OLEH Sastri Sunarti (Peneliti
Sastra Pusat Bahasa)
Abrar
Yusra, Tanah Ombak, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Cetakan Pertama, April 2002
Kita
mengenal beberapa nama pengarang Indonesia yang memiliki latar belakang sebagai
wartawan yang juga merangkap sebagai penulis prosa atau puisi. Misalnya,
Mochtar Lubis, Harris Effendi Thahar, Veven Sp. Wardhana, dan sederet nama
lainnya yang awalnya adalah seorang jurnalis kemudian menjadi novelis maupun
cerpenis. Abrar Yusra, termasuk salah seorang wartawan yang kemudian juga
tergoda untuk menulis karya sastra berdasarkan pengalaman kewartawanannya.
Novel Tanah Ombak adalah karya novel Abrar
yang pertama yang pernah diterbitkan. Novel ini menggambarkan hubungan
“istimewa” antara Abim seorang wartawan dengan seorang hostes yang bekerja di
sebuah nite club. Awalnya kehadiran Abim ke nite club itu semata-mata untuk
memenuhi rasa ingin tahunya mengenai kehidupan malam di kotanya. Dari rasa
ingin tahu tersebut, mulai tumbuh semacam empati terhadap salah seorang hostes
di nite club itu yang bernama Yasmi.
Novel ini
dapat dianggap sebagai potret buram kota Padang ketika pengarang membawa kita
menelusuri lorong-lorong berliku dan kumuh yang menggambarkan lingkungan tempat
tinggal tokoh Yasmi. Keingintahuan Abim yang besar terhadap Yasmi menyeretnya
mengunjungi tempat tinggal perempuan itu. Slogan Padang sebagai kota yang
bersih, rapi, dan pernah memenangkan hadiah Adipura beberapa kali tidak
terbayang sedikitpun saat Abrar menggambarkan lingkungan tempat tinggal tokoh
Yasmi. Di sinilah letak kepiawaian seorang Abrar yang memiliki pengetahuan dan
naluri sebagai jurnalis ketika mendeskripsikan tempat tinggal tokoh Yasmi.
Sebagai contoh dapat kita baca dalam kutipan novel berikut ini.
“Aku
menoleh ke kanan. Kulihat di bawah cuaca lindap perkampungan reyot di tanah
miring sepanjang pantai: 15 sampai 50 meter dari gundukan pasir pantai tempatku
berdiri, dimulai dari bagian terendah, seolah lebih rendah dari laut! Bagian
kerendahan itu becek-becek, mungkin karena bekas air hujan atau air comberan!
Perkampungan itu seolah tak ada hubungannya sama sekali dengan laut di
sebelahnya!...
Yang
kulihat adalah tumpukan pondok-pondok tak beraturan. Pondok kayu atau pondok
bambu tanpa fondasi dengan jendela-jendela kecil gelap. Hanya pondok-pondok
darurat beratap rumbia. Dindingnya anyaman bambu campur papan tripleks atau
papan tong yang tak dipakai lagi!”
Bagi
masyarakat Minang yang sangat membanggakan adagium adatnya yang terkenal adat
bersendi sarak, sarak bersendikan kitabullah adalah sangat sulit untuk menerima
bahwa pelacuran memang sudah menjadi fenomena di kota mereka. Sulit bagi saya
untuk melepaskan dari pikiran agar tidak memandang masalah yang disampaikan
oleh pengarang sebagai realitas yang sesungguhnya terjadi di kota Padang.
Kesulitan untuk membedakan antara realitas dan fiksi dalam novel ini disebabkan
oleh sikap Abrar yang terlampau setia menyalin potret sosial yang dijadikannya
sebagai sumber gagasan penulisan novel ini. Selain itu, jarak kultural yang
sangat dekat antara Abrar dengan objek yang dikajinya dapat juga menjadi salah
satu penghalang dalam mengembangkan tulisannya.
Namun,
Abrar dapat dinilai telah berhasil mendobrak kekakuan tema-tema penulis prosa
dari Sumatera Barat. Saat sebagian pengarang Sumatera Barat masih terpaku dalam
menampilkan tema kovensional seperti pergolakan dalam adat dan agama maka Abrar
telah berbicara mengenai isu-isu masa kini yang masih menjadi perdebatan dalam
masyarakatnya.
Suka atau
tidak suka, Abrar sesungguhnya telah mengajari penikmat karyanya terutama
pembaca yang berasal dari kultur budaya yang sama dengan cerita novel ini untuk
berani mengungkapkan kejujuran. Kejujuran untuk mengakui bahwa sesungguhnya
kehidupan malam memang ada di tengah masyarakat kota Padang. Meskipun
masyarakat yang diwakili oleh pemda setempat masih menyangkal tidak adanya
pelacur yang berasal dari daerah mereka. Untuk itu, penyelidikannya terhadap
Yasmi dan Masna, Tante Upita dan nite clubnya adalah fenomena yang sulit
diingkari oleh masyarakat kota itu.
Keputusan
Yasmi dan Masna untuk memilih melacur sebagai pekerjaan satu-satunya yang dapat
mereka lakukan untuk mengatasi beban hidup, adalah alasan klise yang sering
kita dengar. Tetapi se-klise apapun alasan yang dimiliki oleh kedua perempuan
itu, itulah kenyataan yang harus diterima. Demikianlah sikap yang hendak
disampaikan oleh Abrar saat menggambarkan betapa kuatnya alasan kedua perempuan
itu saat memilih pekerjaan menjadi pelacur. Misalnya, Yasmi yang terpaksa
melacur setelah rumah tangganya berantakan. Ia menikah saat usianya masih empat
belas tahun dengan seorang lelaki yang juga masih sangat muda dan bekerja
sebagai pedagang kecil. Kebahagiannya sebagai ibu muda hancur dalam sekejap
setelah ayahnya meninggal secara mendadak akibat kecelakaan. Lalu ia juga harus
menjanda secara tiba-tiba karena suaminya meninggalkannya begitu saja dan
membawa kabur semua emas simpanan mereka. Ketika bertemu dengan Abim, Yasmi
adalah kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas delapan nyawa
keluarganya. Seorang ibu yang sudah tua, seorang adik yang manja, dan ditambah
enam anak yang senantiasa kelaparan. Meskipun melacur hanya sekedar untuk
bertahan hidup yang jauh dari layak.
Dan Abim,
sang wartawan idealis tetapi naif dan miskin berusaha menunjukkan sikap
keberpihakannya kepada Yasmi dan Masna. Akhirnya juga harus menerima kenyataan
bahwa ia memiliki kemampuan yang sangat terbatas sekali untuk mengeluarkan
Yasmi dan Masna dari kehidupan kelam mereka. Keinginannya untuk menolong Yasmi
dan keluarganya pada suatu malam dari amukan badai dan banjir yang melanda
perkampungan kumuh tempat Yasmi tinggal, berakhir dengan terkaparnya dirinya di
sebuah rumah sakit karena dipukul oleh pacar Yasmi yang cemburu melihat
kehadiran Abim dalam kehidupan Yasmi.
Akhirnya,
novel setebal 318 halaman ini sangat layak untuk dibaca dan dapat dijadikan
sebagai informasi sosiologis mengenai refleksi sosial kota Padang pada suatu
masa. Meskipun rasanya terlambat bagi seorang Abrar untuk mulai menjadi seorang
penulis novel; saat penulis-penulis muda dari Sumatera Barat sudah menunjukan
identitas mereka sebagai penulis yang kuat. Lepas dari itu semua, buku ini
tetap memiliki kelebihan yang terlihat dari kematangan gagasan dan kelancaran
cara bertutur seorang jurnalis yang jernih dalam menggambarkan suasana dari
objek yang diceritakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar