OLEH Berthold Damshauser
Berthold Damshauser |
Pendahuluan
Tema
“Pertukaran Sastra” sebenarnya sebuah tema yang klasik, telah banyak
dibicarakan, termasuk oleh saya sendiri[1]. Namun, tema ini tetap relevan, dan
saya berharap bahwa saya dapat menyampaikan berbagai hal yang penting, terutama
mengenai pertukaran sastra antara Indonesia dan Jerman yang merupakan fokus
makalah ini.
Sebelum
membicarakan hubungan kesastraan antara kedua negara itu, saya (dalam bab 1 dan
2) akan menyampaikan beberapa pikiran umum, yakni tentang peranan teks sebagai
dasar utama dalam pertukaran budaya serta peranan khusus dari teks susastra.
Arti
kata “pertukaran” adalah perbuatan bertukar, bertukar-tukaran atau
mempertukarkan. Proses itu paling sedikit memerlukan dua pihak, para penukar,
yang bertindak atas dasar kesalingan atau timbal balik. Kedua penukar itu
seharusnya berada pada posisi yang sama. Dalam kaitan dengan pertukaran budaya,
khususnya di bidang sastra, saya akan menimbulkan pertanyaan mengenai apakah
Indonesia dan Jerman berada pada posisi yang sama, dan - jika tidak - apa yang
kiranya merupakan penyebabnya.
Untuk
itu, saya (dalam bab 4) akan membandingkan perananan negara Jerman dengan
peranan negara Indonesia sebagai pendukung pertukaran budaya. Dalam bab 5 saya
akan mencatat berbagai masalah dalam upaya penyebaran sastra Indonesia di
Jerman, yang didasarkan kepada pengalaman saya yang sejak bertahun-tahun berupaya
memperkenalkan sastra Indonesia di tanah air saya.
Akhirnya
(dalam bab 6), saya akan berbicara tentang sebuah peluang besar bagi penyebaran
sastra Indonesia di Jerman, yakni Pameran Buku Frankfurt pada tahun 2015. Saya
akan juga menyebutkan berbagai syarat yang harus dipenuhi pihak Indonesia
supaya peluang itu dapat dimanfaatkan secara optimal. Dalam kaitan itu saya
akan membicarakan masalah yang terdapat di bidang penerjemahan karya sastra
Indonesia ke bahasa asing, khususnya ke bahasa Jerman.
Teks sebagai Dasar Utama
dalam Pertukaran Budaya
Istilah
“teks” di sini saya gunakan dalam arti konvensional, yakni teks tertulis. Saya
ingin membicarakan teks non-sastra dulu, ingin menekankan bahwa teks –pada
dirinya sendiri memiliki kekuatan yang luar biasa, yang dahsyat, termasuk –
dan khususnya- di bidang pertukaran budaya.
Memang,
perlu diakui bahwa dalam sejarah manusia pertukaran budaya sempat dilangsungkan
tanpa teks. Itu terjadi di zaman niraksara. Namun, sejak ditemukannya aksara,
pertukaran budaya semakin intensif, semakin cepat. Mengapa? Karena teks adalah
alat yang paling efektif untuk menyampaikan ide, termasuk ide yang kompleks dan
terlalu sulit untuk disampaikan secara lisan. Pertukaran budaya sebenarnya
pertukaran ide! Perlu diakui juga, bahwa dalam perkembangan budaya ke arah
lebih maju, bukanlah pertukaran yang selalu terjadi. Yang sering terjadi justru
penyebaran ide dari kawasan maju ke kawasan yang kurang maju, dengan kata lain
atas dasar pengaruh budaya maju terhadap budaya lain. Namun, kenyataan ini
tidak mengurangi peranan teks.
Contoh
tentang perkembangan budaya melalui pengaruh dari luar ataupun pertukaran
sejati tak terhitung. Bangsa dan budaya Romawi tidak mungkin berkembang ke arah
kemajuan andai tidak dipengaruhi budaya Yunani. Orang Jerman telah belajar dari
orang Romawi, orang Eropa telah belajar dari orang Islam, orang Mongol telah
belajar dari orang Cina, orang Indonesia telah belajar dari orang India etc.
etc.. Mereka semua membuka diri terhadap ide baru, yang -terutamanya-mereka
terima melalui teks. Demikian yang telah terjadi dan yang masih akan terjadi
metalui karya-karya filsafat, kitab keagamaam, teks mitologis, dan buku-buku
sains. Senantiasa teks yang menjadi alat utama untuk mentransfer “kebaruan” ke
tubuh sebuah budaya.
Hal
ini juga sangat kentara di bidang penyebaran agama modern, misalnya agama Islam
dan agama Nasrani. Penyebaran kedua agama tersebut mustahil terjadi tanpa teks.
Teks merupakan inti kedua agama itu, Tuhan sendiri yang berbicara melalui teks
(Al Quran dan Bibel. Tak mengherankan bila kedua agama itu disebut “agama
kitab”, dengan kata lain: “agama teks”. Sampai tingkat tertentu, penyebaran
agama Hindu tak berbeda. Di situ pun teks memainkan peranan menentukan,
misalnya epos Mahabharata dan Ramayana sebagai wadah kepercayaan dan filosofi
Hindu.
Adalah
menarik, bahwa belakangan ini timbul suara yang agak pesimis mengenai peranan
teks dalam pengembangan dan pertukaran budaya. Suara-suara ini bertolak dari
filosof Perancis dan pendiri sosiologi Auguste Comte (1798-1857) yang pada abad
ke-19 (!) menyebutkan teks sebagai spesies yang mulai mati. Bagi Comte era teks
mulai diganti oleh era poster. Menurutnya, manusia masa depan hanya dapat
“digerakkan” melalui gambar. Melihat gejala zaman sekarang yang memang sangat
didominasi aspek-aspek visual, suara-suara pesismis itu menyimpulkan bahwa
ramalan Comte sudah menjadi kenyataan. Kiranya, tak dapat dinafikan bahwa
manusia zaman sekarang, terutama generasi muda, menjauh dari teks atau
keberaksaraan. Saya sendiri menyaksikannya di negeri saya. Kemampuan berbahasa
di Jerman menurun drastis, juga minat baca. Bahkan, banyak mahasiswa yang tidak
sanggup lagi menyusun teks yang memadai, baik dari segi tata bahasa maupun
logika.
Walaupun
demikian, saya yakin bahwa teks tetap merupakan alat terpenting dalam
pengembangan, juga pertukaran budaya. Yang saya maksudkan tentu teks yang
bermutu, sarat ide, dan ditulis dengan gaya bahasa yang baik. Saya tidak
berbicara tentang teks iklan atau sms. Namun, kita semua -terutama pencinta
bahasa- mesti waspada. Posisi teks mulai terancam. Maka, kita terpanggil
membela teks, membela keberaksaraan, membela buku, membela budaya baca. Hal ini
penting agar ide besar dan gagasan baru masih memiliki wadah yang memadai dan
agar penyebaran dan pertukaran budaya masih terlaksana secara berbobot.
Peranan Susastra
Teks
susastra pun memainkan peranan penting dalam proses pertukaran budaya. Kalau
kita mengamati teks-teks yang paling berpengaruh dalam sejarah manusia, justru
teks susastra -bahkan yang berunsur puisi- yang paling menonjol. Di bab
sebelumnya, saya telah menyebutkan Al Quran dan Bibel, kitab-kitab paling
terkenal di dunia. Dua-duanya dapat dianggap karya susastra yang monumental,
tentu bukan dalam anti fiksi, melainkan karena dua-duanya juga merupakan “karya
seni bahasa” (dalam bahasa Jerman: sprachliches Kunstwerk). Demikian juga -
epos-epos Ramayana atau Mahabharata, epos-epos Yunani Ilias dan Odysee, atau
Tao Te King karya Lao Tse.
Sepertinya,
pernah ada zaman di mana hampir semua teks berarti mesti ditulis dengan gaya
susastra. Agaknya pada zaman itu, isi mesti disampaikan melalui bentuk yang
indah dan berkesenian. Di zaman modern, khususnya di Eropa, tradisi itu
melemah. Kebanyakan filosof -Kant, Hegel dll. menuliskan pikirannya dengan
gaya non-sastra, kering dan tak enak dibaca. Tentu . masih ada kekecualian,
misalnya Schopenhauer atau -terutama- Nietzsche. Sempat saya berpikir: andai
saja ide dan gagasan Kant disampaikan dengan gaya bahasa seorang Nietzsche,
dampak filosofi Kant pasti akan lebih besar lagi.
Teks
susastra memang sebuah “produk” yang sangat istimewa. Khususnya puisi, kalau
istilah “puisi” kita anggap lawan kata dari “prosa”. Puisi sejati merupakan
“karya seni bahasa” yang sesungguhnya. Karena bentuknya, rima dan metrum, ia
mengandung unsur musikal, sekaligus memiliki isi, yakni pesan atau makna kata
yang (dapat) didasarkan kepada rasio atau nalar. Dengan itu, puisi melebihi
musik, juga melebihi seni lukis dan seni rupa.
Maka,
sastrawan berhak merasa istimewa. Produk yang ditawarkanyna unik dan dahsyat,
dan oleh karena itu tentu saja sangat patut dijadikan bahan penting dalam
pertukaran budaya!
Menjawab
pertanyaan mengapa pertukaran budaya melalui sastra demikian penting, kita juga
bisa bertanya balik: “Terbayangkankah orang akan sanggup memahami budaya asing,
jika tidak bersedia membaca karya sastranya?” Bagaimana bisa memahami Jerman
jika tidak bersedia membaca drama Faust karya Goethe, atau Demikian Sabda
Zarathustra karya Nietzsche. Buku ilmiah yang membicarakan ekonomi atau sejarah
Jerman jelas tidak mencukupi. Cukupkah membaca buku ilmiah tentang sejarah
Indonesia pascakemerdekaan untuk memahami keadaan Indonesia setelah tahun
1945? Bukankah mesti juga membaca novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad
Tohari, misalnya? Dalam karya agung ini, membaca tidak saja akan menemukan
fakta atau peristiwa, ia juga dapat menenggelamkan diri ke jiwa dan batin
manusia Indonesia, seperti menjadi sebagian dari mereka. Saya senang sekali
novel ini kini sudah difilmkan, dan sangat saya harap bahwa mutu film itu tidak
kalah terlalu jauh dari bukunya. Tapi andaipun, film itu sangat berhasil, ia
tokh cuma pelengkap, mustahil seluas dan sedalam karya tulis asli yang tak
bergambar, yang karena itu justru lebih memanggil kita untuk ikut berimajinasi;
ikut merasakan setiap segi secara lebih intens.
Bagaimana
dengan puisi? Apakah dalam bidang pertukaran budaya juga perlu ada tempat bagi
puisi, karya susastra yang tidak jarang terkesan nonkontekstual atau bersifat
agak pribadi? Tentu saja puisi perlu dilibatkan dalam pertukaran demikian.
Menurut pengalaman saya, puisi justru memainkan peranan yang paling canggih.
Ide-ide paling avant garde, paling mutakhir dari sebuah bangsa dapat ditemukan
dalam puisi. Kalau mau tahu tentang “semangat”, juga tingkat intelektualitas
dan kreativitas sebuah bangsa, saya menyarankan: Bacalah puisi para penyairnya!
Membandingkan Jerman dan
Indonesia
Berkah
pertukaran budaya telah terbukti dalam sejarah manusia. Bangsa atau budaya yang
tidak terlibat akan mengalami stagnasi. Itu terjadi kepada budaya yang
terisolasi secara geografis, misalnya budaya aborigines di Australia. Selama
puluhan ribu tahun, budaya mereka tidak berubah, tak ada perkembangan. Perihal
budaya atau bangsa sebenarnya sama dengan perihal individu. Individu -baik
masing-masing maupun sebagai kelompok- semakin maju kalau bertukar kepandaian
atau pengetahuan. Sangat sederhana semua itu, sangat masuk akal.
Pertukaran
budaya juga sesuatu yang terjadi secara alami, bahkan sulit untuk
menghindarinya. Meskipun ada negara yang mau menutup diri terhadap dunia luar,
dengan kemodernan alat komunikasi zaman sekarang, selalu akan ada pintu yang
tak mungkin tertutup rapat.
Di
atas sudah saya sebutkan: Kata “pertukaran” berkonotasikan unsur “timbal-baik”,
dan pertukaran budaya mesti diwarnai oleh tindakan “tukar-menukar”, “memberi
dan menerima”. Budaya yang percaya diri atau bangsa yang bangga atas kebudayaan
sendiri tidak akan puas kalau ia hanya menjadi penerima. Kiranya itulah yang
menjadi dasar bagi ide penyebaran budaya. Ide yang baik, juga karena penyebaran
budaya mendukung, mempercepat dan meningkatkan proses pertukaran budaya yang
telah terbukti membawa banyak keuntungan bagi semua pihak.
Barangkali
menarik untuk mengadakan perbandingan singkat mengenai negara Jerman dan
Indonesia sebagai pendukung penyebaran budayanya.
Kiranya,
tidak mengherankan bahwa Jerman, yang dalam sejarahnya telah membuktikan diri
sebagai bangsa yang bangga dan patriotis, merasa punya misi untuk menyebarkan
budayanya. Jerman bahkan pernah bertindak secara berlebihan, saat patriotisme
menjadi chauvinisme yang agresif. Itu terjadi di zaman kekaisaran dan tentu di
zaman Nazi. Saat itu, penyebaran budaya Jerman didasarkan kepada semboyan yang
diambil dari sebuah puisi penyair Emanuel Geibel (1815-1884) yang berbunyi: Am
deutschen Wesen mag die Welt genesen (Dunia perlu disembuhkan oleh budaya dan
mentalitas Jerman). Untungnya, setelah perang dunia kedua, Republik Federal
Jerman yang didirikan pada tahun 1949, mengubah cara lama dalam penyebaran budaya
Jerman, menggantikannya dengan cara yang rendah hati. Namun, ide dasar tetap
berlaku: Jerman tidak akan menunggu sampai bangsa lain menaruh perhatian kepada
budaya Jerman. la secara ofensif akan memperkenalkan budayanya di luar negeri.
Dengan kata lain: Penyebaran budaya Jerman tidak akan diserahkan kepada pasar!
Untuk
itu, Republik Federal Jerman telah mengembangkan sebuah konsep tentang
“politik-budaya luar negeri”, di mana politik-budaya (yakni penyebaran bahasa
dan budaya Jerman di luar negeri) merupakan salah satu dari tiga pilar politik
luar negeri Jerman, di samping pilar “politik keamanan” dan “politik ekonomi”.
Lembaga terpenting dalam rangka “politik-budaya luar negeri” itu adalah
Goethe-Institut, pusat kebudayaan Jerman yang punya cabang di hampir semua
negara, termasuk dua . institut di Indonesia (Jakarta dan Bandung).
Goethe-Institut bahkan menganut prinsip yang mengarah ke pertukaran budaya yang
sejati, merasa wajib bertindak sesuai dengan semboyan Kultur ist keine
Einbahnstra?e (Budaya Bukan Jalan Satu Arah), dan karena itu juga bersedia
mendukung upaya penyebaran budaya Indonesia di Jerman.
Negara
Indonesia bagaimana? Saya kira, kita semua tahu jawabannya. Dibandingkan dengan
upaya negara Jerman dalam rangka pertukaran dan penyebaran budaya, Indonesia
belum berbuat banyak. Kiranya, belum ada konsep matang mengenai “politik-budaya
luar negeri”, apalagi strategi dan tindakan terfokus untuk menyebarkan budaya
Indonesia. Pusat Budaya Indonesia di luar negeri paling segelintir (sejauh saya
tahu ada beberapa “embrio” di bawah naungan KBRI setempat), dan jelas tidak
setaraf dengan Goethe-Institut yang notabene adalah lembaga yang cukup mandiri,
tidak dikelola kaum diplomat, melainkan orang yang ahli di bidang kebudayaan.
Memang
harus diakui, ada berbagai upaya negara Indonesia untuk menyebarkan budayanya.
Misalnya tarian, musik gamelan, wayang kulit etc.; budaya tradisional dan
budaya lisan. Budaya aksara, termasuk kesusastraan Indonesia modern, jarang
menjadi fokus, bahkan biasanya dianaktirikan. Barangkali perbandingan antara
Jerman dan Indonesia kurang adil. Indonesia sebuah bangsa dan negara yang muda,
masih sibuk mengurus pembangunan, masih sibuk memerangi kemiskinan etc.,
sehingga belum sanggup menyediakan dana besar untuk bidang budaya seperti
dilakukan negara Jerman. Namun, untuk masa depan, Indonesia diharap memainkan
peranan yang lebih aktif di bidang pertukaran dan penyebaran budaya. Itu juga
-dan terutama- tugas negara atau lembaga kenegaraan yang perlu dipenuhi atas
dasar kesadaran bahwa Indonesia sebagai bangsa berbudaya berhak dan patut
memperkenalkan diri secara ofensif kepada dunia intemasional. Juga atas dasar
kesadaran bahwa Indonesia bukan bangsa yang hanya memiliki budaya
lisan-tradisonal, melainkan telah berhasil mengembangkan budaya aksara modern,
seperti telah lama terbukti melalui Kesusastraan Indonesia Modern.
Sastra Indonesia di
Negera-negara Berbahasa Jerman
Di
atas, sudah saya sebutkan bahwa penyebaran sastra Indonesia, terutama Sastra
Indonesia Modern, sangatlah penting dalam rangka penyebaran budaya Indonesia di
luar negeri. Melalui terjemahan dan publikasi karya sastra Indonesia modern
akan dapat dibuktikan bahwa Indonesia telah sampai di tingkat keberaksaraan
modern. Ini penting untuk menghapuskan klise merugikan yang rata-rata dipegang
di luar negeri -termasuk kalangan terdidik- , bahwa budaya Indonesia sesuatu
yang kuno atau primitif alias pramodern.
Upaya-upaya
penerjemahan dan publikasi tentu harus berfokus kepada bahasa Inggris sebagai
bahasa internasional yang paling penting. Patut disyukuri bahwa hal itu sejak
puluhan tahun diperjuangkan oleh sebuah lembaga nonpemerintah, yakni Yayasan
Lontar. Lembaga nirlaba itu sangat berjasa dalam memainkan peranan yang
seharusnya ikut dimainkan oleh negara atau pemerintah, misalnya melalui sebuah
“Badan Bahasa dan Sastra” yang juga diberi tugas dan kewenangan untuk
menyebarkan bahasa dan sastra Indonesia di luar negeri. Semoga kehadiran
Yayasan Lontar dan keberhasilannya tidak membuat pihak negara berpikir, bahwa
penyebaran sastra Indonesia sepenuhnya dapat diserahkan dan dikelola lembaga
non-pemerintah.
Soalnya,
Sastra Indonesia Modern perlu juga disebarkan melalui terjemahan ke
bahasa-bahasa lain, dan untuk itu pihak negara Indonesia jangan menunggu sampai
ada semacam Yayasan Lontar yang mengurus terjemahan (dan publikasi) ke bahasa
Mandarin, bahasa Arab, bahasa Spanyol, bahasa Perancis, bahasa Rusia, bahasa
Jepang atau bahasa Jerman. Kalau itu yang ditunggu, maka kedudukan Sastra
Indonesia Modern di dunia internasional tidak akan banyak berubah.
Mari
kita -sebagai contoh- melihat kedudukan Sastra Indonesia Modern di
negara-negara berbahasa Jerman (Austria, Swis, dan Jerman). Secara ringkas
dapat dikatakan: Sastra Indonesia Modern hampir sama sekali tidak dikenal.
Bukan saja di kalangan umum, yang rata-rata lebih tahu tentang Bali daripada
Indonesia, tapi juga di kalangan terdidik, bahkan di masyarakat sastra
(sastrawan, kritikus, pembaca sastra). Di kalangan itu pun hampir tiada orang
yang pernah mendengar nama Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, atau Ahmad
Tohari. Padahal, beberapa novel sastrawan tersebut sudah diterjemahkan ke
bahasa Jerman dan diterbitkan di sana. Masalahnya, novel-novel itu diterbitkan
penerbit kecil tak berpengaruh, sehingga bukunya tak tertemukan di toko buku,
tidak diresensi kritikus ternama, dan akhirnya paling diperhatikan oleh kaum
Indonesianis yang rata-rata bukan pencinta sastra, sehingga mereka -syukur! -
tidak terlalu terganggu oleh mutu terjemahan yang rata-rata tidak memadai.
Demikianlah
kedudukan Sastra Indonesia Modern di negara-negara berbahasa Jerman. Saya cukup
yakin, bahwa situasi di Cina, di Perancis, di negara-negara Arab etc. tidak
lebih baik, malah kemungkinan besar lebih payah lagi.
Sejak
puluhan tahun, saya sendiri berupaya turut menyebarkan Sastra Indonesia Modern
di Jerman. Puisi lah yang khususnya saya urus, karena genre itu agak
dianaktirikan ketimbang prosa atau novel, baik oleh penerjemah maupun penerbit.
Terjemahan saya atas puisi Indonesia biasanya dipublikasikan di
Orientierungen[2], jurnal IOA (Lembaga Kajian Asia) Universitas Bonn. Ada juga
terjemahan saya yang terbit dalam bentuk buku, misalnya antologi puisi
Indonesia modern, atau kumpulan puisi Agus R. Sarjono. Tapi, harus diakui,
publikasi-publikasi saya pun tidak berhasil mengubah nasib Sastra Indonesia
Modern sebagai sastra yang tidak dikenal. Tentu, saya tidak akan menyerah,
karena menyadari bahwa upaya memperkenalkan Sastra Indonesia Modern memerlukan
perjuangan yang panjang.
Saya
juga menyadari bahwa publikasi terjemahan karya sastra Indonesia di penerbit
kecil atau di jurnal ilmiah tidak membawa dampak yang diharapkan. Seharusnya,
publikasi diiringi acara peluncuran yang dihadiri sastrawan Indonesia.
Sedangkan acara peluncuran itu perlu dilaksanakan di tempat atau dalam rangka
kerja sama dengan lembaga-lembaga sastra paling bergengsi, sehingga peluncuran
itu akan dihadiri tokoh-tokoh dari masyarakat sastra di Jerman, juga Austria
dan Swis. Dengan itu, sebuah publikasi terjemahan Sastra Indonesia Modern baru
dapat membawa efek yang diharapkan.
Pertimbangan
demikian yang menyebabkan saya belum mau mempublikasikan sebuah Antologi Puisi
Indonesia Mutakhir, yang terjemahannya sudah lama rampung dan siap cetak. Sejak
lama juga, kira-kira sejak tahun 2008, saya memohon kepada lembaga kenegaraan
Indonesia untuk mendukung/mendanai acara-acara peluncuran seperti disebut di
atas. Saya mengusulkan pengutusan sebuah “Delegasi Aksara” beranggotakan
penyair-penyair Indonesia yang karyanya dimuatkan dalam antologi itu. Nama
“Delegasi Aksara” menjadi semacam simbol untuk tujuan proyek itu: membuktikan
melalui sastra, bahwa Indonesia sudah memiliki budaya aksara yang modern.
Tanggapan
pihak lembaga kenegaraan Indonesia Indonesia senantiasa positif, mungkin karena
mereka sadar bahwa proyek itu berkaitan erat dengan tujuan-tujuan Komisi
Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra[3] yang didirikan atas prakarsa
Presiden Republik Indonesia dan Kanselir Jerman. Maka, ketika proyek “Delegasi
Aksara” saya bicarakan dengan Menteri Luar Negeri RI, dengan Kepala Pusat
Bahasa, dengan Duta Besar RI di Jerman, semuanya menyambut, bahkan ada yang
secara resmi menyatakan akan “mendukung”. Namun, political will itu ternyata
tidak mencukupi, proyek itu belum juga diwujudkan, karena tak ada
penjabat/jabatan yang mau atau sanggup melaksanakannya. Payah!
Demikian
kira-kira keadaan Sastra Indonesia Modern di Jerman, demikian situasi mereka
yang mau berjuang untuk penyebarannya. Betapa berbeda kedudukan sastra Jerman
di Indonesia! Betapa menyenangkan menjadi penyebar sastra Jerman di sini!
Betapa menyenangkan menjadi editor “Seri Puisi Jerman”! Betapa besar dukungan
yang diberikan lembaga kenegaraan Jerman, khususnya Goethe-Institut Jakarta.
Betapa meriah acara-acara peluncuran “Seri Puisi Jerman” yang setiap tahun
diselenggarakan Goethe-Institut di berbagai kota di Indonesia!
Sastra
Jerman memang untung. Segala-sesuatu tersedia bagi penyebarannya. Sastra
Indonesia? la punya hak yang sama! Sayang perlakuannya tidak sama. Apakah ini
menggambarkan bahwa kecintaan dan kebanggaan negara Jerman atas sastra mereka
lebih besar dibanding kecintaan dan kebanggaan negara Indonesia atas sastra
mereka? Entahlah.
Frankfurt 2015: Peluang
Besar Bagi Indonesia
Barangkali
terlalu dini untuk membicarakannya, apalagi belum ada keputusan resmi. Mungkin
saya didesak oleh sebuah keanehan dalam mentalitas Jerman, yakni kecenderungan
untuk memikirkan sesuatu jauh-jauh sebelum terjadi. Yang saya maksudkan ialah
harapan besar yang -konon- sudah mengarah ke kepastian, yakni pada tahun 2015
Indonesia akan menjadi Guest of Honour (tamu kehormatan) Frankfurter Buchmesse
(Frankfurt Book Fair/Pameran Buku Frankfurt) di Jerman. Kalau menjadi
kenyataan, hal itu akan sangat bermakna bagi Indonesia, bagi budayanya, bagi
sastranya.
Frankfurt
Book Fair[4], pameran buku terbesar di dunia, merupakan salah satu event budaya
paling penting di Eropa. Diselenggarakan sekali setahun, pada bulan Oktober,
pameran ini menjadi perhatian media dan publik di negara-negara berbahasa
Jerman, juga di seluruh Eropa, bahkan dunia internasional. Ribuan penerbit dan
perusahaan media dari seluruh dunia menghadirinya. Jumlah pengunjung sampai
ratusan ribu. Pameran paling bersejarah (500 tahun) itu merupakan tempat
bertemu bagi agen, pustakawan, penerjemah, penerbit, pencetak, wartawan, budayawan,
seniman, sarjana, dan tentu saja sastrawan dari seluruh dunia. Sastra lah yang
merupakan fokus utama pameran buku ini!
Sejak
1976, pada tiap tahun, salah satu negara atau kawasan dipilih menjadi Tamu
Kehormatan. Dari Asia pernah dipilih: India (1986 dan 2006), Jepang (1990),
Dunia Arab (2004), Turki (2006) dan Cina (2009). Masing-masing tamu kehormatan
bukan saja menjadi fokus selama pameran buku berlangsung, melainkan
berbulan-bulan sebelum dan setelah pameran ini masih ramai dibicarakan dan diamati
publik dan media Jerman.
Dapat
dibayangkan, andai Indonesia menjadi tamu kehormatan pada tahun 2015! Itulah
peluang terbesar dalam sejarah Indonesia untuk memperkenalkan diri kepada
Jerman dan Eropa. Peluang terbesar untuk menyebarkan budaya dan terutama sastra
Indonesia di kawasan itu. Peluang yang wajib dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya! Oleh puluhan sastrawan Indonesia yang akan mewakili sang tamu
kehormatan dalam acara-acara sastra selama pameran buku ini berlangsung.
Pada
judul bab ini tertulis dalam kurung: andai memenuhi syarat. Maksud saya,
peluang-peluang yang digambarkan tadi hanya dapat “digolkan”, bila pihak
Indonesia (negara/ pemerintah, Ikapi, masyarakat sastra etc.) betul-betul
memenuhi syarat, yakni mempersiapkan diri sejak dini. Syarat-syarat itu
bermacam-macam, termasuk pendanaan, organisasi, logistik etc. Tapi bukan syarat
demikian yang perlu dan berhak saya bicarakan, itu urusan antara pihak
Indonesia dan pihak Pameran Buku Frankfurt. Saya sama sekali tidak menyangsikan
bahwa syarat-syarat demikian akan dengan mudah dipenuhi pihak Indonesia.
Saya
memikirkan syarat lain, syarat yang berkaitan langsung dengan sastra, yaitu:
Terjemahan karya-karya sastra Indonesia yang mau diluncurkan, dipresentasikan
atau dibacakan dalam rangka Pameran Buku Franfurt harus memenuhi syarat maha
penting: bermutu. Kalau tidak, semua upaya akan sia-sia, bahkan akan ada efek
bumerang yang merugikan.
Masalah
penerjemahan karya sastra Indonesia yang secara singkat akan saya bicarakan
pada bagian akhir makalah ini, tentu saja tidak hanya menyangkut event
Frankfurt tahun 2015, juga bukan hanya penerjemahan ke bahasa Jerman, tetapi
merupakan masalah dasar dalam penyebaran sastra Indonesia melalui terjemahan ke
bahasa-bahasa lain.
Dalam
hubungan ini, saya perlu menyebutkan sebuah contoh yang mengerikan. Beberapa
bulan yang lalu saya menerima kabar dari penyair Dorothea Rosa Herliany yang
berikut:
Yayasan
Cempaka Kencana (Yogya) menyatakan diri sebagai lenrbaga yang punya kepedulian
mempromosikan karya anak bangsa ke dalam kancah sastra dunia melalui
terjemahan. Saat ini mereka menerbitkan antologi puisi Indonesia berjudul
EQUATOR dalam bahasa Indonesia, Inggris dan Jerman! Mereka mengundang saya
untuk acara peluncuran tanggal 30 Oktober 2011 karena karya saya ada di
dalamnya. Isi buku memuat 216 puisi dan 108 penyair.
Itu
kabar yang menyenangkan. Buku demikian dapat dianggap langkah penting dalam
penyebaran puisi Indonesia ke pembaca berbahasa Inggris dan jerman. Menurut
keterangan Yayasan Cempaka Kencana yang dikutip sebuah website, publikasi ini
memang dimaksudkan agar nantinya kesusastraan Indonesia bisa turut berkiprah
dalam percaturan sastra dunia.
Mengenai
buku itu saya juga dihubungi oleh penyair Satmoko Budi Santoso yang
mengabarkan, bahwa: Antologi Puisi Indonesia Modern berjudul Equator penerbit
Yayasan Cempaka Kencana Yogyakarta memuat puisi 108 penyair Indonesia dalam 3
bahasa yaitu Indonesia, Inggris, dan Jerman. Masing-masing penyair 2 puisi.
Penerjemah puisi ke dalam bahasa Inggris dan bahasa Jerman adalah Naswin
Djamal. Dalam antologi itu selain memuat puisi saya juga memuat puisi karya
Agus R. Sarjono, Acep Zamzam Noor, Dorothea Rosa Herliany, dan lain-lain.
Kemudian,
baik Dorothea Rosa Herliany maupun Satmoko Budi Santoso mengirimi saya
terjemahan Jerman dari puisi mereka, juga dari puisi Agus R. Sarjono yang
dimuat dalam buku itu. Betapa kaget saya, ketika membaca teks-teks Jerman yang
penuh dengan kesalahan tata bahasa dan penuh kalimat yang tak terpahami. Mirip
terjemahan google-translator. Melihat terjemahan demikian, mungkin kita cuma
bisa geleng-geleng kepala, atau terbahak-bahak. Namun, sebenarnya ini perkara
serius, bahkan skandal. Kalau mau agak lebai, terjemahan demikian dapat disebut
pemerkosaan puisi, pembunuhan karakter, pembunuhan penyair. Tentu, saya hanya bisa
bicara tentang terjemahan Jerman, dan pada dasarnya ada kemungkinan bahwa
terjemahan Inggris dalam buku itu bisa dipahami.
Saya
tahu, buku Equator mungkin contoh ekstrim. Namun, menurut kesan saya, mutu
terjemahan karya sastra Indonesia merupakan masalah besar. Terlalu banyak
terjemahan yang saya baca tidak memenuhi syarat, termasuk terjemahan ke bahasa
Jerman. Banyak sekali contohnva, terkadang lucu, seperti terjemahan Jerman dari
sebuah puisi Indonesia berjudul Jakarta Punya Gua yang oleh penerjemah -seorang
dosen bahasa Indonesia di sebuah universitas di Jerman (!)- diterjemahkan
seolah-olah makna kalimat itu adalah “Di Jakarta Ada Goa”. Dibandingkan
terjemahan canggih itu, terjemahan judul novel Pramoedya Ananta Toer Bumi
Manusia dengan “Der Garten der Menschheit” (Taman Umat Manusia) masih
mendingan, cuma -sayang sekali- dalam bahasa Jerman berkonotasikan “firdaus”,
yang tentu saja tidak dimaksudkan Pramoedya.
Sebenarnya,
kesalahan semantis seperti pada contoh di atas, hanya sebagian dari masalah secara
keseluruhan. Karena, terjemahan tanpa kesalahan fatal seperti itu, atau bahkan
tanpa kesalahan semantis sama sekali, belum juga memenuhi syarat. Adalah
Novalis (1772-1801), pujangga Jerman dari zaman romantik, yang betul-betul
menyadari peranan dan kewajiban penerjemah, ketika mengatakan: Penerjemah
adalah Penyaimya Penyair. Kalimat itu berarti, bahwa seorang penerjemah perlu
bertindak sebagai sastrawan atau seniman bahasa. Penerjemahan karya sastra
merupakan penciptaan ulang dalam bahasa tujuan. Maka, penerjemah harus memenuhi
syarat. Pertama: la mesti berbakat sastra, wajib berkemampuan menulis teks
sastrawi. Kedua: la wajib mengusasai, benar-benar menguasai, bahasa -dari teks
yang mau diterjemahkannya. (Andai kurang menguasai bahasa itu- jangan kita lupa:
kesempurnaan dalam menguasai bahasa asing jarang terjadi- ia wajib melibatkan
penutur asli sebagai nara sumber).
Saya
kira, terlalu banyak penerjemah karya sastra Indonesia tidak memenuhi
syarat-syarat tersebut. Masyarakat sastra di Indonesia sepertinya kurang peka
terhadap masalah ini, termasuk para sastrawan sendiri. Bahkan di antara penyair
Indonesia ada kecenderungan menyerahkan tugas penerjemahan karya mereka kepada
orang yang bukan penutur asli bahasa tujuan dan mustahil menghasilkan teks puitis
seperti dapat diharapkan dari seorang penyair atau seniman bahasa yang penutur
asli[5]. Padahal, ini bisa berarti tindakan “bunuh diri”, karena sastrawan
mustahil diakui di panggung internasional, andai karyanya tidak hadir dalam
bentuk terjemahan bermutu sastra.
Kesimpulan
Syarat
mutlak bagi berhasilnya penyebaran sastra Indonesia di luar negeri adalah
terjemahan yang baik. Tidak ada jalan lain. Baik untuk menuju ke arah sukses di
Frankfurt tahun 2015 maupun untuk menjadi warga terhormat di kancah sastra
dunia serta. Semoga sastra Indonesia sanggup menjadi modal dalam penyebaran
budaya Indonesia di luar negeri. Semoga budaya Indonesia yang demikian agung
dan kaya semakin diberi kesempatan untuk menjadi mitra yang dikagumi dalam
pertukaran budaya!
Jakarta,1
Maret 2012
Berthold Damshauser lahir 1957 di
Wanne-Eickel/Jerman. Sejak 1986 mengajar bahasa dan sastra Indonesia di
Institut f?r Orientund Asienwissenschaften (Lembaga Kajian Asia) di
Universitas Bonn.
Pemimpin redaksi Orientierungen,
sebuah Jurnal tentang kebudayaan-kebudayaan Asia. Penerjemah puisi Jerman ke
bahasa Indonesia dan puisi Indonesia ke bahasa Jerman.
Penyunting antologi puisi Indonesia
dan Jerman (bersama Ramadhan K.H.). Bersama Agus R. Sarjono menjadi editor Seri
Puisi Jerman yang terbit sejak tahun 2003.
Anggota Komisi Jerman-Indonesia
untuk Bahasa dan Sastra yang pada tahun 1997 didirikan atas petunjuk Kanselir
Jerman dan Presiden Republik Indonesia. Pada tahun 2010 ia dipilih Kementerian
Luar Negeri R.I. menjadi Presidential Friend of Indonesia. Sejak tahun 2011 ia
juga giat sebagai redaktur Jurnal Sajak
[1] Misalnya pada tulisan saya
berjudul Sastra, Penerjemahan, dan Penyebaran Budaya: Fakta dan Renungan di:
Pusat- Majalah Sastra, edisi 1, tahun 2010, hal. 34-39.
[2]Daftar terjemahan Jerman dari
karya Sastra Indonesia Modern yang dipublikasikan di jurnal Orientierungen
terakses di website berikut:
http://www_unibonn.de/~uso008/Publikationen/books-indo-orientierungen-archiv.htm
[3] Sebuah dokumentasi lengkap
tentang latar belakang dan kegiatan „Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan
Sastra” terdapat di: Berthold DamshAuser: ,Peran Negara dalam Penyebaran
Sastra: Komisi Indonesia-Jerman untuk Bahasa dan Sastra”, Horison XL111, No.
12/2008, hal. 1830.
[4] Lihat juga website resmi
Frankfurt Book Fair: http://www.buchmesse.de/en/ serta informasi di wikipedia
berbahasa Inggeris: http://en.wikipedia.org/wiki/Frankf ut_Book_Fair
[5] Tentu ada kekecualiaan.
Segelintir orang mungkin akan sanggup menghasilkan teks puitis dalam bahasa
yang bukan bahasa ibu, tapi itu sangat jarang terjadi. Saya sendiri tidak
termasuk orang sepandai itu, karena itu selalu melibatkan penutur Indonesia
yang memenuhi syarat, yakni orang berbakat puisi, sebaiknya penyair, seperti
Ramadhan K.H. dan Agus R. Sarjono, rekan-rekan saya dalam proses penerjemahan
puisi Jerman ke bahasa Indonesia.
Sumber:
Jendela Sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar