Minggu, 05 Juli 2015

Sedikit Tentang Frankfurt Book Fair 2015

OLEH Goenawan Mohamad

Di tahun 2015 ini, Indonesia jadi Ehrengast, atau The Guest of Honour, atau Tamu Kehormatan, dalam Frankfurt Book Fair (FBF) 2015. Sejak awal tahun ini pula, saya ditunjuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan sebagai Ketua Komite Nasional Pelaksana perhelatan itu.

Saya ingin menggunakan ruangan ini untuk menjelaskan beberapa hal yang dibicarakan dengan ramai, kadang sengit, dalam Facebook, tentang beberapa hal yang menyangkut hal ini.
Ada teman yang mengesankan ke publik, malah cenderung menuduh, bahwa Komite Nasional telah menjadikan Perisiwa 1965 itu tema pokok kehadiran sastra Indonesia di Frankfurt nanti. Dengan itu, dua sastrawan, Laksmi Pamuntjak (penulis novel "Amba") dan Leila S. Chudori ("Pulang") akan ditampilkan sebagai "pelopor" mengungkap 1965.

Dugaan itu jauh panggang dari api.

Ketika dalam konferensi pers dengan media Jerman di Frankfurt 23 Juni yang lalu ada wartawan Jerman yang bertanya, apa kiranya tema utama sastra Indonesia sekarang—apakah itu menengok kembali sejarah yang dibungkam—saya menjawab: ada 40 ribu buku terbit tahun lalu di Indonesia, rasanya tak bisa dikatakan ada satu tema pokok.

Bahwa "Amba" dan "Pulang" menonjol, itu karena dua hal.

Pertama, buku Indonesia memang tidak banyak, dan Indonesia mungkin "Guest of Honour" yang paling kurus; kita tak punya novel sebanyak India, Brazil, atau RRT. Apalagi Jepang... Persiapan Indonesia juga sangat mepet waktunya, hingga makin terbatas kemungkinan memperluas kerja penerjemahan. Kesepakatan resmi Pemerintah Indonesia untuk jadi Tamu Kehormatan baru dinyatakan di tahun 2013. Kita cuma punya waktu sekitar dua tahun. Sebagai perbandingan, Tamu Kehormatan di FBF tahun lalu, Finlandia, menyiapkan diri selama enam tahun.

Tentu kami bersyukur, kerja siang malam, persiapan sejauh ini sudah mencapai 85%. Ada lebih 200 jilid buku yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Jerman dan bahasa lain yang akan dipajang di FBF 2015. "Pulang" dan "Amba" hanya dua di antaranya. Ada karya Eka Kurniawan, Andrea Hirata, Dee, Ahmad Tohari, Ahmad Fuadi, Oky Madasari, Ayu Utami, dan juga buku anak-anak, buku kuliner, buku perjalanan, dan lain-lain.

Mengapa Laksmi lebih tampak menonjol kali ini -- setelah Oktober tahun 2014, yang menonjol adalah Dee (Dewi Lestari) dan Januari 2015 Ayu Utami dan Afrizal Malna?

"Amba" (versi Jermannya "Alle Farben Rot") ditemukan dan dibeli hak ciptanya oleh Penerbit Ulstein Verlag melalui Borobudur Literary Agency di tahun 2013, dua tahun sebelum Komite Nasional yang sekarang dibentuk. Ancang-ancangnya sudah lebih lama.

Di saming itu, Ulstein Verlag penerbit yang punya dana promosi yang besar. Usaha publisitasnya gencar. Waktu Indonesia hadir dalam Leipzig Book Fair, Mei yang lalu, Laksmi lebih sering muncul karena acara yang diselenggarakan Penerbit Ulstein ketimbang dalam acara di stand Indonesia.

Kedua, soal 1965 sedang menarik perhatian di Frankfurt. Film Joshua Oppenheimer diputar di dalam Museum Fillm Jerman, dan Joshua Oppenheimer hadir, dan ia tak sendiri. Tokoh utama film dokumenter itu, Adi, juga muncul. Sebuah diskusi yang hangat dilaksanakan di museum itu. Di kota Koln, sementara itu, diluncurkan buku yang disusun Annet Keller dari karya orang Indonesia, tentang kekejaman terhadap pendukung PKI.

Memang 2015 adalah "ulang tahun" ke-50 "G-30-S". Dan orang Jerman—dengan masa lalu mereka, terutama di bawah Nazi—suka mengungkit tentang "masa lalu" yang dihapuskan. Di sana buku-buku sastra, menurut seorang wartawan Jerman kepada seorang teman Indonesia, sedang ramai mengungkapkan kembali sejarah ketika "Holocaust" terjadi.

Maka mereka tertarik kepada buku seperti "Pulang" dan "Amba".

Buku, bukan pengarangnya.

Yang tampaknya dilupakan : Frankfurt Book Fair ini bukan festival sastrawan seperti Ubud atau Winternachten. Dalam FBF, yang jadi tamu utama adalah buku. "Fair": tempat jual beli, dalam hal ini jual beli hak cipta. Yang datang kebanyakan penerbit, pedagang buku, produser film, dsb. Maka selama bertahun-tahun Indonesia hadir di sana (bukan sebagai tamu kehormatan, melainkan sebagai peserta biasa), yang menggerakkan adalah IKAPI, ikatan penerbit.

Untuk itu, Komite Nasional pun menyeleksi "karya", atau "buku", bukan "pengarang", dengan pilihan dilakukan para kurator dari luar Komite, pakar dari universitas-universitas. Bila pengarang hadir, ia mengikuti buku yang dipilih.

Tak mengherankan bila pengarang yang diundang terutama adalah pengarang yang sudah punya buku—dan buku itu harus yang sudah diterjemahkan hingga bisa dibaca dan dipilih.

Dalam "fair", atau "pekan raya", pertimbangan komersial penting. Buku puisi, esei dan lakon tidak laku untuk dibeli hak ciptanya. Novel biasanya yang dicari. Lakon saya, misalnnya, sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan Jerman; tak ada penerbit yang mau memungutnya. Buku puisi saya, "Don Quixote" yang sudah diterjemahkan atas inisiatif penerjemahnya sendiri, baru bulan lalu dapat penerbit -- sebuah penerbit kecil, milik orang keturunan Iran. "Tuhan dan Hal-Hal yang Selesai" juga hampir tak punya penerbit, sampai datang RegioSpectra, yang didirikan seorang perempuan lulusan studi Indonesia di Pasau. Kedua penerbit itu tak akan mampu membuat promosi segencar Ulstein Verlag, penerbit novel "Alles Farben Rot".

Untuk mengatasi kekurangan yang terjadi Komite menampung inisiatif John MacGlynn, dari Yayasan Lontar, Sejak 2013 John MacGlynn mengantisipasi problem itu dengan menerjemahkan dan menerbitkan dalam bentuk buku-buku kecil karya sastrawan Indonesia yang belum punya novel, sekitar 24 buah, dalam terjemahan Inggris. Termasuk karya A.S. Laksana.

Buku-buku Ini yang ditawarkan ke penerbit Jerman. Sekarang baru satu yang dibeli: buku Linda Christanty, "Jangan Panggil Kami Teroris". Maka Linda diwawancara sejumlah wartawan Jerman yang baru-baru ini berkunjung ke Indonesia. Dalam salah satu kegiatan FBF 2015 pula, Linda juga akan hadir dalam satu diskusi panel bersama seorang sarjana Jerman, Gunnar Stange, di Frankfurt Book Fair 13-18 Oktober nanti.

Tapi tak hanya Linda. Komite sedang menyiapkan diri untuk mengundang sekitar 65 pengarang dan aktivis perbukuan ke Frankfurt. Atas biaya negara. Mudah-mudahan anggarannya aman. Tidak dipotong, lancar...

Ya, hambatan besar dalam mengerjakan proyek nasional ini ialah aturan birokratis dalam mencairkan anggaran. Terutama di bagian penerjemahan. Para pejabat mengatakan hendak sangat berhati-hati, tak mau melanggaran prosedur. Mereka tak mau dikriminalkan.


Komite Nasional maklum -- meskipun senantiasa waswas, bila kerja yang kompleks ini terjepit waktu yang tak mengenal ampun.***

Diambil dari akun Facebook Goenawan Mohamad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...