Bagian 3 dari 4 Tulisan
OLEH Hasril Chaniago (wartawan senior)
Pabrik Semen Padang Indarung I |
Setelah Gubernur Gamawan Fauzi menghadap Wakil Presiden Jusuf
Kalla, permintaan daerah yang diajukan gubernur diterima oleh pemerintah. Wakil
Presiden lalu menugaskan Menteri BUMN Sugiharto melakukan negosiasi dengan
Cemex dan mencari investor nasional untuk membeli saham Cemex di PT SGG.
Orang yang diminta jasanya langsung oleh Wakil Presiden
Jusuf Kalla sebagai mediator atau konsultan proses negosiasi ini adalah Gita
Wiryawan (kelak menjadi Kepala BKPM dan Menteri Perdagangan dalam Kebinet
Indonesia Bersatu II). Gita yang waktu itu menjabat Direktur Utama JP Morgan
Indonesia kebetulan teman sama kuliah dengan Presiden Meksiko Felipe Calderon
di Harvard Business School, Amerika.
Sekitar bulan Mei 2006, Gita terbang ke Meksiko untuk
menemui Calderon. Kelak, di hadapan Gubernur Sumbar dan penulis, Gita
menceritakan, ia terbang ke Mexico City melalui Miami, dan langsung bertemu Presiden Calderon.
Dua jam kemudian sudah terbang lagi ke Miami untuk seterusnya pulang ke
Indonesia.
Lobi pemerintah melalui Presiden Meksiko tersebut ternyata
ampuh melunakkan Cemex. Perusahaan semen salah satu terbesar di dunia itu
bersedia melepas sahamnya dan mencabut tuntutannya ke arbitrase internasional.
Menteri BUMN lalu mengundang investor yang berminat membeli 24,9 persen saham
Cemex di SGG. Salah satunya Grup Rajawali, perusahaan investasi milik Peter
Sondakh.
Dalam negosiasi tiga pihak –Pemerintah Indonesia, Cemex dan
Rajawali— Menteri BUMN Sugiharto mengajukan tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, gugatan arbitrase Cemex dicabut.
Kedua, Conditional Sales and Purchase
Agreement (CSPA) dinetralisir dan memastikan tidak ada dilusi dari 51 persen
saham pemerintah di Semen Gresik Group. Ketiga,
Rajawali diminta memperhatikan aspirasi daerah Sumatera Barat.
Dengan tiga syarat tersebut, kesepakatan pembelian saham
Cemex di PT SG oleh Rajawali
ditandatangani di hadapan menteri BUMN Sugiharto akhir Juni 2006.
Rajawali membeli saham itu seharga Rp20.500 per lembar atau total USD 337 juta (lk.
Rp3 triliun) untuk 24,9 persen saham SGG.
Beberapa hari sebelum Rajawali menandatangani pembelian
Cemex, saya dikontak rekan Zukri Saad. Ia dihubungi oleh Darjoto Setyawan,
Managing Direktor Grup Rajawali. Kebetulan Zukri dan Darjoto adalah teman
kuliah di ITB akhir tahun 1970-an. Darjoto minta bantuan Zukti untuk bisa
bertemu dengan Gubernur Sumbar membicarakan syarat ketiga pembelian saham Cemex,
yaitu memperhatikan aspirasi daerah.
Permintaan Rajawali melalui Uwan Zukri itu saya sampaikan
kepada gubernur. Beliau langsung setuju, dan minta saya mengatur pertemuan di
Jakarta. Akhirnya kami sepakati pertemuan diadakan di rumah dinas Ketua DPD
Irman Gusman di Jalan Denpasar Raya, Jakarta Selatan, hari Jumat malam minggu
ketiga bulan Juni 2006. Darjoto datang bersama Rudiantara, waktu salah satu Direktur
Grup Rajawali (pernah jadi Wadirut Semen Gresik dan Wadirut PLN, kini Menteri
Kominfo). Dari pihak Sumbar hadir Irman Gusman,
Gubernur Gamawan. Zukri Saad dan penulis sendiri. Kepada Gubernur Darjoto
minta dukungan masyarakat Sumbar dalam pengambil-alihan saham Cemex. Sesuai
dengan persyaratan dari pemerintah, yaitu memperhatikan aspirasi daerah,
Rajawali bersedia memberikan kompensasi untuk pemerintah daerah dan masyarakat
Sumatera Barat.
Proposal awal Rajawali adalah menawarkan opsi pemilikan 3
persen saham Semen Gresik atau senilai lk. Rp400 miliar. Saham itu ditawarkan
dengan rincian 1 persen dengan harga Rp20.500 (sesuai harga pembelian
Rajawali), 1 persen Rp25.000, dan 1 persen lagi Rp30.000. Bisa dibayar Pemda
dalam waktu 3 tahun, dicicil dengan 90 persen deviden setiap tahun, dan pada
tahun ketiga dilunasi dengan menjual sebagian saham milik Sumbar yang
diperkirakan harganya akan naik paling tidak dua kali lipat. Kompensasi
tambahan, Rajawali mendukung perwakilan Sumbar duduk sebagai komisaris SGG, dan
mendukung penataan PT SG menjadi PT Semen Indonesia sehingga kedudukan PT Semen
Padang, PT Semen Gresik, dan PT Semen Tonasa menjadi setara sebagai anak
perusahaan.
Selanjutnya Irman Gusman, gubernur dan penulis membahas
tawaran Rajawali tersebut. Irman meminta bantuan Tito Sulistyo, ahli pasar
modal untuk menjadi konsultan prodeo (gratis). Tito meyakinkan gubernur bahwa
tawaran Rajawali sangat menguntungkan Sumbar. Harga saham yang ditawarkan
menurutnya sangat murah. Berdasarkan analisis Tito, harga saham SMGR saat itu
adalah undervalue alias di bawah yang
seharusnya. Hal itu akibat adalah tuntutan spin
off dan penolakan put option dari
masyarakat Sumbar. Menurut Tito, harga yang wajar saham SMGR adalah Rp40.000 –
60.000 per lembar (kelak terbukti, ketika Rajawali menjual sahamnya tiga tahun
kemudian, harganya sudah menjadi tiga kali lipat).
Setelah dikaji, ternyata mekanisme jual-beli saham opsi
tersebut sangat rumit. Lebih-lebih bila diacu dengan peraturan
perundang-undangan tentang keuangan pemerintah daerah. Setiap langkah dalam
proses itu harus dengan persetujuan DPRD serta izin Menteri Dalam Negeri.
Padahal, mekanisme dan perdagangan saham sangat dinamis dan ketat dari segi
waktu. Atas pertimbangan kendala-kendala tersebut, akhirnya Gubernur minta
pendapat Irman Gusman, bagaimana kalau kompensasi dari Rajawali dalam bentuk
sumbangan dana tunai saja. “Baik, kalau begitu saya beritahukan kepada mereka,”
jawab Irman.
Pertemuan pamungkas yang menghasilkan dana USD 5 juta dolar
itu dilaksanakan di Hotel Grand Hyatt Jakarta, awal Agustus 2006. Grup Rajawali
mengutus konsultan mereka, Gita Wiryawan, Direktur Utama JP Morgan Indonesia.
Gubernur didampingi Irman Gusman, dan saya juga ikut. Ketika itulah Gita
menceritakan pengalaman diutus Wapres Jusuf Kalla membujuk Cemex sampai harus
menemui Presiden Meksiko Felipe Calderon di Meksiko.
Sebelum pertemuan, gubernur sempat berbisik kepada saya:
“Kalau kita minta dana tunai, apa nanti kita tidak dianggap memeras?” katanya
sedikit bimbang. Saya jawab, “Saya kira tidak, Pak. Karena tawaran kompensasi
kan datang dari mereka.”
Terus terang, target ketika itu hanya sekitar 1 – 3 juta
dolar atau Rp10 – 25 miliar saja. Namun ketika Gita minta mengemukakan angka,
gubernur menyebut 10 juta dolar. Spontan Gita menjawab, “Kalau Pak Gubernur bersedia
3 juta dolar, malam ini langsung saya putuskan,” katanya.
Gubernur kemudian menurunkan tawarannya jadi 7 juta dolar.
Lalu Gita menawarkan angka di tengah, “Kalau 5 juta dolar saya jamin Rajawali
bersedia,” katanya.
Deal! Negosiasi terakhir itu berlangsung hingga menjelang subuh.
Sehingga malam itu gubernur tidak sempat tidur, karena setelah shalat Subuh ia
dan rombongan langsung berangkat ke Lampung dengan mobil, untuk memenuhi
undangan perantau Minang di sana.
Hasil kesepakatan tersebut lalu disampaikan gubernur kepada
pers di Padang hari Sabtu tanggal 12 Agustus 2006, bahwa Rajawali akan memberikan sumbangan
kepada Pemda Sumbar sebesar 5 juta dolar yang akan dibayar lima tahap
masing-masing 1 juta dolar sampai tahun 2009. Acara penyerahan dana direncanakan
tanggal 15 Agustus 2006 di Padang.
Tapi tiba-tiba pimpinan DPRD melalui surat yang
ditandatangani Ketua DPRD Leonardy Harmainy meminta agar acara penyerahan dana
sumbangan Rajawali ditunda dulu. Alasannya, DPRD perlu melakukan klarifikasi
beberapa hal kepada manajemen Rajawali. Tidak masalah, gubernur mempersilakan pihak
DPRD bertemu langsung dengan Rajawali.
Lepas itu, gubernur mengajak saya ke Malaysia bertemu pihak
Johor Corporation untuk membicarakan masalah saham Pemda di Padang Industrial
Park (PIP). Kami berangkat tanggal 19 Agustus. Sebelum berangkat, saya sudah
mendengar rumor beredar di DPRD bahwa proses negosiasi dengan Rajawali melibatkan broker (calo) yang mendapat dana 1,5
juta dolar. Saya cek kepada anggota DPRD Guspardi Gaus, siapa yang dimaksud
broker, dan siapa yang meniupkan isu itu. Menurut Guspardi, rumor itu kabarnya berasal
dari anggota DPR RI asal Sumbar, Azwir Dainy Tara. Dan yang disebut mendapatkan
dana 1,5 juta dolar antara lain Irman Gusman, Gamawan Fauzi, Zukri Saad, dan
Hasril Chaniago. Jadi gubernur cs diisukan sebagai broker. Itu nampaknya yang
akan diklarifikasi DPRD kepada Rajawali.
Ketika kami sedang di Kuala Lumpur, tanggal 21 Agustus,
Gubernur Gamawan tiba-tiba naik pitam. “Ini fitnah yang keterlaluan. Pak In kan
ingat, kita bernegosiasi dengan Rajawali tidak menggunakan uang Pemda. Bahkan
hotel pun Pak Irman yang bayarkan. Kok tiba-tiba kita dituduh sebagai broker dan dapat 1,5 juta dolar,”
katanya mencerotet.
Rupanya hari itu ada berita di media terbitan Padang tentang
isu broker tersebut. Dalam berita
disebut nama Azwir Dainy Tara. Mendapat laporan mengenai berita tersebut,
gubernur “tabik burangsang”. Tapi responnya saya jawab santai saja. “Iko salah awak, mah Pak.”
“Dima salah wak? Tidak
sedikit pun ada penghargaan atas usaha kita. Dibangun masjid, ….. yang jadi,”
katanya dengan nada tinggi.
“Kalau akan jadi tertuduh juga, kan mestinya dana itu kita ‘patah’
saja dulu. Kita laporkan 3 juta dolar saja, yang 2 juta kita bagi. Kita kan
bisa main mata dengan Rajawali,” kata saya.
Gubernur tahu saya hanya bercanda. Tapi itu berhasil
meredakan marahnya, dan ia mulai tersenyum. Lebih-lebih setelah saya mengontak
Pemred Singgalang Khairul Jasmi, dan
minta kesempatan menulis “Komentar” untuk menjawab isu soal broker tersebut. Komentar yang saya tulis
di Kuala Lumpur itu berjudul “Maafkan sajalah Azwir”, diterbitkan Singgalang keesokan harinya.
Hari Rabu 23 Agustus 2006, Wakil Ketua DPRD Masful
memberikan keterangan pers di Padang. Ia menginformasikan bahwa rapat paripurna
DPRD sudah setuju penyerahan dana Rajawali dan diharapkan sebelum akhir
Agustus. Masful juga menjelaskan, mengenai isu ada broker yang menerima dana
1,5 juta dolar, itu sama sekali tidak benar. Rupanya DPRD sudah bertemu dengan
pimpinan Rajawali.
Kembali ke Padang, Pak Gamawan mungkin masih dongkol dengan
isu broker. Kini ia yang minta penyerahan dana itu ditunda saja dulu. Katika
saya tanya kenapa ditunda, ia menjawab enteng: “Biar satu-satu main. Dulu DPRD
minta tunda, sekarang gubernur. Kan podo
tu.”
Akhirnya penyerahan dana sumbangan Rajawali tersebut baru
dilaksanakan pada tanggal 3 Oktober 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar