OLEH Yusmar Yusuf (Budayawan)
Yusmar Yusuf |
penyair,
memikul tugas ilahiah lewat ‘wajah” jamaliyah Tuhan (kualitas feminin). Karena penyair sadar akan penciptaan manusia, lahir dari sifat jamaliyah. Bukan jalaliyah. Apa-apa yang lahir dari imaji dan jemari
penyair adalah sejumlah “keserupaan-keserupaan misteri” dari sifat Tuhan. Bukan
dzat Tuhan. Posisi manusia selaku co-Creator di depan Tuhan bukan lagi
hamba, tapi khalifah. Di antara makhluk-makhluk Tuhan, yang diberi toga, jubah
kehormatan kekhalifahan itu hanyalah manusia. Dia menjadi wakil Tuhan di muka
Bumi. Sebuah mandat langit. “Tuhan mencipta manusia dengan kedua tangan-Nya.
Kedua-dua tangan itu adalah tangan kanan yang saling berlawanan,” ujar Ibn
Arabi.
Kekhalifahan yang dipangku itu adalah
hasil dari sebuah pemilihan terbuka, sekaligus melalui penunjukan sepihak.
Kenapa? Karena pada manusialah, dua sisi wajah Allah itu berkembar dan
mencantum.
Ibn Arabi beramsal tinggi mengenai
ihwal ini; “Semua makhluk Tuhan itu hanya memikul satu saja dari dua sifat
Allah. Halilintar, hanya membawa desing, kilat dan gelegar menggerunkan (jalaliyah)
Tuhan saja. Hujan hanya menangis (jamaliyah) Tuhan saja. Dalam diri
manusia, ada potensi menggabungkan kedua dimensi ini (bisa murka, namun bisa
pula merintih pilu; jalaliyah dan jamaliyah sekaligus).
Jika dalam dimensi jalaliyah
kita harus membersihkan diri dari segala bayangan tentang Tuhan, maka pada
dimensi jamaliyah, kita harus melakukan tasybih; meniru-Nya,
menyerupai-Nya. Syair-syair, puisi adalah ‘penyerupaan-penyerupaan’(tasybih)
itu, lalu dia menjelma wujud dengan fungsi legislasi, menjadi ‘hukum” (adat),
menjadi tembok dan orientasi perilaku, maujud menjadi visi yang diarahkan ke
masa depan terhadap segenap kehidupan di alam raya. Sachiko Murata
menerjemahkan “jalal” sebagai His Majesty (Sang Agung), dan “jamal”
sebagai His Beauty (Dang Juwita).
Penyair itu menggendong Tuhan,
menghayun Tuhan, membuai Tuhan. Puisi-puisi adalah jalan tasawufnya seni. Jalan
cinta. Mereka melukis dengan imaji dan jahitan kata; di sini dia berdiri selaku
sang peniup (ekspirasi), bukan penguap/pengilham (inspirasi). Tanah Sumatera
sebagai lokus, bisa saja berada di anjakan “penguap” (inspire), namun
anak manusia yang bermastautin di atasnya adalah “peniup ruh”.Yang ditiup? Ruh
khalifah yang bersumber dari ruh Tuhan. Ruh kata-kata yang berpaksi pada bahasa
Melayu yang membenih dan mekar di wilayah ini (Sumatera Tengah re-install).
Di wilayah inilah bahasa Melayu mengalami peristiwa hilir-mudik, pergi-balik,
merantau-pulang; dari tebing timur dan tebing baratvice versadi “ranah
kreatif-ekspresif”. Sebaliknya bahasa Melayu mengalami peristiwa
lalu-lalang, bolak-balik dan menyerbu dengan merentas gerak utara-selatan atau
sebaliknya, menebuk jadayat pesisir nan sayup (lingua franca@bahasa
perniagaan). Bahasa ini adalah bahasa ‘pesisir’, lalu disambut oleh
kaidah-kaidah pesisir yang serba feminine.Lalu, disauk pula oleh agama pesisir.
Pun, Islam juga di”dakwa” selaku “agama pesisir”. Instrumennya? Tetap bahasa
Melayu (verba maupun teks).
Pesisir itu bawaannya penyerbu lunak;
memecah kebekuan di dunia Sumatera nan di tengah. Pesisir itu bawaannya terbuka
dan membuka. Bahasa Melayu itu adalah “aqad” untuk membuka ‘tanah-tanah bisu’
di tengah-tengah Sumatera, lalu diserbuk dengan Islam yang hanif. Maka
menjadilah Melayu dalam persemendaan efek ilahiah yang serba jamaliyah.
Anak-anak Sumatera yang berpembawan membebas, adalah anak-anak yang dibesarkan
dalam semangat femininitas berjenang. Mereka menghidu harum bunga, menjalin
persemendaan alam dan segala makhluk tentang makna “kebebasan”. Syair-syair,
adalah puisi yang membebaskan anak-anak nusantara, yang dipikul oleh anak-anak
Sumatera, kemudian Nusantara itu pun, ‘merdeka’.
Puisi adalah inti kesadaran (concientia)
sekaligus pencipta juwita peradaban; kesadaran akan tempat, akan waktu,
kesadaran akan diri bangsa dan ke mana hendak menghala. Bahasa Melayu yang
menjadi “juwita” timur, menyatu dengan pengucapan puitis, bertembok-tiraikan
gambaran puitis mempesona. Maulana Rumi, suatu kali memberi analogi kompetisi
lukisan Cina dan Yunani. Tim Cina merancang karya seni supra indah. Dengan gambaran
serba megah, detail nan rumit. Sebaliknya tim seni Yunani, menyuguh karya seni
sederhana dan elegan. Atas inisiatif Sultan, kedua tim finalis ini diberi satu
dinding istana yang berhadap-hadapan untuk rancangan karya seni mereka. Seniman
Cina mendatangi tembok itu dengan kesan riuh, ramai pernak-pernik, megah,
rumit, agung. Tak puas sampai di situ, tim Cina menggubal dedaunan dari emas,
batu permata yang dibingkas zat pewarna
langka.
Sebaliknya tim Yunani bekarya
terkesan rileks dan ringan. Mereka malah memasang tirai yang menghalang
pandangan mata ke arah dinding. Mereka tak menuntut zat pewarna sebagaimana tim
Cina. Merekahanya minta ampelas, batu apung, dan bahan pembersih sederhana.
Sejurus kemudian, sang Sultan datang menilai karya agung dua bangsa ini.
Pertama, dia mendatangi dinding tembok tempat karya seni Cina terpampang; Agung
dan rumit detailnya. Seluruh dinding itu terkesan ‘bernyawa’, kemilau air,
saujana fauna-flora nan sasa, lingkung pegunungan nan permai. Komentar Sultan?
“Wah…karya nan agung. Belum pernah beta menyaksikan karya seni seindah ini”.
Senyampang sisa waktu, Sultan pun
menghinggapkan mata ke dinding tembok tempat karya seni tim Yunani dipajang.
Para seniman Yunani bergegas menurunkan tirai yang menutupi bidang tembok. Ternyata
seniman Yunani sama sekali tak membuat
apapun di dinding itu. Mereka hanya memoles dinding dengan amat purna,
sehingga memantulkan karya seni yang ada di depannya. Tersebab efek cahaya dan
pencahayaan atau karena karakter dasar dinding itu, maka pantulan karya seni
yang terlihat di dinding, nampak lebih indah dari pada karya aslinya.
TUAN DAN PUAN
Kita amat bernafsu mengumpul segala
sesuatu yang sejatinya tak diperlukan untuk membangun kesan agung dan rumit.
Kaidah yang disodorkan oleh kebijakan seni Yunani itu, ingin menyampaikan bahwa
sesuatu yang indah itu tak mesti harus berlebihan. Kadang, kita terkesima untuk
menambah-nambah, padahal sudah cukup. Para seniman Yunani itu, beranjak dari
prinsip sederhana dalam berkarya; Simplex very Sigillum, “Kesederhanaan
pertanda Kebenaran”.
Kebudayaan manusia itu adalah efek
ilahiah. Puisi sebagai jelmaan pendek tentang narasi panjang kehidupan itu
sendiri, memikul tugas ilahiah pula. Di jalan kebudayaan, puisi bukan semata
nandung dan senandung, tak semata ode, eligi dan seloka, ballad; tentang sedih,
suka cita, duka lara, tetapi juga mengenai kepekaan dan kepedulian, relasi
sosial, relasi antar makhluk, kritisisme sistem politik, pemberontakan atas
penganiyaan kata, pembunuhan bahasa, kebejatan moral, mengenai hubungan dengan
Tuhan, kehadiran aparat langit dalam gempita alam semesta yang kemudian ditarik
dalam iktibar-iktibar demonstratif baik berwajah positif, negatif, pasif,
aktif, atau progresif bahkan meta-historik. Puisi-puisi, tak sekadar mencipta-melahir
aktor, tetapi juga membenihkan author (penguasa@pengarang); mendorong
aksi, menyentak reaksi, meluruskan yang bengkok, melecur yang kaku, menangani
yang telat ditangani oleh tangan-tangan kuasa, tangan kasih, atau malah
tangan-tangan yang memberi. Puisi-puisi juga berkisah tentang tangan yang di
atas dan tangan yang di bawah; antara mulia dan dekil, antara tuan dan hamba,
termasuk kisah pe-larat-an para peminta-minta sebagai perpanjangan “tangan”
Malaikat di sisi kehidupan manusia yang tak muai.
Efek ilahiah dari puisi yang
disemburkan para penyair, berpembawaan bak doa yang dipanjatkan dalam tradisi
agama-agama. Sebagaimana doa, puisi juga diarahkan ke masa depan, seraya
mengamankan masa lalu dan menjinakkan kekinian. Ini adalah fungsi “nubuat” dari
setangkai puisi. Hampir semua agama, menggumamkan doa dan hajat terpucuknya
lewat puisi, lewat kata-kata menghariba, indah merebah, ranggi meneduh.
Resitasi ayat-ayat Zabur, al Quran juga dilantun dalam kaidah serba indah
memukau. Di sini, ayat Tuhan berada dalam taman dengan kualitas jamaliyah
(feminine). Dia tak disentak dalam gaya-gaya khutbah searah, tapi didodoi,
dilantun, dihayun, dibuai dalam nada memikat, mengikat, lalu menaut.
I’tibar dari kaidah di atas, bahwa
capaian langit puisi dan karya sastra di rantau Melayu (Sumatera Barat-Riau
Daratan-Kepulauan Riau) sebagai sumbu bahasa Melayu yang hilir mudik itu,
mestilah datang dari kesederhanaan pengucapan, tanpa memaksa segala
pernak-pernik yang terkesan membuat heboh dan riuh rendah. Yang dikedepankan
adalah kekuatan bahasa dengan kualitas ekspresif. Hemat kata, tak perlu
terjebak dalam bangunan naratif semata. Ceria dalam usungan minor dan makna
anagogis sebuah kata, bukan semata makna alegoris. Kenapa gamang dengan
‘keliaran’ baru dan bid’ah kreatif dalam penciptaan?
Alkisah, dua pria muda bersua di
sebuah pasar nan riuh. Pemuda pertama mempelawa pemuda kedua; “Ayo ikut
pengajian dengan ku! Di sana amat ramai dan menyenangkan. Kelambu kebenaran
akan terkuak jika kita hadir dengan ikhlas”, ujar sang pemuda itu. Lalu,
pemuda kedua, menampik ajakan itu. “Lebih enak di lokasi pelacuran,
bersenang-senang dengan perempuan bohay. Wah sedap bangat”! Setelah
berpisah, dan berada di tempat yang diimpikan, pemuda di rumah bordil itu
berfikir; “Andaikan aku hadir di tempat pengajian al Quran itu”. Walau
dikepung para wanita bohay, agresif dan candu sensualitas, fikiran dan hati
sang pemuda itu dipenuhi ingatannya tentang Tuhan dan al Quran.
Pada saat yang sama; pemuda yang
mengikuti pengajian itu, berfikir; “Kenapalah aku tak ikut serta tadi dengan
teman ku, yang dikelilingi para perempuan chiik dan bahenol, wah melayaang...
Daripada mendaraskan bacaan Quran yang amat membosan ini”. Lalu, kedua
pemuda ini meninggal pada saat yang hampir serempak. Pemuda yang di rumah
bordil itu langsung masuk surga. Sementara pemuda yang menyimak al Quran itu,
langsung dilempar ke neraka. Horee. Di sini yang dipersoalkan adalah hasrat,
bukan tempat.
Maka, walau tempat kita berkarya di
ruang alam Melayu Sumatera ini, jika hasrat penciptaan seni itu luhur dan
menyibak kudus ilahiah, maka dia menjadi bagian dari persandingan co-Creator
Tuhan. Di sini, manusia memetik keuntungan selaku ‘pencipta” yang sejatinya
hanya menjadi domain Tuhan. Sebaliknya, jika hasratnya yang salah dan dina
dalam proses kreatif-penciptaan, dia tak lebih dari pelebaran teras-beranda
bagi berbaringnya kesia-siaan yang disebut sebagai efek negatif”satire
ketuhanan”. Rumi berkata: “Tuhan mengikat sayap malaikat di ekor keledai
dengan harapan sifat-sifat yang melekat pada malaikat dapat mengubah hewan itu”.
Maka, beranjaklah ke posisi mustari wahai para “pencipta” yang meneruskan
domain langit itu dalam anjakan yang terbilang. Mungkin amat molek dimulai dari
wacana tak terduga di tiga kawasan budaya ini, dengan kerimbunannya
masing-masing, sehingga bahasa dan pengucapan Melayu senantiasa terpelihara
kaidahnya. Sekaligus menyumbang mekar dan harumnya kembang Melayu itu di tengah
Indonesia, malah di tengah buana maha luas ini. Persemandaan kreatif dan bid’ah
baru itu akan diuji di kebun naratif; bisa bernama “Ranggi” (Riau), bisa
bersapa “Jembia” (Kep-Riau) dan boleh juga diadun di parak “Cagak”
(Sumbar). Berkilaulah laluan “batang sungai”tempat bahasa Melayu hilir dan
mudik. Bahasa yang mengusung peristiwa déjà vu.
Sedutan Fedli Azis (Macam Lampiran);
MERDEKA
Dengan dollar ku kunyah Riau
Dengan rupiah ku kinyam Indonesia
Dengan apa ku raba merdeka?
Panjat pinang, lomba makan kerupuk
atau berebut koin dalam tepung?
Ah, aku kehilangan pengh(r)encah…
…Melepas…
Maju
Mundur
Maju
Mundur
Maju
Mundur
Maju
Mundur
Orang mendapat kita mengumpat!!!
(dikutip dari tari persembahan)
Inikah wajah kita…
Sedutan Taufik Ikram Jamil–TDM-
(Macam Lampiran juga);
Satu
Kita yang berbagi angin
Semoga dapat memahami setiap penjuru
Sampai saat bertemu tuju
Yang satu tanpa lain
…
DisampaIkan sebagai
Orasi Budaya dalam Rangkaian Hari Puisi Indonesia, Sumatera Barat, Taman Budaya
Sumbar, Padang, Sabtu, 5 September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar