Bagian 2 dari 4 Tulisan
OLEH Hasril Chaniago
(wartawan senior)
Keputusan pemerintah membatalkan put option–artinya saham mayoritas PT Semen Gresik Group batal
dijual ke Cemex—juga melalui proses yang panjang, usaha yang melelahkan, bahkan
menuntut banyak pengorbanan. Dalam hal ini patut dicatat sikap patriotisme manajemen
PT Semen Padang khususnya Direktur Utama Ir. A. Ikhdan Nizar dan Dewan
Komisaris yang dipimpin Brigjen Purn. Dr. Saafroedin Bahar.
Dalam rangka meredam tuntutan spin off yang didukung oleh mayoritas manajemen dan karyawan PT Semen Padang, pada tahun 2001 pemerintah pernah punya skenario merombak organisasi dan manajemen PT Semen Gresik Group menjadi PT Semen Indonesia dan menawarkan Ikhdan Nizar sebagai Direktur Utama PT Semen Indonesia tersebut. Tokoh Minang Prof. Dr. Emil Salim–sama-sama berasal dari Koto Gadang dengan Ikhdan—diminta pemerintah menjadi mediator untuk membujuk Ikhdan Nizar menerima skenario itu. Namun karena menyadari skenario tersebut hanyalah cara pemerintah untuk meredam penolakan privasitasi lanjutan dan tuntutan spin off, Ikhdan Nizar menolaknya. Ini menunjukkan sikapnya yang tegas untuk mempertahankan aset negara dari penguasaan asing, dan ia sama sekali tidak sedang memperjuangkan jabatan.
Setelah Maklumat 31 Oktober, pemerintah mulanya hanya menunda put option, belum membatalkan. Pada saat itu pemerintah sempat menawarkan, kalau masyarakat Sumatera Barat menolak put option dan terus menuntut spin off dan Cemex keluar, maka Pemda dan masyaratkan Sumatera Barat harus siap membeli membeli 24,9 persen saham Cemex di PT Semen Gresik Group. Gubernur Zainal Bakar pernah membentuk tim untuk mengkaji opsi tersebut. Tapi jelas itu diluar kemampuan Pemda dan masyarakat Sumatera Barat. Karena nilai saham yang dipegang Cemex tersebut ketika itu sekitar Rp2,5-3 triliun. Dari mana uang sebanyak itu?
Dalam rangka meredam tuntutan spin off yang didukung oleh mayoritas manajemen dan karyawan PT Semen Padang, pada tahun 2001 pemerintah pernah punya skenario merombak organisasi dan manajemen PT Semen Gresik Group menjadi PT Semen Indonesia dan menawarkan Ikhdan Nizar sebagai Direktur Utama PT Semen Indonesia tersebut. Tokoh Minang Prof. Dr. Emil Salim–sama-sama berasal dari Koto Gadang dengan Ikhdan—diminta pemerintah menjadi mediator untuk membujuk Ikhdan Nizar menerima skenario itu. Namun karena menyadari skenario tersebut hanyalah cara pemerintah untuk meredam penolakan privasitasi lanjutan dan tuntutan spin off, Ikhdan Nizar menolaknya. Ini menunjukkan sikapnya yang tegas untuk mempertahankan aset negara dari penguasaan asing, dan ia sama sekali tidak sedang memperjuangkan jabatan.
Setelah Maklumat 31 Oktober, pemerintah mulanya hanya menunda put option, belum membatalkan. Pada saat itu pemerintah sempat menawarkan, kalau masyarakat Sumatera Barat menolak put option dan terus menuntut spin off dan Cemex keluar, maka Pemda dan masyaratkan Sumatera Barat harus siap membeli membeli 24,9 persen saham Cemex di PT Semen Gresik Group. Gubernur Zainal Bakar pernah membentuk tim untuk mengkaji opsi tersebut. Tapi jelas itu diluar kemampuan Pemda dan masyarakat Sumatera Barat. Karena nilai saham yang dipegang Cemex tersebut ketika itu sekitar Rp2,5-3 triliun. Dari mana uang sebanyak itu?
Sumando orang Minang M. Jusuf Kalla (waktu itu Menko Kesra
Kabinet Megawati) juga ikut memediasi penyelesaian persoalan tuntutan
masyarakat Sumbar ini pada tahun 2002. Dalam suatu pertemuan di VIP Room
Bandara Tabing, Jusuf Kalla menerima perwakilan Forum, antara lain Guspardi
Gaus, Azhar Makmur, Buya Mass’oed Abidin dan penulis sendiri, untuk
mendiskusikan hal itu. Di situ kami paparkan, tujuan utama perjuangan
masyarakat Sumatera Barat adalah agar pemerintah jangan menjual PT Semen Gresik
kepada pihak asing. Karena kami yakin, kalau itu sampai terjadi maka industri
semen nasional akan dikuasai asing sehingga dengan mudah mendikte harga semen
dalam negeri yang akan merugikan rakyat dan kepentingan nasional Indonesia.
Sebab, pada waktu itu sejumlah industri semen besar seperti PT Semen Cibinong
dan PT Indocement sudah dibeli dan dikuasai perusahaan asing.
Selain itu, kalau Semen Gresik Group sampai dijual, ini
menimbulkan masalah sendiri pada Semen Padang yang berdiri di atas tanah yang
asalnya adalah tanah ulayat adat yang diserahkan kepada pemerintah. Tanah
ulayat tidak boleh dijual, apalagi ke pihak asing. Karena itu, kalau pemerintah
tetap mau menjual PT Semen Gresik, maka keluarkan dulu (spin off) PT Semen Padang.
“Kalau tidak dijual ke pihak asing, apakah Pemda dan
masyarakat bisa membeli saham Cemex?” tanya Jusuf Kala.
“Bisa, Pak. Tapi dananya disediakan oleh pemerintah pusat,”
jawab kami.
“Itu mau menang sendiri saja namanya,” kata Pak JK tergelak.
Tapi apapun, dari pertemuan tersebut bisa berhasil
diyakinkan pemerintah pusat bahwa pelaksanaan put option hanya akan merugikan negara dan rakyat Indonesia. Lagi
pula, waktu itu tuntutan spin off
sudah mendapat dukungan dari para aktivis dan ekonom di tingkat nasional
seperti Rizal Ramli, Faisal Basri, dan Ichsanuddin Noorsi, selain Revrisond
Baswir.
Meskipun pejuangan membatalkan put option telah berhasil dengan keputusan pemerintah tidak jadi
menjual 51 persen sisa saham di PT Semen Gresik, perjuangan ini juga menuntut
pengorbanan petinggi PT Semen Padang ketika itu. Menteri BUMN Laksamana Sukardi
yang kecewa dengan penolakan masyarakat Sumatera Barat, memerintahkan Direksi
PT Semen Gresik untuk melaksanakan RUPS Luar Biasa PT Semen Padang dengan
agenda penggantian direksi dan komisaris. Walaupun tidak disebutkan rencana
penggantian itu berkaitan dengan sikap manajemen dan karyawan PT Semen Padang
yang menolak put option dan ikut
menuntut spin off, tapi sangat bisa
diduga hal itulah penyebab sebenarnya.
Dengan didukung oleh Pemda, DPRD Sumbar dan FPMSB, manajemen
PT Semen Padang menolak melaksanakan RUPS-LB karena agendanya tidak jelas.
Beberapa kali usaha Kementerian BUMN melalui PT Semen Gresik meminta izin
melaksanakan sendiri RUPS-LB Semen Padang melalui Pengadilan Negeri Padang
ternyata ditolak oleh Putusan Ketua Pengadilan. Akhirnya PT Semen Gresik minta
fatwa Mahkamah Agung, dan melaksanakan RUPS-LB sendiri.
Meskipun demikian, berdasarkan Maklumat, Pemda, DPRD dan
Forum tetap mendukung manajemen lama. Sehingga selama beberapa bulan terjadi
dualisme manajemen PT Semen Padang. Manajemen lama yang dipimpin Ikhdan Nizar
tetap berkantor di Indarung, dan manajemen baru yang dipimpin Dwi Sutjipto
berkantor di Hotel Pangeran.
Dalam masa itu, suasana masyarakat Sumatera Barat mulai
tidak kondusif karena ada usaha untuk mengadu-domba sesama urang awak. Usaha
ini mungkin bukan dari pemerintah pusat, tapi bisa jadi dari pihak yang merasa
dirugikan dengan batalnya put option.
Demi menghindari terjadinya konflik, akhirnya manajemen yang dipimpin Ikhdan
Nizar mengalah, dan meninggalkan (bekas) kantor mereka. Kepada perwakilan Forum
ia berpesan, perjuangan mempertahankan aset negara dari cengkeraman asing agar
tetap dilanjutkan. Dan ia bersedia tetap dalam barisan Maklumat.
Setelah akhirnya pemerintah benar-benar membatalkan put option, yang berarti Cemex telah
gagal menguasai saham mayoritas PT Semen Gresik Group, perusahaan semen asal
Meksiko tersebut memperkarakan pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional.
Mereka minta ganti rugi karena haknya untuk membeli mayoritas saham PT SG
dibatalkan pemerintah Indonesia.
Harus diakui, selama memegang saham Semen Gresik, Cemex
tidak mendapat banyak keuntungan. Cemex membeli 24,9 persen saham PT SG tahun
1998 dengan harga USD1,38 per lembar (kurs waktu itu skt. Rp12.500/lembar).
Akibat heboh tuntutan spin off dan
pembatalan put option, sering kali
harga saham PT SG (kode SMGR) di bursa saham jatuh sampai di bawah harga
pembelian Cemex. Bahkan pernah harga saham SMGR jatuh sampai di bawah Rp10.000.
Proses tuntutan spin
off berlangsung hingga usai Pemilu 2004 dan Indonesia memiliki pemerintah
baru dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden M. Jusuf
Kalla. Tak lama kemudian, Sumatera Barat juga melaksanakan Pilkada dan terpilih
pasangan Gamawan Fauzi-Marlis Rahman sebagai gubernur dan wakil gubernur.
Tak lama setelah dilantik, Gubernur Gamawan Fauzi mengundang
saya untuk berdiskusi mengenai kelanjutan perjuangan spin off PT Semen Padang. Gubernur menyatakan ingin menuntaskan
segera masalah ini dengan pemerintah pusat. Saya sampaikan bahwa tujuan utama
perjuangan spin off membatalkan
penjualan BUMN semen ke pihak asing sudah tercapai. Tatapi efeknya bahwa
pemerintah kini dituntut Cemex dan telah terjadi friksi di tengah masyarakat
yang diduga akibat operasi Cemex mengadu-domba masyarakat, harus diselesaikan.
Demikian pula, perlu kita apresiasi pengorbanan yang telah dilakukan manajemen
lama PT Semen Padang khususnya Ikhdan Nizar Cs.
Agar Gubernur mendapatkan masukan yang komprehensif, saya
tawarkan untuk bertemu langsung dengan mantan Dirut Ikhdan Nizar dan tiga
komisaris yang tengah menjabat, Muzani Syukur (Komut), Basril Djabar dan
Shofwan Karim. Sebagai catatan, di awal masa jabatan Gubernur Gamawan Fauzi,
telah dilakukan penggantian manajemen Semen Padang. Dirut Dwi Sutjipto (promosi
jadi Dirut PT Semen Gresik Group) digantikan Endang Irzal, dan tiga nama yang
saya sebut adalah komisaris baru. Sebelum RUPS PT Semen Padang itu, Menteri
BUMN Sugiharto mengundang Gubernur Gamawan Fauzi, dan saya ikut menyertai
gubernur dalam pertemuan tersebut. Saya menjadi saksi bahwa direksi dan
komisaris baru tersebut adalah orang-orang yang sudah dikonfirmasi Menteri BUMN
kepada/dan didukung/disetujui oleh Gubernur Gamawan Fauzi. Nama Muzani adalah
opsi dari beberapa calon komut yang disodorkan Menteri Sugiarto, sedangkan nama
Basril Djabar dan Shofwan Karim murni sebagai usul dari gubernur.
Setelah beberapa kali pertemuan dan diskusi dengan Ikhdan
Nizar, Muzani Syukur, Basril Djabar, dan Shofwan Karim–secara terpisah maupun
bersama-sama di Padang dan Jakarta— Gubernur Gamawan memutuskan menghadap Wakil
Presiden Jusuf Kalla untuk penyelesaian masalah PT Semen Padang ini. Misi yang
dibawa Gubernur adalah (1) memastikan pemerintah tetap mempertahankan PT Semen
Gresik sebagai BUMN (tidak dijual ke asing); (2) Cemex yang telah memicu friksi
di masyarakat agar keluar dan digantikan oleh investor nasional; dan (3)
dilakukan penataan holding PT Semen
Gresik Group menjadi PT Semen Indonesia sehingga kedudukan PT Semen Gresik, PT
Semen Padang, dan PT Semen Tonasa setara sebagai anak perusahaan atau anggota holding. Dalam komunikasi dengan
pemerintah pusat Gubernur Gamawan mendapat dukungan penuh dari Irman Gusman
yang waktu itu sudah menjadi Ketua DPD RI.
Usaha pemerintah “berdamai” dengan Cemex hingga
akhirnya bersedia menjual sahamnya kepada investor nasional PT Rajawali Corpora
yang disodorkan pemerintah, penuh dengan lika-liku dan negosiasi yang alot.
Bagaimana prosesnya hingga Sumbar akhirnya mendapat dana kompensasi sebesar USD
5 juta dari PT Rajawali akan saya ceritakan dalam tulisan berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar