London Book Fair |
Mantagibaru.com—Tanda tanya yang
menggelayuti pikiran penulis-penulis Indonesia perihal Frankfurt Book Fair 2015
seakan dijawab oleh daftar nama yang beredar. Daftar itu menyebut puluhan nama
penulis yang bakal ikut ke ajang festival buku terbesar di dunia itu. Mereka
akan mewakili Indonesia, negara yang menjadi tamu kehormatan di acara itu pada
Oktober nanti.
Namun
daftar itu ternyata belum final. Dihubungi CNN Indonesia, Kamis (2/7/2015) Andy
Budiman selaku Komite Media dan Hubungan Luar Frankfurt Book Fair 2015
menjelaskan bagaimana daftar itu bisa beredar luas di media Jerman.
"Wartawan
dan pihak Jerman minta nama-nama yang disebut, jadi kita masukkan itu dulu.
Untuk keperluan publikasi di Jerman," katanya. Nama-nama yang masuk dalam
daftar tentunya sudah berdasarkan kurasi dari Komite Buku, yang juga bagian
dari Komite Nasional yang diketuai sastrawan Goenawan Mohamad.
Di
dalam negeri sendiri, daftar itu memang belum resmi dirilis. Komite Nasional
masih berupaya menghubungi satu per satu penulis dan mencocokkan dengan jadwal
mereka. "Tapi kurang lebih (daftarnya) seperti itu," Andy mengatakan.
Bukan hanya menunggu konfirmasi penulis, daftar itu juga harus melalui
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Saat
ini sudah diajukan. Pemerintah yang akan menyetujui apakah jumlahnya tetap
segitu atau dikurangi, mudah-mudahan sih enggak. Persetujuan pasti dalam waktu
dekat," ucapnya.
Penentuan
nama-nama yang ada dalam daftar, menurut Goenawan saat dihubungi secara
terpisah, melewati tiga kurator. Hasil kurasi yang mewakili penulis dari
berbagai daerah dan genre buku itu diserahkan ke Frankfurt. "Ada
kuratornya tiga orang. Hasil seleksi mereka diserahkan ke tim di
Frankfurt," ujarnya.
Perkara
pertimbangan kurasi, Ketua Komite Buku, Lucya Andam Dewi menjelaskan saat
dihubungi Kamis (2/7/2015), terdapat enam kriteria yang harus dipenuhi.
"Di antaranya, penulis harus asli Indonesia, karyanya sudah ada yang
diterjemahkan ke bahasa asing, dan karya itu harus asli bukan terjemahan,"
ujarnya.
Proses
seleksi, lanjutnya, dilakukan oleh tim independen dan sudah dimulai sejak
bertahun-tahun sebelumnya, tidak serta-merta.
Andy
menegaskan soal karya yang sudah diterjemahkan. Penerjemahan boleh ke bahasa
Inggris, lebih bagus lagi jika Jerman. "Karena dengan begitu kita bisa
tawarkan ke publik Jerman untuk membeli haknya. Supaya mereka bisa membaca dulu
karyanya," ujar Andy.
Komite
Buku menyeleksi dari sekitar dua ribu menjadi 300-an judul. "Buku-buku itu
yang akan mendapat subsidi penerjemahan," kata Lucya.
Penerjemahan yang Seret
Sebanyak
300 buku itu menjadi target Komite Nasional untuk diterjemahkan dan dibawa ke
Frankfurt Book Fair 2015. Namun karena waktu terlalu singkat, target diturunkan
menjadi 200-an buku. Dalam status Facebook-nya pada Selasa (30/6), Goenawan
menegaskan sudah 200 judul buku yang diterjemahkan ke asing.
Jumlah
itu juga sudah dikonfirmasi Andy. Sebuah lonjakan yang luar biasa, mengingat
pada April 2015 saat jumpa pers Frankfurt Book Fair di kawasan Gambir, Jakarta
Pusat, Komite Penerjemahan melaporkan baru 143 buku yang sudah tuntas. Andy
mengakui, soal penerjemahan memang banyak kesulitan. Terutama soal tarif.
"Selain
agak telat, ada perbedaan standar tarif antara pemerintah kita dengan
Jerman," ia menuturkan. Di pemerintah kita, per halaman dihargai Rp 170
ribu. Jika penerjemahnya orang asing yang tak punya NPWP, dipotong pajak
menjadi sekitar Rp 120 ribu. Selisihnya jauh dengan standar Jerman, Rp 480 ribu
per lembar.
Tapi
karena sudah terlanjur suka, ada beberapa penerbit yang memilih menerjemahkan
buku lebih dahulu tanpa memikirkan tarif. Jika menunggu keputusan pemerintah
soal tarif, terlalu lama. "Tapi sepertinya pemerintah sudah mulai menerima
standar tarifnya segitu," ujar Andy.
Selain
itu, jumlah penerjemah juga sedikit. "Yang paling sulit mencari penerjemah
berkualitas. Apalagi untuk sastra. Mungkin hanya 20 sampai 30. John McGlynn
(Yayasan Lontar) bahkan bilang kurang dari 10," kata Andy. Padahal
menerjemahkan satu buku sastra butuh waktu sampai sekitar setahun.
Alhasil,
ada beberapa penerjemah yang memegang lebih dari satu judul buku. Dari 200-an
judul pun, hanya sekitar 130 buku yang berbahasa Jerman. Lainnya, agar
penerjemahan lebih mudah, dialihkan ke bahasa Inggris.
Idealnya
buku-buku itu selesai sebelum 13 Oktober, hari pembukaan Frankfurt Book Fair
2015. Tapi Andy memaklumi jika hasilnya tidak sesuai target. Buku tetap
diboyong ke Jerman.
"Mungkin
ada beberapa yang belum selesai, tapi enggak apa-apa. Bisa kita bawa dulu dan
bilang buku itu sedang diterjemahkan," tuturnya. Dari 200-an judul,
sebagian sudah tuntas dan sebagian lagi kini pada tahap akhir penerjemahan.
Buku yang akan diterjemahkan, kata Andy, masih terus bertambah jumlahnya.
Sorotan Media Jerman
Bukan
hanya Indonesia yang sibuk mempersiapkan keberangkatannya ke Frankfurt. Publik
Jerman pun menunggu-nunggu Indonesia sebagai tamu kehormatan mereka. Dunia buku
Indonesia disorot media. Beberapa bahkan datang ke Indonesia untuk melakukan
peliputan langsung.
Salah
satu sorotan kemudian menimbulkan masalah. Menurut sebagian pihak, hanya tema
karya tertentu yang disorot lebih. Celakanya, sorotan itu diikuti oleh
pemberitaan yang, menurut penulis AS Laksana, tidak akurat. Sebab tema yang
ditonjolkan seakan hanya soal 1965, yang tercermin lewat buku tertentu.
Andy
membantah adanya pengarahan tema itu. "Itu hanya satu dari sekian banyak
buku. Lihat karya Andrea Hirata, AS Laksana sendiri, Linda Christanty, kan
tidak tentang itu. Ada juga buku resep, komik," Andy menjelaskan.
"Tidak lebih dari 65 persen yang temanya 1965."
Media
Jerman kebetulan saja menulis khusus tentang itu, menurutnya, karena tertarik.
"Baru-baru ini filmnya Joshua Oppenheimer, Senyap, diputar dan
didiskusikan di sana. Jangan lupa juga bahwa Jerman merasakan konflik Yahudi
dan Hitler, dampak Perang Dingin. Maka mereka menyambut tema itu dengan hangat.
Kita tidak mengarahkan," ujarnya lagi.
Itu
sesuai dengan pernyataan Goenawan Mohammad saat berkomentar di Facebook, bahwa
tema 1965 memang sedang digandrungi di Jerman. Perkaranya tak lepas dari latar
belakang negara, film Senyap, dan buku penulis lokal tentang komunisme yang
baru terbit.
Ketertarikan
media Jerman terlihat pula saat mereka meliput langsung ke Indonesia. Mereka
memilih narasumbernya sendiri. "Kami hanya membantu. Mereka riset dan
wawancara sendiri," Andy menegaskan. Ada pertimbangan masing-masing media
yang tak bisa dicampuri.
"Salah
satunya karya Laksmi Pamuntjak (penulis Amba). Dia memang lebih awal
diterjemahkan ke Jerman," Andy melanjutkan. Itu sebabnya, kata Andy,
Laksmi diundang ke Jerman lebih dahulu daripada penulis lain.
"Kita
kan mempromosikan yang karyanya sudah ada. Dan bukan hanya dia yang diundang,
tetapi juga Sapardi Djoko Damono, Ahmad Tohari, dan Beng Rahadian yang komikus
itu. Kami memilihnya karena menarik," tutur Andy.
Penulis
novel Pulang, Leila S. Chudori, pun menyampaikan hal senada melalui akun
Facebook miliknya, Rabu (1/7) malam. Ia menegaskan, bukunya sudah lebih dahulu
dilirik oleh penerbit asing untuk diterjemahkan sebelum Indonesia menjadi tamu
kehormatan Frankfurt Book Fair.
Penerbit
di Perancis menerbitkan novelnya, Pulang dengan bahasa setempat pada Oktober
2014, tanpa lewat Komite Nasional. De Geus penerbit Belanda, Weidle Verlag
penerbit Jerman, dan Deep Vellum penerbit Amerika Serikat juga tertarik
menerjemahkan Pulang.
"Para
penerbit saya, terutama penerbit Belanda, Jerman, dan Perancis semua tetap
menyampaikan apakah Indonesia menjadi GOH FBF atau tidak, mereka akan
menerbitkan Pulang," tulis Leila menegaskan melalui dinding Facebook.
Sumber:
CNN Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar