(Disampaikan dalam Silaturahmi Sastrawan Sumatera Barat)
OLEH Darman Moenir
Sastrawan
Betapa lagi pidato ini harus dimulai dengan
menyebut halaman Remaja Minggu Ini (RMI) Harian Haluan yang berawal pada 1976 dan berakhir 1999. Ruang ini jadi
persemaian kelahiran sastrawan dari Sumatera Tengah penggal kedua abad lampau.
Pula, masa-masa itu mendatangkan kenangan tersendiri, sesudah dinamika Grup Krikil Tajam yang saya pimpin pada
1973, berakhir. Sebelum RMI eksis, sudah ada halaman Budaya Minggu Ini (BMI) tiap
Selasa.
Izinkan saya menjelaskan, Haluan adalah
salah satu surat kabar tertua di Indonesia, didirikan oleh H. Kasoema bersama
Adaham Hasibuan dan Amarullah Ombak Lubis. Menurut Wikipedia, Ensiklopedia
bebas, edisi perdana Haluan terbit
pada 1 Mei 1948 di Bukittinggi. Selama dan sehabis pergolakan PRRI, April
1958
sampai Mei 1969, surat kabar ini berhenti terbit. Pada bulan Mei 1969 Haluan kembali beredar. Tercatat wartawan
yang mengawaki Haluan, antara lain,
H. Kasoema, Rivai Marlaut,
Chairul Harun, M. Joesfik Helmy, Sjafri Segeh, Annas
Lubuk, A. Pasni Sata, Rusli Marzuki Saria,
Basri Segeh, Sy. Datuk Tuo. Pada generasi berikut muncul nama-nama Benny Aziz,
Nasrul Djalal, Sjukril Sjukur, Azurlis Habib, Ersi Rusli, Darman Moenir, Masri Marjan, Wall Paragoan,
Yalvema Miaz, Herman L., Mufthi Syarfie.
Sejak 1 November 2010, Haluan
berada di bawah kendali pemodal baru, H. Basrizal Koto. Pada masa awal manajemen baru bertindak jadi Pemimpin Umum H. Basrizal Koto, Wakil Pemimpin Umum Zul
Effendi, Pemimpin Redaksi Yon Erizon, Kepala Litbang Eko Yanche Edrie. Di masa
ini Nasrul Azwar pernah menjadi Redaktur Seni Budaya, berbuat profesional. Untuk
satu kata yang meragukan pun Mak Naih, demikian panggilan akrab Nasrul Azwar,
menghubungi penulis naskah. Ikut jadi redaktur Ismet Fanany, Rusdi Bais, Hendra Dupa. Kini (2015) Pemimpin
Umum/Penanggungjawab Zul Effendi dengan Pemimpin Redaksi Yon Erizon.
Pada 1976, di
tahun “RMI “ bermula, saya belum setahun bergabung di Haluan. Pada 18 Mei 1975 saya menikahi kekasih, Darhana Bakar
(hadir pada acara ini, dan ke mana-mana kami sering berdua), dan saya
meninggalkan “pekerjaan” guru bahasa Inggris di RP INS Kayu Tanam. Di INS, saya
diajak A.A. Navis yang tahu saya menyelesaikan tingkat sarjana muda jurusan
bahasa Inggris di ABA Prayoga Padang. Istri saya setuju saya bekerja di Haluan. Dan Pak Kasoema mau mengajak
saya dengan alasan, saya, lapeh makan,
bisa berbahasa Inggris, dan saya tamat Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI)
Negeri Padang. Mungkin saya dianggap tahu tata wajah surat kabar?
Pada tahun 1975
itu, Haluan mulai menggunakan cetak web offset tetapi huruf masih ketik
timah. Pak A. Hamid, Pemimpin Perusahaan, minta saya merancang logo. Merujuk
logo terdahulu, saya ajukan tiga. Satu diterima, dan itulah logo Haluan, persis, terpakai sampai kini. Ketika
Basrizal Koto membeli Haluan, saya
diajak rapat awal oleh Hasril Chaniago yang ikut membidani. Usul saya untuk
moto Haluan, Mencerdaskan Kehidupan
Masyarakat, diterima dan terpakai.
Kerja
rutin-awal saya di Haluan adalah
korektor, pembetul ketikan. Haluan
pada waktu itu terbit delapan halaman. Kerabat kerja saya adalah Djasmani,
Daswir Wahiduddin, Masri Marjan (kelak jadi wartawan andal, pernah jadi Ketua
PWI Sumatera Barat), Mufthi Syarfie (kini komisioner KPU Sumatera Barat), Aldjufri
Sjahruddin (dosen UNP), Armansjah Nizar (terkenal dengan sebutan Mangkutak), Uzmil
Argan, Indra Merdy (kelak jadi
redaktur).
Sebagai
korektor, tentu saja kami bukan saja membaca tetapi bahkan memeriksa semua
naskah yang diset sehingga, dengan
demikian, saya tahu naskah-naskah yang disiapkan untuk RMI dan BMI oleh
Redaktur Budaya Rusli Marzuki Saria (RMS). Biarpun beberapa tahun sebelum itu secara
pribadi saya sudah mengenal Papa RMS, tetapi saya tidak mau mengusik naskah
(sering disebut kopai, copy, maksudnya
kopi) yang disiapkan dengan sungguh-sungguh, terencana, dan selektif. Otonomi
dan karisma RMS sangat kuat, jujur, terpuji, tahan banting. Untuk Minggu, sudah
ada sebundel naskah di ruang mesin cetak timah pada hari Kamis. Untuk Selasa,
naskah disiapkan dan mulai diketik Sabtu. Ada puisi, cerpen, esai, kritik, dan
vignet (ilustrasi). Seleksi dilakukan sendiri oleh RMS. Naskah masuk tiap hari,
via pos atau diantar sendiri. Dan itu dikerjakan RMS selama 30 tahun lebih. Sebagai
korektor, dan sekali-sekali menulis berita, saya juga menyerahkan naskah sastra
dan terjemahan sastra ke RMS tetapi untuk BMI. Saya pernah “antrean” dua tahun
sebelum sajak-sajak saya dimuat, antara lain, Shelly Kecil yang saya terakan di bagian awal novel Bako (BP, Cetak Pertama 1983). Shelly Kecil kemudian menang Sayembara
Menulis Puisi IKIP dan, 1973, dimuat di majalah sastra paling bergengsi, pada
masa itu, Horison. Beberapa bulan
sebelum pemuatan, sebagai salah seorang redaktur, Sapardi Djoko Damono
menyurati saya, bahwa sajak-sajak saya lolos seleksi, dan (akan) dimuat Horison. Dan Shelly Kecil mengantarkan saya ke Pertemuan Sastrawan Indonesia
1974 di TIM Jakarta. “Sajak DM sudah ada di Horison,”
ujar Navis memberi alasan mengapa saya dan belasan sastrawan dari Sumatera
Barat diajak ke pertemuan itu. Semua biaya transportasi dan uang saku dicarikan
dan disediakan Bang Navis. Itulah pertama kali saya melihat Monumen Nasional
pada malam hari. Menakjubkan! Dan di pertemuan itulah saya, malu-malu, berjabat
tangan dengan W.S. Rendra, Ramadhan K.H., Slamet Sukirnanto, Darmanto Jatman, Aspar
Paturusi, dan mengintip tempat tinggal Taufiq Ismail, di mes, sebelah Wisma
Seni (sekarang sudah tidak ada) di kompleks TIM. Pada pertemuan itu pula saya berkenalan
dengan orang-orang seusia: Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron, Emha Ainun Nadjib, Linus
Suryadi A.G., Yudhistira Ardinoegraha, Adri Damardji Woko, dan Ebiet G. Ade.
Dan puluhan yang lain.
***
Ke rumah
kontrakan RMS di Koto Marapak, Kota Padang, saya beberapa kali bertamu, sehingga
saya mengenal istri RMS dan anak-anak yang masih kecil-kecil. Ke sana saya belajar
dan berdiskusi sastra, meminjam buku-buku sastra penting dan bundel majalah Horison (semua pinjaman kemudian saya
kembalikan). Di tempat-tinggal RMS pula saya jumpa dan berkenalan dengan Navis
yang, antara lain, mengusul agar saya banyak membaca, membentuk grup, dan menyatakan,
kalau ingin jadi penulis jangan kaung,
jangan menyiarkan karya di Padang ke di Padang saja.
“Kalau perlu,”
jelas Navis, “jual nama saya.”
Imbauan Bang
Navis memang saya lakukan, dan pada 1971, sebuah cerpen saya dimuat Indonesia Raya dengan Pemred Mochtar
Lubis. Cerpen saya berjudul Nasib,
tetapi oleh redaktur diubah jadi Gantungan
sudah Putus. Lima belas hari kemudian, nomor bukti pemuatan dan wesel
honorarium berjumlah besar sampai ke alamat kos saya. Pada 1970, setahun
sebelum itu, dalam usia 18 tahun, cerpen saya bertajuk Senja Penentuan dimuat Haluan
dengan Redaktur Minggu M. Joesfik Helmy.
Mengetahui ada
cerpen saya dimuat di Indonesia Raya,
wartawan junior Masri Marjan mewawancarai saya, dan memuat hasil wawancara itu
di majalah hiburan, Selecta, 1972.
Menjawab pertanyaan apa keinginan saya, kepada MM saya jelaskan: semoga Hadiah
Nobel Sastra jatuh ke tangan sastrawan Indonesia. Dan sungguh-sungguh pemikiran
itu bersarang di benak saya setelah membaca sejumlah buku sastra bermutu,
termasuk yang dipinjamkan RMS.
Ajakan Navis
agar saya membentuk Grup Studi Sastra saya tunaikan, ya, dengan Krikil Tajam itu. Bersama A. Chaniago
Hr., Asnelly Luthan, Harris Effendi Thahar, R. Lubis Zamaksjari, Sjahida
Siddiq, Sjaiful Usmar, Zulfikar Said, Yalvema Miaz, Susianna Darmawi, Bakhtaruddin
Nasution, Sjaiful Bachri, Tabah R. Rawisati, dan satu-dua nama lain yang luput
dari catatan saya. Tiap hari Minggu, hampir setahun, kami benar-benar studi
sastra secara komprehensif, mendalam. Paling mengesankan, grup itu mendapat
atensi besar bukan saja dari Navis dan RMS tetapi juga dari Mursal Esten, Chairul
Harun, Nasrul Siddik, Roestam Anwar, Zaidin Bakry, Bhr. Tandjoeng, Muslim
Ilyas, M.S. Sukma Djaja, A. Pasni Sata, Wisran Hadi, Upita Agustine, M. Joesfik
Helmy, Shofwan Karim Elha, Zaili Asril, Emma Yohanna, Bagindo Fahmy, Ridwan
Isa, Makmur Hendrik, Yanuar Abdullah, Benny Azis, Sjukril Sjukur, Nasrul
Djalal, Anas Kasim, Sabaruddin Abbas, Satni Eka Putra, Uzmil Argan, Alwi
Karmena, Asril Joni, Zainul Basri, A. Karim (yang suka mengajukan pertanyaan:
ke mana kesusastraan Indonesia diarahkan?). Kepada mereka saya berutang besar.
Puncak kegiatan Krikil Tajam
adalah “Malam Apresiasi Sastra” yang diselenggarakan di Taman Melati pada 22
Desember 1973. Mengurus penyelenggaraan acara, Asnelly Luthan dan saya
diinterogasi Laksus Pangkopkamtibda selama 48 jam, siang-malam. Semua sajak
yang akan dibacakan disensor, di(per)tanyakan. Semua data pribadi, foto-diri
dari pelbagai arah, sidik-jari, siapa induak-bako,
siapa sahabat kental, direkam. Pak Mayor Kahfi dan Pak Mayor Hendro bersama
anggota mereka, yang menginterogasi, berlaku simpatik, bahkan membasai rokok
bermerek. Dan acara “Malam Apresiasi Sastra” yang berlangsung di bawah cahaya
andang dan tidak boleh liwat dari pukul 23.00 WIB itu dihadiri lebih banyak
oleh intel dan aparat bersenjata lengkap. Sehari sesudah peristiwa, iven itu
jadi berita. Haluan keluar dengan
pojok Dr. Ronda: semoga dari daerah ini lahir Rendra-Rendra baru. Indonesia Raya dan BBC London memberitakan sehingga kabar itu menasional dan mendunia.
Tidak ada kaitan sama sekali, sebulan kemudian di Jakarta memang meledak
Peristiwa Malari 1974 dengan aktor utama Hariman Siregar.
***
Dengan “pengalaman” sastra seperti itu, saya kian tertarik dengan kehadiran
“RMI 1976” namun, kesibukan rutin saya yang tidak bisa diundur-undur dengan
pekerjaan menjadi korektor tidak memungkinkan saya bertemu dan berdiskusi
banyak dengan para penulis pemula yang datang silih-berganti. (Hujan lebat,
petir dan kilat membahana, puting beliung, ombak menggulung besar di Pantai
Puruih, tidak boleh menghalangi kami untuk hadir di ruang koreksi.) Membaca
pruf dan teks dalam bentuk koran halaman budaya saya lakukan setiap terbit.
Saya baca sajak-sajak itu, cerpen-cerpen itu, esai-esai itu, dan kritik-kritik
itu. Kegemaran membaca ini saya pelihara sampai sekarang. Tiap pagi, sampai hari
ini, selain buku-buku (usang dan baru), saya rutin membaca empat harian yang
terbit di Padang (sesuai abjad: Haluan,
Padang Ekspres, Pos Metro Padang, Singgalang), satu dari Jakarta (Kompas), satu majalah berita mingguan setiap
pekan, dan satu majalah sastra setiap bulan. Di era internet, saya menyigi
ruang-ruang budaya banyak koran, termasuk The
New York Times. Dulu, saya pernah berlangganan The Jakarta Post, Newsweek, dan membaca The Archipel Journal. Saya membaca Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer, pada suatu hari, mulai pukul
10.00 pagi, dan selesai pukul 02.00, dinihari. Tidak sebulan sesudah itu, Bumi Manusia dilarang beredar. Saya
membaca, membaca, membaca, menjaring makna. Pernah saya melanggani beberapa
surat kabar khusus edisi hari Minggu saja, yang menyediakan halaman budaya atau
ruang sastra, terutama yang terbit di Jakarta.
Syukur, sekarang, kita merdeka, termasuk merdeka untuk membaca. Lebih awal,
saya terpesona dan kagum, setiap jumpa Chairul Harun, saya selalu menampak di
tangannya ada beberapa eksempelar koran dan buku. Bang Chairul mungkin ogah
membawa Echolac atau tas seminar. Tetapi saya berkesimpulan, dia pembaca (buku-buku
dan surat kabar) berat. Di Manila, saya pernah diajak Pak Mochtar Lubis bertamu
ke rumah seorang Guru Besar untuk mendapatkan goreang talua bulek balado. (Lidah Padang begok saya tidak berterima menu makan manis-manis, bergizi dan
berkalori tinggi, bertarat internasional itu.) Semua dinding lantai dasar dan
lantai satu rumah besar itu penuh (rak) buku. Saya pun terpana menyaksikan
orang asing, di ruang tunggu bandar udara, di waktu istirahat di kampus, selalu
membaca, membaca dan membaca buku. Ke mana-mana, dalam tas mereka, ada buku
bacaan. (Kini, tentu saja, banyak orang punya telepon genggam, dan dengan
gawai, berselancar di dunia maya. Mereka juga membaca?)
Dan saya berusaha benar menjaga hubungan baik, silaturahmi, dengan para
senior, sahabat seangkatan, dan yang berusia lebih muda. Untuk menyebut
beberapa, biarpun acap kena sarengeh,
saya relatif dekat dengan suhu A.A. Navis, Rusli Marzuki Saria, Wisran Hadi,
Mursal Esten, Mochtar Lubis, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi
W.M., Danarto, Hamsad Rangkuti, Leon Agusta, Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Zainuddin
Tamir Koto (Zatako), Damiri Mahmud, A. Rahim Qahhar, Husni Djamaluddin, bahkan
juga Ismail Hussein di Malaysia, Djamal Tukimin di Singapura, Fransisco Sionil
Jose di Filipina. Tentu saja saya pernah berdiskusi dengan Umar Kayam, Umar
Junus, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Toeti Heraty Noerhadi, Ikranagara, Radhar
Panca Dahana, Nirwan Arsuka, Nirwan Dewanto, Afrizal Malna, Taufik Ikram Jamil,
Adek Alwi, Isbedy Stiawan Z.S. Ke Jakarta, saya menyempatkan diri singgah ke
Jalan Bonang 17, atau ke kantor Yayasan Obor di Jalan Plaju, untuk berjumpa
dengan Pak Mochtar Lubis. Ketika ke Padang, Mochtar Lubis bahkan mampir ke
Jalan Pasaman II/170, Kompleks Perumnas Siteba, Kelurahan Surau Gadang,
Nanggalo, tempat tinggal saya. Istri saya menjamu Mochtar Lubis dengan teh
manis, dan tumbang ubi bakarambie.
Sering Pak Mochtar Lubis mengingatkan, bahwa penulis itu harus berani, jujur
menyampaikan kebenaran dan tidak menggadaikan apalagi menjual (harga) diri. Tidak
lupa pengarang Harimau Harimau itu
memberi saya buku. Mochtar Lubis bahkan minta saya menerjemahkan novel The Moonson Country, nominator penerima
Hadiah Nobel Sastra, oleh Pira Sudham dari Thailand. Novel itu saya terjemahkan
dengan judul Negeri Hujan, dan
diterbitkan Yayasan Obor (Jakarta, 1999). Penyuntingan terhadap terjemahan saya
langsung dikerjakan Mochtar Lubis.
Dari mereka dan pembacaan sejumlah buku kemudian saya menerima pemahaman
dan pencerahan, bahwa untuk berbuat kreatif, sekali lagi, berbuat kreatif, di
bidang sastra itu memerlukan kerja keras, bersungguh-sungguh, berpeluh,
mati-matian, tidak mengenal lelah, banyak membaca dan berupaya memaknai
kehidupan. Menemukan sesuatu yang baru, itulah ujud konkret kreativitas.
Mengulang apa yang sudah dikerjakan M. Yamin, Amir Hamzah, Chairil Anwar atau
Marah Roesli, Abdoel Moeis, Armijn Pane, Hamka, Iwan Simatupang, dan seurut
sastrawan besar dan penting lain jadi sia-sia. Betapa lagi saya sempat membaca
beberapa karya Boris Pasternak, Yukio Mishima, Ernest Hemingway.
Konsep dan tesis penting dan mendasar ini pula yang sepuluh tahun
belakangan saya sampaikan kepada puluhan bahkan ratusan siswa, mahasiswa dan guru-guru
bahasa Indonesia se-Sumatera Barat yang saya dampingi ketika mereka mengikuti Program
Pelatihan Menulis (Puisi, Cerpen, Novel, Esai) yang ditaja Balai Bahasa
Provinsi Sumatera Barat di berbagai kampus dan sekolah, dan Rumah Puisi Taufiq
Ismail di Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar. Pendamping lain adalah Taufiq
Ismail, Wisran Hadi, Rusli Marzuki Saria, Upita Agustine, Gus tf Sakai, Harris
Effendi Thahar, Maman S. Mahayana, Jamal D. Rahman, Joni Ariadinata, Iman
Soleh, Yusrizal K.W., Abdullah Khusairi, Zelfeni Wimra, Endut Ahadiat, Muhammad
Ibrahim Ilyas, S. Metron Masdison, Syuhendri.
***
DI masa jadi korektor itu saya gamang apakah saya akan mampu menulis karya
yang bagus? Kemudian saya juga sempat menyimak Albert Camus, Penerima Hadiah
Nobel Sastra 1957: “Setiap orang, dengan alasan yang kuat, setiap seniman,
sastrawan, ingin diakui.” Lalu, apa kelak saya bisa diakui, diterima, dalam
blantika sastra? Untuk itu, saya membatin, bahwa saya harus melahirkan karya
bermutu, betapa pun relatif dan atau absurd
ukuran bermutu itu! Saya memang tergila-gila sesudah membaca dan membaca ulang kehebatan
pantun, soneta, sajak-sajak modern Indonesia, Salah Asuhan, Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya, Merantau ke Deli,
Belenggu, Senja di Jakarta, Merahnya Merah, Godlob, ratusan bahkan ribuan puisi
dan cerita pendek.
Di masa jadi korektor, di zaman BMI dan RMI
itulah, saya menulis novel Gumam
yang entah mengapa, berani-berani saja saya menyertakan ke Sayembara Penulis
Roman DKJ 1976. Ternyata ada 43 naskah roman yang menyertai, dan Gumam termasuk naskah (novel) yang layak
diterbitkan sebagai bacaan biasa. Tujuh naskah lain yang direkomendasi adalah Mata-mata (Suparto Brata), Di Atasnya Pepuingan (Tri Rahayu
Prihatmi), Jatuhnya Benteng Batu Putih
(Mohayus Abukomar), Maryati dan
Kawan-kawannya (Suwarsih Djojopuspito), Keok
(Putu Wijaya), Jembatan (Ediruslan Pe
Amanriza) dan Warisan (Chairul Harun).
Pada Sayembara 1976 itu tidak ada Juara I. Juara II diraih Upacara oleh Korrie Layun Rampan dan Juara III Pembayaran oleh Kowil Daeng Nyonri (Sinansari ecip, yang kelak juga
saya kenal baik). Dewan Juri: H.B. Jassin, Ali Audah, Mh. Rustandi Kartakusuma,
Dodong Djiwapradja, dan M. Saleh Saad.
Gumam benar-benar melecut saya. Saya siasati dan pelajari lagi novel-novel
bermutu, yang selalu dibicarakan, didiskusikan, dianggap terbaik. Empat tahun
kemudian, 1980, saya kembali ikut Sayembara Penulisan Naskah Roman DKJ. Selama
tiga tahun saya menulis Bako yang
pada awalnya hendak saya beri judul Mendiang
atau Silsilah. Pengerjaan Bako benar-benar berpeluh, lima kali
ketik ulang, dengan mesin ketik biasa. Paling akhir, harus pakai lima lembar
kertas karbon setiap kali mengetik rangkap enam. Dan pengetikan harus diulang
total dari baris pertama di halaman yang sama bila terjadi salah ketik di baris
ke duapuluh. Salah ketik saja bisa diakali, bisa dihapus. Tetapi, celaka, ada
kata yang tertinggal, atau ada frasa yang harus ditambahkan! Mana ada tip eks,
mana ada laptop pada tahun itu. Betul-betul kerja keras! Sekarang? Menyunting naskah
alangkah mudah. Dari halaman tujuh bisa langsung berpindah ke halaman tujuh puluh.
Dan, alhamdulillah, luar biasa. Bako dinyatakan menjadi satu di antara
Tiga Pemenang Utama. Disusun menurut abjad, Tiga Pemenang Utama itu adalah Bako (Darman Moenir, Padang), Harapan Hadiah Harapan (Nasjah Djamin,
Yogyakarta), Olenka (Budi Darma,
Surabaya). Ada lima Pemenang Harapan: Den
Bagus (Sudarmoko, Surabaya), Dicari
Hari yang Cerah (E. Nohbi, Jakarta), Ketika
Lampu Berwarna Merah (Hamsad Rangkuti, Jakarta), Merdeka (Putu Wijaya, Jakarta), dan Panggil Aku Sakai (Ediruslan Pe Amanriza, Pekanbaru). Naskah masuk
25, hanya 23 yang memenuhi syarat. Dewan Juri: Ali Audah, Sapardi Djoko Damono,
Dami N. Toda, Toeti Heraty Noerhadi.
Merayakan
kemenangan Bako, A.A. Navis menjamu
saya dan keluarga makan bersama di sebuah rumah makan terkenal “Serba Nikmat” di
Kota Padang. Jamuan itu dihadiri oleh Gubernur Sumatera Barat, Walikota Padang,
beberapa Guru Besar, sastrawan, budayawan, dan seniman terkemuka, berjumlah
sekitar 40 orang. Semasa Navis hidup, tradisi merayakan kemenangan itu
berlanjut.
Ajip Rosidi
dari PT Pustaka Jaya menyurat, penerbit yang dia pimpin dan asuh sedia
menerbitkan Bako. Saya terlambung!
Pustaka Jaya mau menerbitkan?! Tetapi ada syarat, kalau boleh, judul diubah: Keluarga Ayah atau apa. Saya galau.
Bukankah saya sama sekali belum punya naskah sastra yang terbit menjadi buku? Tiba-tiba
ada tawaran luar biasa. Namun, setelah saya pikir, judul tidak usah diubah, dan
biarlah Bako belum terbit. Pada hemat
saya, pada diksi bako ada sistem dan
sekaligus kebaruan. Pada akhirnya tawaran untuk menerbitkan Bako itu datang dari PN Balai Pustaka.
Dengan acc Redaktur Sastra Soetjipto,
Soebagio Sastrowardojo, Abdul Hadi W.M., dan Hamid Jabbar, saya menanda-tangani
kontrak penerbitan dengan BP. Para redaktur menjelaskan, di sana-sini ada penyuntingan, dan saya setuju. Dari sinilah
saya tahu dan kemudian belajar banyak teknik penyuntingan naskah. Pada cetak
pertama, Bako terbit 5.000 eksemplar,
dan saya menerima wesel royalti penerbitan. Biarpun tidak banyak, alangkah enak
memberi makan bini dan anak-anak dengan honor karya sastra. Syukran. Sampai
2013, Bako sudah tujuh kali dicetak
BP (termasuk dua kali untuk naskah elektronik). Pada akhir 2012, Dewan Kesenian
Jakarta pun melakukan digitalisasi terhadap Bako.
Dan, Bako mengantarkan saya ke mana-mana di
Indonesia, di Asean, bahkan ke International
Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat, 1988. Di kantor Kedutaan
Besar AS di Merdeka Selatan, Jakarta, saya mengetahui, bahwa ke IWP saya
ternyata direkomendasi oleh Wisran Hadi, Taufiq Ismail, Satyagraha Hoerip, Sutardji
Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M., Mochtar Lubis, Peggy R. Sunday. Rekomendasi Taufiq
Ismail dan Mas Oyik (sapaan akrab Satyagraha Hoerip) sangat didengar oleh USIS
dan IWP. Sebelum berangkat ke AS, saya menerima “materi” berharga dari Goenawan
Mohamad dan Ikranagara untuk, kalau-kalau, PEN Club New York bertanya mengapa
buku-buku Pramoedya Ananta Toer (pada masa itu) dilarang beredar di Indonesia. Diskusi
tentang Pram memang berlangsung di New York. Di AS, peserta diajak keliling ke
13 Negara Bagian, Pantai Timur, Pantai Barat, dan Amerika Tengah, Sante Fee. Sungguh-sungguh,
sepuluh tahun sebelum itu, 1978, Wisran Hadi yang sedang mengikuti IWP
menyurati saya, dan menyuruh saya membeli koper dan baju panas untuk juga
terbang ke AS. Mungkin WH melucu, atau melagak, entahlah, tetapi itu memang
terjadi: saya ke AS, diundang sebagai seorang sastrawan Indonesia. Kecuali untuk
fiskal, tidak serupiah pun saya menggunakan uang dari Sawah Tangah,
kampung-halaman saya. Dan sepulang saya dari AS, dengan sedikit gegar budaya,
istri saya bertanya: apa rumah kita bisa direhabilitasi?
Melalui Bako pula saya berkenalan dengan
beberapa calon sarjana S1, S2, S3 di pelbagai perguruan tinggi di Indonesia dan
luarnegeri. Mereka bertanya tentang dan mengenai (novel) Bako. Bahkan dari Universitas Udaya, Bali, saya menerima pertanyaan
yang semua dimulai dengan kata apa,
siapa, mengapa, bilamana dan
bagaimana. Apabila semua pertanyaan itu saya jawab, maka sebuah skripsi pun
rampung.
***
Kembali ke RMI,
saya masih mengikuti biarpun mungkin tidak secermat dulu. Sesungguhnya saya
pernah diminta untuk memberi ulasan (terutama sajak dan cerpen), tetapi saya
khawatir tidak mampu menjaga kesinambungan. Padahal inilah yang pernah
ditawarkan Abrar Yusra ketika kami sama bermarkas, sama mengajar, di RP INS
Kayu Tanam. Menurut Abrar Yusra, saya suka membaca dan punya potensi untuk
menulis kritik sastra. Pula, biarpun (pada masa itu) ada H.B. Jassin, M.S.
Hutagalung, S. Boen Oemarjati, Mursal Esten, Lukman Ali, Rustandi Kartakusuma,
tetapi kritikus sastra Indonesia masih sangat sedikit. Pendapat Abrar Yusra
menarik perhatian, dan saya berbicara dan mengulas sajak-sajak Rusli Marzuki
Saria dan Abrar Yusra dalam diskusi sastra di Pusat Kesenian Padang. Paling
menarik, kedua tulisan itu kemudian dimuat Kompas
(1975 dan 1976). Namun menulis kritik sastra itu tidak selalu saya lanjutkan. Saya
ingin menulis cipta sastra kreatif. Namun, sungguh-sungguh, tidak mudah.
Biarpun
demikian kritik terhadap karya-karya sendiri senantiasa saya lakukan, sampai
kini, dan entah sampai kapan. Pengalaman dari Bako yang disunting Redaktur Sastra Balai Pustaka mengajari saya
untuk menyunting puisi, cerpen, novel, esai dan tulisan sendiri, berkali-kali.
Saya mengupayakan agar tulisan saya tidak (perlu) disunting lagi. Itu terjadi
pada novel-novel saya Dendang (BP,
1988, mengantarkan saya untuk menerima Hadiah Sastra 1992 dari Pemerintah
Republik Indnesia) dan Aku Keluargaku
Tetanggaku (BP, 1993, Meraih Hadiah
II Sayembara Novel Kartini 1986), Andika
Cahaya (Akar Indonesia, 2012), dan novel-novel yang belum terbit, termasuk
novel yang terakhir, Paco-paco
(2012). Novel-novel terbit itu tidak mengalami penyuntingan, kecuali oleh saya
sendiri. Satu tanda titik, tanda koma, tanda seru, satu diksi, frasa, kalimat,
satu alinea, bab, saya perhitungkan dengan cermat. Judul! Ini yang tidak kalah
penting, perlu dipertanggungjawabkan. Jangan sebagai akibat rayuan pasar atau
penerbit lalu pengarang mau saja mengubah dan mengganti judul.
Paling
mengesankan, ingin saya sebut, adalah ketika Wiswan Hadi minta saya untuk
membaca naskah novel Tamu pada 1992.
Tidak sampai satu hari satu malam, naskah itu (175 halaman kuarto satu setengah
spasi) rampung saya baca. Tetapi, celaka, hampir setiap alinea, setiap halaman,
setiap bab, nakah novel pertama Wisran Hadi itu saya corat-coret, dengan tinta
merah lagi. Itu memang kerja penyuntingan yang “ganas” tetapi bukan dengan
kemarahan. Guru dan sahabat saya itu tidak keberatan, bahkan berterima kasih,
dengan tambahan: ko ndak bahonor do, Man
(ini tidak punya honor, Man). Saya terpingkal. Tamu kemudian dimuat bersambung di Republika, 1994) dan diterbitkan Pustaka Utama Grafiti, 1996. Bahkan
dinobatkan jadi buku terbaik. Dan, kemudian, beberapa naskah Wisran Hadi (bukan
lakon) saya sunting. Terakhir saya menyunting novel Persiden Wisran Hadi (Unggulan Lomba Roman DKJ 2010, diterbitkan
Bentang, 2013).
Penyutingan
saya lakukan terhadap sejumlah naskah buku dari Singgalang melalui Khairul Jasmi dan dari Zaili Asril (lebih-kurang
800 halaman) yang mengimbali dengan honorarium relatif memadai. Saya tidak
meminta, tetapi doa untuk menolak rezeki memang belum diayatkan. Saya pun
menyunting naskah-naskah buku yang ditulis oleh Buya Bagindo Leter, novel
Nelson Alwi, naskah tulisan Sjamsir Roust, cerita rakyat Yulizal Yunus, dan
secara lisan saya pernah berdiskusi dengan Syarifuddin Arifin mengenai naskah
kumpulan puisi Maling Kondang. Dan
saya pun, Mahabesar (ini ejaan yang baku) Allah SWT, saya diajak oleh
Kementerian Agama RI bekerja sama dengan IAIN Imam Bonjol Padang, 2012-2014,
untuk memvalidasi terjemahan Kitab Suci Alquran dari bahasa Indonesia ke bahasa
Minangkabau.
Ada bahkan
banyak naskah yang tidak sempat saya baca dan sunting. Selain waktu yang
terbatas, saya beranggapan, naskah-naskah itu lebih baik disunting oleh orang
lain. Saya bukan menganggap, naskah-naskah itu populer atau bagaimana.
Terakhir, Juli 2015, Eddy Pranata PNP minta saya untuk memberi catatan sampul
belakang terhadap kumpulan puisi Bila
Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur (Shell Jagat Tempurung, 2015). Saya
minta semua puisi, hampir lima ratus (judul), dikirim dan saya baca sebelum
saya putuskan memberikan testimoni, endorsement,
atau apa pun namanya. Sesungguhnya saya termasuk orang yang tidak suka
penggunaan catatan kulit belakang. Saya percaya, naskah yang baik, puisi yang
bagus, novel bermutu, berbicara langsung dengan para pembaca, tanpa perantara.
Tanpa pengakuan saya, Eddy Pranata PNP sah jadi penyair.
Dan
tulisan-tulisan saya untuk surat kabar dan majalah rata-rata lolos sensor,
tanpa penyuntingan. Namun bukan tidak pernah, terjadi penyuntingan dan
mendatangkan kelucuan. Saya menulis diksi melesat,
sebagai contoh, tetapi oleh redaktur diubah menjadi meleset. Andai hendak mengubah, mengapa tidak bertanya melalui
surat-e atau melalui pesan singkat. Itulah yang saya apresiasi pada Nasrul
Azwar ketika masih jadir Redaktur Seni Budaya Haluan: hanya untuk satu kata, dia mau dan tidak malu bertanya. Dan
ada pula naskah “bagus” yang saya kirim ke surat kabar Padang tetapi, tanpa
kabar berita, tulisan itu tidak dimuat. Tetapi saya terlambung setelah artikel
itu dimuat Kompas, tanpa perubahan satu titik koma pun. Pernah pula naskah
saya kirim ke Horison, ditolak. Tetapi
naskah yang sama dimuat di Kalam.
***
Penggunaan kata
ubah dalam berbahasa, sebagai contoh,
yang bila diimbuh menjadi mengubah, berubah, perubahan, pengubahan, perlu
diperhatikan secara saksama sehingga tidak tersua lagi kata berobah, perobahan, pengobahan. Akar
kata ubah bukan rubah (nama binatang), robah
(tidak ada pada Kamus Besar Bahasa Indonesia). Begitu pula untuk diksi meletakkan, bukan meletakan,
mengontrakkan, bukan mengontrakan. Risalah “Di Bukittinggi
kambing makan kelereng” atau “ke lereng” perlu dipahami. “Salat boleh di langgar”
(di sebagai kata depan) atau “dilanggar” (di sebagai awalan) harus dikuasai
secara jeli. Saya ingin mengatakan, setiap penulis perlu khatam memakai EYD.
Belum lagi dinamika bahasa yang melesat luar biasa cepat. Fenomena kealpaan
berbahasa secara baku, baik dan benar tersua hampir di enam puluh buku sastra
oleh pengarang-pengarang Sumatera Barat yang terbit selama satu dasawarsa
terakhir. Penggunaan judul, penyampaian alinea pertama (cerpen atau novel),
atau bait pertama (dari puisi) belum mengundang minat untuk melanjutkan
pembacaan. Padahal judul dan alinena pertama (bait pertama) selalu punya magnit
hebat agar karya itu dibaca sampai tamat. Saya memaksakan diri untuk membaca
sebagian besar buku itu tetapi melelahkan! Penggunaan kredo puitika lisentia
saja tidak cukup membela.
Saya juga
memandang “aneh” sebagian para pengguna bahasa Indonesia pada akhir abad lampau
dan awal abad ini cenderung keinggris-inggrisan. Ini persis meniru gaya
kearab-araban atau kebelanda-belandaan di zaman kolonial. Banyak sekali papan
nama, merek dagang, di Jakarta, dan juga
mulai mewabah di Kota Padang, menggunakan bahasa asing. Di Taman Ismail
Marzuki, dalam forum resmi, saya melayani seorang sastrawati yang
keinggris-inggiran itu dengan benar-benar menanggapi pembicaraan dalam bahasa
Inggris. Forum itu ditaja dalam bahasa Indonesia. Terlihat si sastrawati gugup,
muka dan telinga memerah, dan diam, mungkin jengkel. Bagaimana nasib bahasa
Indonesia apabila sastrawan dan sastrawati sudah tigak lagi menghargai bahasa
Indonesia?
Saya tidak
mengerti mengapa rumah sakit harus menggunakan diksi hospital seperti Semen Padang Hospital?
Keinggris-inggrisan? Ya, tetapi lucu dan fatal. Di RS Semen Padang, saya pernah
bertanya dengan bahasa Inggris yang standar dan sangat sopan kepada dua petugas
satpam? Malang sekali, mereka bengong, tidak mengerti pertanyaan saya. Ketika
pertanyaan yang sama saya ajukan kepada tiga resepsionis, mereka tersenyum dan
menjawab dalam bahasa Indonesia. Mereka mengerti, mungkin tidak mau melayani
saya yang sok Inggris. Pertanyaan
sesungguhnya adalah, apakah di RS itu semua orang harus menggunakan bahasa
Inggris? Tidakkah sebutan Rumah Sakit Semen Padang lebih akrab, membanggakan?
Kalau ingin internasional juga, dahulukan teks bahasa Indonesia, sehingga nama
itu menjadi Rumah Sakit Semen Padang – Semen
Padang Hospital.
Banyak contoh
lain. Pertanyaan mendasar, kalau bukan anak-anak bangsa Indonesia, siapa lagi
yang harus merayakan penggunaan bahasa Indonesia? Bangsa Indonesia, bukan? Bagaimana
membayar utang generasi sekarang dan mendatang terhadap upaya hebat M. Yamin
dan kawan-kawan yang mengikrarkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928? Bagaimana
kalau bahasa kebangsaan kita bahasa Jawa, atau satu di antara lebih daripada
500 bahasa daerah yang ada di Indonesia? Tidakkah terpikirkan, negara tetangga
Malaysia, Singapura, Filipina, masih sering berdegus
dan berkonflik dalam urusan bahasa nasional mereka?
Lebih daripada
sekadar penguasaan bahasa dan “penciptaan” bahasa, masalah sikap sastra, sikap
budaya, menjadi tidak terhindarkan. Saul Bellow (sastrawan Amerika Serikat
kelahiran Kanada, peraih Hadiah Nobel Sastra 1976), pernah menyatakan, bahwa
kehidupan itu penuh godaan. Mau menjadi penulis populer, oportunis, kagadang-gadangan, atau apa?
***
“UNTUK siapa
Anda menulis?” demikian pertanyaan dilontarkan kepada Nadine Gordimer, penulis
terkemuka Afrika Selatan, peraih hadiah Nobel Sastra 1991. Pertanyaan ini
memiliki banyak turunan: dari manakah karakter dalam fiksi muncul? Apakah
penulis harus berpijak pada realitas terdekat, berpihak pada keprihatinan yang
dialami bangsa, ikut serta menentukan arus perubahan kondisi sosial masyarakat?
Apakah penulis harus memiliki kesadaran politik atau revolusi? Apakah karya dan
cipta sastra memang memiliki makna bagi masyarakat dan pembaca yang tengah
mengalami ketidakadilan, keprihatinan, penindasan, atau kesewenang-wenangan?
Sumbangan apa yang wajib diberikan sastrawan pada manusia?
Dalam pidato
penyerahan Hadiah Nobel Sastra 1991 di Stockholm, Writing and Being, Nadine yang wafat dalam usia 90 tahun menegaskan
pendirian, tugas seorang penulis adalah menyuarakan pembelaan terhadap mereka
yang tertindas di bagian dunia mana pun. Hal itu tecermin dalam karya-karyanya.
“Kita bisa
memiliki apa yang kita inginkan,” ujar Gabriel García Márquez, peraih Hadiah
Nobel Sastra 1982, satu kali, “tetapi kita harus memperjuangkan agar bisa
menikmati dengan layak.” Kini, Gabo, demikian sastrawan asal Kolumbia ini akrab
dipanggil, dicintai banyak orang karya-karya besarnya dibaca dan dikenang,
bukan hanya selama seratus tahun, tetapi untuk selama-lamanya. (Terima
kasih saya kepada Gus tf Sakai yang mengirimi saya terjemahan novel Marquez Seratus Tahun Kesunyian.)
“Mengapa Anda
menulis? Mengapa Anda memberikan waktu anda untuk aktivitas yang aneh dan tidak
jelas ini?” Orhan Pamuk, saat menerima Hadiah
Nobel Sastra 2006, menjawab: “Ini adalah pertanyaan yang paling sering
ditanyakan sepanjang karir menulis saya.” Pamuk sering
memberikan jawaban berbeda ... Kadang sastrawan besar asal Turki ini berkata: “Saya
tidak tahu kenapa saya menulis, tetapi yang pasti itu membuat saya merasa lebih
baik. Saya harap Anda juga merasakan hal yang sama ketika membaca karya saya.
Kadang juga saya berkata bahwa saya merasa marah, itulah, kenapa saya menulis.
Dorongan untuk menulis, sebagian besar adalah karena ingin menyendiri dalam
ruangan.”
Dan seorang
penulis besar yang pernah dimiliki Rusia adalah Boris Leonidovich Pasternak. Karya novel epik Pastenak sangat
terkenal, Dr. Zhivago, menggambarkan
tragedi di seputar masa terakhir Kekaisaran Rusia dan hari-hari awal Uni
Soviet. Pada Oktober 1958, Pasternak dianugerahi Hadiah Nobel Sastra,
"untuk pencapaian pentingnya dalam puisi lirik kontemporer dan di bidang
tradisi epik Rusia." Pemerintah Uni Soviet, yang sangat tidak senang
dengan penggambaran kehidupan yang keras di bawah komunisme, memaksa Pasternak menolak
penghargaan itu dan mengeluarkan Pasternak dari Persatuan Penulis Uni Soviet.
Walaupun tidak dikirim ke pembuangan, semua terbitan karya dan terjemahan
Pasternak tertunda hingga membuat dirinya kere.
Tidak ada orang
India yang tidak mengenal Rabindranath
Tagore, penyair, dramawan, filsuf, seniman, musikus dan sastrawan
Bengali. Tagore orang Asia pertama yang mendapat Anugerah Nobel Sastra, lebih
dari seabad yang lalu, 1913. Memiliki pengaruh yang sangat luar biasa, tidak
hanya di India, tetapi juga meluas hingga ke Eropa. Banyak karya-karya sastra Tagore
diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Di Indonesia, Rabindranath Tagore diabadikan
di salah satu ruas jalan di Kota Surakarta. Pandangan Tagore soal pendidikan
ternyata memengaruhi tokoh nasional, termasuk Ki Hajar Dewantara.
Saya juga ingin
menyebut seorang sastrawan paling jenius yang pernah lahir pada abad ke-20: Ernest Miller Hemingway. Karya Hemingway
yang paling fenomenal adalah trilogi besar, terdiri dari The Sea When Young, The Sea When Absent dan The Sea in Being (pada 1952 terbit dengan judul The Old Man and the Sea). Novel Lelaki Tua dan Laut ini diindonesiakan
secara bagus oleh Sapardi Djoko Damono. Juga ada penerjemah lain, dan saya
beberapa kali membaca teks asli The Old
Man and the Sea.
Kisah hidup
Hemingway paling dikenang adalah nasib sial yang selalu mendera. Dia pernah
mengalami luka-luka dalam dua kecelakaan pesawat terbang secara berturutan.
Luka-luka itu sangat serius, bahu kanan, lengan dan kaki kiri terkilkir, ia
mengalami gegar otak parah, untuk sementara waktu kehilangan daya penglihatan
mata kiri (daya pendengaran di telinga kiri juga terganggu), mengalami
kelumpuhan tulang belakang, remuk, liver, ginjal, serta mengalami luka bakar
pada tingkat pertama di wajah, kedua lengan dan kakinya. Dalam kecelakaan
kebakaran semak, membuat ia mengalami luka bakar pada tingkat kedua pada kedua
kaki, dada, bibir, tangan kiri dan bagian atas lengan kanannya. Pada 2 Juli
1961 dia menembak kepalanya sendiri dan langsung tewas.
Dan seorang
penerima Hadiah Nobel Sastra paling kontroversial adalah Sir Winston Leonard Spencer Churchill.
Mantan Perdana Menteri era Perang Dunia kedua ini dianugerai Hadiah Nobel Sastra
untuk kepakarannya dalam penulisan riwayat dan sejarah dan juga kepintaran berucap
memertahankan nilai kemanusiaan yang tinggi pada 1953. Padahal dialah sang
arsitek pendaratan dan penyerangan Gallipoli di Dardanella waktu Perang Dunia
Pertama yang menewaskan hampir seperempat juta nyawa prajurit. Churchill sangat
menentang kemerdekaan India ketika masih dijajah Inggris. Namun berkat perang
melawan Hitler bersama sekutu abadi, Amerika, membuat nama Churchill melambung
tinggi, hingga tulisan itu diganjar Hadiah Nobel Sastra.
***
Pada akhirnya
saya perlu angkat topi dan menyampaikan salut kepada Dr. Wannofri Samry,
M.Hum., Drs. Dasril Ahmad, Yurnaldi, Syarifuddin Arifin, Yulfian Azrial, Eddie
M.N.S. Soemanto, dan Saudara-saudara yang sudah memungkinkan peristiwa Silaturahmi Sastrawan Sumatera Barat 2015
ini terselenggara. (Iven ini konon sudah dirancang sejak 2012, 2013 yang lalu.)
Lalu, mungkinkah iven seperti ini diselenggarakan secara berkala? Tidak usah
terlalu formal dan kaku, apa mungkin panitia mengakomodasi sebagian keperluan
sastrawan daerah ini yang sudah sejak lama jalan sendiri-sendiri? Mungkinkah
kepada sastrawan diberikan kesempatan berbuat dan menulis secara kreatif tanpa
terbebani oleh keperluan rutin yang sering membebani? Mungkinkah karya-karya
mereka diterbitkan dalam bentuk buku? Apa tidak perlu sastrawan berprestasi diberi
penghargaan? Dan, pada masa datang apakah ada donatur, maesenas sastra, seperti
pada saat ini diberikan oleh Emma Yohanna. Dulu, di Kota Padang, ada maesenas
sastra Roestam Anwar, Boestami. H. Basril Djabar, kini, masih tidak berpikir
lama untuk membantu aktivitas sastra. Lalu tahun-tahun mendatang, siapa?
Adakah suara
ini didengar oleh Pemerintah Daerah Kota, Kabupaten, Provinsi dan Republik
Indonesia?
Terima kasih.
Padang, 17 Agustus 2015
Disampaikan dalam Silaturahmi Sastrawan Sumatera Barat, Sabtu 22 Agustus 2015,
di Hotel Basko Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar