OLEH Dra. Mukti Widayati, M. Hum
(Universitas Sukoharjo)
Media elektronik menjadi sarana penting
yang menunjang publikasi berkembangnya sastra anak. Bukan sekedar sebuah
totntonan yang menyenangkan di berbagai televisi ataupun media elektronik
lainnya tetapi lebih mendasarkan fungsinya sebagai alat untuk menanaman
nilai-nilai kehidupan yang berkarakter sedini mungkin. Kekhawatiran memang
sudah dirasakan oleh berbagai kalangan pendidikan, khususnya sastra. Sastra
anak yang mempunyai nilai karakter itu sedikit demi sedikit disergap oleh media
elektronik yang semakin canggih. Akibatnya, budaya literasi anak berkurang.
Sastra anak yang kaya nilai tidak terdistribusikan dalam kognisi dan afeksi
anak.
Pemahaman sastra anak disesuaikan
dengan kebutuhan pemahaman estetika dan ekstra estetika anak. Sesuai dengan
perkembangannya, anak akan mencoba mengeksplorasi dan mengekspresikan keindahan
dari yang didengar, dilihat, dibaca. Hal itu diperkenalkan melalui
bentuk-bentuk lagu (dalam puisi) ataupun bentuk cerita menjelang tidur (dalam
bentuk prosa). Sastra anak dapat diperkenalkan dengan melalui bahasa yang
sederhana dan dengan melagukan syair-syairnya. Bentuk puisi yang dilagukan
memudahkan anak mengenal keindahan bahasa sastra melalui alitersi, asonansi,
serta persajakan atau paduan-poaduan bunyi yang ritmis. Sastra prosa dapat
diperkenalkan melalui tradisi lisan yang biasanya orang tua bercerita pada anak
sebelum tidur. Sastra anak dapat membawa pikiran-pikiran anak dalam world
vision. Dunia yang tidak sama dengan kenyataan, yaitu dunia kreativitas,
dunia imajinasi anak.
Pengantar
Kemajuan media audio visual dan sarana
hiburan yang cukup menggoda membawa konsekuensi pada masyarakatnya khususnya
bagi pendidikan anak. Konsekuensi positif lebih bermanfaat bagi anak dalam
menumbuhkembangkan ketrampilan bersastra untuk dapat lebih memahami budaya dan
kehidupan agar dapat bertahan dalam era global.
Di tengah perkembangan media elektronik
yang semakin maju pesat, ada kegelisahan yang dalam “budaya mebaca yang menjadi
dasar pemahaman sastra akankah mulai ditinggalkan oleh anak-anak?”. Adalah
suatu kosekuensi yang wajar di tengah peradaban modern. Orang cenderung
berpikir secara kapitalis untuk mendapatkan seonggok keuntungan di balik itu
dengan cepat dan melupakan dampak negative terhadap anak. Inilah tugas berat
bagi guru, orang tua, lingkungan untuk meningkatkan gairah membaca bagi
anak-anak. Tentu saja kita tidak pernah berharap budaya baca dan tulis ini
“loyo”.
Berbagai tontonan di televisi bagi anak
(film kartun, sinetron anak, film dokumenter) baik dalam negeri maupun luar
negeri bukanlah merupakan hal yang perlu ditakutkan tapi diwaspadai.
Kewaspadaan terhadap tontonan anak ini adalah dalam kendali guru, orang tua,
keluarga, dan lingkungan masyakatanya. Banyak film-film kartun yang diimport
dari Jepang maupun film-film anak-anak dari Negara-negara Barat yang disenangi
oleh anak-anak. Seperti Naruto,
Avatar, Shinchan, Hagimaru, Doraemon, Powerangers (produk Jepang), Popeye, Scoo Be Doo, Tom and Jerry, Donald
Duck, Mickey Mouse (produk Barat), yang dalam penyelesaian setiap
persoalan selalu dilakukan dengan kekerasan. Di satu sisi terdapat pandangan
negative tetapi di sisi yang lain anak diperkenalkan dengan pengetahuan yang
canggih ataupun kekuatan di luar kemampuan manusia dengan alat-alat yang unik
seperti kincir serba guna yang terdapat di kepala tokoh Doraemon. Sedangkan Shinchan dan Hagimaru merupakan film komedi
anak tetapi kadang-kadang melibatkan konsumsi orang tua. Lebih lagi, anak-anak
dimanjakan dengan mainan yang terdapat dalam software di berbagai
perangkat computer, gamewach, hand phone, dan berbagai alat elektronik.
Semuanya itu jika tidak diwaspadai orang tua, anak akan dengan mudah tenggelam
dalam keasyikan. Inilah yang mengancam terkikisnya budaya membaca dan menulis
di kalangan anak. Akan tetapi, jika sistem kendali orang tua berjalan dengan
baik dengan memanage waktu dan mengarahkan ke hal yang positif, maka anak akan
mendapatkan pengalaman yang positif dan dapat mengembangkan kearah positif pula
yang kemudian menjadi aktivitas yang kreatif menciptakan sesuatu karya baru berdasarkan
pengalaman yang dilihat atau dinikmatinya.
Film boneka Si Unyil, sinetron Si
Entong, Eneng merupakan program acara yang cenderung menghibur anak.
Surat Sahabat, Sibolang, Lap Top si
Unyil adalah tayangan informatif yang menjadi konsumsi anak. Tayangan
tersebut sarat dengan dunia pendidikan, pengetahuan, dan kebudyaaan dalam
konteks dalam negeri. Bagaimana konteks kehidupan daerah dengan seting Betawi
yang diwakili oleh si Entong dan
Eneng adalah salah satu
sinetron yang berwawasan budaya Indonesia, yang menggambarkan bagaimana anak
Indonesia bertoleransi dalam kehidupan. Surat Sahabat, Sibolang adalah tayangan informasi yang
memperkaya anak-anak dalam khasanah budaya di seluruh tanah air. Sehingga bagi
anak tayangan tersebut dapat menumbuhkembangkan sikap nasionalisme.
Media audio visual dan teks menunjukkan
adanya hubungan dialektik. Berbagai program acara yang diproduksi di televisi
adalah berdasarkan hasil skenario. Bahkan, tayangan yang bersifat edukatif
justru akan memberikan inspirasi bagi anak untuk menciptakan karya baru yang
sifatnya literer. Di sinilah sastra elektronik dapat ditransformasikan ke dalam
teks berupa bacaan anak-anak demikian juga sebaliknya.
Tayangan-tayangan yang yang memang
tidak dapat dikonsumsi anak mestinya dalam kendali orang tua, lingkungan
keluarga dan masyarakatnya. Tayangan-tayangan inilah yang membahayakan bagi
perkembangan jiwa anak. Orang tua harus selektif dalam memilihkan
program-program acara yang memang sesuai dengan perkembangan kognitif dan jiwa
anak. Kecuali itu, beberapa stasiun televisi menempatkan acara anak-anak pada
jam-jam yang kurang tepat, misalnya pada waktu-waktu yang dia harus belajar
disiplin untuk belajar justru dipergunakan untuk kesenangan saja dengan
menonton televisi. Barangkali acara anak lebih baik ditayangkan pada hari-hari
libur dengan waktu sebelum jam 19.00 malam.
Perkembangan dunia elektronik bukan
sesuatu yang perlu ditakutkan bagi guru, orang tua dan lingkungan. Tetapi
bagaimanakah membawa kehidupan anak ini ke dalam dunia yang memang global. Agar
mereka dapat memahami dan bertahan dalam kompetisi global dengan tanpa
meninggalkan nilai-nilai tradisional yang tertanam oleh budaya yang sudah
mapan.
Budaya dan sastra merupakan bagian yang
dialektik dan sangat berpengaruh pada sosial. Sastra tidak saja disebut sebagai
lembaga sosial tetapi juga budaya. Sastra menunjukkan masyarakat dan sekaligus
budayanya. Sastra yang dimaksud adalah menyeluruh tidak pandang bulu itu sastra
anak ataupun sastra dewasa ataupun sastra pada umumnya. Apa yang terungkapkan
dalam sastra merupakan gambaran sosial dan budaya masyarakat. Budaya dalam
sastra tidaklah berwujud konkret tetapi sikap, pandangan, filosofi kehidupan,
dan kebiasaan-kebiasaan kehidupan dalam masyarakat merupakan produk kebudayaan
yang sangat penting dalam kehidupan. Tidak terlepas pula bagi anak. Sastra anak
merupakan representasi kehidupan anak dengan segala aktivitas, pandangan,
pikiran, jiwa, dan dunianya.
Pada dasarnya sastra anak mempunyai
hakikat yang sama dengan sastra pada umumnya, yaitu memberikan hiburan dan
kesenangan-kesenangan pada anak dan memberikan manfaat bagi anak melalui
nilai-nilai yang terkandung dalam sastra anak itu sendiri. Banyak karya sastra
yang mengandung nilai-nilai kehidupan yang dapat dijadikan suri tauladan anak
sehingga kehidupan anak akan lebih baik, nyaman, bahagia, dan berwawasan luas.
Wawasan Keindahan Sastra dan Responsi
Anak
Sastra anak adalah sastra yang
diperuntukkan anak. Di mana segala sesuatu disesuaikan dengan kebutuhan
pemahaman estetika dan ekstra estetika anak. Sesuai dengan perkembangannya anak
akan mencoba mengeksplorasi dan mengekspresikan keindahan dari yang
diadapatkan. Sastra anak dapat diperkenalkan dengan melalui bahasa yang sederhana
dan dengan melagukan syair-syairnya. Bentuk puisi yang dilagukan memudahkan
anak mengenal keindahan bahasa sastra melalui alitersi, asonansi, serta
persajakan atau paduan-poaduan bunyi yang ritmis. Sedangkan sastra prosa dapat
diperkenalkan melalui tradisi lisan yang biasanya orang tua bercerita pada anak
sebelum tidur.
Siapa dan berapa usia pengarang sastra
anak tidak menjadi pertimbangan. Yang paling penting sastra anak adalah sastra
yang mengutamakan isi dan esensinya untuk anak. Sastra anak dapat membawa
pikiran-pikiran anak dalam world vision. Dunia yang tidak sama dengan
kenyataan, yaitu dunia kreativitas. Kemenarikan dalam prosa lebih ditekankan
pada figure tokoh dan alur cerita. Tokoh-tokoh Hero, pahlawan, orang-orang yang
berjasa dalam kebaikan atau tokoh-tokoh penolong menjadi figure pembawa
suritauladan bagi anak. Tokoh-tokoh tersebut biasanya melekat di pikiran anak.
Dalam sastra anak yang sederhana mungkin tidak banyak disajikan konflik.
Sastra sangat berkaitan erat dengan
keterampilan berbahasa. Ketrampilan awal yang dimiliki oleh anak dalam kondisi
normal (tidak cacat fisik) adalah menyimak. Hasil menyimak akan diekspresikan
melalui gerak motorik, proses belajar berbicara dan proses belajar menulis.
Lingkungan yang dilihat, diraba, dicecap, dicium, dan didengar merupakan
stimulan bagi proses belajar berbicara.
Ketika anak sudah dapat berbicara
lancar dia akan berusaha mengungkapkan apa yang diindera dengan kata-kata.
Melalui proses berpikir anak akan berusaha untuk berpikir, berimajinasi, membayangkan
membayangkan apakah hal itu masuk akal atau tidak. Seperti yang sering
diimajinasikan anak-anak; “seandainya aku jadi malaikat kecil, seandainya
aku jadi burung, seandainya aku jadi kupu-kupu” yang itu semua biasanyan
diungkapkan pada anak perempuan. Sedangkan anak laki-laki lebih cenderung
ungkapan yang bersifat maskulin dan konkret, “kalau akau jadi presiden,
kalau aku jadi astronot, kalau aku jadi pilot, dan sebagainya”.
Sastra memang sudah diperkenalkan pada
anak sejak usia dini. Keindahan yang didengar melalui nyanyian Nina Bobo yang
dilantunkan orang tuanya memberikan sentuhan keindahan suara yang diekspresikan
melalui senyuman, kenyamanan, dan ketenangan. Maka, tak ayal lagi dengan mudah
bayi akan tidur nyenyak. Responsi semacam ini bersifat nonverbal yang
berorientasi pada gerak (motor – oriented).
Ketika anak sudah mulai belajar
berbicara maka sastra akan lebih mudah untuk diperkenalkan. Melalui nyanyian
anak, ia akan berusaha untuk menirukan dan mengekspresikan memalui mimik
wajahnya yang diiringi dengan gerak motoriknya. Misalnya lagu sederhana “pok
ame-ame”. Lagu yang memang mengajak anak untuk belajar dan bermain
bersama-sama. Ekspresi melalui mimik wajah gerak motorik merupakan apresasi
terhadap bentuk-bentuk sastra yang sederhana, yang biasanya ditembangkan atau
dilagukan oleh orang tuanya. Menirukan adalah bentuk produk yang baru mampu
dilakukan oleh anak seusianya. Pada anak usia bicara ini terdapat response
verbal, dimana anak sudah mulai menirukan bahkan memberikan pendapat dengan
bahasa dan logika yang sederhana dan sesuai dengan perkembangan kognitifnya.
Nilai edukasi di balik lagu tersebut adalah mengajarkan pada anak untuk selalu
bermain bersama, makan dan minum yang bergizi untuk pertumbuhan badan.
Ketika anak sudah dapat berbicara
tetapi belum dapat dapat membaca, ia akan mengekspresikan apresiasinya dengan
kata-kata. Misalnya bagaimana tanggapannya ketika orang lain bercerita atau
ketika ia melihat gambar berantai seperti komik. Dia akan mengapresiasi dan
hasilnya diwujudkan dalam bentuk lisan. Ketika ia menghadapi sebuah gambar ia
akan membaca gambar tersebut sesuai dengan apa yang diimajinasikan. membaca.
Oleh karena itu, hasil ekspresi imajinasi melalui lisan ini mungkin akan
berbeda satu anak dengan yang lain. Inilah bukti bahwa anak mempunyai daya
apresiasi yang berbeda terhadap gambar yang dilihat. Response itu bersifat
verbal. Lagu-lagu anak yang puitis dapat digolongkan pula sebagai sastra anak.
Misalnya, Desaku, Kebunku, Pelangi, Bintang Kecil, Balonku, Satu-satu, dan
sebagainya menunjukkan adanya bahasa yang ritmis yang terletak pada paduan
bunyi pada akhir baris maupun pada setiap suku katanya.
Di situlah keindahan sastra dapat
dinikmati oleh anak. Puisi yang dilagukan akan lebih mudah untuk dipahami anak.
Di daerah Jawa terdapat lagu-lagu dolanan yang diperuntukkan anak-anak dengan
bernyanyi sambil bermain. Misalnya. Cublak-cublak suweng, uri-uri,
sluku-sluku bathok, jamuran, dan lain sebagainya merupakan lagu dolanan
yang mempunyai nilai adiluhung. Keadiluhungan itu terletak pada gaya
penyajiannyanya yang ritmis dan nilai yang terkandung di dalam lagu tersebut.
Menyimak lagu-lagu dolanan pada anak-anak Jawa menunjukkan bahwa mereka
mengutamakan kebersamaan, kerukunan, dan bukan masyarakat yang individu karena
setiap permainan yang diiringi lagu dolanan tersebut dimainkan oleh beberapa
anak. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat komunal.
Gambar merupakan sarana sastra bagi
anak baik dalam media kertas, TV, maupun media elektronik yang lain.
Penyampaian lisan dari anak menjadi sangat penting dalam melatih ketrampilan
menyimak dan berbicara. Seperti yang ditemui dalam layar kaca dalam sebuah
media TV dalam beberapa sinetron yang melibatkan anak sebagai pemainnya.
Bagaimana anak dapat membaca naskah/scenario? Dialog yang mereka lakukan adalah
karena mereka dituntun untuk menirukan sang sutradara. Jadi sebenarnya potensi
anak sebagai produsen sastra sangat tinggi. Allanis dalam Doo Bee Doo, Baim dalam Cerita SMA,
adalah anak-anak yang masih jauh di bawah umur (sekitar 2 tahunan) yang tentu
saja tidak dapat membaca apalagi menulis tetapi mereka sudah dapat bermain
sinetron. Mereka sudah menjadi pelaku seni yang menghasilkan berbagai kesukaan.
Seorang actor ataupun aktris harus dapat menafsirkan teks sehingga ada
keharmonisan antara acting dan dialog yang membuat sinetron atau drama
itu menjadi lebih menarik. Walaupun mungkin menemui berbagai kendala.
Pada anak usia pendidikan dasar yang
sudah mengenal huruf dan dapat membaca sudah dapat dimulai tradisi literasi.
Mereka akan lebih bisa mengekspresikan apa yang dipikirkan, apa yang sudah
menjadi pengalamannya, dan apa yang akan dilakukannya. Ketika ketrampilan
menulis sudah dikenalnya, ia akan berkembang menjadi seorang produsen sastra
sekaligus kritikus.
Pada tingkatan ini, anak sudah dapat
melakukan response verbal/lisan mapun tulis. Response dalam tingkatan rendah
berupa perasaan-perasaan nyaman dan senang, kemudian pada tingkat kedua berupa
sikap, tingkah laku dan gerak-gerik motorik serta mimic wajah yang bersifat
nonverbal. Tingkat ketiga, response dapat bersifat ketiga-tiganya, dan pada
tingkatan ke empat responsi lebih bersifat tulis. Responsi pada tingkat tinggi,
dalam taraf kematangan berpikir, responsi dapat berupa pernyataan-pernyataan
atau statemen-statemen yang kritis dengan bahasa yang sistematis dan lebih
kompleks. Responsi tersebut dapat dikatakan sebagai krtitik sastra.
Sastra dalam Sergapan Media Elektronik
Bagaimana sastra menghadapi sergapan
dunia teknologi yang semakin maju pesat dimana anak-anak lebih cenderung
menikmati dunia audio visual. Pendidikan sastra adalah melibatkan empat
ketrampilan berbahasa dan berimajinasi. Ekspresi imajinasi yang disajikan
dengan keindahan bahasa menjadi produk sastra. Bagaimanakah ini dapat
ditanamkan pada anak sehingga anak menjaqdi produsen sastra bagi dirinya
sendiri.
Kemajuan alat teknologi bukan untuk
digelisahkan selama ada campur tangan positif dari lingkungan pendidikan. Dalam
era ini anak jangan dibiarkan menjadi GAPTEK. Mereka dituntut dapat
mengoperasionalkannya. Internet yang merupakan sumber informasi dan inspirasi
hendaknya dapat dipergunakan anak secara positif. Dengan sendirinya, anak yang
didominasi pikiran positif akan dapat menyaring mana yang lebih bermanfaat dan
mana yang menimbulkan kerugian bagi dirinya. Dengan alat yang begitu canggih,
computer/laptop/internet mereka dapat menggunakannya sebagai sarana untuk
menulis, mengekspresikan ide, pengalaman, perasaan-perasaan kagum terhadap
tokoh dan objek-objek tertentu. Karyanya itu kemudian dipublikasikan ke
berbagai media untuk dikomunikasikan pada pembaca. Alat-alat itu merupakan
sarana produksi karangan.
Tradisi tulis juga bukan ancaman bagi
anak untuk meninggalkan dunia audio, audio visual, sosial, dan berbagai
kebutuhan yang berkaitan dengan softwarenya anak. Karena semuanya itu akan
memberikan pengalaman dan kekayaan kreativitas anak. Memberikan pengalaman
budaya, sosial, pendidikan, termasuk campur tangan positif yang menjadikan anak
akan dapat lebih memahami kehidupan melalui sastra. Dalam hal ini anak akan
mengeksplorasi dengan melakukan cross culture understanding. Pilihan
bacaan juga mendukung adanya cross culture understanding. Dengan
demikian anak akan mengenali budaya asing yang kemudian dapat membandingkan
dengan budaya negri sendiri. Pada taraf yang lebih tinggi pemahaman yang
demikian ini akan menjadi inspirasi anak. Anak akan menjadi pengarang yang
produktif, apalagi sudah mempunyai wadah dan komunitas.
Cerita-cerita rakyat, bukanlah suatu
yang dianggap ketinggalan tetapi semua mempunyai porsinya sendiri sendiri dalam
konteks masing-masing. Cerita Kancil versi Kancil Mencuri Timun mungkin dapat dikembangkan oleh anak
dengan daya krativitasnya menjadi kancil yang lebih cerdik dalam konteks
anak-anak sekarang. Kancil yang dapat bermain alat-alat elektronik. Kancil
dapat dimetaforakan sebagai anak yang cerdik dan mandiri sebagai anak sekarang
yang mempunyai kualitas pendidikan dan budaya tinggi. Image kancil mencuri
timun bukan seakan-akan negative dan menyarankan anak dalam budaya yang tidak
baik. Tetapi di balik itu kecerdikannya tidak pernah ditinjau kembali.
Bagaimana kancil dapat melarikan diri dari bahaya yang akan menimpanya.
Nah, image kecerdikan inilah yang dapat dimanfaatkan anak atau
penulis-penulis cerita anak dalam konteks yang sekarang, seperti cerita Home Alone. Cerita anak yang
tinggal sendiri di rumah tetapi dapat mengatasi segala permasalahan yang
dihadapi sampai pada masalah kejahatan yang akan menimpanya. Dengan
kecerdikan-kecerdikan itulah anak akan lebih dididik untuk lebih berani dan
mengambil keputusdan sendiri terhadap apa yang dihadapi dalam kehidupannya.
Dalam hal ini sastra dalam hal ini sebagai karya seni dapat meningkatkan
kecerdasan intelektual. Sastra juga mengandung nilai-nilai yang dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini perlu pemahaman yang
dalam pada anak. Nilai-nilai sosial budaya yang terdapat dalam sastra dapat
mempengaruhi anak lebih meningkatkan kecerdasan emosional. Pemahaman sastra
pada anak sebenarnya ntidak hanya berorientasi pada tingkat organic dan
arorganik saja, tetapi sampai pada tingkatan humanism dan metafisik. Tingkatan
humanism dan metafisik mempengaruhi anak lebih memahami kehidupan sampai pada
tingkat religious.
Berangkat dari ide-ide yang sederhana
mengenai kasih sayang ibu/orang tua, adik, kakak, teman, guru, kekagumannya
terhadap lingkungan sudah mulai ditulis anak-anak di beberapa media massa.
Hampir setiap media massa, pada hari-hari khusus atau edisi khusus memuat
karangan-karangan anak-anak. Dalam hal ini, media massa sudah bisa mereka
jadikan wadah bagi tulisannya. Selain itu, beberapa kota besar mempunyai
komunitas sendiri yan g menampung anak-anak kreatif. Akan tetapi tidak berhenti
di sini.
Proses transformasi selalu ada dalam
fenomena sastra. Cerita-cerita anak-anak dengan versi yang berbau mitos, yang
dalam setiap penyelessaian masalah cerita selalu menghadirkan tokoh yang
kuat/atau kekuatan-kekuatan supranatural yang dimunculkan secara fiktif,
misalnya cerita Timun Mas, Keyong
Mas, Bawang Merah-Bawang Putih, Cinderela, dapat ditransformasikan dalam
bentuk cerita dalam konteks modern.
Kadang-kadang sikap, pikiran, anak yang
lugu dapat dieksplorasi ke dalam karya sastra yang besar sehingga mendapatkan
penghargaan yang besar. Misalnya karya NAGUOIB MACHFOUZ yang berjudul “SURGA
ANAK-ANAK”. Cerpen ini pernah mendapatkan penghargaan NOBEL PRIZE FOR
LITERATURE pada tahun 1988. Kalimat-kalimat yang sederhana seperti yang
diucapkan seorang anak yang lugu yang selalu menanyakan hal-hal yang metafisis
sehingga ayahnya sulit untuk menjelaskan. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain
tentang agama, mati, dan Tuhan. Seperti kutipan berikut:
1. Tentang agama
Seorang tokoh “aku” (anak kecil yang
bersahabat dengan Nadia) mempertanyakan mengenai perbedaan agama dengan
sahabatnya. “Aku” beragama Islam dan Nadia beragama Kristen. Seorang ayah harus
secara berhati-hati menjawab pertanyaan anaknya, seperti percakapan berikut.
“Kenapa saya seorang Islam?”
Ia harus lapang dada dan harus
hati-hati. Juga tidak mempersetankan pendidikan modern yang baru pertama kali
diterapkan. Dan ia (ayahnya) berkata:
“Bapak dan ibu orang Islam. Sebab itu
kau juga orang Islam”.
“Dan Nadia?”
“Bapak ibunya orang Kristen. Sebab itu
juga ia Kristen?”
“Apa karena bapaknya berkacamata?”.
“Bukan. Tak ada urusannya dengan
kacamata dalam hal ini. Dan juga karena kakeknya Kristen”.
2.
Tentang kematian
Kata-kata polos “aku” yang memberikan
response dan pertanyaan pada ayahnya tentang Tuhannya Nadia yang menurut cerita
Nadia Tuhan dulu tingggal di bumi tetapi sekarang telah meninggal/ mati dan
kakeknya juga sudah meninggal. Seperti kutipan berikut.
“ Tapi Nadia bilang, Ia tinggal di
bumi”.
“Karena ia tahu dan melihat segala
sesuatu, maka seolah-olah Ia tinggal di mana-mana”.
“Dan ia juga bilang, orang-orang telah
membunuh-Nya.”
“Tapi Ia hidup dan tidak mati”.
“Nadia bilang, orang-orang telah
membunuh-Nya”.
“Tidak, saying.mereka mengira telah
membunuh-Nya. Tapi Ia hidup dan tidak mati”.
“dan kakekku masih hidup juga?”.
“Kakekmu sudah meninggal”.
“Apa orang-orang juga telah
membunuhnya?”
“Tidak, ia meninggal sendiri:.
“Dan adikku juga akan meninggal karena
ia sakit?”
Keningnya mengernyit sebentar,
sementara ia melihat gerak semacam protes dari arah istrinya.
“Tidak, insya Allah ia akan sembuh”.
“Dan kenapa kakek meninggal?”
“Sakit dalam ketuaannya”.
“Bapak pernah sakit dan bapak juga
sudah tua. Kenapa tidak meninggal?”
3.
Tentang Tuhan
Tokoh “Aku” mempertanyakan keberadaan
Tuhan (Allah).
“Siapakah Allah, Pak?”
Jadinya ia berpikir agak lama juga.
Lantas ia bertanya untuk sekadar mengulur waktu:
“Apa kata Bu Guru di sekolah?”
“Ia membaca surat-surat dari Al-Quran
dan mengajari kami sembahyang. Tapi saya tidak tahu siapa Allah itu”.
Ia berpikir lagi, sambil tersenyum agak
remang. Katanya:
“Ia yang menciptakan dunia seluruhnya”.
“Seluruhnya?”
“ya. Seluruhnya”.
………
“Dimana Ia tingal?”
“Di dunia seluruhnya”.
“Dan sebelum ada dunia?”
“Di atas”.
“Di langit?”
Pertanyaan-pertanyaan yang dilakukan
tokoh “Aku” (seorang anak kecil) semacam itu adalah wajar karena rasa
keingintahuannya yang tinggi. Pemahaman filosofis yang abstrak belum begitu
bisa karena pemahamannya baru dalam tingkat konkret dan kasat mata. Seorang
anak akan terus bertanya sesuatu sampai dia mendapatkan pemahaman dan gambaran
yang konkret mengenai eksistensi sesuatu.
Cerpen tersebut sebenarnya diangkat
dari peristiwa-peristiwa kehidupan yang biasa terjadi. Ketika orang tua atau
orang dewasa tidak berhati-hati maka akan memberikan pemahaman yang salah sejak
dini dan itu membahayakan. Sebagai bacaan anak, cerpen tersebut cukup bagus
karena mengandung nilai-nilai toleransi dan religious yang membawa tingkat
pemahaman sastra anak yang lebih tinggi.
Berbagai upaya dalam meningkatkan
pemahaman kehidupan anak melalui sastra anak dapat dilakukan di lingkungan
formal maupun nonformal. Di lingkungan sekolah, anak akan lebih mudah diarahkan
untuk selalu membaca dan membaca. Tentu saja sarana dan prasarana cukup
menentukan keberhasilan anak dalam memperluas apresiasi sastra. Selain itu,
peran guru sangat penting dalam memberikan kekayaan apresiasi sastra. Dalam hal
ini, pendidikan dan keahlian guru sangat dibutuhkan. Jika profesionalisme guru
Bahasa dan Sastra Indonesia memang sudah menu njukkan kualitas yang tinggi,
maka tidak perlu diragukan lagi keberhasilan sebuah pengajaran sastra dari
tingkat dasar sampai tingkat tinggi.
Di lingkungan nonformal, orang tua dan
keluarga sangat menentukan anak dalam mencintai sastra, yaitu dengan
menyediakan bacaan-bacaan anak. Peran aktif orang tua dengan bersama-sama ikut
mengapresiasi sastra secara lisan sangat juga diperlukan. Secara tertulis,
orang tua dapat menyediakan sarana-sarana yang diperlukan.
Penutup
Sastra memang sarat dengan nilai-nilai
kehidupan. Dengan memahami sastra, anak dapat diharapkan dapat meningkatkan
kualitas pendidikan yang berwawasan global. Tidak menjadi anak yang tertinggal.
Juga tidak menjadi anak yang larut dalam kehidupan modern sehingga meninggalkan
budayanya sendiri. Sarana elektronik yang menawarkan berbagai program hiburan
yang memabokkan bagi kalangan umum bukan suatu yang harus dimarginalkan. Justru
ini merupakan tantangan bagi pelaku-pelaku pendidikan dan budaya untuk
memfilter dan mengarahkan anak ke dalam perkembangan yang positif sehingga
mereka mampu berkompetisi dalam mengembangkan pendidikan di era globalisasi
ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Damono, Sapardi
Djoko. 2004. Antologi Cerpen Nobel. Yogyakarta: Penerbit Bentang.
Nurgiantoro,
Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Tarigan, Henri Guntur. 1995. Dasar-Dasar
Psikosastra. Bandung: Angkasa.
Tulisan
ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya,
28—31 Oktober 2013 yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar