My Imagination is a monastery and I am its monk. Imajinasiku adalah biara dan aku adalah biarawannya.
Maestro Sastra Rusli Marzuki Saria |
Ungkapan dari John Keats yang dikutip sang tokoh ini dalam sebuah esainya amat tepat menjelaskan proses kreatifnya sebagai seorang penyair. Memang begitulah seorang Rusli Marzuki Saria. Ia seakan ditakdirkan untuk jadi seorang penyair yang menempatkan imajinasi sebagai ranah yang amat luas untuk melahirkan karya-karya puisinya.
Rusli
Marzuki Saria yang akrab disapa Papa ini dikenal sebagai seorang sastrawan-budayawan
yang karya-karyanya tak bisa dilepaskan dari khazanah kesusastraan Indonesia
dalam 50 tahun terakhir. Puisi-puisinya dimuat dalam berbagai media yang ada di
Indonesia sejak tahun 1950-an. Ia pun sering tampil dalam berbagai pentas
pembacaan puisi di berbabagai kota di tanah air.
Pada
22 Juni 1981, atas undangan Dewan Kesenian Jakarta, Papa membacakan 65 pusinya
di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Iven pembacaan dan diskusi puisi ini menjadi
momentum penting dalam riwayat kepenyairan Papa sebagai seorang sastrawan
nasional yang tinggal di daerah. Dalam ajang inilah para sastrawan dan kritikus
sastra nasional mengakui keberadaan Rusli sebagai seorang penyair.
Bersastra Sepanjang
Hayatnya
Rusli
lahir pada tanggal 26 Januari 1936 di Nagari Kamang Mudik, kecamatan Tilatang
Kamang Kabupaten Agam. Ayahnya bernama Marzuki—seorang kepala nagari yang juga
punya usaha bendi dan pembuatan sadah. Ibunya bernama Sarianun. Marzuki
mempunyai 23 orang istri, Sarianun—ibunya Rusli adalah istrinya yang ketujuh.
Sebagai seorang anak, pada tahun 1942 Rusli memulai jenjang pendidikan formal
dengan memasuki Sekolah Rakyat (Volkschool).
Pada
tahun 1946, ibunya meninggal dunia. Oleh ayahnya, Rusli kemudian dibawa tinggal
dii Labuah Silang Payakumbuh. Di kota ini Marzuki meneruskan usaha bendi dan
pembuatan sadah. Di kota ini pula Rusli meneruskan sekolahnya yakni ke SD
Muhammadiyah di Simpang Bunian. Setamat sekolah dasar Rusli melanjutkan
studinya ke SMP Sore Payakumbuh Bahagian Bahasa.
Pada
tahun 1953, Marzuki—ayahandanya Rusli meninggal dunia. Kenyataan ini
membatalkan cita-cita Rusli untuk kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI)
Yogyakarta. Berbekal ijazah SMP, Rusli bekerja di Kepolisian yakni di Kantor
Koordinator 106 Mobrig (sekarang Brimob) di Bukittinggi. Ia bertugas mengurusi
surat masuk dan keluar. Di samping bekerja pada kantor kepolisian di pagi hari,
pada sore harinya, Rusli melanjutkan pendidikannya pada SMA Sore Sendiakala
Bukittinggi dan ia berhasil meraih ijazah SMA-nya dengan jurusan Bahasa tiga tahun
kemudian.
Semenjak
sekolah rakyat, minat Rusli pada sastra sudah mulai terlihat. Sejak itu ia
sudah membaca buku-buku sastra yang ada di perpustakaan sekolahnya.
Cerita-cerita rakyat seperti Kepala Sitalang, Laras Simawang dan Bukit Tambun
Tulang sudah mulai dinikmatinya. Ia juga sudah melahap karya-karya sastra
seperti Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Layar Terkembang-nya Sutan Takdir
Alisjahbana dan Di Bawah Lindungan Ka’bah-nya Buya Hamka. Pada masa SMA makin
beragamlah karya-karya yang dibaca Rusli. Mulai dari Chairil Anwar, Sjahrir,
Asrul Sani, hingga karya-karya penulis asing seperti Rabinranath Tagore, John
Steinbeick, Hemingway dan lainnya. Kelak, bacaan-bacaannya ini amat memengaruhi
puisi-puisi Rusli.
Tak
hanya menyukai bacaan sastra, Rusli juga banyak membaca karya-karya pemikiran
dari berbagai aliran baik itu Islam, liberal atau bahkan Marxis.
Bacaan-bacaannya itu menjadikan Rusli sebagai seorang mampu berpikir
independen. Ia tak terjebak pada dogma pemikiran apa pun. Ia mengagumi beberapa
hal dari liberalisme dan marxisme, akan tetapi ia tetap menjadikan Islam
sebagai pijakan hidupnya. Namun ia tidak memahami Islam dalam pengertian sempit
dan fanatis, tetapi ia menempatkan Islam sebagai ajaran yang mendorong orang
pada optimisme, kreativitas, intelektualitas dan keindahan.
Dengan
bacaan yang demikian beragam dan luas makin menarik minat Rusli untuk menulis
puisi. Pada tahun 1955, untuk pertama kalinya puisi Rusli berjudul Nenekku
Pergi Suluk dimuat di surat kabar Nyata yang terbit di Bukittinggi. Pada tahun
yang sama, Rusli bersama AA Navis, Lo Fai Hap dan Nasrul Siddik dipercaya
mengisi Ruangan Sastra di RRI Bukittinggi.
Pada
tahun 1956 Rusli lolos tes untuk jadi anggota Mobrig. Dengan pangkat Sersan ia
diangkat menjadi Agen Polisi Kepala di Kantor Koordinator 106 Mobrig
Bukittinggi. Namun, diproklamirkannya Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI) pada Januari 1958, membuat karir Rusli di Kepolisian berakhir
karena ia memilih bergabung dengan PRRI untuk berjuang dalam menghadapi tekanan
Pemerintah Pusat.
Keterlibatannya
dalam PRRI memaksa Rusli berjuang keluar masuk hutan. Peristiwa pergolakan ini
menjadi periode sejarah penting dalam kehidupan Rusli. Di tengah perang
berkecamuk; berbagai derita, kepiluan yang dialami rakyat Sumatra Barat,
dirasakan Rusli dengan membatin. Sebagai seorang penyair, ia menuangkan suasana
batinnya itu dalam sejumlah puisi yang kemudian dibukukan dengan judul Ada
Ratap Ada Nyanyi.
Usai
PRRI, meski ada peluang, Rusli tak lagi ingin jadi polisi. Sejak Juli 1961,
Rusli menetap di Padang. Ia mangkal di Pasar Mudik dan Pasar Hilir sebagai
pedagang jatah atau pedagang perantara.. Banyak jenis dagangan yang dijualnya,
di antaranya adalah batik.
Pada
4 Mei 1963, di kampung halamannya, Rusli menikah dengan Hanizar Musa—gadis yang
dikenalnya pada masa PRRI. Dari pernikahannya ini, Rusli dikaruniai empat orang
anak: Fitri Erlin Denai, Vitalitas Vitrat Sejati, Satyagraha dan Diogenes. Pada
tahun ini juga Rusli bekerja sebagai Kepala Tata Usaha di Koperasi Batik Tulis.
Di samping bekerja di koperasi ini, bersama beberapa sastrawan seperti Leon
Agusta, Dalius Umari, Mursal Esten, Chairul Harun dan Upitha Agustine, Rusli
mengisi acara Ruang Sastra Daerah Persinggahan di RRI Padang.
Pada
tahun 1969, Rusli mengawali karirnya sebagai wartawan. Rusli bergabung dengan
harian Haluan yang mana ia sendiri ikut sebagai pendirinya. Pada awalnya Rusli
bekerja sebagai sekretaris redaksi. Namun kemudian ia juga menjadi redaktur
berita yang sering juga turun meliput berbagai peristiwa. Kemudian Rusli
mengasuh halaman sastra sebagai redaktur kebudayaan. Salah satu rubrik sastra
yang ia buat adalah rubrik Monolog dalam Renungan. Karena faktor usia, Rusli
pensiun dari Haluan pada tahun 1999. Tetapi sampai kini ia tetap punya rubrik
di harian ini yakni rubrik Parewa Sato Sakaki.
Jurnalis yang Menyair
Tetap
meneruskan karir sebagai wartawan, pada tahun 1987 Rusli terpilih menjadi
anggota DPRD Padang untuk periode 1987-1992 dan ia duduk di Komisi Pembangunan.
Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai anggota DPRD, Rusli tetap kelihatan
sebagai seorang penyair. Dalam beberapa sidang ia kerap membaca puisi. Di
antara pusi yang dibacakannya adalah Rakyat karya Hartono Andangjaya. Di tengah
kesibukannya sebagai wakil rakyat, Rusli tetap menulis puisi. Di antaranya,
Sang Waktu Berbisik Aku Mengangguk, Wang 100 Ribu Rupiah Per Desa dan Mentawai
Bisa Tenggelam.
Aktivitas
Rusli sebagai sastrawan tak hanya sekadar menulis puisi dan menjadi wartawan.
Pada tahun 1994 ia ikut bergabung di Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB). Pada
tahun tahun 1995 ia ditunjuk sebagai bendahara pada organisasi ini, posisi yang
tetap dipercayakan padanya sampai tahun 2003. Sebagai wartawan, banyak tempat
yang telah ia kunjungi, baik dalam negeri hingga ke manca negara. Pada tahun
1977 ia diminta meliput latihan perang antara Angkatan Laut Indonesia dan
Austarlia di Great Barrier Reef (Coral Sea), Australia bagian timur. Pada
Oktober 1984, ia juga diundang Kedubes Jerman untuk meliput Farnkfurt Books
Fair. Di negara ini ia melihat hal yang sangat mengagumkan yakni dukungan penuh
Pemerintahan Jerman untuk dunia pendidikan.
Sebagai
sastrawan, banyak peristiwa kesusastraan yang telah diikuti Rusli. Ia sering
diundang ke berbagai pertemuan sastrawan baik di tingkat nasional maupun Asia
Tenggara. Kehebatannya pun sebagai sastrawan membuatnya meraih penghargaan dari
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Melalui karyanya Sembilu Darah lembaga ini memberinya Penghargaan Penulisan
Karya Sastra Tahun 1997.
Sebagai
seorang penyair, Rusli mempunyai tempat tersendiri dalam khazanah sastra di
Indonesia. Puisi-pusinya amat kuat berpijak pada tradisi lokal yang berangkat
dari tradisi Minangkabau. Seperti ditulis oleh Dasril Ahmad dalam skripsinya
yang ditulis pada tahun 1986, puisi-puisi Rusli banyak dipengaruhi
cerita-cerita kaba baik dari segi struktur, persamaan latar dan penokohan
maupun unsur musikalitas atau iramanya. Makanya, nuansa lokal keminangan amat
terasa dalam banyak puisi Rusli. Amat jarang penyair yang memilih lokalitas
sebagai pijakan inspirasi puisi, namun Rusli berani melakukannya.
Puisi-puisi
Rusli adalah puisi dengan lirik-lirik sederhana yang melukiskan kenyataan hidup
yang dialami sehari hari. Di sisi lain puisi-puisi Rusli juga ada yang
bernuansa hiporbolik dan dipenuhi kata-kata simbolik. Tema-temanya berangkat
dari kenyataan sosial, politik, ekonomi, budaya yang dialami masyarakat di
sekitarnya. Ia juga menulis puisi tentang pemberontakan, gugatan terhadap adat
dan tradisi maupun krtitik sosial dan politik. Puisinya berjudul Putri Bunga
Karang adalah gugatan terhadap tradisi. Puisi ini juga memperlihatkan pengaruh
kaba yang amat kuat. Pusi-puisinya seperti Sajak-sajak Parewa, Sajak-sajak
Bulan Pebruari, Beri Aku Tambo Jangan Sejarah, dan Berjalan ke Sungai Ngiang
amat jelas memperlihatkan nuansa lokal dan pengaruh kaba. Keprihatinan dan
kecemasannya terhadap Kota Padang juga ia ungkapkan lewat puisinya Padang
Kotaku.
Sekarang,
di usianya yang sudah 71 tahun, Papa Rusli masih kelihatan segar dan kuat.
Badannya masih langsing dan sehat karena rajin berolah raga. Ia masih kelihatan
keren dengan celana jeans dan kaus oblong, pakaian kesukaannya. Sehari-harinya
masih aktif dalam berbagai kegiatan terutama menulis dan membaca. Berbagai
karya terkini baik sastra, filsafat dan pemikiran keislaman tetap dilahapnya.
Malam hari ia beraktivitas di masjid dekat rumahnya. Habis salat subuh ia pergi
maraton hingga jam tujuh pagi.
Namun
sebagai seorang penyair, mantan polisi, mantan pejuang, mantan politisi,
wartawan dan budayawan, banyak pergulatan hidup baik duka maupun suka yang
telah dilaluinya. Membaca sosok Rusli adalah membaca riwayat panjang perjalanan
hidup seorang anak manusia dengan berbagai warna-warni yang pernah dilaluinya.
Sebagaimana ditulisnya dalam Monolog dalam Renungan, membaca puisi adalah
membaca sejarah. Begitu pula membaca puisi-puisi Rusli, berarti membaca sejarah
hidupnya.
Sebagai
seorang penyair, wartawan, pejuang dan politisi, Rusli adalah seorang idealis
yang berani menyatakan kebenaran yang dirasakannya. Makanya untuk menggambarkan
idealisme Rusli, amatlah tepat yang dikatakan Umar bin Khatab, “Ajarilah anakmu
sastra, agar ia menjadi pemberani.”
Penulisan deskripsi Abel Tasman
Catatan: Tulisan ini merupakan salah satu
bagian program DKSB pada tahun 2007 mendokumentasikan secara audio-visual
maestro seni Sumatera Barat. Tulisan ini masih disesuaikan saat pembuatan video
ini pada tahun 2007.
Sumber:
mantagisme.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar