Linda Christanty |
Mantagibaru.com—Seratus hari menjelang
perhelatan Frankfurt Book Fair di Jerman, pada Oktober mendatang, menguar
kritik dari beberapa penulis tentang partisipasi Indonesia di ajang jual beli
rights tersebut. Salah satunya, kritik yang dilontarkan sastrawan Linda
Christanty di akun Facebook-nya, pekan lalu.
Ia
antara lain menyoroti tema yang diusung Indonesia, tidak adanya kriteria dan
transparansi dalam menentukan penulis partisipan, dan proses subsidi
penerjemahan yang tidak berjalan semestinya.
Dalam
pendapat yang ditayangkan di akun Facebook, pada 23 Juni 2015, Linda
menyinggung sebuah berita di situs web DW Indonesia yang disebutnya tidak
berdasarkan fakta. Sontak opini yang ditulisnya ini menuai perhatian banyak
kalangan.
Berita
tersebut menyoroti peluang Indonesia sebagai Tamu Kehormatan Frankfurt Book
Fair 2015, juga peran dua penulis Indonesia yang dianggap pelopor penulisan
novel berlatar peristiwa 1965. Kalimat "memaksa Indonesia berhadapan
dengan sejarah kelamnya adalah penulis perempuan" dalam berita tersebut
adalah kalimat yang dikritik Linda.
“Itu kebohongan yang luar biasa,” tulis Linda.
Menurutnya, karya fiksi yang mengisahkan peristiwa 1965 sudah ada sejak lama,
jauh sebelum buku Leila S. Chudori dan Laksmi Pamuntjak dirilis, mulai dari
masa presiden Suharto berkuasa hingga sekarang.
Linda
menyebut nama sederet penulis, dari Noorca M. Massardi, Umar Khayam, Ahmad
Tohari, sampai Mira W. yang juga
mengisahkan peristiwa 1965 dalam karya mereka.
Menurutnya,
tidak tepat menyimpulkan Leila dan Laksmi sebagai penulis perempuan yang
memaksa Indonesia berhadapan dengan sisi kelamnya yang terkait peristiwa 1965.
Ia
mengatakan bahwa dari segi kuantitas, penulis laki-laki yang justru paling
banyak menjadikan tema itu dalam karya mereka. Penulis laki-laki maupun
perempuan telah menulis karya bertema tersebut dengan perspektif yang juga
beragam, dari waktu ke waktu.
Saat
dihubungi CNN Indonesia via sambungan telepon, pada (30/6/2015), sang penulis
mengaku melontarkan kritik semata untuk memperbaiki pelaksanaan proyek
pemerintah ini.
"Kritik
kami adalah fungsi kontrol terhadap hal yang berkaitan dengan proyek pemerintah
dan hal itu biasa dilakukan di sebuah negara demokrasi,” kata Linda. Kritik
adalah bagian dari cara berdemokrasi, katanya.
Menurutnya,
apa yang disampaikan melalui akun Facebook relevan dengan slogan Pemerintah
sekarang yang ingin membebaskan Indonesia dari praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme.
Partisipasi
Indonesia di ajang berskala internasional FBF adalah proyek pemerintah
Indonesia untuk mengenalkan buku-buku Indonesia ke dunia internasional.
Rombongan partisipan Indonesia berangkat ke Jerman dibiayai uang negara.
"Indonesia
menjadi Tamu Kehormatan FBF merupakan proyek negara, bukan proyek pribadi atau
proyek kelompok," katanya. "Publik juga tak pernah tahu bagaimana
Komite Nasional dipilih. Itu juga masalah tersendiri."
Tak
hanya pemilihan Komite Nasional, Linda juga mempertanyakan dan mempermasalahkan
pemilihan penulis yang akan berangkat ke FBF 2015. "Sejak awal tidak
pernah ada kriteria yang ditetapkan dan diumumkan," kata Linda.
Tanpa
adanya transparansi, Linda menengarai akan ada celah untuk terjadinya kolusi.
Ia menegaskan, sebagai bagian dari transparansi, seharusnya panitia menetapkan
kriteria penulis yang dipilih dan mengumumkan secara terbuka.
Sorotan
Linda makin tajam kala membahas soal subsidi penerjemahan buku yang
diikutsertakan ke FBF. Proses subsidi penerjemahan ini sangat rumit, disebut
Linda, yang menunjukkan kegagalan dari kerja komite.
Padahal
subsidi penerjemahan buku ini didanai pemerintah agar buku-buku berbahasa
Indonesia yang merupakan buku-buku terbaik dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa
Jerman dan Bahasa Inggris untuk diikutsertakan ke FBF 2015.
“Kalau
tidak ada buku-buku terjemahan yang memadai, apa yang mau dipromosikan kepada
dunia luar di FBF nanti,” katanya.
Diakuinya,
tak sedikit penulis yang mengeluhkan proses subsidi penerjemahan yang rumit.
Dalam
hal buku-buku sastra, tidak ada karyanya dan banyak rekan sastrawannya yang
diterjemahkan ke Bahasa Jerman atau Bahasa Inggris. Bukunya yang diterjemahkan
ke Bahasa Jerman adalah buku esai politik dan budayanya yang berjudul Jangan
Tulis Kami Teroris. Buku ini akan terbit pada awal September nanti di Berlin
dengan judul Schreib Ja Nicht, Dass Wir Terroristen Sind!
Kalau
sudah begini, ia yakin, karya-karya sastra yang diikutsertaan di FBF tidak
dapat menjadi presentasi yang signifikan dari karya-karya terbaik Indonesia.
"Sebagai
Tamu Kehormatan FBF,” kata Linda, “seharusnya Indonesia memamerkan karya
terbaik. Inilah kesempatan menjadi sorotan dunia, ketika semua mata tertuju
kepada kita dan harus dimanfaatkan."
Ia
mengaku sudah dihubungi panitia sejak awal Juni untuk diikutsertakan karyanya
di FBF, namun setelahnya tak ada kelanjutan apa-apa. Tapi Linda mengaku tak
pernah melihat daftar 70 penulis yang akan diberangkatkan ke FBF 2015. Padahal
transparansi itu sudah seharusnya dilakukan, mengingat keikutsertaan Indonesia
sebagai Tamu Kehormatan di FBF 2015 ini adalah proyek Pemerintah.
Untuk
itulah, Linda melontarkan kritik, sebagai kontrol terhadap kinerja panitia atau
Komite Nasional. Kinerja harus segera diperbaiki mengingat perhelatan FBF
tinggal 100 hari lagi.
Saat
ditanya adakah ia berharap ada tindak lanjut setelah dihubungi sekretariat
Komite Nasional, Linda menjawab, "Apa yang bisa saya harapkan, pelaksanaan
FBF tinggal tiga bulan lagi."
Linda
hanya berharap Komite Nasional memberikan tanggapan baik terhadap kritik-kritik
yang dilontarkan. Khusus untuk sastra, ia mengatakan bahwa seharusnya
orang-orang yang terlibat dalam komite itu mempunyai pengetahuan yang baik
tentang sastra dan sastrawan yang karyanya layak diunggulkan di FBF.
"Kami
melontarkan kritik karena melihat ada sesuatu belum berjalan baik sebagaimana
mestinya," katanya. "Kami ingin Komite Nasional yang dipilih
pemerintah menampilkan kinerja terbaiknya."
Sumber:
CNN Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar