Bagian 1 dari 4 Tulisan
OLEH Hasril Chaniago (Wartawan Senior)
Dana sumbangan atau hibah sebesar 5
juta dolar Amerika dari PT Rajawali Corpora yang diterima Sumatera Barat tahun
2006 sampai dengan 2008 bukan jatuh dari langit begitu saja.
Uang tersebut adalah hasil perjuangan
masyarakat, Pemda, dan DPRD Sumatera Barat terkait penolakan penjualan PT Semen
Gresik ke pihak asing dan tuntutan spin
off PT Semen Padang. Dana yang diterima semasa Gubernur Sumatera Barat Gamawan
Fauzi. Oleh Gubernur Sumbar ketika itu sudah dinyatakan sebagai milik
masyarakat Sumatera Barat. Karena itu, disepakati untuk tidak boleh digunakan
dana asal atau pokoknya. Yang boleh digunakan hanyalah hasil pengelolaannya,
semisal bunga deposito atau hasil usaha bentuk lain, berupa beasiswa untuk
mahasiswa Sumatera Barat.
Namun lebih 6 tahun setelah dana itu
diterima secara penuh, manfaat yang diharapkan dari pengelolaan dana tersebut
belum juga jelas ujung-pangkalnya. Yayasan Beasiswa Sumatera Barat yang sudah
didirikan dan diresmikan bulan Agustus 2010, telah dibatalkan (dibubarkan) oleh
DPRD Sumbar. Setelah itu DPRD minta gubernur merumuskan opsi-opsi bagi
pengelolaan dana tersebut. Tapi Gubernur Irwan Prayitno merasa bingung,
bagaimana cara mengelola dana sumbangan Rajawali itu (Haluan, Selasa 26 Mei 2015).
Sebagai orang yang ikut terlibat dalam
proses mendapatkan dana tersebut, penulis merasa perlu membuat tulisan ini
untuk menjelaskan bagaimana asal-asal usul dana tersebut dan apa sesungguhnya
amanah yang terkandung di dalamnya. Tulisan ini saya buat setelah mengirim SMS
(pesan singkat) kepada Gubernur Irwan Prayitno, Senin 25 Mei 2015. Kepada
gubernur saya sampaikan, ide pengelolaan dana sumbangan Rajawali oleh Badan
Layanan Umum Daerah (BULD) adalah tidak tepat. Saya minta agar pengelolaan dana
itu dikaji secara mendalam agar tidak melanggar amanah. Gubernur membalas
dengan ucapan terima kasih, dan meminta saya (kalau tidak keberatan) mengontak
Saudara Devi Kurnia (Pung), Asisten I Sekwilda Sumbar. Namun menurut hemat
saya, yang diperlukan adalah sikap tegas dari gubernur langsung.
Bermula dari Tuntutan Spin Off PT Semen Padang
Riwayat dana 5 juta dolar Amerika yang
kini kabarnya sudah menjadi Rp63 miliar, tidak bisa dilepaskan dari hasil
perjuangan masyarakat Sumatera Barat menolak penjualan PT Semen Gresik kepada
pihak asing dan tuntutan spin off PT
Semen Padang sejak tahun 2001. Ada proses dan usaha yang sangat panjang dan
berliku hingga dana itu didapatkan.
Penjualan PT Semen Gresik kepada
perusahaan asing terkait dengan kesepakatan (LoI–Letter of Intent) Pemerintah
Indonesia dengan Dana Moneter Internasional atau IMF (International Monetery
Fund) ketika Indonesia didera krisis moneter tahun 1998. Dengan meneken LoI,
Indonesia mendapat bantuan (pinjaman) dana dari IMF dalam rangka penyelamatan
ekonomi negara. Salah satu butir LoI menyaratkan pemerintah Indonesia harus
melakukan privatisasi BUMN. Privatisasi secara teoritis artinya menjual atau
melepaskan (sebagian/sebagian besar) saham BUMN kepada swasta (privat). Dengan
masuknya swasta atau publik ke dalam BUMN, diharapkan pengelolaan perusahaan
pelat merah ini menjadi lebih baik dan transparan. Tapi dalam prakteknya,
sesuai dengan agenda tersembunyi dari IMF, privatisasi artinya menjual BUMN
kepada perusahaan asing.
PT Semen Gresik (kini PT Semen
Indonesia) dan PT Indosat adalah dua BUMN yang mendapat giliran pertama
diprivatiasi. Penjualan 24,9 persen saham PT Semen Gresik kepada Cemex SA de CV
dari Meksiko dilakukan tahun 1998. Ketika itu tokoh-tokoh masyarakat Minang, di
rantau maupun di kampung, sudah mengajukan protes. Namun ada jaminan dari
pemerintah melalui Menteri BUMN Tanri Abeng, bahwa pemerintah tetap memegang 51
persen saham PT SG. Artinya PT SG tetap berstatus BUMN dengan mayoritas
kepemilikan oleh Negara RI.
Namun dalam perjanjian jual-beli
bersyarat yang disebut CPSA (Conditioning Purchasing and Sales Agreemen),
rupanya ada kausul put option.
Isinya, bila pemerintah hendak menjual sisa saham sebesar 51 persen PT Semen
Gresik, maka hak pertama untuk membeli saham tersebut diberikan kepada Cemex. Put option atau hak opsi membeli sisa
saham itu jatuh tempo tiga tahun setelah CSPA ditandatangani. Tepatnya akhir
Oktober 2001.
Rencana penjualan sisa 51 persen saham
PT Semen Gresik inilah yang diprotes oleh masyarakat Sumatera Barat (pemerintah
daerah, DPRD, dan tokoh-tokoh masyarakat di kampung maupun di rantau). Sebagai
wadah perjuangan dibentuklah Forum Perjuangan Masyarakat Sumatera Barat (FPMSB)
untuk Pengembalian PT Semen Padang. Forum tersebut terdiri dari unsur-unsur
DPRD, LKAAM, MUI, Bundo Kanduang, KNPI, dan tiga perguruan tinggi negeri di
Padang: Unand, UNP, dan IAIN Imam Bonjol. FPMSB juga didukung oleh ormas
Muhammadiyah, ICMI, Aisyiah, Mapeni dan lain-lain. Forum Komunikasi Karyawan
(Serikat Pekerja) PT Semen Padang termasuk yang mendukung/menuntut spin off.
Seluruh lembaga menunjuk wakilnya dalam
FPMSB. Dari DPRD selain pimpinan (H. Arwan Kasri, H. Masfar Rasyid, dan Hj.
Titi Nazif Lubuk), yang aktif dalam Forum adalah pimpinan dan anggota Komisi B
antara lain Anwar Syamsuddin (Alm), Guspardi Gaus, dan Afrizal. Selanjutnya,
Prof. Dr. H. Marlis Rahman (Unand/ICMI), H.K.R. Dt. P. Simulie, (LKAAM), Dr.
Mansur Malik dan Buya H. Mas’oed Abidin (MUI), Hj. Nur Ainas Abizar (Bundo
Kanduang), Drs. Kandris Asrin dan Yul Akhyarli Sastra (KNPI), Hj. Abrilius
(Aisyiah), H. Shofwan Karim, M.A. (ICMI/Muhammadiyah), Drs. Azhar Makmur, M.A.,
Dr. Ir. Musliar Kasim, Dr. Werry Darta Taifur, dan Tasman, S.H., M.H. (Unand),
Dr. Niswardi Jalinus (UNP), Prof. Dr. Nasrun Haroen (IAIN), Zukri Saad dan
Johny Halim (aktivis), serta dr. Syafruddin Alun (Mapeni)..Penulis sendiri
diamanahkan sebagai Sekretaris Jenderal FPMSB untuk Pengembalian Semen Padang
tersebut. Forum juga meminta bantuan ekonom kerakyatan Revrisond Baswir, urang
awak dan dosen UGM, sebagai konsultan
atau penasihat. Mengenai spin off,
forum juga pernah berdiskusi dengan ekonom Unand Dr. Eddy Rasyid (kini
Komisaris PT Semen Padang).
Dalam tuntutannya, FPMSB menolak
penjualan PT Semen Gresik (terdiri dari PT Semen Gresik, PT Semen Padang, PT
Semen Tonasa) kepada asing. Tapi bila pemerintah tetap akan menjual PT Semen
Gresik kepada Cemex, maka PT Semen Padang harus dikeluarkan lebih dulu.
Istilahnya, PT Semen Padang harus di-spin
off (dipisahkan) dari holding-nya
dan dikembalikan menjadi BUMN yang berdiri sendiri. Tuntutan itu disampaikan
berkali-kali secara tertulis maupun dengan mendatangi para petinggi Republik
antara lain Presiden Abdurrahman Wahid kemudian Megawati, Wakil Presiden Hamzah
Haz, Ketua MPR Amien Rais, Ketua DPR Akbar Tanjung, Menko Perekonomian Rizal
Rambli, dan lain-lain. Tokoh-tokoh Minang di Jakarta yang aktif mendukung
tuntutan masyarakat Sumatera Barat tersebut antara lain Wakil Ketua MPR Oesman
Sapta, Wakil Ketua DPD Irman Gusman, anggota DPR Darul Siska Said dan
Adiwarsita Adinegoro.
Pemerintah sebenarnya cukup merespon
tuntutan masyarakat tersebut. Tapi berbulan-bulan dan berkali-kali FPMSB
mengirim delegasi ke Jakarta sejak bulan April hingga Oktober 2001, pemerintah
tak kunjung menyatakan sikap. Sampai pada awal Oktober 2001, Cemex SA de CV
membuat iklan satu halaman penuh di Harian Bisnis
Indonesia yang menyatakan terimakasih kepada rakyat Indonesia yang telah
mendukung put option dan penjualan 51
persen saham PT Semen Gresik ke perusahaan dari Meksiko tersebut. Hasil put option tersebut dinyatakan akan
sangat berguna membantuk keuangan negara RI (untuk menutup defisit APBN).
Iklan dan pernyataan prokatif Cemex
tersebut tentu saja mendapat reaksi yang keras dari Forum dan masyarakat
Sumatera Barat. Berkali-kali terjadi demonstrasi besar-besaran kepada DPRD dan
Pemda Sumbar menuntut segera mengambil tindakan. Bahaya yang sedang menanti
adalah, bila PT Semen Gresik sudah jatuh ke tangan asing, maka sekitar 80
persen industri semen Indonesia akan dikuasai asing. Dalam waktu hampir
bersamaan, sejumlah pabrik semen besar juga sudah dijual ke perusahaan asing
(PT Semen Cibinong dibeli Holcim dari Swiss, PT Indocement dibeli Hilderberger
dari Jerman, dan PT Semen Andalas dibeli Lafarge dari Perancis). Bila Semen
Gresik juga jatuh ke Cemex, bisa dipastikan perusahaan semen asing tersebut
akan membuat kartel untuk mengatur harga semen. Jelas ini akan sangat merugikan
rakyat Indonesia.
Tuntutan masyarakat Sumatera Barat kini
bukan hanya spin off PT Semen Padang
dari PT Semen Gresik, tetapi juga menuntut agar Cemex keluar dari Indonesia.
Karena pemerintah tidak juga menyatakan sikap hingga batas waktu put option akhir Oktober 2001, maka
puncaknya adalah terbit Maklumat Masyarakat Sumatera Barat tanggal 31 Oktober
2001 dan dikukuhkan dengan Keputusan DPRD No. 13 tanggal 1 November 2001. Isi
Maklumat itu menyatakan mengambil alih PT Semen Padang dan diserahkan di bawah
pengawasan Gubernur dan DPRD Sumbar sampai direalisasikannya tuntutan spin off PT Semen dari PT Semen Gresik
dan PT Semen Padang kembali menjadi BUMN yang berdiri sendiri (lepas dari Semen
Gresik) dan sejajar dengan PT Semen Gresik dan PT Semen Tonasa. Gubernur Zainal
Bakar dan DPRD mendukung sepenuhnyaMaklumat itu. Bahkan, sebulan kemudian,
seluruh bupati/walikota se-Sumatera Barat juga menyatakan mendukung Maklumat
yang ditandatangai dalam suatu acara di Gedung Negara Bung Hatta Bukittinggi.
Atas Maklumat dan Keputusan DPRD
tersebut, muncul berbagai reaksi dari pemerintah pusat dan media Jakarta. Ada
yang menilai Maklumat tersebut tindakan pembangkangan terhadap pusat. Tapi
banyak juga yang memuji sebagai cara yang cerdik untuk mempertahankan aset
negara dari penguasaan asing. Namun apapun hasilnya, target utama perjuangan
mempertahankan aset negara dari penguasaan kapitalisme global berhasil
dilaksanakan. Pemerintah mulanya menunda, dan akhirnya membatalkan, penjualan
51 persen PT Semen Gresik Group saham kepada Cemex.
Sekadar catatan, pada kurun hampir
bersamaan, pemerintah juga memprivatisasi (menjual) mayoritas saham PT Indosat.
Privatisasi Indosat mulanya juga ditentang oleh serikat pekerja dan kalangan
aktivis. Tapi karena tuntutannya tidak sekeras dan setaktis masyarakat Sumatera
Barat, Indosat akhirnya terjual ke pihak asing (Singapura). Penjualan Indosat
di masa pemerintahan Presiden Megawati itu belakangan banyak disesalkan publik
karena dianggap merugikan kepentingan bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar