OLEH AS Laksana
Dalam
situasi pelik dan karut marut, orang seringkali mengungkap dirinya sendiri.
Mereka yang selama ini menampilkan diri sebagai orang bijak dan cendekia,
pembela kebebasan bersuara, menghargai sikap kritis dan rajin mendorong
orang-orang lain untuk bersikap kritis, bisa seketika menjadi orang-orang yang
cepat kalap dan dengan enteng menghakimi para pengkritik sebagai medioker,
orang-orang yang dengki, orang-orang jahat dan kasar, dan sebagainya.
Menghadapi
yang semacam itu, kita bisa bebas memilih: apakah menunjukkan kehalusan budi
pekerti demi membuktikan bahwa mereka keliru atau menjadikan diri lebih kasar
dari yang mereka inginkan.
Tapi
orang berbuat atau tidak berbuat sesuatu bukan karena mengikuti ucapan
orang-orang lain. Charles Darwin tidak akan pernah mengeluarkan teori evolusi
sekiranya ia mendengarkan suara orang-orang gereja waktu itu. Dan kita tidak
akan pernah berani bersuara jika risau memikirkan apa kata orang.
Sebenarnya
saya berhak marah terhadap komentar-komentar sembrono yang menyamakan kritik
saya sebagai ekspresi kebencian personal. Itu kedangkalan yang mengerikan. Saya
kenal dan berteman baik dengan sejumlah orang di komunitas Salihara. Bagi saya,
Salihara adalah komunitas yang menyenangkan. Ia memiliki program rutin dan
menawarkan acara-acara yang, bagi saya, banyak yang menarik. Ia menjadikan
dirinya tempat di mana pemikiran mendapatkan apresiasi dan dibicarakan dengan
takzim. Ia juga memiliki keberanian bahkan untuk mendukung pemikiran dan
gerakan yang bagi orang banyak sangat kontorversial. Saya menghormati
keberanian yang mereka tunjukkan.
Dengan
segala yang dilakukannya, Salihara memikat bagi banyak orang dan saya percaya
banyak juga orang yang ingin menjadi bagian dari komunitas tersebut, di samping
Salihara sendiri rajin merawat dan memperluas jaringan. Kita tahu, Salihara
bukan sekadar gedung pertunjukan. Ia sebuah komunitas—sebuah gerakan yang
memiliki tujuan. Karenanya Salihara mengembangkan jaringan dan itu gejala yang
sehat. Saya kira hanya makhluk yang sudah putus asa yang tidak merasa perlu
mengembangkan dan merawat jaringan.
Salihara
bukan makhluk yang putus asa. Maka ia mengembangkan jaringan dan, dengan
jaringan yang ia miliki, Salihara bisa menjadi mesin promosi yang sangat baik
untuk ide-ide dan apa saja yang ingin mereka promosikan, termasuk buku-buku
yang ditulis oleh orang-orang Salihara. Tentu saja tidak semua. Salihara bukan
agen pemasaran buku. Nirwan Dewanto menulis dua kumpulan puisi dan orang-orang
Salihara tidak membuat gerakan untuk mempromosikan kedua buku Nirwan. Sitok
Srengenge menerbitkan kumpulan puisi dan Salihara tidak membuat gerakan promosi
untuk buku Sitok. Goenawan Mohamad menerbitkan kumpulan puisi, naskah drama,
kumpulan esai, dan Salihara tidak menggunakan jaringannya untuk menggencarkan
promosi buku-buku Goenawan Mohamad.
Terhadap
novel Laksmi Pamuntjak, jaringan itu bekerja. Pada Oktober 2012, Goenawan
Mohamad menulis Catatan Pinggir berjudul “Amba”, sama dengan judul novel Laksmi
Pamuntjak yang sedang ia bicarakan dalam kolomnya. Sebentar kemudian, Desember
2012, ia sekali lagi menulis tentang “Amba”, kali ini bersama “Pulang” karya
Leila S. Chudori, dalam Catatan Pinggir berjudul “1965”. Bambang Sugiharto
segera menyiarkan pujian-pujiannya terhadap novel tersebut, dalam artikelnya di
Kompas, dengan menyebut “Amba” sebagai novel “world class”. Sitok Srengenge
diminta juga oleh GM untuk menulis tentang Amba—ia menceritakan itu kepada
saya—dan ia menulis untuk Tempo. Andy Budiman mewawancarai penulisnya untuk
disiarkan di Deutsche Welle, media publik Jerman, tahun 2013.
Di
antara kerja-kerja promosi ini tulisan Elya Utama berjudul “Dua Wanita” muncul
di harian Kompas, seminggu setelah puji-pujian oleh Bambang Sugiharto. Tulisan
ini berupaya menunjukkan kepada pembaca kesamaan-kesamaan antara “Amba” dan
“Saman”—baik dalam struktur, plot, diksi, pandangan tokoh-tokohnya, dll. Di
ujung tulisannya Elya Utama membuat dugaan-dugaan: (1) penulis “Amba” meniru
penulis “Saman”, (2) kedua penulis memiliki latar belakang yang sama dan
bekerja bersama-sama, (3) kedua karya sebenarnya karya arsitek yang sama,
menggunakan nama yang berbeda-beda.
Itu
tulisan yang mengganggu promosi baik tentang Amba. Lalu muncullah
“gremang-gremeng” dan spekulasi pada pihak yang jengkel bahwa Elya Utama tidak
lain adalah Bre Redana, seolah-olah Bre memiliki motif untuk menjegal “Amba”.
Saya
kira tulisan Elya Utama sangat membantu “Amba” dipergunjingkan orang. Saya
tergerak untuk membeli novel tersebut dan ikut mengulasnya. Saya juga
menyampaikan penilaian-penilaian saya tentang “Amba” ketika majalah Tempo
mengundang saya sebagai narasumber ahli pada akhir tahun 2012 untuk menentukan
buku sastra terbaik tahun itu. Saya tidak kenal secara pribadi dengan Laksmi
Pamuntjak dan tidak memiliki alasan apa pun untuk membencinya dan saya tidak
memilih “Amba”. Redaksi majalah Tempo tentu akan menolak keras penilaian saya
jika alasan saya adalah, “Saya tidak memilih ‘Amba’ karena saya tidak suka
kepada pengarangnya.”
Dengan
pertimbangan-pertimbangannya sendiri, narasumber ahli lainnya, Manneke Budiman,
juga tidak memilih “Amba”. Demikian pula narasumber ahli ketiga Melani
Budianta, profesor sastra UI, yang dihadirkan pada rapat terakhir—ia juga tidak
memilih “Amba”.
Leila
S. Chudori sependapat dengan saya dan Manneke (pada waktu itu Melani Budianta
belum terlibat) untuk tidak memilih “Amba”. Leila duduk persis di sebelah saya
dan saya sempat keliru mengambil dan mengenakan kacamatanya, yang ia taruh di
atas meja, karena mengira itu kacamata saya. Bingkai kacamata kami ternyata
mirip.
Ada
beberapa dari awak redaksi Tempo yang menyukai “Amba” dan rapat untuk
menentukan buku terbaik berjalan agak alot. Di tengah situasi itu, Leila
mengatakan secara tegas agar dirinya dianggap tidak pernah terlibat dalam
penjurian jika Tempo memilih “Amba” sebagai buku sastra terbaik tahun 2012.
Novel “Pulang” karya Leila tidak dilibatkan dalam penjurian karena Tempo
memiliki kebijakan untuk tidak mengikutkan karya orang-orang Tempo di dalam
seleksi.
Apakah
ada di antara orang-orang bijak itu yang akan mengatakan bahwa Leila S. Chudori
membuat penolakan keras karena ia memiliki persoalan pribadi dengan Laksmi
Pamuntjak? Silakan saja. Saya tidak akan mendukung ataupun menahan-nahan gairah
orang untuk membuat kesimpulan apa pun berkaitan dengan penolakan Leila
terhadap “Amba”. Itu masalah mereka sendiri.
Mengenai
gerakan mempromosikan teman sendiri, setiap komunitas atau pribadi tidak
dilarang melakukannya. Saut Situmorang boleh melakukannya, Goenawan Mohamad
boleh melakukannya, Waljinah boleh melakukannya. Saya juga kadang melakukannya.
Pernah dalam sebuah forum saya ditanya siapa penulis-penulis Indonesia terbaik
menurut saya dan dengan ringan hati saya menjawab: “Teman-teman saya. Semua
teman saya adalah penulis terbaik Indonesia.”
Namun,
kita tahu, promosi dan pujian yang dilakukan oleh jaringan pertemanan, segencar
apa pun, tidak akan membuat sebuah karya yang medioker menjadi bermutu tinggi.
Caci maki tanpa alasan juga tidak akan menurunkan mutu sebuah karya—jika karya
itu memang benar-benar bermutu. Penjurian di Tempo tahun 2012 itu akhirnya
memilih kumpulan puisi Joko Pinurbo sebagai buku terbaik. Bahwa promosi
terhadap “Amba” terus dijalankan dan Goenawan Mohamad menggunakan jaringan
pertemanannya di luar negeri untuk mempromosikan kehebatan novel tersebut,
tidak ada orang yang berhak melarangnya. Sekiranya GM yakin betul bahwa “Amba”
adalah novel “world class” sebagaimana kata Bambang Sugiharto, malahan keliru
kalau ia tidak menggunakan jaringan teman-temannya di luar negeri untuk
mempromosikan buku itu.
Selanjutnya,
mari kita dudukkan saja urusan ini dalam cara pandang yang lebih beres: Kritik
terhadap kepanitian Guest of Honour FBF 2015 adalah kontrol publik terhadap
kegiatan yang dijalankan dan didanai oleh negara. Transparansi diperlukan agar
publik bisa melihat dengan terang bahwa yang menjadi tamu kehormatan Frankfurt
Book Fair 2015 adalah Indonesia dan bukan kelompok tertentu. Ini krusial karena
publik tahu bahwa GM menjadi ketua panitia dan sejumlah orang di dalam
jaringannya terlibat dalam kepanitiaan itu. Jauh sebelumnya mereka adalah
orang-orang yang mempromosikan Laksmi Pamuntjak. [*]
Sumber:
Akun Facebook AS Laksana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar