OLEH Adhimas
Faisal
Perhelatan
Frankfurter Buchmesse atau Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 yang belum saja
dimulai, ternyata telah menimbulkan polemik di dalam negeri. Penyebabnya
berakar, tema 17.000 Islands of Imagination yang diusung oleh delegasi
Indonesia, bergeser ke tema “Peristiwa 65.” Polemik ini ikut menarik urat
syaraf para penggiat literasi tanah air untuk memperdebatkannya.
Dalam
gelaran yang dimulai sejak tahun 1949 itu, Indonesia ditasbihkan sebagai tamu
kehormatan (guest of honour) oleh panitia FBF. Posisi Indonesia yang “lain
daripada yang lain” itu dianggap sebagai momentum penting bagi perkembangan
sastra dan kebudayaan Indonesia. Terlebih, untuk mengenalkan khasanah sastra
Indonesia di mata dunia.
Karenanya,
penggiat sastra tanah air merasa punya peran penting untuk mengawal ajang yang
terhormat itu. Wajar jika kritikan pun bergemuruh di sela-sela penyelenggaraan,
pemilihan karya, kualitas karya, hingga polemik pemberitaan di salah satu media
online Jerman.
Kritik
mulai mendera ketika Goenawan Mohamad (GM) dipilih sebagai Ketua Komite
Nasional oleh Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah, Anies Baswedan.
Budayawan sekaligus penggagas majalah Tempo ini turut mengusung tema “17.000
islands of imagination.” GM pun memilih 70 penulis yang akan dibawa ke
perhelatan itu. Di antaranya merupakan sastrawan.
Beberapa
nama penulis tersebut di antaranya Andrea Hirata, Sapardi Djoko Damono, Ayu
Utami, Eka Kurniawan, Ahmad Fuadi, Tere Liye, Dewi Lestari, Linda Christanty,
NH Dini, Seno Gumira, dan Sindhunata.
Namun,
dalam perjalanannya, tema 17 ribu Pulau Imajinasi itu justru melenceng jauh.
Tidak ada imajinasi dari 17 ribu pulau yang dapat merepresentasikan kesustraan
Indonesia. Melainkan, Peristiwa 65 atau Pergerakan G30S PKI menjadi tema utama
Indonesia yang diwakilkan melalui novel Amba dan Pulang. Kabar mengagetkan ini
juga diperkuat oleh berita kontroversial dari media Jerman DW Indonesia pada 23
Juni 2015.
Dalam
berita di media Jerman versi bahasa Indonesia itu tertulis, “Dari 13-18
Oktober, Indonesia akan tampil di Frankfurt sebagai tamu kehormatan. Yang cukup
mengejutkan, kebanyakan yang memaksa Indonesia berhadapan dengan sejarah
gelapnya adalah penulis perempuan.”
Kalimat
terakhir pada pemberitaan itu jelas keliru. Karena, sejarah sastra Indonesia
mencatat bahwa tak lama setelah Soeharto naik tahta hingga saat ini, telah
banyak penulis laki-laki menulis novel bertemakan peristiwa 65. Bukan hanya
Laksmi Pamuntjak yang menulis Amba dan Leila S Chudori sebagai penulis Pulang.
Sebut saja, Noorca M Massardi dengan novel September, Umar Kayam dengan cerpen
Sri Sumarah dan Bawuk, Ahmad Tohari dengan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk,
sampai Eka Kurniawan dengan Cantik Itu Luka.
Jadi,
publik sastra tanah air melihat ada dua hal yang salah pada proses perjalanan
FBF ini. Pertama, mengapa tema 17.000 Pulau Imajinasi itu disempitan dan
diselewengkan ke peristiwa 65 sebagai tema bayangan? Kedua, kenapa hanya dua
penulis perempuan yang dikatakan sebagai pelopor novelis bertema 65? Sedangkan,
banyak karya dari novelis laki-laki muncul
jauh sebelum Laksmi dan Leila.
Dengan
demikian, publik mencium gelagat aneh jika sebenarnya permasalahan ini
menyimpan sebuah skenario di belakangnya. Mengingat, tidak ada upaya panitia
untuk mencegah kesimpangsiuran ini. Namun, justru sebaliknya, panitia seolah
menganggap hal ini sebagai sebuah kewajaran.
Mata
dunia, khususnya pers dan publik Jerman sekarang fokus pada tema FBF Indonesia:
peristiwa 65 yang sejatinya merupakan sejarah kelam Indonesia. Sayang sekali,
melihat status sebagai tamu kehormatan FBF, Indonesia justru terkesan mengedepankan
isu komunisme saja sehingga mengenyampingkan tema awal: 17.000 Islands of
imagination. Karena, jika menilik tema itu, terdapat banyak penulis hebat di
Indonesia dengan tema luas yang bisa dimunculkan dibandingkan karya yang
bertemakan peristiwa 65 saja.
Bukan
perkara sederhana, karena tema 17.000 Pulau Imajinasi Indonesia tentu hal yang
sangat menarik. Karena, secara eksplisit, dari judul ini bisa dibayangkan
betapa yang diinginkan publik adalah gambaran tentang kemegahan imajinasi yang
menawan dan akan sangat potensial mencuat.
Misalnya,
keindahan alam atau adat budaya dan kebiasaan-kebiasaan manusia Indonesia yang
mendiami 17.000 pulau besar-kecil yang tersebar dari Sabang sampai Merauke,
dari Miangas sampai Pulau Rote. Bukankah Indonesia di mata dunia terkenal
dengan hal-hal itu?
Pulang
oleh Leila S Chudori dan Amba oleh Laksmi Pamuntjak adalah novel yang sebagian
besar memperbincangkan tokoh-tokoh yang berafiliasi dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Namun, tokoh yang memiliki sisi historis dengan PKI itu
dibentuk penulis justru sebagai “PKI yang melankolis.” Mengapa?
Karena
kesan yang ditangkap terhadap tokoh di dalam novel itu lebih kepada korban yang
berharap—atau harus—diberi simpati. Jadi, apakah ada korelasi 17.000 Islands of
Imagination dengan PKI? Mungkin ada, tapi dalam bentuk dan sudut pandang yang
dipersempit.
Benar
jika PKI, September 1965, dan hari-hari sesudahnya merupakan lembaran muram
dalam buku sejarah Indonesia. Tapi, perlu digarisbawahi, ada banyak sekali
korban-korban akibat peristiwa 65 yang dituduh punya hubungan dengan PKI.
Hidup
mereka tidak pernah lebih baik. Mereka telah mengalami mimpi buruk di sepanjang
malam dan menderita di sepanjang hidupnya. Dengan demikian, haruskah Indonesia
“menjual” peristiwa 65 di luar negeri? Lalu, melencengkan tema Pulau Imajinasi
dan seolah memunculkan dua nama novelis perempuan yang dianggap pelopor itu?
Kini,
kritik mengarah kepada sosok GM sebagai ketua delegasi Indonesia untuk FBF 2015
yang sejatinya akan dilaksanakan pada 13-18 Oktober nanti. Dia berdalih jika
pemilihan tema dan peristiwa 65 berdasarkan ketertarikan publik Jerman terkait
komunisme di Indonesia.
Seperti
tulisannya di Facebook, GM menyatakan orang Jerman suka mengungkit tentang
"masa lalu" yang dihapuskan. Ketertarikan itu diperkuat oleh sebuah
film dokumenter karya Joshua Oppenheimer berjudul The Act of Killing dan The
Look of Silence.
Kedua
film itu mengisahkan sosok eksekutor sadis PKI dan beberapa pengakuan korban
terkait tragedi 65. Film itu sejatinya telah diputar dan didiskusikan di Berlin
dan Frankfurt beberapa waktu lalu.
Hal
serupa juga diutarakan Ketua Komite Media dan Hubungan Luar FBF 2015, Andy
Budiman. Dia membantah semua tuduhan yang cenderung menyerang pihaknya. Lewat
dinding Facebook miliknya, pekan lalu, Andy juga memberikan klarifikasi resmi.
Dia satu suara dengan GM yang menegaskan tidak ada persekongkolan dari pihaknya
untuk mengarahkan peristiwa 65 sebagai tema utama.
“Saudara
Goenawan Mohamad menjelaskan bahwa tidak mungkin ada sebuah tawaran tema
khusus, mengingat tahun lalu saja ada sekitar 40 ribu buku yang diterbitkan di
Indonesia,” kata Andy.
Jika
berangkat dari tema 65 yang tercipta karena ketertarikan publik Jerman, maka
integritas karya sastra Indonesia bisa menjadi lemah adanya. Karena, sangat
sayang jika sastra di Indonesia hanya diukur dari novel yang bertemakan
peristiwa 65 saja. Karena, novel yang telah banyak menerima penghargaan sastra
dunia seperti Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer sejatinya
berbicara kolonialisme dan feodalisme di Indonesia.
Bukan
perkara peristiwa 65 saja. Terkesan bahwa Komite Nasional sepertinya gagal
untuk meredam minat Jerman yang fokus hanya terhadap persitiwa 65 saja tanpa
bisa dialihkan ke topik-topik lainnya. Sehingga, ketertarikan itu akhirnya yang
menjadi parameter “jualan” sastra Indonesia di FBF nanti.
Jika
benar Komite Nasional menggunakan parameter itu untuk melompat jauh dari tema
17.000 Pulau Imajinasi, maka kecurigaan lainnya mengarah pada proses seleksi
penulis yang dibawa ke FBF. Mengingat, hanya ada dua penulis seperti Laksmi
Pamuntjak dan Leila S Chudori yang seolah dilambungkan.
Selain
itu, tidak transparannya prosedur dan kriteria buku-buku yang akhirnya
diterjemahkan ditengarai sebagai akar permasalahan lain. Sepertinya, tidak ada
parameter yang jelas terhadap pemilihan buku-buku yang akan diterjemahkan.
Faktor ini penting karena buku-buku yang akan dipamerkan di FBF nanti harus
diterjemahkan terlebih dahulu ke dalam Bahasa Jerman atau Inggris.
GM
menampik kecurigaan itu. “Buku-buku yang berhasil diterjemahkan dan dikirim ke
Frankfurt adalah buku yang telah dikuratori oleh tiga orang Jerman. Buku-buku
itu diseleksi bukan berdasarkan nama penulis. Melainkan, berdasarkan keragaman
tema dan daerah si penulis. Memang, sampai saat ini proses penyeleksiannya
belum final,” kata GM di laman Facebook miliknya. Tapi, argumentasi itu dinilai
masih lemah. Karena kurator hanya diisi dari pihak Jerman dan tidak diimbangi
kurasi dari pihak dalam negeri sehingga hasilnya tidak akan komprehensif.
Jika
mengenyampingkan peran kurator, permasalahan penerjemahan juga menjadi batu
sandungan bagi proses penyeleksian penulis Indonesia. Permasalahan sebenarnya
adalah bagaimana mempromosikan buku-buku penulis jika karyanya belum
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris atau bahasa Jerman.
Ironis,
ketika penulis-penulis berbakat Indonesia gagal mempromosikan karyanya hanya
karena perkara penerjemahan. Sehingga permasalahan penerjemahan ini menjadi
pemicu lain penyelewengan tema FBF Indonesia. Karena, diketahui bahwa novel
Amba sejatinya telah dikenal publik Jerman dengan nama Alle Farben Rot. Amba
ditemukan dan dibeli hak ciptanya oleh Penerbit Ulstein Verlag melalui
Borobudur Literary Agency pada tahun 2013.
Sebenarnya,
pemerintah Indonesia telah menyediakan subsidi penerjemahan buku-buku Indonesia
ke dalam Bahasa Jerman dan Bahasa Inggris terkait FBF 2015 ini. Prosedurnya
sudah dimulai sejak tahun lalu. Tapi pelaksanaannya tidak berjalan lancar.
Buku-buku
dari para penulis terbaik Indonesia tidak pernah bisa diterjemahkan secara
proporsional dan komprehensif. Entah faktor apa penyebabnya. Buku-buku yang akhirnya
dapat diterjemahkan sangat tidak memadai jumlahnya dan gagal menjadi gambaran
yang signifikan dari karya-karya terbaik di negeri ini. Ironis, mengingat
pemerintah telah menunjukkan komitmennya pada FBF 2015 dengan mengeluarkan dana
sebesar Rp146 miliar.
Kini
pelaksanaan FBF hanya menyisakan waktu tiga bulan saja. Sementara persoalan
masih belum dapat diurai sepenuhnya. Tentu, masyarakat sastra di Indonesia
berharap bahwa nantinya Indonesia tidak hanya menampilkan tema peristiwa 65
semata. Karena, khasanah sastra Indonesia begitu kaya tema dan terlalu sempit
jika tema “kelam” itu saja yang nantinya akan merepresentasikan wajah sastra
Indonesia kepada dunia.
Sumber:
akarpadinews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar