OLEH Nasrul Azwar
Presiden Aliansi
Komunitas Seni Indonesia
Pementasan Ranah Teater di PPS IV Padang Panjang |
Panggung
Publik Sumatera #4 dihelat 28-30 Mei 2015 di Lapangan Kantin Kota Padang
Panjang sudah usai. Perhelatan seni pertunjukan tahunan itu difokuskan dalam
satu situs ruang publik di tengah pusat kota Padang Panjang yang akrab disebut
Lapangan Kantin. Lapangan ini punya nilai sejarah penting bagi masyarakat kota.
Ia merupakan lapangan rumput terbuka yang di sekeliling ada kantor militer,
terminal angkutan desa, dan sekolah.
Seremonial
pembukaan iven dilakukan di halaman Dinas Pemuda Olahraga dan Kepariwisataan
(Disporbudpar) Padang Panjang, Kamis (28/5) yang berada di kawasan Pusat
Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM), yang memang
dikesankan mempromosikan potensi PDIKM sebagai destinasi wisata pada masyarakat
luas.
Dari
catatan saya, tiga kali gelaran Panggung Publik Sumatera sebelumnya, yang
keempat ini memang berbeda. Paling tidak perbedaan itu itu tampak pada konsep
dan realisasi programnya. Selain itu, Panggung Publik Sumatera#4 tidak lagi
digelar saat peringatan Hari Teater Dunia yang puncaknya jatuh pada 27 Maret
setiap tahun. Sependek yang saya ketahui, penjadwalan Panggung Publik
Sumatera#4 ini sudah dua kali penundaan, sebelum dilaksanakan pada 28-30 Mei
lalu. Persoalan birokrasi menjadi penyebab tertundanya iven ini.
Menurut
keterangan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Porbudpar Padangpanjang,
Maiharman, gelaran Panggung Publik Sumatera kini sudah “diambil alih”
Pemerintah Kota Padang Panjang, dan selanjutnya dijadikan iven budaya tiap
tahunnya. Pendanaannya dialokasikan di Dinas Porbudpar.
“Tertunda
dua kali karena aturan harus dilelang ke pihak ketiga. Sekarang Panggung Publik Sumatera digelar oleh iven organizer
dan prosesnya harus dilakukan lelang terbuka. Ini jadi agenda tahunan Pemko
Padang Panjang ,” kata Maiharman.
Panggung
Publik Sumatera yang awalnya dikesankan sebagai salah satu ruang ekspresi bagi
pegiat seni pertunjukan dan dijadikan milik bersama, semenjak dikelola
sepenuhnya oleh Pemko Padang Panjang, dan penyelenggaraannya diorganisir sebuah
badan usaha, kegiatan ini seperti kehilangan ruh dan jiwanya. Panggung tak lagi
memberi kemungkinan kontemplasi bagi
yang menikmatinya, tetapi ia telah menjelma jadi goyang instan kaki dan kepala.
Ia jadi hiburan semata.
Komunitas
Sakata, yang menjadi motor penggeraknya, tampak kewalahan dan dilematik
menghadapi persoalan ini.
Logika
yang sedang dijalankan Event Organizer (EO) dalam setiap penyelengaraan iven,
adalah kuantitas dan estimasi ramainya orang datang dalam kegiatannya. Ukuran
ini jelas sekali sebagai standar dan perbandingan sukses dan tidaknya kegiatan yang digelar. Capaian demikian
sepertinya sudah baku yang diterapkan instansi terkait, terutama Dinas
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dan untuk tingkat Kementerian pun demikian.
Saya
sendiri, sejak gelaran pertama hingga keempat kalinya mengikuti kegiatan ini,
saya ingin mengatakan, Panggung Publik Sumatera#4 inilah yang saya catat sangat
tak jelas sekali capaian yang diharapkan hampir semua aspek, baik konetivitas
tema maupun konsep pertunjukan yang dihadirkan.
Panggung
Publik Sumatera#4 menawarkan tema ‘dapur kita’, dengan memaknai ‘dapur’ dari
berbagai sudut dan persepsi, baik itu dari perspektif dapur domestik atau dapur
sosio kultural.
Dari
tema ini diharapkan, sutradara dan kelompok yang diundang dalam Panggung Publik
Sumatera#4 dapat mengolah isu di dapurnya masing-masing. Ia mampu mengusung
nilai-nilai di dalamnya sesuai dengan budaya yang melingkunginya. Selain itu,
isu ‘dapur’ ini dikesankan membuka cakrawala dan tafsir yang lebih luas agar tumbuh
kepekaan dan kepedulian tinggi terhadap persoalan-persoalan sekitar. Karya seni
yang hadir di tengah-tengah publik luas akan mewujud menjadi sebuah ‘peristiwa
bersama’. Demikian dituliskan dalam proposal dan dasar pemikiran Panggung
Publik Sumatera#4 ini.
Tampaknya,
apa yang diharapkan dari tema ‘dapur kita’ itu—sepanjang pertunjukan yang saya
tonton—sepertinya nirkoneksi dengan tema yang ditentukan itu. Selain itu,
sebagian konsep pertunjukan yang ditampilkan sebenarnya dikesankan untuk
panggung prosenium atau indoor, tapi
malah dipaksakan untuk hadir di ruang terbuka atau outdoor sehingga banyak hal dalam elemen artistik dan panggung jadi
berantakan.
Penampilan
Ranah Teater Padang adalah salah satu contoh bagaimana babak belurnya
pertunjukan ini yang dihadirkan saat bersamaan juga musik dari perangkat
elektronik pedagang kaki lima berdentum-dentum.
Walaupun pemain banyak mengandalkan gerak dan musik-properti, Ranah
Teater seperti kehilangan marwahnya ketika harus ditampilkan di ruang terbuka.
Ini dimaklumi karena napas garapannya sesungguhnya untuk ruang tertutup.
Selain
itu pula, pemetasannya pun sama sekali tak menghadirkan apa yang diinginkan
dari ‘dapur kita’ itu. Demikian juga dengan monolog yang dibawa kelompok
Salembayung dari Pekanbaru. Ini sekadar contoh.
Jikapun
ada penampilan Kelompok Kata Tari dari Padang Panjang, yang konsisten dengan
tema ‘dapur kita’ tapi masih terlihat artifisial, belum subtansif. Kendati
begitu, jika dibandingkan kelompok yang lainnya, garapannya komunikatif dan penguasaan sisi
ruang pertunjukan bisa dikatakan lebih baik.
Saya
tak mendapat alasan yang kuat, mengapa penyelenggara Panggung Publik Sumatera#4
yang digelar di Lapangan Kantin itu menghadirkan pula panggung rigging yang cukup luas. Sementara,
semua pertunjukan seni sama sekali tak memakai panggung rigging ini. Kehadiran panggung rigging
terkesan sangat mengganggu keseluruhan pementasan Panggung Publik
Sumatera#4.
Mungkin
juga, kehadiran panggung ringging ini sebagai konsekuensi agar capaian jumlah
penonton terpenuhi kendati terkadang bagi sutradara dan kelompok yang hadir
dengan keseriusan berkesenian, hal ini menyakitkan.
Kembali ke Titah
Selain
pagelaran, seperti biasanya Panggung Publik Sumatera juga menghadirkan
saresehan budaya. Kali ini narasumber sarasehan Edy Utama (budayawan dan pegiat
seni pertunjukan), Putu Fajar Arcana (wartawan desk budaya Kompas), Wicaksono Adi (kurator), Iswadi Pratama (sutradara Teater
Satu Lampung), dan Silvester
Petara Hurit (pengamat seni pertunjukan dari NTT). Selanjutnya iven
ini juga dilengkapi dengan dua orang pengamat, yaitu Ratu Selvi Agnesia (penulis budaya, Jakarta) dan Nasrul Azwar (kritikus seni, Sumatera Barat).
Sementara
peserta yang berpartisipasi dalam Panggung Publik Sumatera#4 ini adalah Bengkel
MIME Theater (Yogyakarta), Teater Gates
(Banten), Teater Selembayung (Pekanbaru, Riau), Rumah Karya Indonesia (Sumatera
Utara), Komunitas Aceh (Aceh), Teater Air (Jambi), Arang Perkusi (Sawahlunto,
Sumatera Barat), Randai ABG Maimbau (Pariaman, Sumatera Barat), Katatari
(Padangpanjang, Sumatera Barat), Sarueh Open Space (Padang Panjang, Sumatera
Barat), Teater Sakata (Padang Panjang, Sumatera Barat), Ranah Teater (Padang,
Sumatera Barat).
Jika
membandingkan dengan tiga gelaran iven serupa sebelumnya, secara georafis sudah
melampaui Pulau Sumatera itu sendiri. Ada dua kelompok seni yang diundang dari
luar Pulau Sumatera, yaitu Bengkel MIME
Theater (Yogyakarta) dan Teater Gates
(Banten). Sementara dari Provinsi Sumatera Barat ada dari Riau, Aceh, Jambi dan
Sumut.
Perluasan
peserta ini, terlepas dari mekanisme seleksi tingkat kuratorial
keikutsertaannya dalam Panggung Publik Sumatera#4, tentu yang dilakukan
penyelenggara ini pantas kita apresiasi. Selain itu, melebarkan partisipasi
seni-seni lainnya, baik itu seni tradisi, film, dan musik, juga memberi denyut
pada PPS III ini. Pun melibatkan partisipasi aktif siswa SMA dalam iven ini,
dapat dipresentasikan sebagai pencairan bahwa acara ini untuk semua kalangan.
Tampaknya,
kendati penyelenggaraan Panggung Publik Sumatera#4 dilaksanakan EO, tapi
hal-hal yang bersifat kuratorial dan seleksi peserta tetap berada di tangan
Teater Sakata. Hal ini sedikit banyak membahagiakan publik seni.
Kendati
begitu, seperti munculnya gagasan dalam sarasehan untuk mengembalikan Panggung
Publik Sumatera ke titahnya semula pantas diapresiasi. Banyak kalangan menilai, pementasan
di lapangan terbuka seperti Lapangan Kantin ini, seperti membenamkan kesenian
ke dalam lumpur. Panggung Publik Sumatera akan terasa milik publik jika memang
ia dihadirkan di ruang-ruang publik yang represntatif untuk sebuah pertunjukan.
Panggung
Publik Sumatera sebelumnya digelar bersamaan dengan momentum peringatan “Hari
Teater Dunia” yang jatuh pada 27 Maret. Saya kira, Panggung Publik
Sumatera dengan momentum peringatan
“Hari Teater Sedunia” menjadi yang terintegrasi dan inheren. Keduanya tak perlu
dipisahkan. Panggung Publik Sumatera akan menjadi sangat bergema ketika ia
dihelat pada “Hari Teater Sedunia” itu. Maka, menurut saya, lebih baik
jadwalnya Panggung Publik Sumatera dikembalikan ke titahnya.
Dalam
catatan saya pada gelaran Panggung Publi Sumatera#3, saya menulis seperti ini:
Ketika pilihan peristiwa budaya yang menggunakan konsep ruang (panggung) publik
sebagai basis proses kreatif seniman, maka konsekuensi logis adalah
keterlibatan aktif maupun pasif publik dalam konstruksi sosial yang dibangun.
Peristiwa
budaya (seni) yang dilangsungkan di tengah ruang-ruang publik, tentu memiliki
relasi yang kuat dengan materialisasi hubungan-hubungan sosial yang diungkap
lewat media seni, baik itu teater, musik, dan lainnya.
Iven
ini merupakan peristiwa budaya. Eksplorasi terhadap kehidupan urban, katakanlah
sebagai kegelisahan seniman dan pekerja seni karena dipenuhi dengan
indusrtrialisasi kapitalis, tak serta dipandang sebagai kecemasan yang
diisolasi seniman, dan publik dikesankan kurang memahami.
Bagi
saya, pada dasarnya apa yang dikonsepkan Panggung Publik Sumatera ini cukup
menarik dan potensi untuk dikembangkan dan sangat terbuka serta isu-isu yang
diusung pun variatif, relevan dengan permasalahan kekinian. Tapi, ia akan
sukses jika tak melibatkan EO dalam pelaksanaannya. Saya ada cara lain seperti
yang ditawarkan Edy Utama. Pernyelenggaraan Sawahlunto International Music
Festival (SIMFes) tanpa adanya EO.
Sudah
saatnya Panggung Publik Sumatera mengedepankan mutu, kebaruan, dan inovasi
karya seni itu sendiri bukan ramainya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar