OLEH
Goenawan Mohamad
Di
tahun 2015 ini, Indonesia jadi Ehrengast, atau The Guest of Honour, atau Tamu
Kehormatan, dalam Frankfurt Book Fair (FBF) 2015. Sejak awal tahun ini pula,
saya ditunjuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan sebagai Ketua
Komite Nasional Pelaksana perhelatan itu.
Saya
ingin menggunakan ruangan ini untuk menjelaskan beberapa hal yang dibicarakan
dengan ramai, kadang sengit, dalam Facebook, tentang beberapa hal yang
menyangkut hal ini.
Ada
teman yang mengesankan ke publik, malah cenderung menuduh, bahwa Komite
Nasional telah menjadikan Perisiwa 1965 itu tema pokok kehadiran sastra
Indonesia di Frankfurt nanti. Dengan itu, dua sastrawan, Laksmi Pamuntjak
(penulis novel "Amba") dan Leila S. Chudori ("Pulang") akan
ditampilkan sebagai "pelopor" mengungkap 1965.
Dugaan
itu jauh panggang dari api.
Ketika
dalam konferensi pers dengan media Jerman di Frankfurt 23 Juni yang lalu ada
wartawan Jerman yang bertanya, apa kiranya tema utama sastra Indonesia sekarang—apakah
itu menengok kembali sejarah yang dibungkam—saya menjawab: ada 40 ribu buku terbit
tahun lalu di Indonesia, rasanya tak bisa dikatakan ada satu tema pokok.
Bahwa
"Amba" dan "Pulang" menonjol, itu karena dua hal.
Pertama,
buku Indonesia memang tidak banyak, dan Indonesia mungkin "Guest of
Honour" yang paling kurus; kita tak punya novel sebanyak India, Brazil,
atau RRT. Apalagi Jepang... Persiapan Indonesia juga sangat mepet waktunya,
hingga makin terbatas kemungkinan memperluas kerja penerjemahan. Kesepakatan
resmi Pemerintah Indonesia untuk jadi Tamu Kehormatan baru dinyatakan di tahun
2013. Kita cuma punya waktu sekitar dua tahun. Sebagai perbandingan, Tamu
Kehormatan di FBF tahun lalu, Finlandia, menyiapkan diri selama enam tahun.
Tentu
kami bersyukur, kerja siang malam, persiapan sejauh ini sudah mencapai 85%. Ada
lebih 200 jilid buku yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Jerman dan
bahasa lain yang akan dipajang di FBF 2015. "Pulang" dan
"Amba" hanya dua di antaranya. Ada karya Eka Kurniawan, Andrea
Hirata, Dee, Ahmad Tohari, Ahmad Fuadi, Oky Madasari, Ayu Utami, dan juga buku
anak-anak, buku kuliner, buku perjalanan, dan lain-lain.
Mengapa
Laksmi lebih tampak menonjol kali ini -- setelah Oktober tahun 2014, yang
menonjol adalah Dee (Dewi Lestari) dan Januari 2015 Ayu Utami dan Afrizal
Malna?
"Amba"
(versi Jermannya "Alle Farben Rot") ditemukan dan dibeli hak ciptanya
oleh Penerbit Ulstein Verlag melalui Borobudur Literary Agency di tahun 2013,
dua tahun sebelum Komite Nasional yang sekarang dibentuk. Ancang-ancangnya
sudah lebih lama.
Di
saming itu, Ulstein Verlag penerbit yang punya dana promosi yang besar. Usaha
publisitasnya gencar. Waktu Indonesia hadir dalam Leipzig Book Fair, Mei yang
lalu, Laksmi lebih sering muncul karena acara yang diselenggarakan Penerbit
Ulstein ketimbang dalam acara di stand Indonesia.
Kedua,
soal 1965 sedang menarik perhatian di Frankfurt. Film Joshua Oppenheimer
diputar di dalam Museum Fillm Jerman, dan Joshua Oppenheimer hadir, dan ia tak
sendiri. Tokoh utama film dokumenter itu, Adi, juga muncul. Sebuah diskusi yang
hangat dilaksanakan di museum itu. Di kota Koln, sementara itu, diluncurkan
buku yang disusun Annet Keller dari karya orang Indonesia, tentang kekejaman
terhadap pendukung PKI.
Memang
2015 adalah "ulang tahun" ke-50 "G-30-S". Dan orang Jerman—dengan
masa lalu mereka, terutama di bawah Nazi—suka mengungkit tentang "masa
lalu" yang dihapuskan. Di sana buku-buku sastra, menurut seorang wartawan
Jerman kepada seorang teman Indonesia, sedang ramai mengungkapkan kembali
sejarah ketika "Holocaust" terjadi.
Maka
mereka tertarik kepada buku seperti "Pulang" dan "Amba".
Buku,
bukan pengarangnya.
Yang
tampaknya dilupakan : Frankfurt Book Fair ini bukan festival sastrawan seperti
Ubud atau Winternachten. Dalam FBF, yang jadi tamu utama adalah buku.
"Fair": tempat jual beli, dalam hal ini jual beli hak cipta. Yang
datang kebanyakan penerbit, pedagang buku, produser film, dsb. Maka selama
bertahun-tahun Indonesia hadir di sana (bukan sebagai tamu kehormatan,
melainkan sebagai peserta biasa), yang menggerakkan adalah IKAPI, ikatan
penerbit.
Untuk
itu, Komite Nasional pun menyeleksi "karya", atau "buku",
bukan "pengarang", dengan pilihan dilakukan para kurator dari luar
Komite, pakar dari universitas-universitas. Bila pengarang hadir, ia mengikuti
buku yang dipilih.
Tak
mengherankan bila pengarang yang diundang terutama adalah pengarang yang sudah
punya buku—dan buku itu harus yang sudah diterjemahkan hingga bisa dibaca dan
dipilih.
Dalam
"fair", atau "pekan raya", pertimbangan komersial penting.
Buku puisi, esei dan lakon tidak laku untuk dibeli hak ciptanya. Novel biasanya
yang dicari. Lakon saya, misalnnya, sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris
dan Jerman; tak ada penerbit yang mau memungutnya. Buku puisi saya, "Don
Quixote" yang sudah diterjemahkan atas inisiatif penerjemahnya sendiri, baru
bulan lalu dapat penerbit -- sebuah penerbit kecil, milik orang keturunan Iran.
"Tuhan dan Hal-Hal yang Selesai" juga hampir tak punya penerbit,
sampai datang RegioSpectra, yang didirikan seorang perempuan lulusan studi
Indonesia di Pasau. Kedua penerbit itu tak akan mampu membuat promosi segencar
Ulstein Verlag, penerbit novel "Alles Farben Rot".
Untuk
mengatasi kekurangan yang terjadi Komite menampung inisiatif John MacGlynn,
dari Yayasan Lontar, Sejak 2013 John MacGlynn mengantisipasi problem itu dengan
menerjemahkan dan menerbitkan dalam bentuk buku-buku kecil karya sastrawan
Indonesia yang belum punya novel, sekitar 24 buah, dalam terjemahan Inggris.
Termasuk karya A.S. Laksana.
Buku-buku
Ini yang ditawarkan ke penerbit Jerman. Sekarang baru satu yang dibeli: buku
Linda Christanty, "Jangan Panggil Kami Teroris". Maka Linda
diwawancara sejumlah wartawan Jerman yang baru-baru ini berkunjung ke
Indonesia. Dalam salah satu kegiatan FBF 2015 pula, Linda juga akan hadir dalam
satu diskusi panel bersama seorang sarjana Jerman, Gunnar Stange, di Frankfurt
Book Fair 13-18 Oktober nanti.
Tapi
tak hanya Linda. Komite sedang menyiapkan diri untuk mengundang sekitar 65
pengarang dan aktivis perbukuan ke Frankfurt. Atas biaya negara. Mudah-mudahan
anggarannya aman. Tidak dipotong, lancar...
Ya,
hambatan besar dalam mengerjakan proyek nasional ini ialah aturan birokratis
dalam mencairkan anggaran. Terutama di bagian penerjemahan. Para pejabat
mengatakan hendak sangat berhati-hati, tak mau melanggaran prosedur. Mereka tak
mau dikriminalkan.
Komite
Nasional maklum -- meskipun senantiasa waswas, bila kerja yang kompleks ini
terjepit waktu yang tak mengenal ampun.***
Diambil dari akun Facebook Goenawan Mohamad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar