tak rumit.
Umar memukul alat tradisi itu dengan sepucuk kayu keras terbuat dari daging bambu dengan ritme konstan. Lalu, dua orang lagi, dengan alat musik gandang botuang juga, mengikuti nada yang dimainkan Umar. Cucunya memukul gendang kecil dengan suara yang rendah. Pertunjukan musik tradisi yang langka ini memakan durasi pertunjukan selama 12 menit tanpa dendang atau nyanyian. Mereka berempat seperti memainkan instrumen.
Umar Malin Parmato yang menamakan kelompoknya Aua Sarumpun,  di ajang festival musik etnis dunia itu, ia sukses memperlihatkan kemampuannya sebagai mastero gandang botuang di atas panggung SIMFest. Di depan seribuan penonton di Lapangan Segitiga, Sawahlunto, Sumatera Barat, Umar dengan apik bermain gandang botuang, seolah seperti ingin mengatakan, alat musik yang ia mainkan kini terancam dari kepunahan. Ia sadar, tak banyak yang mau meneruskan untuk memainkan alat musik warisan budaya ini.
“Ini penghormatan buat saya dan kelompok Aua Sarumpun untuk tampil di panggung SIMFest ini. Tampil di sini, agar generasi muda mencintai musik tradisi Minang. Seni tradisi milik Kota Sawahlunto ini sudah sangat sedikit pelakunya. Mungkin keluarga saya saja kini yang bisa memainkan talempong botuang,” kata Umar Malin Parmato yang juga akrap disapa Usman Ajo ditemui penulis usai penampilannya.  
Umar Malin Parmato sudah jalani hidupnya 84 tahun. Umar menyebutkan dirinya lahir pada tahun 1931, tapi tak tahu kapan tanggal dan bulan ia dilahirkan. Selain bermusik, ia petani yang tangguh di kampungnya.
“Dulu di kampung tak ada pakai tanggal dan bulan lahir. Orang tua saya bilang saya lahir tahun 1931, lima tahun setelah Gunung Marapi di Padang Panjang meletus,” katanya.
Umar tak mengira kelompoknya diundang panitia SIMFest untuk tampil bersama dengan musisi Tanah Air dan dunia. Pada hari ketiga, malam penutupan iven musik kelas dunia ini, kelompok Aua Sarumpun tampil sebagai pembuka dan memukau penonton.
Cemas pada Kepunahan
Umar Malin Parmato saat tampil di SIMFest 2015 (Foto Fadil) 
Diceritakan Umar, ia belajar memainkan gandang (talempong) botuang dari ibunya. Saat ia masih usia 10 tahun, Umar sudah mulai tertarik dengan bebunyian yang dihasilkan benda yang terbuat dari bambu ini.
“Ibu saya mahir memainkan gandang botuang ini. Saya belajar banyak dari beliau. Tapi ibu saya hanya bisa memainkan saja, tapi tak bisa membuat alat musik gandang botuang ini. lalu, saya belajar membuatnya,” cerita ayah dari 7 anak dan kakek 4 cucu ini. 
Umar Malin Parmato menyebut alat musik terbuat dari bambu ini dengan gandang botuang, bukak talempon botuang.
“Talempong botuang itu hanya orang di luar Silungkang yang menyebutkan demikian. Di Silungkang namanya gandang botuang,” jelas Umar.
Umar mengaku tak pernah mengenyam bangku pendidikan formal. Ia tak bersekolah dan tak belajar teori musik. Tapi, insting rasa musiknya, paling tidak, menyamai orang-orang yang belajar komposisi musik. Memang, itulah kelebihan seniman musik tradisi. Bukan hanya Umar, Islamidar meastero alat musik sampelong, Sawir Sutan Mudo, maestro dendang lagu Minang, dan banyak lagi, adalah seniman tradisi Minang yang tidak melalui proses pendidikan formal bidang musik.
“Saya tak belajar komposisi nada. Saya hanya andalkan insting, rasa, dan ketajaman telinga. Dengan itu pula saya belajar membuat alat musik gandang botuang itu. Di Sawahlunto, mungkin juga di Sumatera Barat, tak banyak yang bisa menciptakan alat musik ini,” terang kakek yang masik enerjik kelahiran Dusun Sungai Cocang, Nagari Silungkang Oso, Sawahlunto ini.
Saat bincang-bincang, nada suara Umar terdengar terbata tapi jelas. Ia mencemaskan masa depan musik tradisi Minang ini lenyap dari peradaban. Kecemasan itu bukan sesuatu yang ia harapkan agar dirinya diperhatikan pemerintah. Bukan!
“Usia saya sudah 84 tahun. Seiring dengan waktu yang saya lewati, belum terlihat keseriusan dari pelbagai pihak, termasuk sekolah seni di Padangpanjang, untuk menyelamatkan kekayaan kita dari kepunahan. Tapi, semampu saya, saya akan terus berupaya mewariskan alat musik ini kepada anak-anak dan cucu saya. Saya mulai dari keluarga saya dulu,” jelasnya.
Apa yang dilakukan sosok kakek yang akrab disapa Usman Ajo ini, sudah menampakkan hasilnya. Anaknya Misriani dan seorang cucunya sudah tampil pada SIMFest VI memainkan alat musik ini. “Saat ini hanya itu yang bisa saya lakukan.”
Ia mengaku tak berharap banyak bantuan dari pemerintah karena sudah terlalu sering hanya menerima janji-janji saja tanpa ada bukti. "Dulu katanya ada bantuan dari pemerintah kota tapi sampai kini tak ada buktinya. Tak pernah sampai ke tangan saya,” kata Umar dengan nada datar.
Obsesi mantan Kepala Dusun Sungai Cocang, Nagari  Silungkang, Sawahlunto  ini adalah mendirikan sanggar untuk siapa saja yang berminat untuk belajar alat-alat musik tradisi, seperti  gandang botuang ini.
“Di sanggar ini kita bisa mengajarkan berbagai alat musik Minang, termasuk gandang botuang ini. Ini cita-cita saya yang belum bisa diwujudkan,” katanya.
Gandang botuang terbuat dari bambu. Bambu yang bisa dijadikan sebagai alat musik, bukan bambu sembarangan. Bambunya tidak boleh terlalu muda, dan juga tak tertalu tua. Ruas bambu juga tak bagus terlalu panjang. “Ukurannya cukup satu depa orang dewasa,” jelas Umar. Jika dipatok dengan ukuran modern, kira-kira panjangnya tak lebih 50 senti meter.
Sembilu (kulit) bambu dikelupaskan dengan ukuran selebar satu senti meter. Sembilu nilah yang menghasilkan bunyi saat ditokok dengan kayu keras. Sembilu direntangkan dan disangga dengan potongan bambu kecil.
Sama dengan alat petik dan gesek lainnya, sembilu ini bak senar gitar dan dawai biola. Nada diatur dengan menyetel menyangga sembilu. Memainkan alat musik gandang botuang ini dengan menokoknya bukan dipetik atau digesek.
Sebagian orang , terutama akademisi musik, menyebut alat ini dengan nama talempong sambilu. Jika melihat alat ini, yang menjadi resonansi menimbulkan berbagai nada bunyi adalah ruang kosong dalam botuang itu sendiri, sedangkan yang menjadi sumber getar (sumber bunyi) adalah sembilu yang direntangkan.
Dalam prosesi kultural di Nagari Silungkang, gandang botuang ini merupakan salah satu alat musik penting dalam tradisi tradisi marunguih atau ratok silungkang tuo. Tradisi yang hingga kini masih dilaksanakan merupakan ritual masyarakat dalam menyampiakan pesan agar masyarakat tak larut dalam kehidupan dunianya dan mensyukuri apa yang diberikan Allah SWT. 
Umar sendiri mengaku bukan hanya gandang botuang yang bisa ia mainkan. Alat musik seperti saluang, juga talempong pacik, juga ia kuasai.
Dengan gandang botuangnya, Umar telah  bermain musik ini ke sana ke mari, termasuk kolaborasinya dengan Orkes Parmato Hitam di Malaysia.  Alat musik eksotis ini juga tak sedikit yang meminati, termasuk dari luar negeri. “Orang Perancis pernah memesan beberapa buah.” 
Dalam bermasyarakat, Umar  pernah menjadi Kepala Desa (saat masih pemerintahan berbentuk desa) Sungai Cocang selama 10 tahun. Ia juga tercatat sebagai tokoh masyarakat yang memelopori berdirinya SD Negeri 13 Silungkang Oso.

Kendati begitu, kegelisahan seorang seniman tradisi saat ia sudah tiada adalah lenyapnya kekayaan tradisi itu sendiri disebabkan tidak pedulinya orang-orang yang ia tinggalkan.* 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...