OLEH Nasrul Azwar
Sekjen Aliansi Komunitas
Seni Indonesia
Merumuskan arah teater Sumbar |
Teater
lahir dari urbanisasi tak terkecuali teater di Sumatera Barat. Teater adalah
gaya hidup “orang kota” dan tumbuh dengan cara orang kota pula. Teater adalah ruang-ruang
yang melangsungkan perpindahan terus menerus dari ruang yang disebut kampung
menuju perkotaan, yang diusung dengan tertatih-tatih oleh orang kampung.
Perpindahan
teater dari ruang-ruang bergerak dalam wujud apa saja dengan semua elemen
teater menyertainya. Teater yang hadir hari ini, hasil dari persenyawaan dan
menyatunya dua ruang: kampung dan kota. Keduanya disertakan dalam perjalanan
setiap pertunjukan teater. Dari situ ideologi teater lahir dan terpetakan.
Pegiat
teater berproses mengaktualisasikan identitas diri dengan segenap ambiguitas
artistik karya teaternya. Tetapi tak serta merta menghilangkan “rasa kampung”
di dalamnya, kendati masing-masing sutradara teater memiliki rasa kampung dengan
menu kota yang berbeda-beda.
Daerah
Sumatera Barat ini memiliki puluhan sutradara teater dengan membawa ideologi
masing-masing yang umumnya tak bisa melepaskan dirinya dari rasa kampung tadi. Booming sutradara di Sumbar ini semenjak
hadirnya jurusan teater di ISI Padang Panjang belasan tahun lalu, tak bisa kita
pungkiri. Salah satu kontribusi jurusan ini, ialah menebarkan banyak
sutradara-sutradara teater di ranah ini. Jadi, kita tak perlu cemas, akan
terjadi kelangkaan atau krisis sutradara teater di Sumbar.
Kembali
pada teater sebagai produk urban perkotaan dan gaya hidup. Dalam sejarahnya,
teater terus perpacu dalam urban-urban yang menyuarakan apa saja tentang
kemanusiaan: bisa kebenaran, keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, kebebasan,
kemerdekaan, dan juga gagasan-gagasan radikal.
Proses
urbanisasi itu kemudian menghasilkan pertunjukan teater membentuk “ideologi”
yang dalam dirinya. Ideologi-ideologi yang lahir dari teater akan menyatakan
dirinya sebagai “isme” atau paham yang kelak akan diepigoni oleh yang lain.
Semua terus berlangsung dalam urbanistis.
Seperti
menggergaji air, ideologi teater yang sudah termapankan terus menerus digerus
dengan pelbagai cara, namun tetap jua tidak “terputuskan”. Ia terus mengalir ke
sudut-sudut kepala sutradara, pelakon, pembuat naskah teater, dan juga kelompok
teater yang bersifat komunal, hingga saat kini.
Maka, dari
itu pula, teater tidak akan pernah mampu melepaskan dirinya dari ideologi.
Setiap peristiwa teater adalah peristiwa pelepasan ideologi dari rahim mereka
yang dikandung sepanjang proses latihan berjalan. Kelahiran ideologi tentu
terjadi saat teater berada dalam ruang publik. Penonton menyaksikan dengan
latar belakang “ideologi” yang belum tentu sama dengan apa yang berlangsung di
atas pentas.
Jika
dilihat secara umum lima tahun belakang di Sumatera Barat, ada tiga ideologi
teater yang terbangun secara tak sadar: Ideologi teater ISI Padang Panjang, Unand
dan UNP, serta kelompok di luar kampus.
Pengkategorian
tiga ideologi teater yang saya buat itu, masih terbuka diperdebatkan. Tapi yang
jelas ketiganya berbeda sama sekali.
Sutradara
yang berangkat dari ISI Padang Panjang, setiap hasil garapannya di panggung,
tampak sangat mempertimbangkan elemen dan konsep dramaturgi, serta hukum
panggung lainya, sehingga pertunjukan teater yang dihasilkan tampak seperti
“sekolahan” sekali: penuh disiplin, rapi, tertata, tidak garebeh tebeh, dan
hasilnya dibuat terukur. Memang dimaklumi karena itulah yang mereka tuntut di
bangku kuliah. Maka, ini saya sebut teater berideologi sekolahan.
Sementara
itu, ideologi teater di Unand dan UNP, kendati berada di kampus, tetapi capaian
garapan teaternya tidak serigid dari sekolah seni itu. Kebanyakan pengalaman
dasar pengetahuan penyutradaannya otodidak dan ditambah keberanian.
Elemen-elemen untuk artistik panggung, terkadang tak penting. Pamain tak akan
melakukan olah tubuh yang detil untuk menghasilkan gestur dan karakter tokoh
yang maksimal di atas panggung. Studi naskah biasanya sambil lalu. Tapi,
terkadang improvisasi menjadi andalan kelompok ini. Ideologi teater ini saya
sebut ideologi teater bauru-uru.
Yang
ketiganya, ideologi teater kelompok di luar kampus. Ini banyak berupa komunitas
dan grup. Sutradara biasanya sekaligus jadi pemimpin kelompok ini. Pemainnya
juga kebanyakan dari kampus-kampus dan juga pelajar dari sekolah menengah atas.
Umumnya, kelompok ini mementaskan karyanya “dalam rangka”, atau menerima
undangan untuk mementaskan teater, atau memeroleh dana hibah dari lembaga
donasi. Kelompok seperti banyak jumlahnya di Sumatera Barat. Sutradaranya
biasanya orang yang aktif berkesenian saat jadi mahasiswa, dan juga ikut
bermain dengan kelompok teater lainya, setelah merasa bisa, lalu mendirikan
grup sendiri. Kelompok teater seperti ini saya sebut ideologi teater dalam
rangka.
