OLEH Dr.
Saafroedin Bahar
Abstract
In February 1958,
during the tumultuous post-independence years, the Minangkabaus in West Sumatra
province, who were very unhappy with the policy of the central
government, sent an ultimatum to Prime Minister Djuanda, demanding
a.o. the reinstallment of Soekarno-Hatta dual leadership, absolution of he
Indonesian Communist Party, and the resign of the Djuanda parliamentarian
cabinet.
Most probably, this
unique event in Indonesian political history, was motivated by the
overblown sense of self-aggrandizement, miscalculation of probable Mr Djuanda’s
response, promised political support of several regional military commanders in
Sumatra and Sulawesi, and – most importantly – logistical support of U.S
Central Intelligence Agency. Since all the rebel’s Banteng Division could
mobilize was only two lightly armed infantry battalions, without any naval and
air support whatsoever, this ultimatum was essentially no more than a political
bluff.
The Minangkabaus were
later on taken by surprise, not only because of the strong refusal of Mr
Djuanda and President Soekarno, and the failure of the actual promised military
take over in North and South Sumatra, but also by the determined combined
operations by the Indonesian military led by Colonel Ahmad Yani, a fresh
graduate of U.S Command and General Staff College, launched simultaneously in
West Sumatra and neighboring Riau provinces. As can be predicted, even though
the rebellion can last for three years, the military resistance in West Sumatra
was practically negligible.
The Minangkabaus paid a
heavy price for this politico-military adventure. The strong-arm policy of
Communist-oriented central government’s military commanders in West Sumatra
actually destroyed the honor and morale of the Minangkabaus, which can only be
restored after the emergence of the anti Communist New Order Regime.
Lately, to redress the
psychological damage the descendants of past rebels tried to rationalize the
military fiasco by reinterpreting that even tough they were militarily
defeated, yet they won the political aspect, namely by the disbanding of the
Indonesian Communist Party and the decentralization of power to the regions.
Pengantar
Mungkin tidak pernah
kita duga, bahwa di balik alam Minangkabau yang indah dan seni kuliner yang
bermutu tinggi, sesungguhnya masyarakat Minangkabau hidup berkepanjangan dalam
suasana yang penuh dengan ketegangan dan gejolak sosial, baik berskala besar
maupun berskala kecil. Kelihatannya, ketegangan dan gejolak tersebut merupakan
resultante dari ambiguitas sistem nilai dan struktur sosial yang sangat
terfragmentasi, serta intervensi dari luar yang tidak jarang bersifat
kontraproduktif.
Sudah barangtentu hidup
dalam ketegangan dan gejolak berkepanjangan tersebut akan menimbulkan sifat dan
watak penduduk yang khas, yang sayangnya belum banyak dikaji secara
mendalam, sistematis, dan berkelanjutan. Besar kemungkinan, ketegangan dan gejolak
berkepanjangan itu dalam keadaan normal akan menimbulkan watak pencuriga, yang
akan berakibat rendahnya trust, suasana saling percaya
mempercayai, dan teramat sulitnya mewujudkan efek sinergi dari
potensi yang dimiliki.
Secara pribadi saya
menduga ada empat faktor penyebab ketegangan dan gejolak berkepanjangan itu
yaitu 1) adanya ketegangan sosial laten yang disebabkan oleh keterbatasan
lahan pertanian; 2) belum terintegrasinya dua sumber norma dasar sosiokultural
Minangkabau – yaitu adat Minangkabau dan agama Islam – , 3) tidak adanya
suprastruktur politik yang meliputi seluruh Minangkabau yang mampu memelihara
dinamika dan menyelesaikan konflik internal, dan 4) adanya intervensi dari
luar. Sebagai akibatnya, berbagai dinamika dan konflik horizontal yang terjadi
dalam masyarakat berakumulasi sampai tidak dapat dikenali dan diselesaikan
lagi. Seorang sejarawan, Dr. Jeff Hadler, mensifatkan kondisi ini sebagai suatu
‘ sengketa tiada putus’.
Herannya, hampir
seluruh masyarakat Minangkabau merasa kondisi seperti itu sebagai sesuatu yang
wajar-wajar saja. Tidak jarang terjadi, bahkan setiap upaya untuk menyusun
tatanan sosiokultural yang lebih rasional dan terpadu, secara hampir otomatis
akan menghadapi tantangan. Dengan kata lain, kelihatannya ada semacam self-destruct
mechanism pada kehidupan sosial budaya Minangkabau. Artinya, kehidupan
yang penuh konflik itu malah merupakan zona nyaman masyarakat
Minangkabau.
Sudah barang tentu,
keadaan tanpa shared values yang jelas dan tanpa struktur itu
akan menghadapi masalah jika menghadapi musuh dari luar, misalnya sewaktu rezim
Hindia Belanda akan mencengkeram pedalaman Minangkabau dalam abad ke 19, atau
sewaktu tentara Belanda melancarkan Agresi Militer Pertama dan Kedua pada tahun
1947-1948, atau sewaktu para tokoh Minangkabau pada tahun 1958 memutuskan untuk
mengirimkanultimatum kepada Pemerintah Pusat, dan melancarkan
sebuah pemberontakan bersenjata, di bawah pimpinan sebuah Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia ( PRRI ) yang beroperasi sampai
tahun 1961.
Naskah ini mencoba
untuk menekuni apakah watak pencuriga dan rendahnya suasana saling percaya
mempercayai itu bermanfaat dalam situasi konflik menghadapi musuh, khususnya
dalam perang, dimana deception atau penipuan marupakan salah
satu faktor penting untuk memenangkan perang.
Naskah ini mencoba
menggunakan pisau analisa filsafat -- dalam hal ini filsafat sejarah -- untuk
menekuni dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari
watak pencuriga dan rendahnya suasana saling percaya mempercayai itu bermanfaat
dalam situasi konflik menghadapi musuh, khususnya dalam perang, dimana deception atau
penipuan merupakan salah satu faktor penting untuk memenangkan perang. Secara
khusus naskahini mencoba memahami gejala tersebut dengan mengaitkannya
dengan visi dunia dan tatanan sosial Minangkabau yang menjadi konteknya.
Visi
Dunia dan Tatanan Sosial Tradisional Minangkabau yang Sangat Terfragmentasi
Oleh karena Minangkabau
tidak – atau belum terbukti - mempuyai aksara sendiri, tidaklah mudah untuk
menelusuri secara persis sejarah dari visi dunia yang dianut serta tatanan
sosial masyarakat Minangkabau. Dalam hubungan ini kita hanya dapat
mengira-ngira atau merekonstruksi apa yang mungkin terjadi di masa lampau, dari
demikian banyak kaba, tambo, atau pepatah petitih. Suatu hal
yang sangat menonjol dalam visi dunia dan tatanan sosial tradisional
Minangkabau adalah sifatnya yang sangat terfragmentasi. Dalam hubungan ini ada
dua hal yang menarik perhatian saya, sebagai berikut.
Dasar-dasar Visi Dunia
Menurut penglihatan
saya, dasar visi dunia Minangkabau terangkum secara padat dalam frasa alam
takambang jadi guru. Dalam hubungan ini alam tidaklah difahami
secara sistematis dalam wujud makro- dan mikokosmos yang
tersusun secara utuh, tetapi sebagai cuplikan dari pengalaman emperik
perseorangan. Dengan visi dunia tersebut dapatlah difahami bahwa masyarakat
Minangkabau cenderung berfikir secara fragmentaris, bersikap impulsif,
dan tidak berminat untuk mengembangkan suatu sistem pemikiran
filsafat spekulatif yang bersifat utuh menyeluruh. Pemikiran tradisional
Minangkabau ini cenderung dirumuskan dalam bentuk pepatah-petitih – aphorisms
– yang dalam pandangan modern memuat substansi kearifan yang merupakan
kombinasi unsur-unsur faham atomisme, naturalisme, materialisme,
animisme, dinamisme. Dalam hubungan ini masyarakat Minangkabau asli
kelihatannya tidak mengenal atau tidak berminat terhadap konsep tuhan sebagai
zat yang maha tinggi, seperti debata mulajadi nabolon yang
dianut oleh masyarakat Batak di sebelah utara.
Syukurnya, kevakuman
pemikiran filsafati yang utuh menyeluruh itu kelihatannya diisi secara
berangsur oleh ajaran agama Islam yang bersifat universal. Ada tiga tahap dalam
pengaruh masuknya agama Islam ini ke dalam kebudayaan Minangkabau, yaitu tahap
toleran, tahap radikal, dan tahap akomodatif. Tahap toleran berlangsung
sekitar dua abad, dari abad ke 16 sampai abad ke 18, sewaktu pemuka-pemuka
agama bagaikan membiarkan berlangsungnya berbagai kebiasaan penduduk yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam, seperti berjudi, menyabung ayam, atau merampok.
Tahap radikal
berlangsung sekitar 38 tahun dalam abad ke 19, tahap pertama yang sangat
permisif antara tahun 1803 – 1821, yang berlanjut dengan tahap kedua antara
tahun 1821-1838, sewaktu gerakan Padri yang tidak sabar melihat demikian
banyaknya deviasi kehidupan beragama, memutuskan untuk melakukan tindakan
kekerasan.
Tahap akomodatif berlangsung
setelah berakhirnya Perang Paderi pada tahun 1838, sewaktu kaum adat dan kaum
agama menyadari bahwa kedua belah fihak menderita kerugian besar dengan jalan
kekerasan yang mereka tempuh. Sekitar tahun 1832, menurut Christin Dobbin,
seorang Panglima Padri, Tuanku Imam Bonjol, meletakkan landasan tatanan sosial
baru, yang kemudian dikembangkan sebagai ajaran adat basandi syarak,
syarak basandi kitabullah (ABS SBK).
Adalah merupakan suatu
hal yang menarik, bahwa tidak ditemukan suatu elaborasi yang memadai baik
terhadap akar penyebab konflik horizontal yang terjadi maupun terhadap format
akomodasi yang disepakati, sehingga sesungguhnya di tingkat grass rootsmasyarakat
Minangkabau masih tetap hidup dalam suasana konflik horizontal yang
berkepanjangan, bahkan sampai hari ini.
Tatanan Sosial Tradisional
Pada dasarnya dapat
dikatakan bahwa tidak ditemukan adanya suatu pemerintahan terpusat, yang secara
efektif memerintah seluruh wilayah dan seluruh wilayah Minangkabau. Dari segi
tatanan sosial, perlu dibedakan antara 1) wilayah inti Minangkabau di darek, yang
terdiri dari nagari-nagari di Luhak Agam, Luhak Tanah
Data, dan Luhak Limapuluh Koto, yang diperintah oleh para
penghulu dari suku-suku yang ditata berdasar sistem kekerabatan matrilineal,
dan 2) wilayah rantau dan pesisir, yang berada di luar wilayah
inti itu, yang diperintah oleh para raja-raja, yang tidak jarang ditata
berdasar sistem kekerabatan patriineal atau bahkan parental. Antara kedua jenis
tatanan sosial tradisional ini tidak didapati hubungan structural satu sama
lain. Keterangannya adalah sebagai berikut.
Nagari
Premisse paling dasar dari
sistem nilai dan struktur sosial Minangkabau di tiga luhak tersebut adalah
pernyataan bahwa adat salingka nagari. Maknanya adalah bahwa
Minangkabau tidak pernah dirancang dan dilembagakan sebagai suatu
kesatuan yang utuh, tetapi terdiri dari nagari-nagari yang berdiri
sendiri, yang secara struktural tidak ada hubungannya satu sama lain.
Setiap nagari adalah
merupakan suatu satuan sosiokultural, satuan sosioekonomis, dan satuan
sosiopolitik yang mandiri, yang dalam literatur hukum adat disebut
sebagai suatudorps republiek. Secara normatif, setiap nagari
terdiri dari empat suku, yang masing-masingnya berada di bawah kepemimpinan
sukunya sendiri, yang berarti bahwa setiap nagari merupakan suatu konfederasi
suku. Dengan demikian, Minangkabau sesungguhnya merupakan suatu konfederasi
longgar dari suku-suku dan nagari-nagari, yang mungkin hanya
mempunyai dua persamaan, yaitu sistem kekerabatan matrilineal dan persamaan
bahasa, dengan banyak dialek.
Ada dua varian pada
tatanan internal setiap suku, yang disebut lareh, yaitu lareh
Koto Piliang yang bersifat aristokratis, yang dipimpin oleh seorang penghulu
pucuk, dan lareh Bodi Chaniago, yang lebih bersifat
demokratis, dimana para penhulunya duduk sama rendah tegak sama tinggi.
Mata pencaharian
penduduk di setiap nagari pada dasarnya adalah pertanian, yang tentu saja
selain sangat bergantung pada ketersediaan lahan, yang jumlahnya sangat
terbatas, juga menyebabkan timbulnya sikap yang konservatif. Dalam hubungan ini
dapatlah dimengerti bahwa masalah tanah sebagai harta pusaka, baik
harta pusaka tinggi maupun harta pusaka rendah - serta peranan para penghulu
yang menguasai harta pusaka tersebut - memegang peranan penting dalam tatanan
sosial Minangkabau. Dengan keterbatasan daya dukung lahan, dikembangkan suatu
solusi yang unik, yaitu mendorong kaum priya muda untuk pergi merantau.
Rantau dan Pesisir
Berbeda dengan
nagari-nagari yang berlokasi di daerah inti Minangkabau, adalah wilayah
rantau dan pesisir, yang ada di luar tiga luhak tersebut. Walaupun di
daerah rantau dan pesisir ini juga terdapat pertanian, namun pencaharian
penduduk juga mencakup pertambangan, perdagangan, bahkan pelayaran ke
daerah-daerah sekitar Minangkabau. Dalam catatan sejarah, ada empat pelabuhan bertaraf
internasional yang pernah ada di Minangkabau, yaitu Painan,
Padang, Pariaman, dan Tiku. Di daerah rantau dan pesisir ini
masyarakat tidak sepenuhnya menganut sistem kekerabatan matrilineal, sehingga
kepemimpinan tidak terletak dalam tangan para penghulu, tetapi oleh raja-raja.
Perbedaan dalam
kehidupan sosial ekonomi ini menyebabkan masyarakat Mnangkabau di wilayah
rantau dan pesisir ini lebih bersikap terbuka dan dinamis jika dibandingkan
dengan masyarakat Minangkabau di Luhak nan Tigo.
Sebuah Renungan Singkat tentang Implikasi
Visi Dunia dan Tatanan Sosial Minangkabau terhadap Kebersamaan dalam Zaman
Damai dan terhadap Strategi Perang
Kebersamaan dalam zaman
damai memerlukan perasaan saling percaya mempercayai dan kerjasama yang erat
antara berbagai perseorangan dan golongan dalam masyarakat. Tanpa perasaan
saling percayai dan kerjasama erta itu, adalah mustahil untuk mewujudkan
karya-karya besar. Yang bisa dilakukan hanyalah kiprah perseorangan atau
kelompok yang berskala kecil belaka.
Dalam konteks
Minangkabau, perasaan saling percaya mempercayai dan kerjasama erat ini
diinginkan pada tatanan suku serta komponen-komponennya, yang ditata berdasar
hubungan genealogis. Masalah tentu timbul jika kepemimpinan suku tersebut tidak
diemban oleh pribadi yang terpercaya, yang cepat atau lambat akan menimbulkan
konflik inernal yang amat parah dan sukar diselesaikan.
Masalahnya akan semakin
gawat dalam suasana perang. Salah satu asas perang yang bersifat non-negotiable adalah
asas kesatuan komando ( unity of command ), yang berarti bahwa
seluruh kekuatan yang terlibat dalam perang harus tunduk pada satu pimpinan
yang sama, yang akan mengatur strategi, taktik, dan logistik perang. Secara a
contrario dapat dikatakan bahwa kemenangan mustahil akan dapat
dicapai jika pasukan tidak berada di bawah suatu komando yang sama.
Tidaklah memerlukan
ulasan yang panjang lebar, bahwa sistem nilai dari kultur dan struktur sosial
Minangkabau yang sangat terfragmentasi tersebut sangat tidak mendukung
dibangunnya suatu kesatuan komando dalam perang. Perlawanan terhadap musuh
hanya bisa dilakukan secara lokal dan tidak terkoordinasi dengan baik, sehingga
dapat dikatakan bahwa walaupun mampu melancarkan pertempuran gerilya, namun
mustahil mampu mengalahkan musuh, yang hanya bisa dilakukan dengan serangan
umum berskala besar dan terkoordinasi dengan baik.
Agar dapat memenangkan
perang, masyarakat Minangkabau memerlukan masukan sistem nilai dan komponen
sosial baru, yang tentu saja harus berasal dari proses akulturasi dengan budaya
luar. Dalam hubungan ini sungguh menarik untuk mengkaji tiga pengalaman
masyarakat Minangkabau dalam berperang, yaitu Perang Paderi 1821-1838;
Perang Gerilya menghadapi Agresi Militer Belanda Pertama dan Kedua, 1947-1948;
dan Pemberontakan PRRI, 1958-1961.
Perang Paderi 1821
– 1838 yang dilancarkan kaum Paderi melawan kaum adat dan balatentara Hindia
Belanda, pada dasarnya bersifat perang lokal. Faktor penyebab langsungnya
adalah ketidaksabaran kaum Paderi terhadap berbagai praktek maksiatyang
tetap berlangsung di kalangan kaum adat, walaupun mereka mengaku beragama
Islam.
Para tuanku Paderi adalah seorang ulama lokal sufi,
merangkap panglima perang lokal yang meliputi beberapa nagari dengan wilayah
operasi sendiri-sendiri. Tidak ditemukan adanya suatu markas besar umum yang
mengatur strategi, taktik, dan logistik pasukan Paderi. Walaupun mempunyai
persenjataan yang relatif modern untuk zaman itu – antara lain meriam 25
pounder yang dibeli dari Turki - namun pasukan Paderi tidak mampu mengalahkan
pasukan gabungan kaum adat dan balatentara Hindia Belanda, sampai pasukan
Paderi dapat dikalahkan pada tahun 1838.
Konflik internal yang
bersifat sosiokultural antara kaum adat dengan kaum Paderi, yang berlangsung
sejak tahun 1803, tidak mungkin lagi diselesaikan melalui toleransi dan
musyawarah. Konflik internal tersebut bahkan memuncak menjadi perang
saudara yang terbuka dan sangat merusak, antara tahun 1821 sampai tahun 1838.
Kaum adat yang terdesak oleh tekanan kaum Paderi, meminta bantuan militer
balatentara Hindia Belanda, dengan imbalan menyerahkan sebagian besar wilayah
kerajaan Pagaruyung. Perang yang berlangsung selama 17 tahun itu berakhir
dengan dikuasainya seluruh wilayah Minangkabau oleh rezim Hindia Belanda. Kedua
golongan yang bertikai telah kehilangan apa yang sesungguhnya ingin
dipertahankannya.
Perang Gerilya menghadapi
Agresi Militer Belanda Pertama dan Kedua, 1947-1948. Perang
gerilya menghadapi Agresi Belanda Pertama dan Kedua dipersiapkan dengan baik.
Selain masyarakat mempunyai semangat yang tinggi, juga sudah terbentuk suatu
markas komando untuk mengoordinasikan seluruh pasukan yang ada di tiga
keresidenan di Provinsi Sumatera Tengah [3]. Bersisian dengan pasukan Tentara
Nasional Indonesia ( TNI ), terdapat Barisan Pengawal Nagari dan Kota (
BPNK ), yang direkrut, dibekali, dan dioperasikan secara lokal. Tatanan
yang cukup terkoordinasikan dengan baik ini cukup efektif, sedemikian
rupa sehingga pasukan Belanda terpaksa mengerahkan pasukan khususnya – Korps
Speciale Troepen - dua kali untuk menyerang pasukan gerilya yang
cukup tangguh ini.
Perang gerilya
menghadapi pasukan Belanda pada tahun 1947-1948 mempunyai arti khusus, bukan
saja oleh karena berlangsung dalam abad ke 20 dengan menggunakan doktrin dan
strategi perang gerilya yang cukup efektif, tetapi juga sekaligus melindungi
Pemerintah Darurat Republik Indonesia ( PDRI ) yang dibentuk setelah Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditawan pasukan Belanda di
Yogyakarta.
Ada dua hal yang khas
dalam operasi Perang Gerilya di Sumatera Barat ini, yaitu: 1) keseluruhan
peperangan ini dirancang berdasar doktrin dan strategi perang gerilya yang
disusun oleh Tan Malaka yang selain memuat petunjuk perang geriya, juga memuat
arahan dalam bidang politik dan ekonomi; dan 2) pimpinan gerilya tidaklah
terletak dalam tangan komandan militer, tetapi dijabat oleh pamong praja yang
diangkat sebagai bupati miter, camat militer, dan walinagari perang.
Dengan kata lain, perang
gerilya menghadapi Agresi Militer Belanda Kedua di Sumatera Barat sangat
efektif, bukan saja oleh karena sesuai dengan kultur dan struktur sosial
Minangkabau yang sangat terdesentralisasi, tetapi juga dikendalikan berdasar
doktrin gerilya dan struktur komando militer yang dipersiapkan dengan baik.
Walaupun demikian, juga
terdapat kelemahan yang fatal dalam komando pertempuran, yaitu kebiasaan untuk
mengadakan musayawarah dan mufakat. Walaupun sadar terhadap adanya ancaman
penyergapan dari pasukan Belanda, namun pimpinan perlawanan gerilya di daerah
ini masih merasa perlu mengadakan rapat di Situjuh Batur, yang memang dapat
dicium oleh unsur intelijen pasukan Belanda, yang kemudian menyergap dan
berhasil menewaskan sebagian besar komandan gerilya di lokasi itu.
Pemberontakan PRRI, 1958-1961
Pemberontakan PRRI
merupakan sebuah kasus sosial politik yang menarik untuk dikaji, oleh karena
walaupun secara formal didukung oleh hampir seluruh masyarakat Minangkabau di
Sumatra Barat, namun pada dasarnya tema yang diusung PRRI sesungguhnya
merupakan masalah nasional dan internasional, yaitu tuntutan untuk
membubarkan Partai Komunis Indonesia ( PKI ), menyatukan kembali Dwituggal
Soekarno-Hatta, dan agar Kabinet Djuanda mengundurkan diri. Jika tetap
membatasi diri pada kepentingan daerah Sumatera Barat, tuntutan pembangunan
daerah dan desentralisasi sudah diakomodasi oleh Pemerintah Pusat pasca Reuni
Dewan Banteng tahun 1956.
Dengan melibatkan diri
dalam avonturisme PRRI, pemuka masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat masuk
ke bidang yang sama sekali tidak dikuasai dan tidak dipersiapkannya secara
matang, yaitu bidang politik nasional, hubungan internasional, dan militer.
Dapat diperkirakan bahwa cepat atau lambat avonturisme politik dan militer ini
akan mengalami kekalahan.
Memang demikianlah yang
terjadi, Pemerintah Pusat memutuskan untuk melancarkan operasi militer gabungan
yang terkoordinasikan dengan baik, untuk menetralisasi perlawanan PRRI.
Berdasar pertimbangan taktis, komando militer setempat mempergunakan simpatisan
Partai Komunis Indonesia ( PKI) – musuhnya PRRI – sebagai tenaga bantuan
operasi. Tekanan operasi ini sedemikian dahsyatnya, sehingga menimbulkan arus eksodus yang
deras ke daerah-daerah tetangga dan ke pulau Jawa. Mengingat besarnya dampak
kekalahan pemberontakan PRRI ini terhadap psike masyarakat Minangkabau, rasanya
layak kita pemberontakan ini kita analisis lebih dalam.
Motif, Dampak, Respons, dan Rasionalisasi
terhadap Kekalahan Pemberontakan PRRI
Dapat dipertanyakan,
faktor apakah yang menyebabkan dilancarkannya pemberontakan PRRI itu oleh
tokoh-tokoh Minangkabau pada tahun 1958, pada saat mereka sedang sibuk-sibuknya
membangun daerah dengan dana, yang sesungguhnya merupakan hak Pemerintah Pusat?
Secara pribadi saya
berpendapat bahwa pemberontakan PRRI tersebut disebabkan oleh lima faktor,
yaitu 1) solidaritas terhadap politisi partai Masyumi asal Minangkabau,
yang oleh karena mengalami intimidasi dan terror di Ibu Kota, memutuskan untuk
pulang kampung ke Sumatera Barat; 2) tekanan dan dukungan dari beberapa
perwira senior TNI-Angkatan Darat yang membangkang kepada Pemerintah
Pusat; 3) kurangnya wawasan strategis dari Panglima Komando Daerah Miiter
Sumatera Tengah ( KDMST), Kolonel Ahmad Husein; 4) euphoria yang timbul
dari adanya dukungan logistik dari dinas intelijen Amerika Serikat, dan 5)
tidak dimilikinya kemampuan berfikir filsafat oleh para tokoh pimpinan
masyarakat Minangkabau pada saat itu.
Berbeda dengan Perang
Gerilya menghadapi Agresi Militer Belanda Pertama dan Kedua, Pemberontakan PRRI
ini terkesan dirancang secara tergesa-gesa, dan oleh karena ditujukan terhadap
Pemerintah Pusat sendiri, tidak mempunyai landasan ideologi yang kuat.
Lagi pula, terdapat perbedaan sikap politik yang cukup besar antara tokoh
Minang di Sumatera Barat dengan tokoh Minang yang bermukim di Rantau.
Hampir tanpa kecuali,
tokoh Minangkabau di Sumatera Barat mendukung PRRI secara all out. Tidak
demikian halnya dengan tokoh Minang di perantauan. Terkecuali beberapa tokoh
politik partai Masyumi di tingkat pusat asal Minangkabau yang mendukung PRRI
ini, namun mantan Wakil Presiden Dr Mohammad Hatta dan tokoh Partai Sosialis
Indonesia Djoeir Muhammad tidak setuju dengan pemberontakan PRRI ini.
Seperti dapat diduga,
pemberontakan bersenjata – yang tidak dipersiapkan dengan baik itu –
kalah secara telak, bukan hanya dari segi militer dan politik, tetapi juga dari
segi psikologi sosial berupa runtuhnya martabat dan harga diri. Runtuhnya rasa
harga diri ini mempunyai dampak yang sangat buruk, bukan hanya bagi mereka yang
terlibat, tetapi juga keturunannya, selama hampir 30 tahun , yang baru dapat
diakhiri secara formal sampai taraf tertentu sewaktu daerah ini memperoleh dua
kali Panji Parasamya Purna Karya Nugraha, pada tahun 1984, atas
keberhasilan melancarkan pembangunan daerah selama Orde Baru.
Walaupun sampai taraf
tertentu kelihatannya masyarakat Minangkabau telah dapat mengatasi trauma
akibat kekalahan tersebut, namun di bawah permukaan, ternyata
kegetirannya belum seluruhnya lenyap, baik di kalangan tua maupun di kalangan
muda. Di kalangan tua, timbul minat untuk menghimpun memoir pengalaman pribadi
selama bergerilya antara tahun 1958-1961, sedangkan di kalangan muda timbul
gejalarasionalisasi, bahwa walaupun secara militer PRRI kalah,
namun dari segi politik PRRI menang, dengan dibubarkannya Partai Komunis
Indonesia ( PKI ) dan dianutnya sistem desentralisasi yang luas di seluruh
Indonesia, yang merupakan tuntutan PRRI.
Patut dicatat, bahwa
pemulihan rasa harga ini berlangsung di bawah kepemimpinan dua gubernur yang
berasal dari tokoh perantau Minang yang pernah berdinas militer, yaitu Prof Drs
Harun Alrasyid Zain dan Ir Azwar Anas Dt Rajo Sulaiman. Pada tahun 1968
Harun Zain memperkenalkan ‘ Strategi Harga Diri’ yang dapat dipandang sebagai
langkah awal dari rehabilitasi masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat.
Mengapa seluruhnya ini
bisa terjadi ? Mengapa awal kebangkitan lembali Minangkabau pasca PRRI
justru digerakkan oleh dua okoh perantau Minang yang berlatar belakang militer
? Secara pribadi saya berpendapat bahwa faktor penyebabnya yang paling
penting adalah oleh karena tidak dikenalnya cara berfikir filsafat dan cara
berfikir strategis dalam kebudayaan Minangkabau. Baik cara berfikir filsafat
maupun cara berfikir strategis mempunyai satu persamaan, yaitu bersifat
komprehensif, integral, logis, kritis, dan sistematis. Secara a
contrario, masyarakat Minangkabau justru terbiasa berfikir dalam format
pepatah-petitih – aphorisms – yang selain terlepas-lepas juga multi-interpretabel.
Mungkin kekurangan ini
yang menyebabkan dalam tahun-tahun belakangan ini tokoh-tokoh masyarakat
Minangkabau bukan saja tersingkir dari arena percaturan politik nasional,
tetapi juga mengalami penciutan wawasan, yang berwujud pada reinterpretasi baru
terhadap kekalahan PRRI, dan timbulnya hasrat untuk membangun Daerah
Istimewa Minangkabau (DIM). Dalam tahap penciutan wawasan ini secara
eksplisit dinyatakan bahwa walaupun kalah dalam pertempuran, namun orang
Minangkabau menang dalam mencapai tujuan, yaitu pembubaran PKI dan diterimanya
asas otonomi yang luas. Dengan kata lain, para pendukung PRRI mengklaim
prestasi Orde Baru sebagai prestasinya sendiri.
Untuk masa datang, jika
masyarakat Minangkabau ingin memainkan peranan yang lebih substansial dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, mereka harus mengadakan konsolidasi
kultural, meningkatkan cara berpikir yang bersifat fragmentaris dan parochial, dan mengembangkan cara
berfikir filsafati dan strategis, yang berisifat nasional, regional, dan
global.
Kesimpulan
dan Penutup
- Sistem nilai kultur dan struktur sosial Minangkabau
yang sangat terfragmentasi dan terdesentralisasi penuh pada suatu sisi
sangat sesuai untuk masyarakat petani dalam keadaan damai dan untuk
melancarkan perang gerilya, dan pada sisi yang lalin, sangat tidak sesuai
untuk kegiatan bersama berskala besar, baik dalam keadaan damai maupun
dalam keadaan perang melawan musuh yang terorganisasi dengan baik.
- Agar dapat berperan positif dan konstruktif
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, masyarakat Minangkabau perlu
secara sistematis dan berkelanjutan mengembangkan kemampuan berfikir
filsafat yang bersifat mendasar, kritis, komprehensif, dan integral. Tanpa
kemampuan ini masyarakat Minangkabau hanya akan mampu menjadi pemain
lokal belaka.
- Perang Paderi yang berlangsung antara tahun 1821
– 1838 mengalami kegagalan terutama disebabkan oleh karena perpecahan
antara sesama orang Minangkabau sendiri, melancarkan perang konvensional
tanpa adanya serta sebuah pusat komando operasi, dan oleh karena
menghadapi musuh bersama yang terorganisasi dengan baik.
- Perang Gerilya menghadapi Agresi Belanda Pertama
dan Kedua, 1947-1948, yang dirancang berdasar Doktrin dan Strategi Tan
Malaka tentang “ Gerilya, Politik, Ekonomi” ( Gerpolek ), dan dipimpin
oleh para pemimpin sipil, berhasil baik bukan saja dalam melancarkan
perlawanan lokal yang dipersiapkan dengan rapi untuk menghadapi musuh
yang bersenjata lengkap, tetapi juga untuk melindungi Pemerintah Darurat
Republik Indonesia ( PDRI ) di bawah Mr Syafruddin Prawiranegara.
- Walaupun demikian, kultur dan struktur sosial
Minangkabau yang sangat terfragmentasi dan terdesentralisasi itu, dan
tidak terbiasa dengan sistem komando militer yang tegas lugas,
mengandung kelemahan mendasar dalam penyelenggaraan perang, yang
merupakan faktor utama disergapnya sebagian besar pimpinan gerilya di
daerah Sumatera Barat yang sedang mengadakan rapat di Situjuh Batur, 15
Januari 1949.
- Pemberontakan PRRI, 1958 – 1961, merupakan suatu
anomali jika ditinjau dari aspek sistem nilai kultur dan struktur sosial
Minangkabau, oleh karena selain mengabaikan kelanjutan pembangunan daerah
yang telah dirintis oleh Dewan Banteng sejak tahun 1956, juga tidak dipersiapkan
dengan baik, dan menggunakan sistem komando militer berskala besar dengan
kekuatan militer yang sama sekali tidak memadai. Dari segi politik dan
moral pemberontakan ini bermasalah karena menentang Pemerintah Pusat yang
pernah ikut dibelanya dalam Perang Gerilya melawan Agresi Militer Belanda
Pertama dan Kedua.
- Kekalahan secara militer dari pemberontakan PRRI
ini harus dibayar mahal oleh masyarakat Minangkabau, bukan saja dengan
berkuasanya selama tujuh tahun - 1958-1965, atas bantuan personil
Kodan III/III 17 Agustus - unsur-unsur Partai Komunis Indonesia (
PKI ) yang hendak dilawannya, juga hancurnya martabat dan harga diri
masyarakat Minangkabau yang diperoleh dengan susah payah sejak awal abad
ke 20.
- Martabat dan harga diri masyarakat Minangkabau
ini baru dapat dibangun kembali dengan “ Strategi Harga Diri” sejak tahun
1968, yang dicanangkan, dipimpin, serta ditindaklanjuti oleh dua
gubernur yang berasal dari perantau Minangkabau dan mempunyai latar
belakang militer, yaitu Drs Harun Alrasyid Zain Datuk Sinaro dan Ir Azwar
Anas Datuk Rajo Suleman.
- “ Strategi Harga Diri” ini berhasil baik selama
Provinsi Sumatera Barat dipimpin oleh kedua gubernur itu, dan merosot
secara pelahan-lahan dalam tahun-tahun sesudahnya, sedemikian rupa
sehingga – walaupun tokoh-tokoh Minangkabau secara perseorangan masih
berperan penting – namun masyarakat Minangkabau sebagai suatu entitas
praktis tidak diperhitungkan lagi di tingkat nasional.
- Ada dua respons kontemporer tokoh-tokoh
masyarakat Minangkabau yang ingin memulihkan martabat dan harga diri yang
telah hilang demikian lama, yaitu: 1) menghimpun testimoni dari
para korban pertempuran selama Pemberontakan PRRI beserta keturunannya,
dan 2) wacana mendirikan sebuah Daerah Istimewa Minangkabau
(DIM).
- Ditinjau dari perspektif filsafat sejarah, dua
respons yang diambil oleh para tokoh masyarakat Minangkabau kontemporer
tersebut di atas bersifat kontraproduktif, oleh karena
bermakna menyiapkan masyarakat Minangkabau untuk hanya menjadi pemain
lokal belaka.
Selesai.
Jakarta, 12 November
2014.
DAFTAR BACAAN
Amir, M.S. 1997. Adat
Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. PT Mutiara Sumber
Widya. Jakarta.
Bahar, Dr. Saafroedin, Peranan
Elite Sipil dan Elite Militer dalam Dinamika Integrasi Nasional di Indonesia:
Kasus Etnik Minangkabau di Daerah Sumatera Barat, 1945 -1984,Disertasi
untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Sosial dan Ilmu Politik pada
Universitas Gadjah Mada di bawah Prabawa Rektor/ Ketua Senat Universitas Gadjah
Mada, 26 Agustus 1996. Belum diterbitkan.
--------------------------,
Ir Zulfan Tadjuddin, 2004, Masih Ada Harapan: Posisi Sebuah Etnik
Minoritas dalam Hidup Berbangsa dan Bernegara, Yayasan
Sepuluh Agustus, Jakarta.
---------------------------,
“ Kata Pengantar”, dalam disertasi Dr. Ir. Nursyirwan, M.Ph, 2011,Manusia
Minangkabau, Iduik Bajaso, Mati Bapusako, Gre Publishing, Yogyakarta.
---------------------------,
“ Kata Pengantar”, dalam disertasi Dr Febri Yulika, 2012,Epistomologi
Minangkabau: Makna Pengetahuan dalam Filsafat Adat Minangkabau. Gre
Publishing. Yogyakarta.
--------------------------,
“ Kata Pengantar”, dalam disertasi Dr. Widia Fithri, 2013. Mau Kemana
Minangkabau ? Analisis Hermeneutika atas Perdebatan Islam dan Adat Minangkabau. Gre
Publishing. Yogyakarta.
Benda-Beckmann, Keebet
von, Alih bahasa Dr. Indira Simbolon, 2000, Goyahnya Tangga menuju
Mufakat: Pengadilan Nagari dan Pengadilan Negeri di Minangkabau. Grasindo.
Jakarta.
Graves, Elizabeth E.,
2007. Asal-usul Elite Minangkabau Modern: Respons terhadap Kolonial
Belanda Abad XIX/XX, Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Herwandi, 2007, Kebijakan
Setengah Hati dan Kerisauan tentang Degradasi Kebudayaan Minangkabau. Pusat
Srudi Humaniora ( PSH) & Lustrum V Fakultas Sastra Unand, Padang.
Madjo Indo, A.B. 1999, Kato
Pusako: Pepatah, Petitih, Mamang, Pantun, Ajaran, dan Filsafat Minangkabau. Majelis
Pembina Adat Alam Minangkabau Jakarta dan PT Rora Karya, Jakarta.
Nordholt, Henk Schulte, et.al.,
eds, 2013, Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia.Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, KITLV, Jakarta.
Republik Indonesia,
2011, Hubungan Ranah dan Rantau : Studi Kasus Kongres Kebudayaan
Minangkabau ( KKM ) Tahun 2010. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Padang. Padang.
Yusra, Abrar, 2011, Azwar
Anas: Teladan dari Ranah Minang, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Zed, Mestika, et.al. 1992, Perubahan
Sosial di Minangkabau: Implikasi Kelembagaan dalam Pembangunan Sumatera Barat. Pusat
Studi Pembangunan dan Perubahan Sosial Budaya, Universitas Andalas, Padang.
[1] Bahan Simposium Lembaga Kajian Tungku Tigo
Sajarangan ( LKTTSM), Jakarta, 15 Desember 2014.
[2] Brigadir Jenderal
TNI ( Pur), Anggota Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI-Angkatan
Darat; Ketua Bidang Pengkajian, Aliansi Kebangsaan.
[3] Pemerintah
Darurat Republik Indonesia ( PDRI ) yang terbentuk pada tanggal 22 Desember
1948 dan bergerilya di daerah ini tidak terlibat dalam operasi gerilya. PDRI
ini memberikan petunjuk kepada Panglima Besar Soedirman di Jawa serta kepada
delegasi Republik Indonesia di Pererikatan Bangsa Bangsa.
Makalah ini disajikan dalam seminar sehari yang
diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Tungku Tigo Sajarangan Minangkabau ( LKTTSM
) di Univerrsitas Yarsi Jakarta, pada bulan Desember 2014 yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar