OLEH Hendra Pasuhuk (wartawan http://www.dw.com/)
Awal
Juni, 17 wartawan Jerman berkunjung ke Indonesia atas undangan panitia
Frankfurt Book Fair (FBF) 2015. Mereka meliput selama seminggu di Jakarta dan
Makasar. Apa saja kesan mereka? Oleh Hendra Pasuhuk.
"Saya
sudah sering ke Jerman.. Sudah 16 kali ke pameran mebel di kota Köln dulu,"
kata Presiden Joko Widodo ketika menerima delegasi wartawan Jerman di Ruang
Tengah Istana Kepresidenan di Jakarta 3 Juni 2015 lalu.
Audiensi
di Istana Presiden adalah satu dari banyak "kejutan" yang dialami
para tamu dari Jerman itu. Mereka berasal dari berbagai media: televisi, radio,
koran, majalah dan portal online. Setelah dilakukan seleksi panjang, karena
begitu banyak yang mendaftar, 17 orang ini terpilih ikut "Press Trip FBF
2015" ke Jakarta.
Kebanyakan
berasal dari resor budaya, sesuai dengan sektor yang digarap Frankfurt Book
Fair. Tapi mereka semua menganggap perjalanan kali ini bukan hanya soal budaya,
tapi juga soal politik global. Indonesia, yang menjadi "Guest of Honour"
di Frankfurt tahun ini, begitu sering disebut-sebut dengan atribut "negara
muslim terbesar dunia". Para wartawan Jerman yang ikut rombongan ini
memang sudah sering bepergian ke Timur Tengah dan Asia, tapi kebanyakan belum
pernah ke Indonesia.
17 Ribu Gundukan Imajinasi
Jadi,
sejak berangkat dari Frankfurt tanggal 31 Mei malam, mereka sudah
"menyerang" saya dengan berbagai pertanyaan.
Saya
bekerja di Redaksi Indonesia Deutsche Welle di Bonn, dan diminta panitia FBF
2015 untuk mengantar rombongan ini ke Indonesia sambil menjadi penerjemah dan
menjawab "semua pertanyaan tentang budaya dan politik", tentu saja
dengan sebisanya.
Karena
tak mungkin menjelaskan Indonesia hanya dalam semalam penerbangan lewat
Kualalumpur ke Jakarta dengan maskapai Jerman, Lufthansa. Untungnya, FBF 2015
memilih motto yang cocok untuk kehadiran Indonesia: "17,000 Islands of
Imagination".
Dari
motto itu saja saya sudah bisa meminta mereka mengerahkan daya imajinasi dan
membayangkan, apa artinya hidup di sebuah negara berpenduduk 250 juta orang
dengan 17.000 pulau. Dan bagaimana seorang Presiden dan kabinetnya harus
mengelola gunungan imajinasi rakyat yang tentu saja banyak maunya juga.
Singkat
kata, ketika kami transit di Malaysia, saya simpulkan pada mereka: Indonesia
lain dari Malaysia. Indonesia bukan negara Islam, tapi negara dengan penduduk
mayoritas muslim. Bagaimana bedanya, kalian lihat sendiri sajalah..
Penuh Kejutan
Rombongan
kami tiba di Jakarta sekitar pukul 19.00 WIB, sesuai jadwal. Semua berjalan
lancar, kami dibolehkan melewati jalur cepat imigrasi menyelesaikan segala
formalitas, berkat persiapan panitia di Indonesia.
Kejutan
pertama, koper satu wartawan kami, Holger, tidak ada. Belakangan kami tau,
koper itu tertinggal di Jerman, karena pegawai check in salah memberi kode
lokasi tujuan. Holger akhirnya harus menunggu di bandara ditemani satu anggota
panitia penjemput. Yang lain meluncur dengan bis menuju hotel kami di kawasan
ramai Wahid Hasyim/Jalan Jaksa, Menteng.
Begitu
bis turun dari jalan tol kota, mendadak suasana di bis riuh rendah. Para
wartawan tertawa-tawa melihat lalu lintas Senin malam yang penuh sesak. Motor
bersliweran dari segala arah, mobil-mobil berhimpitan dengan jarak sentimeter.
Mereka pun sibuk syuting sana syuting sini. Terutama kalau ada lampu merah yang
menjadi hijau, mereka berebut merekam puluhan motor yang berusaha menyalip
segala sesuatu di hadapannya.
Ada
juga yang merekam sopir bis dengan penuh keheranan. Bagaimana Pak Sopir bisa
begitu tenang menghadapi chaos besar seperti itu. Dia seharusnya mati muda
serangan jantung, kata seseorang. Mereka lebih heran lagi, karena sampai kami
tiba di hotel, tidak terjadi satu pun kecelakaan lalu lintas. Holger tiba di
hotel setelah diantar berbelanja pakaian seperlunya. Dia tetap tenang, karena
sepertinya memang sedikit berjiwa petualang. Amazing Indonesia..!
Telpon dari Presiden
Sampai
Selasa malam, belum ada kepastian kami akan diterima di Istana Kepresidenan.
Bahkan sampai saat itu, belum jelas jam berapa kami akan diterima di
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang sudah diagendakan.
Malam
harinya ada telepon bahwa Mendikbud Anies Baswedan siap menerima kami pukul
7.30 pagi hari.
Rabu
pagi, ada kabar kami akan ke Istana. Tapi Presiden hanya akan memberi
presentasi singkat dan tidak ada tanya jawab, begitu informasi yang diterima.
Rombongan pun berangkat menuju Kemendikbud dan sudah ditunggu oleh Goenawan
Mohamad dan Slamet Rahardjo, Ketua Komite Nasional FBF2015 Indonesia.
Pertemuan
dengan Mendikbud Anies Baswedan sangat berkesan. Menteri Anies memberi
presentasi singkat tentang pendidikan kebudayaan dan tradisi membaca di
Indonesia, penuh data-data menarik dengan bahasa Inggris yang fasih. Para
wartawan Jerman yang tadinya sudah menyiapkan banyak pertanyaan, akhirnya jadi
sibuk menulis kata-kata Menteri. Sampai ketika dia mengakhiri presentasinya dan
bertanya: Any questions..? Semua wartawan sedang menunduk dan sibuk menulis di
buku kecilnya.
Pada
sesi tanya jawab, tiba-tiba telpon Mendikbud berdering dan diambil alih oleh
asistennya. Tak berapa lama sang asisten kembali dan menyodorkan hp kepada
Mendikbud. Dia berhenti berbicara, menatap telpon lalu mengatakan: It's my
boss.. Presiden Jokowi ternyata menelpon langsung dan meminta rombongan
wartawan Jerman segera datang ke Istana. Kami pun bergegas menuju Istana
Kepresidenan.
Ini
Presidennya..?
Setelah
melalui prosedur pemeriksaan serba ketat, kami masuk kompleks Istana.
Sebelumnya semua peserta diminta menyerahkan hp kepada petugas. Alat potret dan
kamera bisa dibawa masuk.
Kami
dibawa ke ruang tengah yang panjang, di ujung ruangan terlihat Jokowi sedang
duduk minum kopi. Melihat wartawan Jerman datang, Presiden melambaikan tangan
menyilahkan masuk. Wartawan di samping saya sempat bingung: Ini Presidennya..?
Dia bertanya agak ragu. Ya, jawabku. Dia pun bergegas melangkah ke depan.
Jokowi menyalami satu persatu peserta yang masuk.
Audiensi
tanpa protokoler ketat itu mungkin menjadi momen yang paling mengesankan bagi
banyak wartawan. Presiden Jokowi menjelaskan bahwa ada satu presentasi yang
telah disiapkan tim kepresidenan, tapi dia mempersilahkan Mendikbud untuk
membawakan presentasi itu. Sebab dia lebih ingin bicara santai saja setelah
presentasi itu.
Namun
sebelumnya, Presiden ingin tau bagaimana situasi media di Jerman, dan dari
media mana saja wartawan yang datang ini. Karena saya satu-satunya dalam
rombongan yang berbicara bahasa Indonesia, saya lah yang diminta menceritakan
maksud dan tujuan press trip ini (foto artikel).
Indonesia
memang lain.
Pertemuan
singkat di Istana dengan Presiden Joko Widodo berakhir dengan sesi berfoto
santai. Setelah keluar dari Istana, banyak yang bertanya bagaimana Jokowi bisa
memenangkan pemilu presiden di negara seluas ini dengan sikap yang begitu
sederhana dan bersahaja. Apakah itu hanya akting dia saja?
Justru
kebersahajaan itu modal terkuatnya, jawabku. Mayoritas pemilih merasa dia
adalah salah satu dari mereka, dan tidak berasal dari golongan super elit yang
mengawang-awang dan terbiasa berpidato hebat.
Masih
banyak kejutan lain yang mereka alami selama perjalanan di Indonesia. Kami
sempat hadir tiga hari di Makasar meliput Makassar International Writers
Festival (MIWF). Sebuah pengalaman menyenangkan dengan trip ke Pulau Lae-Lae
yang bisa dicapai hanya beberapa menit dengan perahu motor.
Selain
itu, banyak tempat di Jakarta yang sempat dikunjungi. Pertunjukan Wayang, Taman
Ismail Marzuki, Diskusi dengan Dewan Kesenian Jakarta, Kota Tua, Salihara dan Galeri
Cemara, di mana Ibu Toety Herati mengejutkan para wartawan dengan membawakan
sebuah lagu Jerman bersyair sajak Heinrich Heine.
Atribut
yang membatasi imajinasi.
Amazing
Indonesia.., itu mungkin kata yang paling sering saya dengar selama mengantar
rombongan ini, yang kembali ke Jerman hari Minggu berikutnya. Setengah dari
rombongan memutuskan untuk tinggal lebih lama di Indonesia, atas biaya sendiri.
Perjalanan
ini benar-benar membangkitkan rasa ingin tahu mereka. Ada yang lalu melanjutkan
perjalanan ke Aceh, Yogyakarta, Ambon, Bali, Surabaya.
Kesimpulan
mereka yang bagi saya paling berkesan mungkin ini: Mereka mengatakan kepadaku,
atribut "negara muslim terbesar dunia", yang sering mereka gunakan
dalam tulisan-tulisannya sebenarnya tidak tepat. Sebab Indonesia tidak hanya
dibentuk oleh kebudayaan Islam, tapi jauh lebih kaya dari itu. Atribut itu
hanya membatasi imajinasi publik Jerman tentang negara ini.
Di
Arab, saya tidak boleh masuk masjid, dan tidak ada perempuan yang boleh
menyalami saya, karena saya laki-laki yang bukan keluarganya, kata seorang
wartawan. Tapi di Makasar, mereka malah menarik-narik tangan saya masuk ke
masjid untuk merekam barisan perempuan yang sedang sholat. Inilah Indonesia.
Dan para perempuan muda berjilbab di depan masjid itu berebut Selfie dengan
saya, kata dia.
Sumber: http://www.dw.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar