Minggu, 05 Juli 2015

Pertukaran Sastra Antara Indonesia dan Jerman

OLEH Berthold Damshauser

Berthold Damshauser
Pendahuluan

Tema “Pertukaran Sastra” sebenarnya sebuah tema yang klasik, telah banyak dibicarakan, termasuk oleh saya sendiri[1]. Namun, tema ini tetap relevan, dan saya berharap bahwa saya dapat menyampaikan berbagai hal yang penting, terutama mengenai pertukaran sastra antara Indonesia dan Jerman yang merupakan fokus makalah ini.
Sebelum membicarakan hubungan kesastraan antara kedua negara itu, saya (dalam bab 1 dan 2) akan menyampaikan beberapa pikiran umum, yakni tentang peranan teks sebagai dasar utama dalam pertukaran budaya serta peranan khusus dari teks susastra.

Arti kata “pertukaran” adalah perbuatan bertukar, bertukar-tukaran atau mempertukarkan. Proses itu paling sedikit memerlukan dua pihak, para penukar, yang bertindak atas dasar kesalingan atau timbal balik. Kedua penukar itu seharusnya berada pada posisi yang sama. Dalam kaitan dengan pertukaran budaya, khususnya di bidang sastra, saya akan menimbulkan pertanyaan mengenai apakah Indonesia dan Jerman berada pada posisi yang sama, dan - jika tidak - apa yang kiranya merupakan penyebabnya.

Untuk itu, saya (dalam bab 4) akan membandingkan perananan negara Jerman dengan peranan negara Indonesia sebagai pendukung pertukaran budaya. Dalam bab 5 saya akan mencatat berbagai masalah dalam upaya penyebaran sastra Indonesia di Jerman, yang didasarkan kepada pengalaman saya yang sejak bertahun-tahun berupaya memperkenalkan sastra Indonesia di tanah air saya.

Akhirnya (dalam bab 6), saya akan berbicara tentang sebuah peluang besar bagi penyebaran sastra Indonesia di Jerman, yakni Pameran Buku Frankfurt pada tahun 2015. Saya akan juga menyebutkan berbagai syarat yang harus dipenuhi pihak Indonesia supaya peluang itu dapat dimanfaatkan secara optimal. Dalam kaitan itu saya akan membicarakan masalah yang terdapat di bidang penerjemahan karya sastra Indonesia ke bahasa asing, khususnya ke bahasa Jerman.

Teks sebagai Dasar Utama dalam Pertukaran Budaya

Istilah “teks” di sini saya gunakan dalam arti konvensional, yakni teks tertulis. Saya ingin membicarakan teks non-sastra dulu, ingin menekankan bahwa teks –pada dirinya sendiri ­memiliki kekuatan yang luar biasa, yang dahsyat, termasuk – dan khususnya- di bidang pertukaran budaya.

Memang, perlu diakui bahwa dalam sejarah manusia pertukaran budaya sempat dilangsungkan tanpa teks. Itu terjadi di zaman niraksara. Namun, sejak ditemukannya aksara, pertukaran budaya semakin intensif, semakin cepat. Mengapa? Karena teks adalah alat yang paling efektif untuk menyampaikan ide, termasuk ide yang kompleks dan terlalu sulit untuk disampaikan secara lisan. Pertukaran budaya sebenarnya pertukaran ide! Perlu diakui juga, bahwa dalam perkembangan budaya ke arah lebih maju, bukanlah pertukaran yang selalu terjadi. Yang sering terjadi justru penyebaran ide dari kawasan maju ke kawasan yang kurang maju, dengan kata lain atas dasar pengaruh budaya maju terhadap budaya lain. Namun, kenyataan ini tidak mengurangi peranan teks.

Contoh tentang perkembangan budaya melalui pengaruh dari luar ataupun pertukaran sejati tak terhitung. Bangsa dan budaya Romawi tidak mungkin berkembang ke arah kemajuan andai tidak dipengaruhi budaya Yunani. Orang Jerman telah belajar dari orang Romawi, orang Eropa telah belajar dari orang Islam, orang Mongol telah belajar dari orang Cina, orang Indonesia telah belajar dari orang India etc. etc.. Mereka semua membuka diri terhadap ide baru, yang -terutamanya-mereka terima melalui teks. Demikian yang telah terjadi dan yang masih akan terjadi metalui karya-karya filsafat, kitab keagamaam, teks mitologis, dan buku-buku sains. Senantiasa teks yang menjadi alat utama untuk mentransfer “kebaruan” ke tubuh sebuah budaya.

Hal ini juga sangat kentara di bidang penyebaran agama modern, misalnya agama Islam dan agama Nasrani. Penyebaran kedua agama tersebut mustahil terjadi tanpa teks. Teks merupakan inti kedua agama itu, Tuhan sendiri yang berbicara melalui teks (Al Quran dan Bibel. Tak mengherankan bila kedua agama itu disebut “agama kitab”, dengan kata lain: “agama teks”. Sampai tingkat tertentu, penyebaran agama Hindu tak berbeda. Di situ pun teks memainkan peranan menentukan, misalnya epos Mahabharata dan Ramayana sebagai wadah kepercayaan dan filosofi Hindu.

Adalah menarik, bahwa belakangan ini timbul suara yang agak pesimis mengenai peranan teks dalam pengembangan dan pertukaran budaya. Suara-suara ini bertolak dari filosof Perancis dan pendiri sosiologi Auguste Comte (1798-1857) yang pada abad ke-19 (!) menyebutkan teks sebagai spesies yang mulai mati. Bagi Comte era teks mulai diganti oleh era poster. Menurutnya, manusia masa depan hanya dapat “digerakkan” melalui gambar. Melihat gejala zaman sekarang yang memang sangat didominasi aspek-aspek visual, suara-suara pesismis itu menyimpulkan bahwa ramalan Comte sudah menjadi kenyataan. Kiranya, tak dapat dinafikan bahwa manusia zaman sekarang, terutama generasi muda, menjauh dari teks atau keberaksaraan. Saya sendiri menyaksikannya di negeri saya. Kemampuan berbahasa di Jerman menurun drastis, juga minat baca. Bahkan, banyak mahasiswa yang tidak sanggup lagi menyusun teks yang memadai, baik dari segi tata bahasa maupun logika.

Walaupun demikian, saya yakin bahwa teks tetap merupakan alat terpenting dalam pengembangan, juga pertukaran budaya. Yang saya maksudkan tentu teks yang bermutu, sarat ide, dan ditulis dengan gaya bahasa yang baik. Saya tidak berbicara tentang teks iklan atau sms. Namun, kita semua -terutama pencinta bahasa- mesti waspada. Posisi teks mulai terancam. Maka, kita terpanggil membela teks, membela keberaksaraan, membela buku, membela budaya baca. Hal ini penting agar ide besar dan gagasan baru masih memiliki wadah yang memadai dan agar penyebaran dan pertukaran budaya masih terlaksana secara berbobot.

Peranan Susastra

Teks susastra pun memainkan peranan penting dalam proses pertukaran budaya. Kalau kita mengamati teks-teks yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia, justru teks susastra -bahkan yang berunsur puisi- yang paling menonjol. Di bab sebelumnya, saya telah menyebutkan Al Quran dan Bibel, kitab-­kitab paling terkenal di dunia. Dua-duanya dapat dianggap karya susastra yang monumental, tentu bukan dalam anti fiksi, melainkan karena dua-duanya juga merupakan “karya seni bahasa” (dalam bahasa Jerman: sprachliches Kunstwerk). Demikian juga - epos-epos Ramayana atau Mahabharata, epos-­epos Yunani Ilias dan Odysee, atau Tao Te King karya Lao Tse.

Sepertinya, pernah ada zaman di mana hampir semua teks berarti mesti ditulis dengan gaya susastra. Agaknya pada zaman itu, isi mesti disampaikan melalui bentuk yang indah dan berkesenian. Di zaman modern, khususnya di Eropa, tradisi itu melemah. Kebanyakan filosof -Kant, Hegel dll. ­menuliskan pikirannya dengan gaya non-sastra, kering dan tak enak dibaca. Tentu . masih ada kekecualian, misalnya Schopenhauer atau -terutama- Nietzsche. Sempat saya berpikir: andai saja ide dan gagasan Kant disampaikan dengan gaya bahasa seorang Nietzsche, dampak filosofi Kant pasti akan lebih besar lagi.

Teks susastra memang sebuah “produk” yang sangat istimewa. Khususnya puisi, kalau istilah “puisi” kita anggap lawan kata dari “prosa”. Puisi sejati merupakan “karya seni bahasa” yang sesungguhnya. Karena bentuknya, rima dan metrum, ia mengandung unsur musikal, sekaligus memiliki isi, yakni pesan atau makna kata yang (dapat) didasarkan kepada rasio atau nalar. Dengan itu, puisi melebihi musik, juga melebihi seni lukis dan seni rupa.

Maka, sastrawan berhak merasa istimewa. Produk yang ditawarkanyna unik dan dahsyat, dan oleh karena itu tentu saja sangat patut dijadikan bahan penting dalam pertukaran budaya!

Menjawab pertanyaan mengapa pertukaran budaya melalui sastra demikian penting, kita juga bisa bertanya balik: “Terbayangkankah orang akan sanggup memahami budaya asing, jika tidak bersedia membaca karya sastranya?” Bagaimana bisa memahami Jerman jika tidak bersedia membaca drama Faust karya Goethe, atau Demikian Sabda Zarathustra karya Nietzsche. Buku ilmiah yang membicarakan ekonomi atau sejarah Jerman jelas tidak mencukupi. Cukupkah membaca buku ilmiah tentang sejarah Indonesia pasca­kemerdekaan untuk memahami keadaan Indonesia setelah tahun 1945? Bukankah mesti juga membaca novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, misalnya? Dalam karya agung ini, membaca tidak saja akan menemukan fakta atau peristiwa, ia juga dapat menenggelamkan diri ke jiwa dan batin manusia Indonesia, seperti menjadi sebagian dari mereka. Saya senang sekali novel ini kini sudah difilmkan, dan sangat saya harap bahwa mutu film itu tidak kalah terlalu jauh dari bukunya. Tapi andaipun, film itu sangat berhasil, ia tokh cuma pelengkap, mustahil seluas dan sedalam karya tulis asli yang tak bergambar, yang karena itu justru lebih memanggil kita untuk ikut berimajinasi; ikut merasakan setiap segi secara lebih intens.

Bagaimana dengan puisi? Apakah dalam bidang pertukaran budaya juga perlu ada tempat bagi puisi, karya susastra yang tidak jarang terkesan nonkontekstual atau bersifat agak pribadi? Tentu saja puisi perlu dilibatkan dalam pertukaran demikian. Menurut pengalaman saya, puisi justru memainkan peranan yang paling canggih. Ide-ide paling avant garde, paling mutakhir dari sebuah bangsa dapat ditemukan dalam puisi. Kalau mau tahu tentang “semangat”, juga tingkat intelektualitas dan kreativitas sebuah bangsa, saya menyarankan: Bacalah puisi para penyairnya!

Membandingkan Jerman dan Indonesia

Berkah pertukaran budaya telah terbukti dalam sejarah manusia. Bangsa atau budaya yang tidak terlibat akan mengalami stagnasi. Itu terjadi kepada budaya yang terisolasi secara geografis, misalnya budaya aborigines di Australia. Selama puluhan ribu tahun, budaya mereka tidak berubah, tak ada perkembangan. Perihal budaya atau bangsa sebenarnya sama dengan perihal individu. Individu -baik masing-masing maupun sebagai kelompok- semakin maju kalau bertukar kepandaian atau pengetahuan. Sangat sederhana semua itu, sangat masuk akal.

Pertukaran budaya juga sesuatu yang terjadi secara alami, bahkan sulit untuk menghindarinya. Meskipun ada negara yang mau menutup diri terhadap dunia luar, dengan kemodernan alat komunikasi zaman sekarang, selalu akan ada pintu yang tak mungkin tertutup rapat.

Di atas sudah saya sebutkan: Kata “pertukaran” berkonotasikan unsur “timbal-baik”, dan pertukaran budaya mesti diwarnai oleh tindakan “tukar-menukar”, “memberi dan menerima”. Budaya yang percaya diri atau bangsa yang bangga atas kebudayaan sendiri tidak akan puas kalau ia hanya menjadi penerima. Kiranya itulah yang menjadi dasar bagi ide penyebaran budaya. Ide yang baik, juga karena penyebaran budaya mendukung, mempercepat dan meningkatkan proses pertukaran budaya yang telah terbukti membawa banyak keuntungan bagi semua pihak.

Barangkali menarik untuk mengadakan perbandingan singkat mengenai negara Jerman dan Indonesia sebagai pendukung penyebaran budayanya.

Kiranya, tidak mengherankan bahwa Jerman, yang dalam sejarahnya telah membuktikan diri sebagai bangsa yang bangga dan patriotis, merasa punya misi untuk menyebarkan budayanya. Jerman bahkan pernah bertindak secara berlebihan, saat patriotisme menjadi chauvinisme yang agresif. Itu terjadi di zaman kekaisaran dan tentu di zaman Nazi. Saat itu, penyebaran budaya Jerman didasarkan kepada semboyan yang diambil dari sebuah puisi penyair Emanuel Geibel (1815-1884) yang berbunyi: Am deutschen Wesen mag die Welt genesen (Dunia perlu disembuhkan oleh budaya dan mentalitas Jerman). Untungnya, setelah perang dunia kedua, Republik Federal Jerman yang didirikan pada tahun 1949, mengubah cara lama dalam penyebaran budaya Jerman, menggantikannya dengan cara yang rendah hati. Namun, ide dasar tetap berlaku: Jerman tidak akan menunggu sampai bangsa lain menaruh perhatian kepada budaya Jerman. la secara ofensif akan memperkenalkan budayanya di luar negeri. Dengan kata lain: Penyebaran budaya Jerman tidak akan diserahkan kepada pasar!

Untuk itu, Republik Federal Jerman telah mengembangkan sebuah konsep tentang “politik-budaya luar negeri”, di mana politik-budaya (yakni penyebaran bahasa dan budaya Jerman di luar negeri) merupakan salah satu dari tiga pilar politik luar negeri Jerman, di samping pilar “politik keamanan” dan “politik ekonomi”. Lembaga terpenting dalam rangka “politik-budaya luar negeri” itu adalah Goethe-Institut, pusat kebudayaan Jerman yang punya cabang di hampir semua negara, termasuk dua . institut di Indonesia (Jakarta dan Bandung). Goethe-Institut bahkan menganut prinsip yang mengarah ke pertukaran budaya yang sejati, merasa wajib bertindak sesuai dengan semboyan Kultur ist keine Einbahnstra?e (Budaya Bukan Jalan Satu Arah), dan karena itu juga bersedia mendukung upaya penyebaran budaya Indonesia di Jerman.

Negara Indonesia bagaimana? Saya kira, kita semua tahu jawabannya. Dibandingkan dengan upaya negara Jerman dalam rangka pertukaran dan penyebaran budaya, Indonesia belum berbuat banyak. Kiranya, belum ada konsep matang mengenai “politik-budaya luar negeri”, apalagi strategi dan tindakan terfokus untuk menyebarkan budaya Indonesia. Pusat Budaya Indonesia di luar negeri paling segelintir (sejauh saya tahu ada beberapa “embrio” di bawah naungan KBRI setempat), dan jelas tidak setaraf dengan Goethe-Institut yang notabene adalah lembaga yang cukup mandiri, tidak dikelola kaum diplomat, melainkan orang yang ahli di bidang kebudayaan.

Memang harus diakui, ada berbagai upaya negara Indonesia untuk menyebarkan budayanya. Misalnya tarian, musik gamelan, wayang kulit etc.; budaya tradisional dan budaya lisan. Budaya aksara, termasuk kesusastraan Indonesia modern, jarang menjadi fokus, bahkan biasanya dianaktirikan. Barangkali perbandingan antara Jerman dan Indonesia kurang adil. Indonesia sebuah bangsa dan negara yang muda, masih sibuk mengurus pembangunan, masih sibuk memerangi kemiskinan etc., sehingga belum sanggup menyediakan dana besar untuk bidang budaya seperti dilakukan negara Jerman. Namun, untuk masa depan, Indonesia diharap memainkan peranan yang lebih aktif di bidang pertukaran dan penyebaran budaya. Itu juga -dan terutama- tugas negara atau lembaga kenegaraan yang perlu dipenuhi atas dasar kesadaran bahwa Indonesia sebagai bangsa berbudaya berhak dan patut memperkenalkan diri secara ofensif kepada dunia intemasional. Juga atas dasar kesadaran bahwa Indonesia bukan bangsa yang hanya memiliki budaya lisan-tradisonal, melainkan telah berhasil mengembangkan budaya aksara modern, seperti telah lama terbukti melalui Kesusastraan Indonesia Modern.

Sastra Indonesia di Negera-negara Berbahasa Jerman

Di atas, sudah saya sebutkan bahwa penyebaran sastra Indonesia, terutama Sastra Indonesia Modern, sangatlah penting dalam rangka penyebaran budaya Indonesia di luar negeri. Melalui terjemahan dan publikasi karya sastra Indonesia modern akan dapat dibuktikan bahwa Indonesia telah sampai di tingkat keberaksaraan modern. Ini penting untuk menghapuskan klise merugikan yang rata-rata dipegang di luar negeri -termasuk kalangan terdidik- , bahwa budaya Indonesia sesuatu yang kuno atau primitif alias pramodern.

Upaya-upaya penerjemahan dan publikasi tentu harus berfokus kepada bahasa Inggris sebagai bahasa internasional yang paling penting. Patut disyukuri bahwa hal itu sejak puluhan tahun diperjuangkan oleh sebuah lembaga non­pemerintah, yakni Yayasan Lontar. Lembaga nirlaba itu sangat berjasa dalam memainkan peranan yang seharusnya ikut dimainkan oleh negara atau pemerintah, misalnya melalui sebuah “Badan Bahasa dan Sastra” yang juga diberi tugas dan kewenangan untuk menyebarkan bahasa dan sastra Indonesia di luar negeri. Semoga kehadiran Yayasan Lontar dan keberhasilannya tidak membuat pihak negara berpikir, bahwa penyebaran sastra Indonesia sepenuhnya dapat diserahkan dan dikelola lembaga non-pemerintah.

Soalnya, Sastra Indonesia Modern perlu juga disebarkan melalui terjemahan ke bahasa-bahasa lain, dan untuk itu pihak negara Indonesia jangan menunggu sampai ada semacam Yayasan Lontar yang mengurus terjemahan (dan publikasi) ke bahasa Mandarin, bahasa Arab, bahasa Spanyol, bahasa Perancis, bahasa Rusia, bahasa Jepang atau bahasa Jerman. Kalau itu yang ditunggu, maka kedudukan Sastra Indonesia Modern di dunia internasional tidak akan banyak berubah.

Mari kita -sebagai contoh- melihat kedudukan Sastra Indonesia Modern di negara-negara berbahasa Jerman (Austria, Swis, dan Jerman). Secara ringkas dapat dikatakan: Sastra Indonesia Modern hampir sama sekali tidak dikenal. Bukan saja di kalangan umum, yang rata-rata lebih tahu tentang Bali daripada Indonesia, tapi juga di kalangan terdidik, bahkan di masyarakat sastra (sastrawan, kritikus, pembaca sastra). Di kalangan itu pun hampir tiada orang yang pernah mendengar nama Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, atau Ahmad Tohari. Padahal, beberapa novel sastrawan tersebut sudah diterjemahkan ke bahasa Jerman dan diterbitkan di sana. Masalahnya, novel-novel itu diterbitkan penerbit kecil tak berpengaruh, sehingga bukunya tak tertemukan di toko buku, tidak diresensi kritikus ternama, dan akhirnya paling diperhatikan oleh kaum Indonesianis yang rata-rata bukan pencinta sastra, sehingga mereka -syukur! - tidak terlalu terganggu oleh mutu terjemahan yang rata-rata tidak memadai.

Demikianlah kedudukan Sastra Indonesia Modern di negara-negara berbahasa Jerman. Saya cukup yakin, bahwa situasi di Cina, di Perancis, di negara-negara Arab etc. tidak lebih baik, malah kemungkinan besar lebih payah lagi.

Sejak puluhan tahun, saya sendiri berupaya turut menyebarkan Sastra Indonesia Modern di Jerman. Puisi lah yang khususnya saya urus, karena genre itu agak dianaktirikan ketimbang prosa atau novel, baik oleh penerjemah maupun penerbit. Terjemahan saya atas puisi Indonesia biasanya dipublikasikan di Orientierungen[2], jurnal IOA (Lembaga Kajian Asia) Universitas Bonn. Ada juga terjemahan saya yang terbit dalam bentuk buku, misalnya antologi puisi Indonesia modern, atau kumpulan puisi Agus R. Sarjono. Tapi, harus diakui, publikasi-publikasi saya pun tidak berhasil mengubah nasib Sastra Indonesia Modern sebagai sastra yang tidak dikenal. Tentu, saya tidak akan menyerah, karena menyadari bahwa upaya memperkenalkan Sastra Indonesia Modern memerlukan perjuangan yang panjang.

Saya juga menyadari bahwa publikasi terjemahan karya sastra Indonesia di penerbit kecil atau di jurnal ilmiah tidak membawa dampak yang diharapkan. Seharusnya, publikasi diiringi acara peluncuran yang dihadiri sastrawan Indonesia. Sedangkan acara peluncuran itu perlu dilaksanakan di tempat atau dalam rangka kerja sama dengan lembaga-lembaga sastra paling bergengsi, sehingga peluncuran itu akan dihadiri tokoh­-tokoh dari masyarakat sastra di Jerman, juga Austria dan Swis. Dengan itu, sebuah publikasi terjemahan Sastra Indonesia Modern baru dapat membawa efek yang diharapkan.

Pertimbangan demikian yang menyebabkan saya belum mau mempublikasikan sebuah Antologi Puisi Indonesia Mutakhir, yang terjemahannya sudah lama rampung dan siap cetak. Sejak lama juga, kira-kira sejak tahun 2008, saya memohon kepada lembaga kenegaraan Indonesia untuk mendukung/mendanai acara-acara peluncuran seperti disebut di atas. Saya mengusulkan pengutusan sebuah “Delegasi Aksara” beranggotakan penyair-penyair Indonesia yang karyanya dimuatkan dalam antologi itu. Nama “Delegasi Aksara” menjadi semacam simbol untuk tujuan proyek itu: membuktikan melalui sastra, bahwa Indonesia sudah memiliki budaya aksara yang modern.

Tanggapan pihak lembaga kenegaraan Indonesia Indonesia senantiasa positif, mungkin karena mereka sadar bahwa proyek itu berkaitan erat dengan tujuan-tujuan Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra[3] yang didirikan atas prakarsa Presiden Republik Indonesia dan Kanselir Jerman. Maka, ketika proyek “Delegasi Aksara” saya bicarakan dengan Menteri Luar Negeri RI, dengan Kepala Pusat Bahasa, dengan Duta Besar RI di Jerman, semuanya menyambut, bahkan ada yang secara resmi menyatakan akan “mendukung”. Namun, political will itu ternyata tidak mencukupi, proyek itu belum juga diwujudkan, karena tak ada penjabat/jabatan yang mau atau sanggup melaksanakannya. Payah!

Demikian kira-kira keadaan Sastra Indonesia Modern di Jerman, demikian situasi mereka yang mau berjuang untuk penyebarannya. Betapa berbeda kedudukan sastra Jerman di Indonesia! Betapa menyenangkan menjadi penyebar sastra Jerman di sini! Betapa menyenangkan menjadi editor “Seri Puisi Jerman”! Betapa besar dukungan yang diberikan lembaga kenegaraan Jerman, khususnya Goethe-Institut Jakarta. Betapa meriah acara-acara peluncuran “Seri Puisi Jerman” yang setiap tahun diselenggarakan Goethe-Institut di berbagai kota di Indonesia!

Sastra Jerman memang untung. Segala-sesuatu tersedia bagi penyebarannya. Sastra Indonesia? la punya hak yang sama! Sayang perlakuannya tidak sama. Apakah ini menggambarkan bahwa kecintaan dan kebanggaan negara Jerman atas sastra mereka lebih besar dibanding kecintaan dan kebanggaan negara Indonesia atas sastra mereka? Entahlah.

Frankfurt 2015: Peluang Besar Bagi  Indonesia

Barangkali terlalu dini untuk membicarakannya, apalagi belum ada keputusan resmi. Mungkin saya didesak oleh sebuah keanehan dalam mentalitas Jerman, yakni kecenderungan untuk memikirkan sesuatu jauh-jauh sebelum terjadi. Yang saya maksudkan ialah harapan besar yang -konon- sudah mengarah ke kepastian, yakni pada tahun 2015 Indonesia akan menjadi Guest of Honour (tamu kehormatan) Frankfurter Buchmesse (Frankfurt Book Fair/Pameran Buku Frankfurt) di Jerman. Kalau menjadi kenyataan, hal  itu akan sangat bermakna bagi Indonesia, bagi budayanya, bagi sastranya.

Frankfurt Book Fair[4], pameran buku terbesar di dunia, merupakan salah satu event budaya paling penting di Eropa. Diselenggarakan sekali setahun, pada bulan Oktober, pameran ini menjadi perhatian media dan publik di negara-negara berbahasa Jerman, juga di seluruh Eropa, bahkan dunia internasional. Ribuan penerbit dan perusahaan media dari seluruh dunia menghadirinya. Jumlah pengunjung sampai ratusan ribu. Pameran paling bersejarah (500 tahun) itu merupakan tempat bertemu bagi agen, pustakawan, penerjemah, penerbit, pencetak, wartawan, budayawan, seniman, sarjana, dan tentu saja sastrawan dari seluruh dunia. Sastra lah yang merupakan fokus utama pameran buku ini!

Sejak 1976, pada tiap tahun, salah satu negara atau kawasan dipilih menjadi Tamu Kehormatan. Dari Asia pernah dipilih: India (1986 dan 2006), Jepang (1990), Dunia Arab (2004), Turki (2006) dan Cina (2009). Masing-masing tamu kehormatan bukan saja menjadi fokus selama pameran buku berlangsung, melainkan berbulan-bulan sebelum dan setelah pameran ini masih ramai dibicarakan dan diamati publik dan media Jerman.

Dapat dibayangkan, andai Indonesia menjadi tamu kehormatan pada tahun 2015! Itulah peluang terbesar dalam sejarah Indonesia untuk memperkenalkan diri kepada Jerman dan Eropa. Peluang terbesar untuk menyebarkan budaya dan terutama sastra Indonesia di kawasan itu. Peluang yang wajib dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya! Oleh puluhan sastrawan Indonesia yang akan mewakili sang tamu kehormatan dalam acara-acara sastra selama pameran buku ini berlangsung.

Pada judul bab ini tertulis dalam kurung: andai memenuhi syarat. Maksud saya, peluang-peluang yang digambarkan tadi hanya dapat “digolkan”, bila pihak Indonesia (negara/ pemerintah, Ikapi, masyarakat sastra etc.) betul-betul memenuhi syarat, yakni mempersiapkan diri sejak dini. Syarat-­syarat itu bermacam-macam, termasuk pendanaan, organisasi, logistik etc. Tapi bukan syarat demikian yang perlu dan berhak saya bicarakan, itu urusan antara pihak Indonesia dan pihak Pameran Buku Frankfurt. Saya sama sekali tidak menyangsikan bahwa syarat-syarat demikian akan dengan mudah dipenuhi pihak Indonesia.

Saya memikirkan syarat lain, syarat yang berkaitan langsung dengan sastra, yaitu: Terjemahan karya-karya sastra Indonesia yang mau diluncurkan, dipresentasikan atau dibacakan dalam rangka Pameran Buku Franfurt harus memenuhi syarat maha penting: bermutu. Kalau tidak, semua upaya akan sia-sia, bahkan akan ada efek bumerang yang merugikan.

Masalah penerjemahan karya sastra Indonesia yang secara singkat akan saya bicarakan pada bagian akhir makalah ini, tentu saja tidak hanya menyangkut event Frankfurt tahun 2015, juga bukan hanya penerjemahan ke bahasa Jerman, tetapi merupakan masalah dasar dalam penyebaran sastra Indonesia melalui terjemahan ke bahasa-bahasa lain.

Dalam hubungan ini, saya perlu menyebutkan sebuah contoh yang mengerikan. Beberapa bulan yang lalu saya menerima kabar dari penyair Dorothea Rosa Herliany yang berikut:

Yayasan Cempaka Kencana (Yogya) menyatakan diri sebagai lenrbaga yang punya kepedulian mempromosikan karya anak bangsa ke dalam kancah sastra dunia melalui terjemahan. Saat ini mereka menerbitkan antologi puisi Indonesia berjudul EQUATOR dalam bahasa Indonesia, Inggris dan Jerman! Mereka mengundang saya untuk acara peluncuran tanggal 30 Oktober 2011 karena karya saya ada di dalamnya. Isi buku memuat 216 puisi dan 108 penyair.

Itu kabar yang menyenangkan. Buku demikian dapat dianggap langkah penting dalam penyebaran puisi Indonesia ke pembaca berbahasa Inggris dan jerman. Menurut keterangan Yayasan Cempaka Kencana yang dikutip sebuah website, publikasi ini memang dimaksudkan agar nantinya kesusastraan Indonesia bisa turut berkiprah dalam percaturan sastra dunia.

Mengenai buku itu saya juga dihubungi oleh penyair Satmoko Budi Santoso yang mengabarkan, bahwa: Antologi Puisi Indonesia Modern berjudul Equator penerbit Yayasan Cempaka Kencana Yogyakarta memuat puisi 108 penyair Indonesia dalam 3 bahasa yaitu Indonesia, Inggris, dan Jerman. Masing-masing penyair 2 puisi. Penerjemah puisi ke dalam bahasa Inggris dan bahasa Jerman adalah Naswin Djamal. Dalam antologi itu selain memuat puisi saya juga memuat puisi karya Agus R. Sarjono, Acep Zamzam Noor, Dorothea Rosa Herliany, dan lain-lain.

Kemudian, baik Dorothea Rosa Herliany maupun Satmoko Budi Santoso mengirimi saya terjemahan Jerman dari puisi mereka, juga dari puisi Agus R. Sarjono yang dimuat dalam buku itu. Betapa kaget saya, ketika membaca teks-teks Jerman yang penuh dengan kesalahan tata bahasa dan penuh kalimat yang tak terpahami. Mirip terjemahan google-translator. Melihat terjemahan demikian, mungkin kita cuma bisa geleng-geleng kepala, atau terbahak-bahak. Namun, sebenarnya ini perkara serius, bahkan skandal. Kalau mau agak lebai, terjemahan demikian dapat disebut pemerkosaan puisi, pembunuhan karakter, pembunuhan penyair. Tentu, saya hanya bisa bicara tentang terjemahan Jerman, dan pada dasarnya ada kemungkinan bahwa terjemahan Inggris dalam buku itu bisa dipahami.

Saya tahu, buku Equator mungkin contoh ekstrim. Namun, menurut kesan saya, mutu terjemahan karya sastra Indonesia merupakan masalah besar. Terlalu banyak terjemahan yang saya baca tidak memenuhi syarat, termasuk terjemahan ke bahasa Jerman. Banyak sekali contohnva, terkadang lucu, seperti terjemahan Jerman dari sebuah puisi Indonesia berjudul Jakarta Punya Gua yang oleh penerjemah -seorang dosen bahasa Indonesia di sebuah universitas di Jerman (!)- diterjemahkan seolah-olah makna kalimat itu adalah “Di Jakarta Ada Goa”. Dibandingkan terjemahan canggih itu, terjemahan judul novel Pramoedya Ananta Toer Bumi Manusia dengan “Der Garten der Menschheit” (Taman Umat Manusia) masih mendingan, cuma -sayang sekali- dalam bahasa Jerman berkonotasikan “firdaus”, yang tentu saja tidak dimaksudkan Pramoedya.

Sebenarnya, kesalahan semantis seperti pada contoh di atas, hanya sebagian dari masalah secara keseluruhan. Karena, terjemahan tanpa kesalahan fatal seperti itu, atau bahkan tanpa kesalahan semantis sama sekali, belum juga memenuhi syarat. Adalah Novalis (1772-1801), pujangga Jerman dari zaman romantik, yang betul-betul menyadari peranan dan kewajiban penerjemah, ketika mengatakan: Penerjemah adalah Penyaimya Penyair. Kalimat itu berarti, bahwa seorang penerjemah perlu bertindak sebagai sastrawan atau seniman bahasa. Penerjemahan karya sastra merupakan penciptaan ulang dalam bahasa tujuan. Maka, penerjemah harus memenuhi syarat. Pertama: la mesti berbakat sastra, wajib berkemampuan menulis teks sastrawi. Kedua: la wajib mengusasai, benar-benar menguasai, bahasa -dari teks yang mau diterjemahkannya. (Andai kurang menguasai bahasa itu- jangan kita lupa: kesempurnaan dalam menguasai bahasa asing jarang terjadi- ia wajib melibatkan penutur asli sebagai nara sumber).

Saya kira, terlalu banyak penerjemah karya sastra Indonesia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Masyarakat sastra di Indonesia sepertinya kurang peka terhadap masalah ini, termasuk para sastrawan sendiri. Bahkan di antara penyair Indonesia ada kecenderungan menyerahkan tugas penerjemahan karya mereka kepada orang yang bukan penutur asli bahasa tujuan dan mustahil menghasilkan teks puitis seperti dapat diharapkan dari seorang penyair atau seniman bahasa yang penutur asli[5]. Padahal, ini bisa berarti tindakan “bunuh diri”, karena sastrawan mustahil diakui di panggung internasional, andai karyanya tidak hadir dalam bentuk terjemahan bermutu sastra.

Kesimpulan

Syarat mutlak bagi berhasilnya penyebaran sastra Indonesia di luar negeri adalah terjemahan yang baik. Tidak ada jalan lain. Baik untuk menuju ke arah sukses di Frankfurt tahun 2015 maupun untuk menjadi warga terhormat di kancah sastra dunia serta. Semoga sastra Indonesia sanggup menjadi modal dalam penyebaran budaya Indonesia di luar negeri. Semoga budaya Indonesia yang demikian agung dan kaya semakin diberi kesempatan untuk menjadi mitra yang dikagumi dalam pertukaran budaya!

Jakarta,1 Maret 2012

Berthold Damshauser lahir 1957 di Wanne-Eickel/Jerman. Sejak 1986 mengajar bahasa dan sastra Indonesia di Institut f?r Orient­und Asienwissenschaften (Lembaga Kajian Asia) di Universitas Bonn.

Pemimpin redaksi Orientierungen, sebuah Jurnal tentang kebudayaan-kebudayaan Asia. Penerjemah puisi Jerman ke bahasa Indonesia dan puisi Indonesia ke bahasa Jerman.

Penyunting antologi puisi Indonesia dan Jerman (bersama Ramadhan K.H.). Bersama Agus R. Sarjono menjadi editor Seri Puisi Jerman yang terbit sejak tahun 2003.

Anggota Komisi Jerman-Indonesia untuk Bahasa dan Sastra yang pada tahun 1997 didirikan atas petunjuk Kanselir Jerman dan Presiden Republik Indonesia. Pada tahun 2010 ia dipilih Kementerian Luar Negeri R.I. menjadi Presidential Friend of Indonesia. Sejak tahun 2011 ia juga giat sebagai redaktur Jurnal Sajak

[1] Misalnya pada tulisan saya berjudul Sastra, Penerjemahan, dan Penyebaran Budaya: Fakta dan Renungan di: Pusat- Majalah Sastra, edisi 1, tahun 2010, hal. 34-39.

[2]Daftar terjemahan Jerman dari karya Sastra Indonesia Modern yang dipublikasikan di jurnal Orientierungen terakses di website berikut: http://www_uni­bonn.de/~uso008/Publikationen/books-indo-orientierungen-archiv.htm

[3] Sebuah dokumentasi lengkap tentang latar belakang dan kegiatan „Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra” terdapat di: Berthold DamshAuser: ,Peran Negara dalam Penyebaran Sastra: Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra”, Horison XL111, No. 12/2008, hal. 18­30.

[4] Lihat juga website resmi Frankfurt Book Fair: http://www.buchmesse.de/en/ serta informasi di wikipedia berbahasa Inggeris: http://en.wikipedia.org/wiki/Frankf ut_Book_Fair

[5] Tentu ada kekecualiaan. Segelintir orang mungkin akan sanggup menghasilkan teks puitis dalam bahasa yang bukan bahasa ibu, tapi itu sangat jarang terjadi. Saya sendiri tidak termasuk orang sepandai itu, karena itu selalu melibatkan penutur Indonesia yang memenuhi syarat, yakni orang berbakat puisi, sebaiknya penyair, seperti Ramadhan K.H. dan Agus R. Sarjono, rekan-rekan saya dalam proses penerjemahan puisi Jerman ke bahasa Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...