Ketiga
ideologi teater itulah yang terus menerus meniupkan napas kehidupan teater di
daerah ini sejak teater tumbuh di kota-kota. Jika direntang bisa jauh ke
tahun-tahun 70-an. Tiga ideologi itu sangat memengaruhi perjalanan sejarah
teater di kota-kota Sumatera Barat, yang Kota Padang dianggap sebagai puncak
pencapaian seorang sutradara.
Diketahui,
teater di Sumatra Barat dalam sejarahnya merupakan satu titik dari mata rantai
sejarah teater modern di Indonesia. Direntang ke belakang tentu akan lebih
panjang.
Pijakan
tradisi randai contohnya, yang kebanyakan dibawa dari kampung, semisal teks-teks
kaba yang melekat dalam ingatan individu, dalam perjalanan kreatifnya akan melahirkan
"tradisi baru" pada teater di Sumatra Barat. Tradisi baru itu yang
kelak menghasilkan referensi untuk memotret peta teater di Sumatra Barat.
Puluhan
kelompok teater yang pernah lahir di Sumatra Barat dalam era tahun 60-70-an
80-90-an dan dilanjutkan pada di awal abad 21 merupakan representasi
praktik-praktik pemaknaan kehidupan kampung yang diselaraskan dengan kehiduoan
urban itu. Urbanisasi dari kekuatan kultur tradisi lisan di kampung ke kultur
teks visual panggung di kota, berlangsung
dalam proses yang “menjadi” dan “tak menjadi”.
Namun
begitu, sisi yang “menjadi” ini, sepanjang masa pertumbuhan teater di Sumatra
Barat itu, kontribusinya cukup berarti bagi teater di Indonesia. Dapat
dikatakan cukup signifikan.
Era tahun
70-80-an dapat dikatakan sebagai era puncak bagi kehidupan teater dengan basis
tradisi. Boleh dikatakan, yang tidak berbasis tradisi, silakan keluar. Paham
demikian, juga melanda kota-kota lain di Indonesia.
Saat itu
pula, perkembangan teater di Sumatra Barat berbanding lurus dengan kehidupan
kritik teater. Kedua wilayah ini, peristiwa teater dan kritik teater, saling
melengkapi. Maka, suasana berkesenian sangat kondusif dan mesra. Namun, era
demikian tidak berjalan sepanjang masa.
Tahun
90-an hingga ke atas, terasa sebagai antiklimaks. Penurunan kondisi demikian
ditengarai para pegiat teater di Sumatra Barat beralih ke “wilayah” lain dan
juga menoleh pada kehidupan masa depannya. Maka, pada era 90-an terjadi
“kevakuman” aktivitas teater. Jika beberapa kelompok dapat juga melakukan
pertunjukan teater, tak lebih sebagai pelepas penat-penat. Namun demikian, saat
itu pula, kehidupan teater seperti ditumpukan pada kampus-kampus perguruan
tinggi yang ada di Sumatra Barat.
Klaim Penonton sebagai Keniscayaan
Klaim
penonton terhadap sebuah peristiwa teater menjadi risiko yang mesti diterima.
Tidak ada kata absolut di dalamnya. Semua berpendar ria dalam relativitas.
Munculnya klaim yang mengecewakan dari penonton setelah menyaksikan pertunjukan
teater, misalnya, haruslah disikapi sebagai wilayah sebagaimana teater itu
sendiri menyuarakan kemerdekaan, kebebasan, keadilan, dan lain sebagainya.
Pertimbangan
demikian, seperti pernah ditulis Asrul Sani, teater itu adalah urbanisasi yang
datang dari sekian banyak wilayah kebudayaan, yang berakibat teater telah masuk
dalam suatu masyarakat yang heterogen.
Maka,
peristiwa teater—sekali lagi—wilayah yang terbuka, dinamis, dan tidak berjalan
dalam kerangka baku. Untuk itu pula, penonton teater berada pada posisi yang
terus menerus berubah setiap pertunjukan. Jika dikejar lebih jauh, dalam setiap
pertunjukan atau peristiwa teater, sesungguhnya koridor untuk memahami
nilai-nilai demokrasi sedang berlangsung.
Kondisi
yang seolah telah “terpola” antara penonton dan peristiwa teater, lebih luas
juga peristiwa budaya lainnya, tampaklah penonton memiliki toleransi yang
sangat dinamis dan terbuka ketika berhubungan dengan peristiwa teater.
Hal
demikian sejalan dengan apa yang dikatakan Afrizal Malna. “Penonton memberikan
toleransi kepada pertunjukan. Penonton mencoba melakukan suatu eksperimen kecil
tentang cara-cara berdemokrasi dengan memberi toleransi terhadap apa yang
sedang dirumuskan teater dalam pertunjukannya. Dan tidak harus mencurigai
mereka. Bahwa mereka telah bersulit-sulit, telah memberikan toleransi, mungkin
ada sesuatu yang sangat penting yang mereka sampaikan.”
Dengan
pemahaman yang demikian, teater pun menjadi amat semarak, heboh, bebas, dan
dinamis. Akan tetapi, kata Putu Wijaya, masalah kebebasan bukan sesuatu yang
gampang. Untuk mencapai ke arah yang demikian, diperlukan pembelajaran,
keterampilan, dan juga akal serta strategi dalam mengumbar kebebasan.
Belakangan
beberapa sutradara di Padang sedang menyiapkan pertunjukan teater. Ada Pinto
Anugerah, S Metron M (keduanya dari Ranah Teater), dan Mahatma Muhammad (dari
Nan Tumpah). Tapi tak bisa dipungkiri, sepanjang 2105 ini publik teater di
Sumatera Barat belum mendapatkan tontonan teater yang benar. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar