OLEH Zelfeni Wimra
Bila diriku siuman dari pemberontakan
Tidak terkatakan sesal sebab kemalangan
Kudukung di punggung lainnya berceceran
Semua takdir kita yang punya
Rusli Marzuki Saria |
Sebuah
film dokumenter tentang dirinya diputar pada malam terakhir (24/03/20017)
Pentas Seni VI DKSB di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatera Barat. Penobatan
tersebut memberi kabar sejuk bahwa di ranah Minang, selalu lahir sastrawan yang
diperhitungkan. Setidaknya 50 tahun terakhir, kiprah kepenulisan “Papa” begitu
panggilan akrab Rusli Marzuki Saria, menjadi
bagian penting pergulatan sastra Indonesia. Rentang waktu itu, telah ia
dedikasikan bagi kesusastraan dengan semangat ”parewa” Minang yang sarat
perjuangan.
Sebagai
seorang pekarya, Papa mengaku, disiplin kreatifnya sering dibangkitkan oleh
ungkapan dari John Keats: My Imagination
is a monastery and I am its monk (Imajinasiku adalah biara dan aku adalah
biarawannya). Jadi seorang penyiar, barangkali bukan tujuan hidupnya. Tetapi
syair yang terus ia tulis telah memberinya makna hidup itu.
Dalam
narasi yang disusun Abel Tasman untuk film dokumenter tentang Papa, diuraikan,
bahwa puisi-puisi Papa dimuat dalam berbagai media yang ada di Indonesia sejak
tahun 1950-an. Abel menggambarkan idealisme Papa dengan ungkapan Umar bin
Khatab: “Ajarilah anakmu sastra, agar ia menjadi pemberani.”
Keberanian
yang dicontohkan Papa, terlihat jelas sejak ia sering tampil dalam berbagai
pentas pembacaan puisi di berbabagai kota di tanah air. Pada 22 Juni 1981, atas
undangan Dewan Kesenian Jakarta, Papa membacakan 65 pusinya di Taman Ismail
Marzuki Jakarta. Iven pembacaan dan diskusi puisi ini menjadi momentum penting
dalam riwayat kepenyairan Papa sebagai seorang sastrawan nasional yang tinggal
di daerah.
Dalam
ajang inilah para sastrawan dan kritikus sastra nasional mengakui keberadaan
Papa sebagai seorang penyair.Papa lahir di Nagari Kamang Mudik, kecamatan
Tilatang Kamang Kabupaten Agam, pada tanggal 26 Januari 1936. Ayahnya bernama
Marzuki—seorang kepala nagari yang juga punya usaha bendi dan pembuatan sadah.
Ibunya bernama Sarianun. Marzuki mempunyai 23 orang istri, Sarianun—ibunya Papa
adalah istrinya yang ketujuh. Sebagai seorang anak, pada tahun 1942 Papa
memulai jenjang pendidikan formal dengan memasuki Sekolah Rakyat (Volkschool).
Pada
tahun 1946, ibunya meninggal dunia. Oleh ayahnya, Papa kemudian dibawa tinggal
di Labuah Silang Payakumbuh. Di kota ini Marzuki meneruskan usaha bendi dan
pembuatan sadah. Di kota ini pula Papa meneruskan sekolahnya yakni ke SD
Muhammadiyah di Simpang Bunian. Setamat sekolah dasar Papa melanjutkan studinya
ke SMP Sore Payakumbuh Bahagian Bahasa.
Pada
tahun 1953, Marzuki—ayahandanya Papa meninggal dunia. Kenyataan ini membatalkan
cita-cita Papa untuk kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta.
Berbekal ijazah SMP, Rusli bekerja di Kepolisian yakni di Kantor Koordinator
106 Mobrig (sekarang Brimob) di Bukittinggi. Ia bertugas mengurusi surat masuk
dan keluar. Di samping bekerja pada kantor kepolisian di pagi hari, pada sore
harinya, Papa melanjutkan pendidikannya pada SMA Sore Sendiakala Bukittinggi
dan ia berhasil meraih ijazah SMA-nya dengan jurusan Bahasa tiga tahun
kemudian.
Semenjak
Sekolah Rakyat, minat Papa pada sastra sudah mulai terlihat. Sejak itu ia sudah
membaca buku-buku sastra yang ada di perpustakaan sekolahnya. Cerita-cerita
rakyat seperti Kepala Sitalang, Laras Simawang dan Bukit Tambun Tulang sudah
mulai dinikmatinya. Ia juga sudah melahap karya-karya sastra seperti Siti
Nurbaya karya Marah Rusli, Layar Terkembang Sutan Takdir Alisjahbana dan Di
Bawah Lindungan Ka’bah Buya Hamka. Pada masa SMA makin beragamlah karya-karya
yang dibaca Rusli.
Mulai
dari Chairil Anwar, Sjahrir, Asrul Sani, hingga karya-karya penulis asing
seperti Rabinranath Tagore, John Steinbeick, Hemingway dan lainnya. Kelak,
bacaan-bacaannya ini amat memengaruhi puisi-puisi Papa. Tak hanya menyukai
bacaan sastra, Papa juga banyak membaca karya-karya pemikiran dari berbagai
aliran baik itu Islam, liberal atau bahkan Marxis.
Bacaan-bacaannya
itu menjadikan Papa sebagai seorang mampu berpikir independen. Ia tak terjebak
pada dogma pemikiran apa pun. Ia mengagumi beberapa hal dari liberalisme dan
marxisme, akan tetapi ia tetap menjadikan Islam sebagai pijakan hidupnya. Namun
ia tidak memahami Islam dalam pengertian sempit dan fanatis, tetapi ia
menempatkan Islam sebagai ajaran yang mendorong orang pada optimisme,
kreativitas, intelektualitas dan keindahan.
Dengan
bacaan yang demikian beragam dan luas makin menarik minat Papa untuk menulis
puisi. Pada tahun 1955, untuk pertama kalinya puisi Rusli berjudul Nenekku
Pergi Suluk dimuat di surat kabar Nyata yang terbit di Bukittinggi. Pada tahun
yang sama, Rusli bersama AA Navis, Lo Fai Hap dan Nasrul Siddik dipercaya
mengisi Ruangan Sastra di RRI Bukittinggi.
Pada
tahun 1956 Papa lolos tes untuk jadi anggota Mobrig. Dengan pangkat Sersan ia
diangkat menjadi Agen Polisi Kepala di Kantor Koordinator 106 Mobrig
Bukittinggi. Namun, diproklamirkannya Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) pada Januari 1958, membuat karir Papa di Kepolisian berakhir
karena ia memilih bergabung dengan PRRI untuk berjuang dalam menghadapi tekanan
Pemerintah Pusat.
Keterlibatannya
dalam PRRI memaksa Papa berjuang keluar masuk hutan. Peristiwa pergolakan ini
menjadi periode sejarah penting dalam kehidupan Papa. Di tengah perang
berkecamuk; berbagai derita, kepiluan yang dialami rakyat Sumatra Barat,
dirasakan Papa dengan membatin. Sebagai seorang penyair, ia menuangkan suasana
batinnya itu dalam sejumlah puisi yang kemudian dibukukan dengan judul Ada
Ratap Ada Nyanyi.
Usai
PRRI, meski ada peluang, Papa tak lagi ingin jadi polisi. Sejak Juli 1961, Papa
menetap di Padang. Ia mangkal di Pasar Mudik dan Pasar Hilir sebagai pedagang
jatah atau pedagang perantara. Banyak jenis dagangan yang dijualnya, di
antaranya adalah batik.
Pada
4 Mei 1963, di kampung halamannya, Papa menikah dengan Hanizar Musa—gadis yang
dikenalnya pada masa PRRI. Dari pernikahannya ini, Papa dikaruniai empat orang
anak: Fitri Erlin Denai, Vitalitas Vitrat Sejati, Satyagraha dan Diogenes. Pada
tahun ini juga Rusli bekerja sebagai Kepala Tata Usaha di Koperasi Batik Tulis.
Di samping bekerja di koperasi ini, bersama beberapa sastrawan seperti Leon
Agusta, Dalius Umari, Mursal Esten, Chairul Harun dan Upitha Agustine, Rusli
mengisi acara Ruang Sastra Daerah Persinggahan di RRI Padang.
Pada
tahun 1969, Papa mengawali karirnya sebagai wartawan. Papa bergabung dengan
harian Haluan yang mana ia sendiri ikut sebagai pendirinya. Pada awalnya Papa
bekerja sebagai sekretaris redaksi. Namun kemudian ia juga menjadi redaktur
berita yang sering juga turun meliput berbagai peristiwa. Kemudian Papa
mengasuh halaman sastra sebagai redaktur kebudayaan. Salah satu rubrik sastra
yang ia buat adalah rubrik Monolog dalam Renungan. Karena faktor usia, Papa
pensiun dari Haluan pada tahun 1999.
Tetapi
sampai kini ia tetap punya rubrik di harian ini yakni rubrik Parewa Sato
Sakaki. Tetap meneruskan karir sebagai wartawan, pada tahun 1987 Papa terpilih
menjadi anggota DPRD Padang untuk periode 1987-1992 dan ia duduk di Komisi
Pembangunan. Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai anggota DPRD, Rusli tetap
kelihatan sebagai seorang penyair. Dalam beberapa sidang ia kerap membaca
puisi. Di antara pusi yang dibacakannya adalah Rakyat karya Hartono Andangjaya.
Di tengah kesibukannya sebagai wakil rakyat, Papa tetap menulis puisi. Di
antaranya, Sang Waktu Berbisik Aku Mengangguk, Wang 100 Ribu Rupiah Per Desa
dan Mentawai Bisa Tenggelam.
Aktivitas
Papa sebagai sastrawan tak hanya sekadar menulis puisi dan menjadi wartawan.
Pada tahun 1994 ia ikut bergabung di DKSB. Pada tahun tahun 1995 ia ditunjuk
sebagai bendahara pada organisasi ini, posisi yang tetap dipercayakan padanya
sampai tahun 2003. Sebagai wartawan, banyak tempat yang telah ia kunjungi, baik
dalam negeri hingga ke manca negara. Pada tahun 1977 ia diminta meliput latihan
perang antara Angkatan Laut Indonesia dan Austarlia di Great Barrier Reef
(Coral Sea), Australia bagian timur. Pada Oktober 1984, ia juga diundang
Kedubes Jerman untuk meliput Farnkfurt Books Fair. Di negara ini ia melihat hal
yang sangat mengagumkan yakni dukungan penuh Pemerintahan Jerman untuk dunia
pendidikan.
Sebagai
sastrawan, banyak peristiwa kesusastraan yang telah diikuti Papa. Ia sering
diundang ke berbagai pertemuan sastrawan baik di tingkat nasional maupun Asia
Tenggara. Kehebatannya pun sebagai sastrawan membuatnya meraih penghargaan dari
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Melalui karyanya Sembilu Darah,
lembaga ini memberinya Penghargaan Penulisan Karya Sastra Tahun 1997.
Sebagai
seorang penyair, Papa mempunyai tempat tersendiri dalam khazanah sastra di
Indonesia. Puisi-pusinya amat kuat berpijak pada tradisi lokal yang berangkat
dari tradisi Minangkabau. Seperti ditulis oleh Dasril Ahmad dalam skripsinya
yang ditulis pada tahun 1986, puisi-puisi Rusli dipengaruhi cerita-cerita kaba
baik dari segi struktur, persamaan latar dan penokohan maupun unsur musikalitas
atau iramanya. Makanya, nuansa lokal keminangan amat terasa dalam banyak puisi
Papa. Amat jarang penyair yang memilih lokalitas sebagai pijakan inspirasi
puisi, namun Rusli berani melakukannya.
Puisi-puisi
Papa adalah puisi dengan lirik-lirik sederhana yang melukiskan kenyataan hidup
yang dialami sehari hari. Di sisi lain puisi-puisi Papa juga ada yang bernuansa
hiporbolik dan dipenuhi kata-kata simbolik. Tema-temanya berangkat dari
kenyataan sosial, politik, ekonomi, budaya yang dialami masyarakat di
sekitarnya. Ia juga menulis puisi tentang pemberontakan, gugatan terhadap adat
dan tradisi maupun kritik sosial dan politik.
Puisinya
berjudul Putri Bunga Karang adalah
gugatan terhadap tradisi. Puisi ini juga memperlihatkan pengaruh kaba yang amat
kuat.
Puisi-puisinya
seperti Sajak-sajak Parewa, Sajak-sajak
Bulan Februari, Beri Aku Tambo Jangan
Sejarah, dan Berjalan ke Sungai
Ngiang amat jelas memperlihatkan nuansa lokal dan pengaruh kaba.
Keprihatinan dan kecemasannya terhadap Kota Padang juga ia ungkapkan lewat
puisinya Padang Kotaku. Sekarang, di
usianya yang sudah 71 tahun, Papa masih kelihatan segar dan kuat. Badannya
masih langsing dan sehat karena rajin berolah raga. Ia masih kelihatan keren
dengan celana jeans dan kaus oblong, pakaian kesukaannya.
Sehari-harinya
masih aktif dalam berbagai kegiatan terutama menulis dan membaca. Berbagai
karya terkini baik sastra, filsafat dan pemikiran keislaman tetap dilahapnya.
Malam hari ia beraktivitas di masjid dekat rumahnya. Habis salat subuh ia pergi
maraton hingga jam tujuh pagi.Namun sebagai seorang penyair, mantan polisi,
mantan pejuang, mantan politisi, wartawan dan budayawan, banyak pergulatan
hidup baik duka maupun suka yang telah dilaluinya.
Membaca
sosok Papa adalah membaca riwayat panjang perjalanan hidup seorang anak manusia
dengan berbagai warna-warni yang pernah dilaluinya. Sebagaimana ditulisnya
dalam Monolog dalam Renungan, membaca
puisi adalah membaca sejarah. Begitu pula membaca puisi-puisi Papa, berarti
membaca sejarah hidupnya. Semangat inilah yang tertuang dalam sajaknya yang
berjudul Sebuah Kehadiran: kamar dan rak
buku terlantar/dinding selalu menagih kerja/tak menidurkan tubuh resah
terlantar/hujan sama jatuh di samar senja.***
SUMBER:
Harian Padang Ekspres, Minggu, 25 Maret
2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar