Selasa, 09 Juni 2015

CATATAN DARI PANGGUNG PUBLIK SUMATERA #4: Ruang Publik Bocor dan Pertunjukan Jauh dari Dapur


OLEH Nasrul Azwar
Presiden Aliansi Komunitas Seni Indonesia

Pementasan Ranah Teater di PPS IV Padang Panjang
Panggung Publik Sumatera #4 dihelat 28-30 Mei 2015 di Lapangan Kantin Kota Padang Panjang sudah usai. Perhelatan seni pertunjukan tahunan itu difokuskan dalam satu situs ruang publik di tengah pusat kota Padang Panjang yang akrab disebut Lapangan Kantin. Lapangan ini punya nilai sejarah penting bagi masyarakat kota. Ia merupakan lapangan rumput terbuka yang di sekeliling ada kantor militer, terminal angkutan desa, dan sekolah.

Seremonial pembukaan iven dilakukan di halaman Dinas Pemuda Olahraga dan Kepariwisataan (Disporbudpar) Padang Panjang, Kamis (28/5) yang berada di kawasan Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM), yang memang dikesankan mempromosikan potensi PDIKM sebagai destinasi wisata pada masyarakat luas. 

Dari catatan saya, tiga kali gelaran Panggung Publik Sumatera sebelumnya, yang keempat ini memang berbeda. Paling tidak perbedaan itu itu tampak pada konsep dan realisasi programnya. Selain itu, Panggung Publik Sumatera#4 tidak lagi digelar saat peringatan Hari Teater Dunia yang puncaknya jatuh pada 27 Maret setiap tahun. Sependek yang saya ketahui, penjadwalan Panggung Publik Sumatera#4 ini sudah dua kali penundaan, sebelum dilaksanakan pada 28-30 Mei lalu. Persoalan birokrasi menjadi penyebab tertundanya iven ini.

Menurut keterangan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Porbudpar Padangpanjang, Maiharman, gelaran Panggung Publik Sumatera kini sudah “diambil alih” Pemerintah Kota Padang Panjang, dan selanjutnya dijadikan iven budaya tiap tahunnya. Pendanaannya dialokasikan di Dinas Porbudpar.

“Tertunda dua kali karena aturan harus dilelang ke pihak ketiga. Sekarang Panggung  Publik Sumatera digelar oleh iven organizer dan prosesnya harus dilakukan lelang terbuka. Ini jadi agenda tahunan Pemko Padang Panjang ,” kata Maiharman.

Panggung Publik Sumatera yang awalnya dikesankan sebagai salah satu ruang ekspresi bagi pegiat seni pertunjukan dan dijadikan milik bersama, semenjak dikelola sepenuhnya oleh Pemko Padang Panjang, dan penyelenggaraannya diorganisir sebuah badan usaha, kegiatan ini seperti kehilangan ruh dan jiwanya. Panggung tak lagi memberi  kemungkinan kontemplasi bagi yang menikmatinya, tetapi ia telah menjelma jadi goyang instan kaki dan kepala. Ia jadi hiburan semata.

Komunitas Sakata, yang menjadi motor penggeraknya, tampak kewalahan dan dilematik menghadapi persoalan ini. 

Logika yang sedang dijalankan Event Organizer (EO) dalam setiap penyelengaraan iven, adalah kuantitas dan estimasi ramainya orang datang dalam kegiatannya. Ukuran ini jelas sekali sebagai standar dan perbandingan sukses dan tidaknya  kegiatan yang digelar. Capaian demikian sepertinya sudah baku yang diterapkan instansi terkait, terutama Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dan untuk tingkat Kementerian pun demikian.

Saya sendiri, sejak gelaran pertama hingga keempat kalinya mengikuti kegiatan ini, saya ingin mengatakan, Panggung Publik Sumatera#4 inilah yang saya catat sangat tak jelas sekali capaian yang diharapkan hampir semua aspek, baik konetivitas tema maupun konsep pertunjukan yang dihadirkan.

Panggung Publik Sumatera#4 menawarkan tema ‘dapur kita’, dengan memaknai ‘dapur’ dari berbagai sudut dan persepsi, baik itu dari perspektif dapur domestik atau dapur sosio kultural.

Dari tema ini diharapkan, sutradara dan kelompok yang diundang dalam Panggung Publik Sumatera#4 dapat mengolah isu di dapurnya masing-masing. Ia mampu mengusung nilai-nilai di dalamnya sesuai dengan budaya yang melingkunginya. Selain itu, isu ‘dapur’ ini dikesankan membuka cakrawala dan tafsir yang lebih luas agar tumbuh kepekaan dan kepedulian tinggi terhadap persoalan-persoalan sekitar. Karya seni yang hadir di tengah-tengah publik luas akan mewujud menjadi sebuah ‘peristiwa bersama’. Demikian dituliskan dalam proposal dan dasar pemikiran Panggung Publik Sumatera#4 ini.

Tampaknya, apa yang diharapkan dari tema ‘dapur kita’ itu—sepanjang pertunjukan yang saya tonton—sepertinya nirkoneksi dengan tema yang ditentukan itu. Selain itu, sebagian konsep pertunjukan yang ditampilkan sebenarnya dikesankan untuk panggung prosenium atau indoor, tapi malah dipaksakan untuk hadir di ruang terbuka atau outdoor sehingga banyak hal dalam elemen artistik dan panggung jadi berantakan.

Penampilan Ranah Teater Padang adalah salah satu contoh bagaimana babak belurnya pertunjukan ini yang dihadirkan saat bersamaan juga musik dari perangkat elektronik pedagang kaki lima berdentum-dentum.  Walaupun pemain banyak mengandalkan gerak dan musik-properti, Ranah Teater seperti kehilangan marwahnya ketika harus ditampilkan di ruang terbuka. Ini dimaklumi karena napas garapannya sesungguhnya untuk ruang tertutup. 

Selain itu pula, pemetasannya pun sama sekali tak menghadirkan apa yang diinginkan dari ‘dapur kita’ itu. Demikian juga dengan monolog yang dibawa kelompok Salembayung dari Pekanbaru. Ini sekadar contoh.

Jikapun ada penampilan Kelompok Kata Tari dari Padang Panjang, yang konsisten dengan tema ‘dapur kita’ tapi masih terlihat artifisial, belum subtansif. Kendati begitu, jika dibandingkan kelompok yang lainnya,  garapannya komunikatif dan penguasaan sisi ruang pertunjukan bisa dikatakan lebih baik.

Saya tak mendapat alasan yang kuat, mengapa penyelenggara Panggung Publik Sumatera#4 yang digelar di Lapangan Kantin itu menghadirkan pula panggung rigging yang cukup luas. Sementara, semua pertunjukan seni sama sekali tak memakai panggung rigging ini. Kehadiran panggung rigging terkesan sangat mengganggu keseluruhan pementasan Panggung Publik Sumatera#4. 

Mungkin juga, kehadiran panggung ringging ini sebagai konsekuensi agar capaian jumlah penonton terpenuhi kendati terkadang bagi sutradara dan kelompok yang hadir dengan keseriusan berkesenian, hal ini menyakitkan.

Kembali ke Titah

Selain pagelaran, seperti biasanya Panggung Publik Sumatera juga menghadirkan saresehan budaya. Kali ini narasumber sarasehan Edy Utama (budayawan dan pegiat seni pertunjukan), Putu Fajar Arcana (wartawan desk budaya Kompas), Wicaksono Adi (kurator), Iswadi Pratama (sutradara Teater Satu Lampung), dan Silvester Petara Hurit (pengamat seni pertunjukan dari NTT). Selanjutnya iven ini juga dilengkapi dengan dua orang pengamat, yaitu Ratu Selvi Agnesia (penulis budaya, Jakarta) dan Nasrul Azwar (kritikus seni, Sumatera Barat).

Sementara peserta yang berpartisipasi dalam Panggung Publik Sumatera#4 ini adalah Bengkel MIME Theater  (Yogyakarta), Teater Gates (Banten), Teater Selembayung (Pekanbaru, Riau), Rumah Karya Indonesia (Sumatera Utara), Komunitas Aceh (Aceh), Teater Air (Jambi), Arang Perkusi (Sawahlunto, Sumatera Barat), Randai ABG Maimbau (Pariaman, Sumatera Barat), Katatari (Padangpanjang, Sumatera Barat), Sarueh Open Space (Padang Panjang, Sumatera Barat), Teater Sakata (Padang Panjang, Sumatera Barat), Ranah Teater (Padang, Sumatera Barat).

Jika membandingkan dengan tiga gelaran iven serupa sebelumnya, secara georafis sudah melampaui Pulau Sumatera itu sendiri. Ada dua kelompok seni yang diundang dari luar Pulau Sumatera,  yaitu Bengkel MIME Theater  (Yogyakarta) dan Teater Gates (Banten). Sementara dari Provinsi Sumatera Barat ada dari Riau, Aceh, Jambi dan Sumut.

Perluasan peserta ini, terlepas dari mekanisme seleksi tingkat kuratorial keikutsertaannya dalam Panggung Publik Sumatera#4, tentu yang dilakukan penyelenggara ini pantas kita apresiasi. Selain itu, melebarkan partisipasi seni-seni lainnya, baik itu seni tradisi, film, dan musik, juga memberi denyut pada PPS III ini. Pun melibatkan partisipasi aktif siswa SMA dalam iven ini, dapat dipresentasikan sebagai pencairan bahwa acara ini untuk semua kalangan.

Tampaknya, kendati penyelenggaraan Panggung Publik Sumatera#4 dilaksanakan EO, tapi hal-hal yang bersifat kuratorial dan seleksi peserta tetap berada di tangan Teater Sakata. Hal ini sedikit banyak membahagiakan publik seni.

Kendati begitu, seperti munculnya gagasan dalam sarasehan untuk mengembalikan Panggung Publik Sumatera ke titahnya semula  pantas diapresiasi. Banyak kalangan menilai, pementasan di lapangan terbuka seperti Lapangan Kantin ini, seperti membenamkan kesenian ke dalam lumpur. Panggung Publik Sumatera akan terasa milik publik jika memang ia dihadirkan di ruang-ruang publik yang represntatif untuk sebuah pertunjukan.

Panggung Publik Sumatera sebelumnya digelar bersamaan dengan momentum peringatan “Hari Teater Dunia” yang jatuh pada 27 Maret. Saya kira, Panggung Publik Sumatera  dengan momentum peringatan “Hari Teater Sedunia” menjadi yang terintegrasi dan inheren. Keduanya tak perlu dipisahkan. Panggung Publik Sumatera akan menjadi sangat bergema ketika ia dihelat pada “Hari Teater Sedunia” itu. Maka, menurut saya, lebih baik jadwalnya Panggung Publik Sumatera dikembalikan ke titahnya.

Dalam catatan saya pada gelaran Panggung Publi Sumatera#3, saya menulis seperti ini: Ketika pilihan peristiwa budaya yang menggunakan konsep ruang (panggung) publik sebagai basis proses kreatif seniman, maka konsekuensi logis adalah keterlibatan aktif maupun pasif publik dalam konstruksi sosial yang dibangun.

Peristiwa budaya (seni) yang dilangsungkan di tengah ruang-ruang publik, tentu memiliki relasi yang kuat dengan materialisasi hubungan-hubungan sosial yang diungkap lewat media seni, baik itu teater, musik, dan lainnya.

Iven ini merupakan peristiwa budaya. Eksplorasi terhadap kehidupan urban, katakanlah sebagai kegelisahan seniman dan pekerja seni karena dipenuhi dengan indusrtrialisasi kapitalis, tak serta dipandang sebagai kecemasan yang diisolasi seniman, dan publik dikesankan kurang memahami.

Bagi saya, pada dasarnya apa yang dikonsepkan Panggung Publik Sumatera ini cukup menarik dan potensi untuk dikembangkan dan sangat terbuka serta isu-isu yang diusung pun variatif, relevan dengan permasalahan kekinian. Tapi, ia akan sukses jika tak melibatkan EO dalam pelaksanaannya. Saya ada cara lain seperti yang ditawarkan Edy Utama. Pernyelenggaraan Sawahlunto International Music Festival (SIMFes) tanpa adanya EO.

Sudah saatnya Panggung Publik Sumatera mengedepankan mutu, kebaruan, dan inovasi karya seni itu sendiri bukan ramainya. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...