Mantagibaru.com—Stan seluas dua ribu
meter persegi di Frankfurt Book Fair 2015 bakal menjadi wadah Indonesia
menampilkan segala imajinasinya. Tahun ini Indonesia menjadi tamu kehormatan
dalam ajang festival buku terbesar dunia itu.
Ratusan
buku bakal dipamerkan. Puluhan penulis didatangkan. Sajian-sajian kuliner lezat
dihidangkan. Keberagaman Indonesia dinomorsatukan. Persis seperti tema Komite
Nasional, "17.000 Islands of Imagination".
Keberagaman
itu pula yang digarisbawahi Ronny Agustinus dari penerbit Marjin Kiri, yang
ikut berangkat memamerkan buku-bukunya ke Frankfurt Book Fair 2015. Perdebatan
soal siapa yang berangkat dan tidak, atau tema utama bayangan, menurutnya lebih
baik tidak dilanjutkan.
Dalam
tulisannya di dinding Facebook, Kamis (2/7/2015) Ronny mengutip Paulo Coelho
yang pernah protes sampai tak berangkat ke Frankfurt saat Brasil menjadi tamu
kehormatan pada 2013. Alasannya waktu itu, ada beberapa penulis muda yang
menurutnya layak tapi tak diberangkatkan.
"Ini
menunjukkan bahwa medan sastra di mana pun ya selalu memiliki pihak-pihak yang
dominan atau berusaha mendominasi, yang kemudian dikritik oleh generasi yang
lebih baru dan lebih segar. Jelas tidak ada yang salah dengan kritik-kritik
ini," tulisnya.
Diwawancara
CNN Indonesia pagi tadi, Ronny tidak mau berkomentar banyak soal kisruh
Frankfurt Book Fair 2015. Ia hanya menekankan pentingnya merepresentasikan
wajah sastra Indonesia secara utuh sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book
Fair tahun ini.
"Tema
keberagaman yang luar biasa itu harus mewakili semuanya, meskipun susah karena
banyak problem yang mengakar," kata Ronny.
Salah
satu masalah adalah soal database penulis. Indonesia belum punya data pasti
semua buku yang terbit, baik melalui penerbit besar maupun terbit secara
independen. "Kita juga jarang tahu penulis dari Indonesia Timur, seperti
Papua. Itu harus dihadirkan," ujarnya.
Selain
daerah, genre juga harus representatif, kata Ronny. Meskipun lagi-lagi,
kenyataannya susah. "Seperti ada tuntutan pembaca (Jerman) lebih fokus ke
sastra. Jadi sastra mendapat porsi khusus. Tapi masih banyak lagi kok yang bisa
kita tampilkan," kata Ronny melanjutkan.
Mengapa
penting?
Intinya,
kalau bisa Indonesia menyuguhkan semua yang dimiliki. Sebab Ronny sendiri sudah
merasakan pentingnya berangkat ke Frankfurt. Tahun lalu Marjin Kiri ikut
memamerkan buku-bukunya di sana. "Hadir di sana membawa exposure besar
secara internasional," ujarnya.
"Boleh
bilang ini enggak penting. Kehadiran kita di sana tidak akan langsung
membereskan masalah internal perbukuan. Tapi kita jadi punya jaringan
internasional," lanjut Ronny.
Selama
ini antara penerbit dalam negeri dengan asing, yang bisa memasarkan karya-karya
penulis Indonesia lebih luas ke luar, hanya saling kontak melalui surat
elektronik atau paling banter telepon. Dengan bertemu muka, jaringan yang
terjalin jadi lebih erat.
"Ada
kepercayaan lebih yang terbangun."
Tahun
ini, Marjin Kiri menyiapkan beberapa buku unggulan. Namun belum ada yang
diterjemahkan. Tidak seperti penulis yang syaratnya harus ada karya yang
diterjemahkan, penerbit justru membawa karya unggulan yang belum diterjemahkan
agar mendapat respons.
"Kita
justru mencari jaringan ke sana. Buku yang dipamerkan dan dibawa penerbit untuk
berdagang hak cipta itu beda," ujarnya.
Ronny
menjelaskan, untuk buku-buku yang dibawa penerbit pun tidak ada seleksi dari
Komite Nasional, khususnya Komite Buku. Hanya penerbitnya yang diseleksi. Soal
pemilihan buku, diserahkan ke pertimbangan internal. "Tapi temanya akan
beragam dengan sendirinya."
Ronny
membenarkan Marjin Kiri punya "selera" buku yang berbeda. Namun,
tidak semua yang ia bawa adalah tentang komunisme atau peristiwa 1965.
Meskipun, ia tahu memang ada peminat khusus untuk tema-tema seperti itu.
"Di
Jerman itu kan ada lingkungan eksil 1965. Tentu mereka tertarik membahas itu.
Tapi tidak bisa dibilang juga itu yang paling diminati," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar