Maestro Musik Gandang Botuang
OLEH Nasrul Azwar (Jurnalis)Umar Malin Parmato bersama MC SIMFest 2015 (Foto Fadil) |
Malam itu, wajah Umar Malin Parmato
ceria. Bersama anak perempuan dan 2 cucunya,
keempatnya tampil dalam Sawahlunto International Music Festival (SIMFest) VI
pada hari ketiga penutupan iven ini musik dunia ini, Minggu (20/9/2015) lalu.
Alat musik tradisi gandang botuang
(gendang bambu) atau masyarakat umum menyebutnya talempong batuang (telempong
bambu), dimainkan dengan sangat sederhana, dan nada-nada yang dimunculkan juga
tak rumit.
Umar memukul alat tradisi itu dengan
sepucuk kayu keras terbuat dari daging bambu dengan ritme konstan. Lalu, dua
orang lagi, dengan alat musik gandang botuang juga, mengikuti nada yang
dimainkan Umar. Cucunya memukul gendang kecil dengan suara yang rendah.
Pertunjukan musik tradisi yang langka ini memakan durasi pertunjukan selama 12
menit tanpa dendang atau nyanyian. Mereka berempat seperti memainkan instrumen.
Umar Malin Parmato yang menamakan
kelompoknya Aua Sarumpun, di ajang
festival musik etnis dunia itu, ia sukses memperlihatkan kemampuannya sebagai
mastero gandang botuang di atas panggung SIMFest. Di depan seribuan penonton di
Lapangan Segitiga, Sawahlunto, Sumatera Barat, Umar dengan apik bermain gandang
botuang, seolah seperti ingin mengatakan, alat musik yang ia mainkan kini
terancam dari kepunahan. Ia sadar, tak banyak yang mau meneruskan untuk
memainkan alat musik warisan budaya ini.
“Ini penghormatan buat saya dan kelompok Aua
Sarumpun untuk tampil di panggung SIMFest ini. Tampil di sini, agar generasi
muda mencintai musik tradisi Minang. Seni tradisi milik Kota Sawahlunto ini sudah
sangat sedikit pelakunya. Mungkin keluarga saya saja kini yang bisa memainkan
talempong botuang,” kata Umar Malin Parmato yang juga akrap disapa Usman Ajo
ditemui penulis usai penampilannya.
Umar Malin Parmato sudah jalani hidupnya 84
tahun. Umar menyebutkan dirinya lahir pada tahun 1931, tapi tak tahu kapan tanggal
dan bulan ia dilahirkan. Selain bermusik, ia petani yang tangguh di kampungnya.
“Dulu di kampung tak ada pakai tanggal
dan bulan lahir. Orang tua saya bilang saya lahir tahun 1931, lima tahun
setelah Gunung Marapi di Padang Panjang meletus,” katanya.
Umar tak mengira kelompoknya diundang
panitia SIMFest untuk tampil bersama dengan musisi Tanah Air dan dunia. Pada
hari ketiga, malam penutupan iven musik kelas dunia ini, kelompok Aua Sarumpun
tampil sebagai pembuka dan memukau penonton.
Cemas pada
Kepunahan
Umar Malin Parmato saat tampil di SIMFest 2015 (Foto Fadil) |
Diceritakan Umar, ia belajar memainkan gandang
(talempong) botuang dari ibunya. Saat ia masih usia 10 tahun, Umar sudah mulai
tertarik dengan bebunyian yang dihasilkan benda yang terbuat dari bambu ini.
“Ibu saya mahir memainkan gandang botuang
ini. Saya belajar banyak dari beliau. Tapi ibu saya hanya bisa memainkan saja,
tapi tak bisa membuat alat musik gandang botuang ini. lalu, saya belajar
membuatnya,” cerita ayah dari 7 anak dan kakek 4 cucu ini.
Umar Malin Parmato menyebut alat musik
terbuat dari bambu ini dengan gandang botuang, bukak talempon botuang.
“Talempong botuang itu hanya orang di
luar Silungkang yang menyebutkan demikian. Di Silungkang namanya gandang botuang,”
jelas Umar.
Umar mengaku tak pernah mengenyam bangku
pendidikan formal. Ia tak bersekolah dan tak belajar teori musik. Tapi, insting
rasa musiknya, paling tidak, menyamai orang-orang yang belajar komposisi musik.
Memang, itulah kelebihan seniman musik tradisi. Bukan hanya Umar, Islamidar
meastero alat musik sampelong, Sawir Sutan Mudo, maestro dendang lagu Minang,
dan banyak lagi, adalah seniman tradisi Minang yang tidak melalui proses
pendidikan formal bidang musik.
“Saya tak belajar komposisi nada. Saya
hanya andalkan insting, rasa, dan ketajaman telinga. Dengan itu pula saya
belajar membuat alat musik gandang botuang itu. Di Sawahlunto, mungkin juga di
Sumatera Barat, tak banyak yang bisa menciptakan alat musik ini,” terang kakek
yang masik enerjik kelahiran Dusun Sungai Cocang, Nagari Silungkang Oso,
Sawahlunto ini.
Saat bincang-bincang, nada suara Umar
terdengar terbata tapi jelas. Ia mencemaskan masa depan musik tradisi Minang
ini lenyap dari peradaban. Kecemasan itu bukan sesuatu yang ia harapkan agar
dirinya diperhatikan pemerintah. Bukan!
“Usia saya sudah 84 tahun. Seiring dengan
waktu yang saya lewati, belum terlihat keseriusan dari pelbagai pihak, termasuk
sekolah seni di Padangpanjang, untuk menyelamatkan kekayaan kita dari
kepunahan. Tapi, semampu saya, saya akan terus berupaya mewariskan alat musik
ini kepada anak-anak dan cucu saya. Saya mulai dari keluarga saya dulu,”
jelasnya.
Apa yang dilakukan sosok kakek yang akrab
disapa Usman Ajo ini, sudah menampakkan hasilnya. Anaknya Misriani dan seorang
cucunya sudah tampil pada SIMFest VI memainkan alat musik ini. “Saat ini hanya
itu yang bisa saya lakukan.”
Ia mengaku tak berharap banyak bantuan
dari pemerintah karena sudah terlalu sering hanya menerima janji-janji saja
tanpa ada bukti. "Dulu katanya ada bantuan dari pemerintah kota tapi sampai
kini tak ada buktinya. Tak pernah sampai ke tangan saya,” kata Umar dengan nada
datar.
Obsesi mantan Kepala Dusun Sungai Cocang,
Nagari Silungkang, Sawahlunto ini adalah mendirikan sanggar untuk siapa
saja yang berminat untuk belajar alat-alat musik tradisi, seperti gandang botuang ini.
“Di sanggar ini kita bisa mengajarkan
berbagai alat musik Minang, termasuk gandang botuang ini. Ini cita-cita saya yang
belum bisa diwujudkan,” katanya.
Gandang botuang terbuat dari bambu. Bambu
yang bisa dijadikan sebagai alat musik, bukan bambu sembarangan. Bambunya tidak
boleh terlalu muda, dan juga tak tertalu tua. Ruas bambu juga tak bagus terlalu
panjang. “Ukurannya cukup satu depa orang dewasa,” jelas Umar. Jika dipatok
dengan ukuran modern, kira-kira panjangnya tak lebih 50 senti meter.
Sembilu (kulit) bambu dikelupaskan dengan
ukuran selebar satu senti meter. Sembilu nilah yang menghasilkan bunyi saat
ditokok dengan kayu keras. Sembilu direntangkan dan disangga dengan potongan
bambu kecil.
Sama dengan alat petik dan gesek lainnya,
sembilu ini bak senar gitar dan dawai biola. Nada diatur dengan menyetel menyangga
sembilu. Memainkan alat musik gandang botuang ini dengan menokoknya bukan
dipetik atau digesek.
Sebagian orang , terutama akademisi
musik, menyebut alat ini dengan nama talempong sambilu. Jika melihat alat ini,
yang menjadi resonansi menimbulkan berbagai nada bunyi adalah ruang kosong
dalam botuang itu sendiri, sedangkan yang menjadi sumber getar (sumber bunyi)
adalah sembilu yang direntangkan.
Dalam
prosesi kultural di Nagari Silungkang, gandang botuang ini merupakan salah satu
alat musik penting dalam tradisi tradisi marunguih
atau ratok silungkang tuo. Tradisi yang hingga kini masih dilaksanakan
merupakan ritual masyarakat dalam menyampiakan pesan agar masyarakat tak larut
dalam kehidupan dunianya dan mensyukuri apa yang diberikan Allah SWT.
Umar sendiri mengaku bukan hanya gandang
botuang yang bisa ia mainkan. Alat musik seperti saluang, juga talempong pacik,
juga ia kuasai.
Dengan gandang botuangnya, Umar telah bermain musik ini ke sana ke mari, termasuk
kolaborasinya dengan Orkes Parmato Hitam di Malaysia. Alat musik eksotis ini juga tak sedikit yang meminati,
termasuk dari luar negeri. “Orang Perancis pernah memesan beberapa buah.”
Dalam bermasyarakat, Umar pernah menjadi Kepala Desa (saat masih
pemerintahan berbentuk desa) Sungai Cocang selama 10 tahun. Ia juga tercatat
sebagai tokoh masyarakat yang memelopori berdirinya SD Negeri 13 Silungkang Oso.
Kendati begitu, kegelisahan seorang
seniman tradisi saat ia sudah tiada adalah lenyapnya kekayaan tradisi itu
sendiri disebabkan tidak pedulinya orang-orang yang ia tinggalkan.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar