OLEH Ninawati
Syahrul
(nsyahrul@ymail.com)
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Abstrak
Pers menjadi proses mediasi antara
masyarakat dan dunia. Pers diproses oleh jurnalisme agar mempunyai daya
persuasi. Jurnalisme memprosesnya melalui tata cara mencari dan menyebarkan
informasi dan mengembangkan teknik peliputan dan pendistribusiannya sesuai
dengan kultur—termasuk dunia sastra—masyarakat dan semangat zaman.
Teknologi sastra diilhami oleh
kenyataan bahwa kehidupan masyarakat, termasuk sastrawan, menghayati kondisi
iptek yang tengah berkembang pesat. Saat ini adalah era sastra jurnalistik
dalam arti media massa berperan besar dalam memasyarakatkan sastra. Setakat ini
karya sastra juga banyak yang berpenyajian teknologi, sastra siber (cybersastra),
yang mempermudah interaksi antarpenulis serta antara penulis, penikmat
sastra, dan pemerhati sastra. Hal ini berarti bahwa hubungan antarpenggiat
sastra siber jauh lebih akrab dan pragmatis sehingga lebih gampang untuk saling
bertukar pikiran melalui diskusi online.
Hal yang pasti, sastra siber telah
membawa sesuatu yang berbeda dalam dunia sastra. Pada era ini dan masa depan
agaknya sastra jurnalistik merupakan alternatif pengembangan karya sastra, yang
diharapkan berpotensi positif terhadap peningkatan apresiasi masyarakat
terhadap sastra Indonesia.
Kata kunci:
sastra jurnalistik, apresiasi sastra, sastra siber, dan penggiat sastra.
Pengantar
Besarnya peranan media massa dalam
perkembangan kesusastraan dan pentingnya penelitian terhadap karya sastra di
media massa sebetulnya telah dikemukakan oleh H. B. Jassin puluhan tahun yang
silam. Dengan berperannya media massa dalam memuat karya sastra, seni, dan
budaya, para sastrawan dan budayawan semakin tertantang untuk menyajikan
karyanya di dalam media massa. Penikmatan dan penyebaran karya sastra melalui
media online dewasa ini merupakan suatu fenomena baru dalam bersastra.
Tidak dapat dimungkiri bahwa sastra jurnalistik sudah hadir di hadapan kita dan
sudah dijalani dan akan terus dijalani.
Masyarakat kita hampir tidak mungkin
lagi membaca dan menikmati karya sastra dalam arti yang sesungguhnya saat ini
karena kehidupan yang keras dan rumit. Peningkatan karya sastra secara khusus
tidak mungkin juga terjadi tanpa suasana kehidupan dan kejiwaan yang mendukung.
Oleh karena itu, penyebaran dan penikmatan sastra jumalistik harus diterima
sebagai sebuah kenyataan. Kita berharap mutu sastra jurnalistik berdampak
positif sehingga dapat meningkatkan apresiasi masyarakat.
Perkembangan sastra Indonesia kita ke
depan akan menemui kemungkinan baru. Jika selama ini para sastrawan hanya
menampilkan karyanya pada buku, majalah, koran, atau yang berwujud kertas,
setakat ini kita bisa menemukan karya mereka tersebar di media internet.
Hadirnya sastra siber (sastra cyber) melalui media elektronik hendaknya
tidak dipandang sebelah mata. Bagaimanapun juga tidak adil jika semua karya
yang ditulis melalui media tersebut diklaim sebagai tulisan yang tidak bermutu.
Mestinya sastra siber tetap dapat diterima secara positif karena mau tidak mau,
sastra tersebut akan ikut menentukan perkembangan sastra Indonesia. Melalui
media elektronik diharapkan paling tidak untuk ke depannya akan memunculkan
banyak kemungkinan baru yang dilakukan oleh para penulis. Dikatakan oleh
Suryadi (dalam Situmorang, 2004:9), jika selama ini para sastrawan hanya
menampilkan karyanya pada buku, majalah, koran, saat ini ditemukan karya mereka
yang tersebar di media internet. Hadirnya internet sebagai media sastra siber
tentu mengundang tanya, akankah eksistensi sastra siber akan diakui dalam sejarah
sastra? Akankah sastra siber dicatat sebagai bagian dari sejarah sastra
Indonesia?
Era Sastra Jurnalistik
Sastra jurnalistik adalah sastra yang
tersedia di media massa, baik cetak maupun elektronik, yang wujudnya
disesuaikan dengan visi dan misi media massa tersebut. Melalui media massa
cetak khalayak dapat menikmati cerpen, novel bersambung, puisi, esai, dan
kritik seni. Melalui media elektronik khalayak juga dapat menikmati berbagai
suguhan sinetron dan film sebagai bagian dari dunia kesusastraan.
Sastra jurnalistik dimulai oleh Ernest
Miller Hemingway. Di dalam sejarah kesusastraan Amerika, ia tercatat sebagai
seorang wartawan kawakan yang kemudian menulis novel dan cerpen, memelopori
cara penulisan baru dalam kesusastraan, menerapkan teknik penulisan jurnalistik
dalam novel dan cerpen yang ditulisnya.
Pengaruh Hemingway meluas ke seluruh
dunia tidak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia jejaknya diikuti oleh Idrus,
Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, dan lain-lain. Sastra jurnalistik itu berbeda
dengan jurnalistik atau jurnalisme sastra. Sastra jurnalistik lebih tua usianya
daripada jurnalistik atau jumalisme sastra. Jurnalistik sastra adalah gaya
penulis berita atau opini yang menggunakan gaya sastra. Dengan kata lain,
jurnalistik sastra adalah tulisan jurnalistik yang bernuansa atau berpenyajian
kesusastraan.
Sastra jurnalistik sebenarnya sama
maknanya dengan sastra koran atau surat kabar, sastra majalah, atau sastra
media massa. Sastra koran diistilahkan oleh H.B. Jassin, sastra majalah oleh
Nugroho Notosusanto, sastra jurnalistik oleh Atar Semi dan Seno Gumira
Ajidarma. Istilah sastra jumalistik hanyalah perubahan nama dari sastra
koran, sastra majalah, dan sastra media massa.
Ciri khas sastra jurnalistik mengacu
pada kriteria atau kekhasan jurnalistik. Delapan ciri yang digunakan jurnalis
dalam memilih bahan informasi atau berita, (1) mengutamakan hal-hal yang
bersifat human interest, (2) sedapat mungkin merupakan fakta, (3)
memiliki nilai kebaruan, (4) ganjil atau luar biasa, (5) mengandung konflik
(skandal atau persengketaan), (6) penting dan ternama, (7) dekat dengan
lingkungan kehidupan (kontekstual), dan (8) memperhatikan selera dan minat
konsumen. Selain mengacu pada kedelapan kriteria itu, sastra jurnalistik juga
menampilkan sesuatu yang tidak terungkapkan, melihat fakta dan kenyataan yang
terbentang di sekeliling dari segi lain secara kreatif. Sastra jurnalistik,
misalnya cerpen, berciri khas singkat dan padat. Jika berbentuk novel, karya
sastra itu disajikan secara bersambung. Ciri lainnya, bahasa sastra jurnalistik
hidup dan lincah, kalimatnya sederhana, dan menghindari kata-kata bersayap atau
hiasan kata.
Perlu dipahami juga bahwa sastra
jurnalistik, selain memiliki keunggulan, juga ada kelemahnnya. Beberapa
keunggulan sastra jurnalistik dapat disebut sebagai berikut.
Pertama, dengan adanya sastra
jurnalistik apresiasi sastra masyarakat bisa tertampung, khususnya dalam
kondisi penerbitan buku sastra yang langka. Kedua, sastra jurnalistik
mempersembahkan berbagai jenis sastra untuk memenuhi minat pembaca. Sastra
jurnalistik itu menyediakan bacaan mulai dari bacaan komik, cerita anak-anak,
cerpen remaja, puisi, novel bersambung, esai dan kritik sastra, serta berita
kegiatan sastra. Ketiga, sastra jurnalistik elektronik dalam bentuk sinetron
dan film ikut memberikan andil yang besar dalam memenuhi kebutuhan masyarakat
akan hiburan. Keempat, sastra jurnalistik dapat digunakan sebagai salah satu
bahan pembelajaran yang telah ada di perpustakaan.
Kelemahan sastra jurnalistik dapat disebut,
antara lain, kurang memiliki peluang bagi sastrawan untuk berkreasi secara
penuh oleh ketentuan dan selera para pembaca, khususnya diwakili oleh pengasuh
atau redaktur. Kedua, banyak keluhan para penulis pemula karena tidak
memperoleh kesempatan memublikasikan karya sastra mereka. Pengasuh dan redaktur
sibuk dan tidak memiliki waktu untuk melakukan seleksi tulisan yang akan dimuat
dengan teliti. Ketiga, sastra jurnalistik yang berbentuk sinetron dewasa ini
berkualitas rendah. Sinetron kita fasih betul berbicara tentang kemewahan,
menjual mimpi-mimpi, dan masih cenderung sekadar hiburan.
Mengapa harus bersastra jurnalistik?
Harus diakui bahwa pada saat ini media massa atau jurnalistik berandil besar
dalam memasyarakatkan sastra. Surat kabar dan majalah menyediakan kolom
"seni, sastra, dan budaya". Penyair, cerpenis, atau novelis kurang
didengar jika tidak pernah memuat karyanya atau tanggapannya terhadap kehidupan
sastra di dalam surat kabar. Forum diskusi, seminar, lokakarya seni, budaya,
sastra tidak bergaung jika tidak dimuat di dalam media massa. Melalui bersastra
jurnalistik langkah-langkah ke depan menuju bersastra kualitas dimulai. Untuk
itu, kemampuan bersastra perlu dilakukan melalui serangkaian pelatihan, selain
penguasaan teori menulis karya sastra.
Peranan Teknologi Informasi dalam
Perkembangan Sastra
Seiring dengan berkembanganya zaman
tentu akan diikuti oleh meningkatnya berbagai logika dan pemikiran manusia.
Sastra turut pula semakin berkembang, termasuk jumlah peminatnya dari berbagai
kalangan. Banyaknya peminat sastra menunjukkan bahwa semakin tingginya
kesadaran atas kemampuan menyampaikan berbagai perasaan, pendapat, pola pikir,
hingga kemauan yang terus berkembang dalam diri para penggiat sastra. Berbagai
jenis sastra yang terus berkembang terkadang menjadi suatu simbol dan pokok
penting dalam suatu penyampaian aspirasi, yang dalam hal ini banyak ditemui di
Indonesia.
Jenis sastra yang paling banyak
digunakan di Indonesia ialah syair, puisi, cerita pendek (cerpen), dan pantun.
Akan tetapi, peminat paling banyak ialah sastra puisi. Melalui puisi, pengarang
atau penulis mampu menyampaikan perasaannya melalui tulisan dalam konotasi
penggunaan yang berbeda dengan penyampaian biasa (penyampaian tanpa perumpamaan
bahasa sastra). Perkembangan tersebut terus-menerus memengaruhi berbagai
perkembangan dalam berbagai bidang pendidikan, perfilman, hingga aspirasi
masyarakat. Namun, kebanyakan saat ini, penggunaan sastra digunakan untuk
penyampaian aspirasi dalam suatu kegiatan orasi, sebagai gambaran bahwa tidak
hanya menyampaikan orasi yang biasa dalam bentuk puisi (syair atau pantun).
Salah satu ciri karya sastra yang
sangat penting adalah fungsi komunikasi. Memang benar karya sastra dihasilkan
melalui imajinasi dan kreativitas sebagai hasil kontemplasi secara individual,
tetapi juga ditujukan untuk menyampaikan suatu pesan kepada orang lain sebagai
komunikasi. Secara garis besar komunikasi dilakukan melalui interaksi sosial,
aktivitas bahasa (lisan dan tulisan), dan mekanisme teknologi (Ratna,
2007:297-298).
Sesuai dengan perkembangan teknologi
yang semakin pesat dewasa ini, sastra pun menjadi bagian dari perkembangan era
globalisasi. Sastra itu pada prinsipnya berisi pembelajaran, bahkan pengalaman,
yang terus tersampaikan melalui berbagai media informasi, baik media sosial
maupun media massa (cetak dan elektronik). Kegiatan bersastra ini tidak hanya
sebagai pekerjaan, tetapi juga berupa hobi yang dapat terus dikembangkan atas
dukungan teknologi informasi atau ICT (Information Communication Technology).
Peran teknologi informasi, selain membuat sastra menjadi suatu kegemaran atau
hobi, juga dapat meningkatkan kreativitas. Kehadiran teknologi informasi itu
tentu sangat berpengaruh terhadap perkembangan sastra dan dapat menjadi ajang
pertemuan antarsastrawan untuk saling bertukar pikiran dalam menata
perkembangan dan pengembangan sastra dari berbagai wilayah di Indonesia.
Menyiasati Masalah Publikasi Karya
Sastra Melalui Sastra Siber
Istilah cybersastra (sastra
siber) dapat dirunut dari asal katanya. Cyber dalam bahasa Inggris tidak
berdiri sendiri, tetapi serangkai dengan kata lain seperti cyberspace,
cybernate, dan cybernetics. Cyberspace berarti ruang
(berkomputer) yang saling terjalin membentuk budaya di kalangan mereka. Cybernate
berarti pengendalian proses menggunakan komputer. Cybernetics mengacu
pada sistem kendali otomatis, baik dalam sistem komputer (elektronik) maupun jaringan
saraf. Dari pengertian ini dapat dikemukakan bahwa sastra siber adalah
aktivitas sastra yang memanfaatkan media komputer atau internet (Enraswara,
2006:182).
Sastra siber sudah muncul beberapa
tahun yang lalu, yaitu sekitar tahun 2001 seiring dengan merebaknya internet di
Indonesia. Sastra siber adalah aktivitas sastra yang memanfaatkan fasilitas
komputer dan internet. Sastra siber merupakan revolusi, sekaligus transformasi
dalam dunia sastra. Sebelum dikenal sastra siber, publikasi terhadap karya
sastra sudah memanfaatkan teknologi yang ada. Kita mengenalnya dengan sebutan sastra
koran, sastra yang diterbitkan melalui koran, sastra majalah yang
diterbitkan melalui majalah, sastra buku atau yang meng-gunakan wahana
buku sebagai sarana publikasinya.
Kehadiran jenis sastra siber
ditenggarai dengan terbitnya buku Graffiti Gratitude pada 9 Mei 2001. Graffiti
Gratitude berupa antalogi puisi siber. Penerbitannya diprakarsai oleh Sutan
Iwan Soekri Munaf, Nanang Suryadi, Nunuk Suraja, Tulus Widjarnako, Cunong, dan
Medy Loekito, yang tergabung dalam Yayasan Multimedia Sastra. Sastra elektronik
ini baru dikenal sekitar tahun 2000-an. Usianya yang masih terlalu muda tidak
serta-merta kehadirannya diterima dengan tangan terbuka, pro dan kontra
bermunculan dari berbagai pihak. Menurut Sambodja (2003), sejarah sastra
Indonesia masih terbelenggu dalam kanonisasi atau masih bergantung pada ―fatwa‖ pemegang otoritas.
Bagaimana halnya dengan sastra siber yang belum mempunyai ―watak‖ yang mapan seperti
halnya sastra koran? Meskipun usianya masih muda dan ketidakmapanannya, sastra
siber mestinya tetap bisa dikaji dan dinilai sesuai dengan kekhasannya.
Dikatakan oleh Endraswara (2008:184)
bahwa untuk mengkaji sastra siber ini sama dengan sastra yang bermedia koran
atau buku. Kita dapat menerapkan kode-kode seperti yang disampaikan oleh Teeuw,
yaitu kode sastra, kode budaya, dan kode bahasa. Ketiga kode itu ternyata semua
ada dalam sastra siber sehingga mau tidak mau sastra tersebut harus mendapat
perlakuan yang sama dengan sastra lainnya. Dengan demikian, sastra siber tidak
perlu dianaktirikan dan harus mendapat perhatian yang sama porsinya dengan
sastra yang sudah mapan.
Kemunculan sastra siber dalam kancah
kesusasteraan Indonesia ditanggapi dan diapresiasi secara berbeda-beda. Bahkan,
hal ini sempat menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Di satu pihak
ada yang menyambutnya positif, tetapi ada pula secara negatif. Disambut secara
positif karena kehadiran sastra siber dapat dengan mudah dan cepat diakses oleh
kalangan yang lebih luas, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
Selain itu, kehadiran sastra siber melalui media internet memberi peluang bagi
penulis yang bergiat di bidang sastra untuk memberikan sumbangsihnya, baik
berupa karya maupun pemikiran, tanggapan terhadap karya sastra. Disambut
negatif karena sastra siber dianggap tidak lebih dari sekadar upaya main-main
saja. Sastra ini juga dikatakan sebagai sastra yang kualitasnya sangat kurang
dan tidak memberikan kemajuan yang berarti dalam khazanah sastra Indonesia.
Terlepas dari persoalan tersebut,
sebenarnya perkembangan teknologi pasti akan berpengaruh besar terhadap budaya
suatu bangsa, tidak terkecuali sastra. Tentunya berkembangnya teknologi di satu
sisi akan berdampak positif, tetapi di sisi lain bisa berdampak negatif. Begitu
juga terhadap khadiran sastra melalui media elektronik. Namun, tentu saja kita
tidak perlu merisaukan sastra siber yang kata sebagian pemerhati sastra ditulis
―semau gue‖,
yang akan tersingkir dengan sendirinya. Hal yang jelas adalah bahwa perjalanan
waktulah yang akan menentukan apakah karya tersebut akan tetap eksis atau
tidak.
Jika berbicara tentang media sebagai
wadah penerbitan karya sastra, tentu ada pemerhati yang membedakannya, tetapi
ada juga yang tidak. Karya sastra yang diterbitkan melalui media cetak (sastra
koran/majalah) dikatakan lebih bermutu daripada sastra yang diterbitkan melalui
media elektronik. Hal ini disebabkan oleh sastra koran hadir di hadapan pembaca
melalui prosedur dan seleksi yang ketat, sedangkan sastra siber sebaliknya,
tanpa prosedur yang ketat. Oleh karena itu, siapa pun dapat memublikasikan
karyanya secara leluasa untuk dinikmati oleh siapa saja dari belahan dunia mana
pun tanpa memandang apakah dia seorang yang sudah terkenal atau seseorang yang
namanya belum dikenal. Kondisi ini menimbulkan kegeraman bagi sebagian
sastrawan yang sudah mapan, seperti dinyatakan oleh beberapa pelaku sastra di
atas. Kegeraman itu sebenarnya tidak perlu terjadi jika mereka bisa bersikap
arif dan bijaksana. Perkembangan teknologi tidak bisa dihindari, begitu juga
kemunculan sastra siber meskipun kelahirannya tidak disambut gembira oleh
sebagian penggiat sastra.
Sangatlah bijak jika Rahman (2002)
mengatakan bahwa tidak perlu memperdebatkan istilah yang berkaitan dengan
sastra koran, sastra majalah, dan sastra siber. Baginya istilah itu sekadar
―politik identitas‖
dalam percaturan sastra. Dengan demikian, tidak perlu muncul klaim yang
bersifat subjektif. Perlu juga dicermati bahwa yang membuat sebuah buku menjadi
karya sastra adalah pembacanya, bukan kritikus, editor, atau profesor. Memang
demikian adanya bah-wa karya sastra akan menjadi benda mati (artefak) tanpa
peran pembacanya. Karya sastra tidak akan berarti apa-apa tanpa campur tangan
pembacanya. Oleh karena itu, tidak perlu dipermasalahkan soal sastra dari segi
media karena hal tersebut justru pekerjaan sia-sia. Sastra siber sudah
―terlanjur‖
lahir dan tentunya keha-dirannya harus disambut dengan hati terbuka.
Sastra merupakan dunia yang berhubungan
dengan kegiatan tulis-menulis. Sastra merupakan karya seni yang bermediumkan
bahasa, misalnya puisi, cerpen, dan novel. Karya tersebut akan dibukukan,
kemudian diterbitkan oleh penerbit yang berminat menerbitkannya. Namun, tidak
sedikit penulis yang ditolak oleh pe-nerbit karena karyanya dianggap kurang
bermutu atau tidak ―menjual‖
dan seba-gainya.
Kehadiran sastra siber membawa suatu
inovasi baru dalam menduniakan sastra. Dengan memanfaatkan teknologi yang ada,
alih wahana yang dilakukan dalam kesusaastraan Indonesia dari buku atau bentuk
fisik ke dunia virtual atau maya merupakan transformasi sastra. Ketika karya
sastra diidentikkan dengan kemunculannya yang berupa buku, hal ini tentu
mempersulit peserta didik atau mahasiswa yang belajar menulis sastra karena
memublikasikan sastra mem-butuhkan penerbit. Pada saat ini untuk bisa menembus
suatu penerbitan yang bersedia menerbitkan karya sastra sangatlah sulit.
Solusi yang paling anyar dalam abad ini
untuk menyiasati masalah publikasi karya sastra adalah melalui sastra siber.
Siapa pun, termasuk mahasiswa, yang berniat menulis karya sastra dan ingin
menyebarkannya pada semua orang bisa memanfaatkan media teknologi ini tanpa
takut ditolak oleh redaktur. Komunitas sastra maya bermunculan. Pemanfaatan
teknologi seperti mailing list (milis), situs, forum diskusi, dan kini
juga blog, internet menawarkan iklim kebebasan, tanpa sensor. Semua
orang dapat memajang karyanya dan semua kalangan boleh mengapresiasinya.
Sastra siber memang dunia yang bebas.
Siapa saja, tidak harus sastrawan, bisa menulis apa pun yang mereka inginkan di
dalam media ini. Dunia sastra siber adalah dunia yang khas atau eksklusif,
cobalah memasukinya dan merasakan perbadingannya dengan dunia sastra koran atau
majalah. Kebebasan individu dalam mengekspresikan dirinya melalui tulisan dan
demokrasi yang ditawarkan siber dalam mewadahi karya sastra yang ditulis
merupakan bentuk keistimewaan media ini.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah
karya yang dipublikasikan sebagai sastra siber berkualitas sastra atau tidak?
Beberapa pihak menuding bahwa sastra siber yang notabene media bebas
tidak terbatas ini sebagai ajang main-main. Karya yang ditampilkannya terkesan
tidak bermutu. Mereka menganggap karya sastra tersebut kehilangan nilai
kesastraan dan tidak memiliki nilai estetika yang tinggi. Dalam pandangan
beberapa pengamat sastra, nilai estetika yang di dalam sastra siber dan sastra
koran sangat berbeda. Namun, dipandang dari sudut manakah nilai estetika yang
membedakan keduanya?
Jika pihak penulis dijadikan tolak ukur
kebermutuan sebuah karya sastra, tentu hal ini juga tidak objektif karena
setiap orang mempunyai penilaian tersendiri. Karya sastra tetap karya sastra di
mana pun dilahirkan, baik oleh penerbit maupun sastra siber. Puisi tetaplah
puisi siapa pun penggubahnya, entah itu ditulis oleh penyair atau mahasiswa,
demikian juga dengan karya sastra yang lain. Setidaknya sastrawan siber menulis
karya berdasarkan estetikanya sendiri tanpa takut ditolak oleh redaktur.
Sebenarnya dikotomi antara sastra koran
dan sastra siber hanya berbeda pada penggunaan medianya. Sastra sangat erat
kaitannya dengan dunia imajinasi. Siapa pun orangnya, baik penulis/sastrawan
terkenal maupun penulis/sastrawan pemula. bebas dan berhak mengekspresikan
imajinasi, menafsirkan nilai-nilai estetika dan, bebas menyampaikan pesan moral
yang diusungnya. Persoalannya, sastra koran mengenal batasan yang dikendalikan
oleh otoritas sang redaktur dan selera pasar, sedangkan sastra siber cenderung
hampir tidak mengenal batas-batas itu.
Salah satu perdebatan yang cukup panas
hingga saat ini adalah soal mutu dan kualitas sastra siber. Pada dasarnya
orientasi terhadap karya sastra itu ada empat macam seperti digambarkan oleh
Abrams (dalam Pradopo 1976:6). Pertama, karya sastra itu merupakan tiruan alam
atau penggambaran alam; kedua, karya sastra itu merupakan alat atau sarana
untuk mencapai tujuan tertentu bagi pembacanya; ketiga, karya sastra itu
merupakan pancaran perasaan, pikiran, ataupun pengalaman sastrawan; dan
keempat, karya sastra itu merupakan sesuatu yang otonom, mandiri, lepas dari
alam sekelilingnya, baik pembaca maupun pengarangnya (Pradopo, 2003:206--207).
Penelahaan karya sastra hingga pada
simpulan bahwa karya sastra itu berkualitas atau tidak bukanlah persoalan mudah
karena penilaian tidak mungkin hanya didasarkan pada salah satu elemennya,
tetapi harus secara keseluruhan. Karya sastra yang hanya bagus dalam salah satu
elemennya belum dapat dikatakan sebagai sastra yang berkualitas atau sastra
yang baik. Begitu pula karya sastra yang tidak mudah dipahami oleh setiap orang
tidak bisa langsung disebut sastra yang kurang berkualitas. Hal yang paling
mendasar adalah apakah karya sastra tersebut sudah memenuhi kriteria kualitas
sastra yang ada, seperti kriteria estetik dan kriteria struktur (struktur dalam
dan luar) (Fananie, 2000:73-74).
Dengan hadirnya sastra siber muncul
pula perdebatan soal mutu atau kualitas. Banyak pemerhati sastra yang menilai
teks sastra yang tergolong ―sampah‖
mudah terpublikasikan. Hal semacam itu (hampir) mustahil terjadi dalam sastra
koran. Teks sastra yang lolos atau dapat diterbitkan di sebuah media cetak
harus memenuhi persyaratan ketat yang telah ditetapkan oleh redaktur (http://sawali.
wordpress. com).
Ketika seseorang memiliki blog gratis,
ia akan lebih mudah dalam meng-ekpresikan serta memublikasikan karya sastra
serta saling berkomentar seputar dunia sastra dengan penulis/sastrawan lain
tanpa mengeluarkan biaya dibanding-kan dengan sastra koran yang hanya terbatas
segmen pembacanya dan rubrik sastra hanya muncul sekali dalam seminggu.
Maraknya blogger yang memuat
karya sastra dan juga kemudahan memuat suatu karya di situs internet, di lain
pihak ditanggapi secara sinis oleh sebagian orang. Bagi mereka, karya sastra
semacam ini adalah ―sampah‖
karena tidak memenuhi standar baku karya sastra. Meskipun demikian, penilaian
ini kurang bisa dipertanggungjawabkan karena masih hanya berdasar survei secara
kuantitatif, yang kemudian dipakai untuk memberikan penilaian secara umum.
Padahal, jika dicermati secara saksama, dari sekian banyak blogger itu,
beberapa karyanya tidak kalah menarik dibandingkan dengan yang dimuat di media
cetak (http://www. hayamwuruk-online. blogspot. com). Hal ini berart
bahwa media juga mempunyai peran penting dalam menghidupkan karya sastra.
Sebuah produk budaya apabila tidak dapat dikonsumsi oleh khalayak atau publik,
karya sastra itu akan menguap tanpa makna. Hal ini mungkin dapat disebut
sebagai sebuah bentuk pencarian jati diri penulis pemula untuk publik dalam hal
menikmati karya yang ―dihidangkan‖,
terserah publik yang akan menilai seberapa jauh mutu karya sastra tersebut.
Jika berbicara tentang mutu dan
kualitas karya sastra siber dan mencermati beberapa karya penulis pemula, baik
cerpen, novel, maupun puisi, kita dapat melihat bentuk diksi yang digunakan,
isi, atau tema yang beragam disuguhkan sangat menarik, tidak jauh berbeda
dengan karya sastrawan kawakan. Kalau selama ini label ―sampah‖ membanjiri karya
sastra siber, hal itu hanya teriakan negatif yang menampik keberadaan sastra
siber. ategori sastra berlabel ―sampah‖ itu sebenarnya terpulang pada publik
yang menikmati dan mengkritisinya. Jika memang tergolong ―sampah‖, lambat laun karya
itu akan hilang ditelan waktu, dikalahkan olah karya yang memang patut
diperhitungkan di dalam kancah pergulatan sastra Indonesia.
Sastrawan seharusnya memanfaaatkan
kemajuan teknologi untuk mendu-niakan sastra dan bahasa sastra. Tidak hanya
melalui buku yang dijual di toko buku, tetapi juga melalui dunia maya yang bisa
diakses oleh semua orang. Pertanyaan berikutnya apa manfaat sastra siber dalam
perkembangan sastra Indonesia saat ini?
Sastra siber merupakan tempat yang
paling strategis pada saat ini untuk memublikasikan karya sastra secara global.
Hal ini disebabkan oleh sastra siber menggunakan layanan internet yang bisa
diakses ke seluruh pelosok negeri. Jika ditilik dari segi itu, manfaat sastra
siber merupakan media promosi karya sastra. Namun, hal itu tidak menutup
kemungkinan sastra siber juga merupakan tempat pelarian penulis yang ditolak
oleh redaktur majalah atau koran. Sastra siber juga mampu mengaktifkan
sastrawan yang ―mati suri‖
untuk melahirkan karya sastra baru melalui media yang mudah dijangkaunya. Bukti
yang menunjukkan adanya relevansi antara sastra siber dan perkembangan sastra
adalah terbitnya Antologi Puisi Digital Cyberpuitika (APDC) oleh Yayasan
Multimedia Sastra di Yogyakarta. Antologi ini memuat 55 nama penyair dengan
karya sejumlah 169 sajak.
Hal yang tidak dapat dimungkiri adalah
bahwa sastra siber memiliki kelebihan dan kelemahan. Kurangnya masyarakat
memahami dan menggunakan teknologi informasi membuat sastra siber tidak dikenal
oleh banyak kalangan. Hal ini bisa dilihat dari seberapa jauh masyarakat
mengenal dan menguasai internet. Agaknya dapat dikatakan kalangan mahasiswa pun
masih banyak yang belum mengenal sastra siber. Untuk itu, perlu adanya suatu
kajian mengenai pemanfaatan teknologi dalam proses perkuliahan. Dosen bisa
mengenalkan sastra siber kepada mahasiswanya ketika mengajar di depan kelas.
Untuk meminimalkan ketidak-tahuan mahasiswa terhadap teknologi, pihak kampus
bisa mendirikan pusat-pusat kajian media digital.
Dalam sastra siber belum bisa atau
sulit dideteksi yang mana karya orisinal dan mana yang bukan karena siapa pun
boleh menyajikan karyanya di dalam media canggih itu. Karena belum ada kode etik
yang mengatur dan membatasi kegiatan di sastra siber, hal itu dapat berakibat
pada kurangnya kontribusinya dalam mengembangkan sastra Indonesia. Kendati
demikiam, sastra siber tentu dapat memberi warna dan pencerahan terhadap dunia
kesusastraan Indonesia. Melalui internet, sastra siber merupakan sarana baru
untuk memublikasikan sastra, sekaligus bisa membumikan sastra dan bahasa
Indonesia kepada dunia.
Teks Sastra Berpenyajian Teknologi
Dalam kehidupan sekarang karya sastra
banyak yang berpenyajian teknologi. Muatan teknologi juga sarat di dalamnya.
Novel Y.B. Mangunwijaya, Burung-Burung Rantau, misalnya, berisi tentang
budaya teknologis dan agraris, termasuk budaya industrialisasi. Di dalam novel
Ayu Utami, Saman, budaya dan gagasan teknologis juga tampak
menyertainya. Kedua gambaran atau penyajian itu menandakan bahwa persoalan
teknologi telah merasuk ke dalam karya sastra Indonesia. Semoga kondisi ini
menjadi satu langkah maju, khususnya dalam memberdayakan karya sastra sebagai
khazanah budaya bangsa.
Istilah teknologi dan sastra sudah
demikian dikenal oleh berbagai kalangan. Akan tetapi, istilah teknologi
sastra tampaknya masih merupakan istilah baru, yang mulai dikenal pada
1996. Istilah ini muncul ketika Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, salah seorang
penyair utama Indonesia dan ilmuwan, menerima hadiah iptek dalam bidang
kebudayaan dari presiden. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sastra tidak hanya
bidang yang digeluti oleh seniman atau sastrawan, tetapi juga telah dihargai
oleh teknolog. Hal ini menandakan bahwa sastra juga bermuatan banyak hal,
termasuk masalah iptek.
Munculnya istilah teknologi sastra
dilatarbelakangi oleh perubahan tahap pemikiran manusia. Manusia dalam tahap
fungsional telah menyadari keterkaitan objek (sastra) dengan dirinya sehingga
mampu atau dapat memanfaatkan iptek bagi kepentingan hidup manusia di
tengah-tengah masyarakatnya. Teknologi sastra selanjutnya diilhami oleh
kenyataan bahwa kehidupan manusia, termasuk sastrawan, yang menyadari dan
menghayati kehidupan dalam kondisi atau dalam iklim iptek. Oleh karena itu,
lahirlah karya sastra yang bermuatan iptek. Teknologi sastra juga diartikan
sebagai ilmu tentang cara menyajikan teks sastra secara sistematis. Teknologi
sastra dapat pula diartikan pemanfaatan teknologi untuk pemasyarakatan karya
sastra kepada masyarakat luas. Pada saat ini sudah banyak karya sastra berupa
teks puisi dan cerita pendek yang disajikan dengan menggunakan yoetube, salah
satu jenis kecanggihan teknologi internet.
Dalam catatan Rembulan (cybersastra. org.)
puisi siber/digital (puisi cyber) dapat dibedakan
atas tujuh jenis: (1) puisi hypertext menggunakan program hyperlink; (2)
puisi siber menggunakan program hyperlink yang tidak selalu teks, tetapi
juga image, bunyi, video dan animasi dan jenis huruf; (3) puisi siber
tidak dapat diterbitkan dalam bentuk cetak; (4) puisi siber merupakan puisi
bercampur dengan bunyi; (5) puisi siber dikenal juga sebagai puisi pertunjukkan
seperti baca puisi, deklamasi ataupun drama puisi dan ini merupakan bentuk lama,
terutama dalam kesenian tradisional atau kesenian rakyat; (6) puisi siber
adalah puisi kasatmata; dan (7) puisi siber adalah animal teks, yakni
penggunaan program animasi komputer. 11
Pemanfaatan
media sebagai penyampai gagasan dalam sastra siber dewasa ini sudah jauh
meninggalkan peran bahasa dalam dunia pers. Wonohito pernah mengatakan bahwa
bagi pers bahasa merupakan sine qua non: tanpa bahasa, pers tidak
mungkin dapat bekerja. Bahasalah yang melukiskan sesuatu pada halaman media
massa: segala informasi, bimbingan, dan hiburan yang disampaikan kepada
khalayak (Almanak Pers Antara 1976).
6. Sastra Indonesia Memasuki Kancah
Globalisasi
Perkembangan teknologi internet yang
demikian pesat membuat akses ke berbagai informasi menjadi lebih mudah. Jika
dahulu kita harus menyaksikan berita di televisi untuk mengetahui perkembangan
yang terjadi di luar negeri, sekarang dengan sekali klik, kita sudah
mengetahui peristiwa di belahan bumi lain. Kita bisa mengakses informasi secara
cepat kapan pun kita mau. Kemajuan teknologi tentunya harus dimanfaatkan sebaik
dan semaksimal mungkin. Inilah yang dimanfaatkan oleh Yayasan Lontar, yayasan
yang aktif menerjemahkan berbagai karya sastra Indonesia ke dalam bahasa
Inggris.
Beberapa sastrawan ternama Indonesia
sudah sering karyanya muncul di internet, seperti karya Sapardi Djoko Damono,
Goenawan Mohammad, Eka Budianta, Sutardji Calzoum Bachri, Rendra, Emha Ainun
Nadjib, Dorothea Rosa Herliani, D. Zawawi Imron, Agus R. Sarjono, dan Jamal D.
Rahman. Karya mereka tidak hanya dimuat oleh situs lembaga kesenian semacam
yang dimiliki Yayasan Lontar yang beralamat di http://www.
lontar. org, tetapi juga oleh individu yang membuat situs pribadi.
Pembuatan situs individu ini banyak berkembang di tengah kemudahan yang
ditawarkan oleh para industrialis internet, antara lain dengan memberikan
penyimpanan gratis muatan situs tersebut. Tidak mengherankan jika di geocities.
com, tripod. com, angelfire. com, theglobe. com serta banyak lagi, dapat
kita temui situs pribadi. Individu ini, selain memuatkan segala hal tentang
dirinya pada situs yang dibuatnya, juga berisi puisi buatannya sendiri, serta
tidak lupa memamerkan puisi dari sastrawan ternama yang disukainya. Puisi telah
menjadi menu yang banyak disuguhkan pada situs pribadi.
Selain individu tersebut, beberapa
lembaga yang bergerak di bidang kesenian juga telah memiliki situs, antara lain
Yayasan Lontar, Yayasan Taraju, KSI, Akubaca, Aksara, dan Aikon. Dapat juga
disebut di sini kehadiran situs khusus para sastrawan Indonesia seperti milik
Taufiq Ismail yang berlamat di http://www. taufiq. ismail. com (agaknya
situs ini tidak berfungsi lagi), Sobron Aidit di http://lallement. com,
Afrizal Malna, Hamid Jabbar, Sitor Situmorang (di http://www. geocities. com),
dan Pramoedya Ananta Toer.
Munculnya nama sastrawan Indonesia,
sebagian besar penyair, pemilik situs khusus untuk karyanya, mengindikasi bahwa
bagi pelaku sastra Indonesia, dunia siber atau internet telah menjadi alternatif
media pemublikasian karyanya. Mereka go international dengan karya
sastra berbahasa Indonesia. Karya Ahmadun Yosie Herfanda dan Medy Loekito di Search
Engine http://www. poetry. com juga ada yang ditulis di dalam bahasa
Inggris dan karya Sutardji Calzoum Bachri dalam bahasa Spanyol di sebuah situs
Festival Puisi Internasional.
Pencerahan Estetik Sastra Internet
Dengan menoleh sejenak ke belakang, Nur
St. Iskandar pernah menyebutkan bahwa pendirian Balai Pustaka atau Volkslektuur
(1908) yang membidani kelahiran majalah Pujangga Baru, melalui rubrik
sastranya telah muncul tradisi sastra modern di tanah air. Pada masa itu sastra
Indonesia menawarkan estetika yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya.
Fenomena itu terlihat dalam salah satu tulisan Armin Pane yang berjudul
―Kesusastraan Baru‖
(1933).
Pada saat ini koran telah mencipta
tradisi sastra, baik pada pada prosa, puisi, maupun drama. Batasan sastra dalam
koran mampu atau dapat memberi identitas terhadap sastra secara umum. Pada
internet, dalam hal ini, situs sastra siber, sastrawan dapat menjajakan teks
apa saja, kapan saja, tentang apa saja, latar apa saja, dan tawaran estetik apa
saja. Menurut Nanang Suryadi, penyair yang karyanya tergolong kurang
bagus pun, puluhan puisinya ditampilkan di internet. Artinya, para peminat
sastra yang baru belajar menulis karya sastra boleh dan bebas berpartisipasi
dan bereksperimen dalam sastra siber.
Di dalam media internet sastrawan dapat
memperkenalkan diri dan memaknai arti kata kebebasan. Hanya saja, seperti
bentuk kebebasan yang lain, internet tidak terlepas dari keramahan, kegamangan,
dan risiko omong kosong. Koran terbit setiap hari, sama dengan internet, juga
berakses tiap hari, bahkan ruang bagi tulisan sastra hadir setiap saat. Akan
tetapi, apakah kondisi kesusastraan internet terkini sebagus kapasitas tawaran
mediasinya? Banyak kondisi yang masih patut disayangkan dalam sastra internet.
Permasalahan yang timbul dalam media intern internet bahwa sastrawan, kritikus
sastra, dan publik sastra belum menemukan format yang tepat.
Di internet ketiadaan kurator atau
redaktur penyeleksi kualitas karya sangat berpengaruh terhadap bermutu tidaknya
karya sastra yang disuguhkannya. Kondisi semacam itu tidak terjadi dalam
pengelolaan sastra koran atau lembaga penerbitan. Jadi, tidak mengherankan
apabila para sastrawan internet, termasuk penulis pemula, akan menimbang ulang
untuk mengirimkan karyanya ke koran atau pe-nerbit jika dianggapnya masih
kurang bagus, yang tentu akan tersaring dalam proses selesksi.
Karya sastra di internet terlihat tidak
mengikuti kriteria standar penciptaan karya sastra. Bahwa kegiatan ―menolak‖ berbeda dengan ―mengabaikan‖ perang-kat dan
standar estetik. Setiap tradisi sastra memang ditandai dengan penolakan tradisi
sastra sebelumnya. Pertanyaan yang patut disodorkan kepada para sastrawan
internet apakah menolak atau mengabaikan tradisi sastra?
Berbagai karya yang dimuat di internet
mengindikasi pengarangnya meng-abaikan--atau pura-pura tidak tahu--terhadap
aliran sastra. Kenyataan membuk-tikan bahwa sastra Indonesia telah mencatatkan
pencapaian artistik, yang tercipta melalui kriteria tertentu. Kondisi sastra
internet terkesan kurang dilirik oleh para sastrawan berbobot. Oleh karena itu,
alangkah eloknya jika internet menjadi ruang temu antara gagasan sastrawan
andal dan para sastrawan pemula.
Kehadiran karya sastra dalam media
internet akan sia-sia tanpa hasil estetika sastra. Karya sastra yang bercirikan
karakter media internet memang belum terealisasi hingga sekarang, tetapi hal itu
bukanlah kemustahilan. Untuk itu, ada beberapa peluang yang dapat
dipertimbangkan dalam upaya penciptaan estetika karya sastra internet.
Pertama, karya estetik internet
mengandaikan kebebasan berpikir dan berbahasa. Internet merupakan ruang bebas
yang melampaui kebebasan demokrasi. Segala informasi bersilangan dan saling
berebut ingin dimiliki. Hanya dengan durasi beberapa menit, seseorang sudah
dapat mengakses buku-buku di perpustakaan kampus negara maju. Aplikasinya dalam
sastra, karya mampu merepresentasikan adanya kebebasan dari batasan aliran
sastra. Sastrawan dapat mengombinsikan aliran sastra dan menepis batasan genre,
misalnya pencam-puran genre puisi, prosa, dan drama. Karya yang tidak dapat
secara mutlak mewakili puisi atau drama dapat diciptakan, atau berupa
percampuran sastra dengan musik atau dunia seni rupa. Konvergensi sastra
tersebut dimungkinkan sebab media internet secara serentak menampilkan kata,
gambar, dan suara.
Kedua, karya estetik internet
mengandaikan adanya peleburan bahasa, geografi, nasionalitas, dan ras. Internet
memungkinkan adanya penghilangan batas-batas keruangan atau jarak semakin
kurang berarti dalam dunia digital. Sebagai contoh, penerimaan dan pengiriman e-mail
dari jarak dekat dan jauh sampainya ke tujuan sama saja. Pendirian
komunitas yang dipicu dari batas keruangan—nasionalisme, demografi, dan
ras—menjadi tidak bermakna dalam internet. Kondisi peleburan internet tersebut
bila diadopsi dalam karya sastra akan menghasilkan sebuah estetika tanpa
identitas.
Ketiga, karya estetik internet
mengandaikan perubahan persepsi terhadap kemanusiaan. Kedirian dalam internet
merupakan suatu hal yang misteri. Dengan e-mail, misalnya, manusia sudah
menjadi pribadi digital. Manusia lebih banyak berpijak pada waktu daripada
ruang. E-mail memberikan mobilitas yang luar biasa tanpa seorang pun
harus tahu tempat berada.
Simpulan
Media massa mempunyai peranan penting
sebagai kontributor dalam mendukung kehidupan dan pengembangan karya sastra
Indonesia . Melalui media massa karya sastra Indonesia dapat dinikmati,
diapresiasi, dan/atau dikritik oleh khalayak pembaca, yang sekaligus mampu
menciptakan kondisi dinamis dalam arena diskusi karya sastra.
Sastrawan seharusnya memanfaaatkan
kemajuan teknologi masa kini untuk menduniakan sastra dan bahasa Indonesia.
Dalam kaitan itu, kehadiran sastra siber membawa suatu inovasi baru dalam
menduniakan sastra. Dengan memanfaatkan teknologi informasi canggih dewasa ini,
alih wahana yang dilakukan dalam kesusaastraan Indonesia dari buku atau bentuk
fisik ke dunia virtual atau maya merupakan transformasi sastra.
Pada dasarnya karya sastra, apa pun
medianya perlu mendapat perlakuan yang sama dari para pemerhati sastra. Polemik
atau perbalahan terhadap kehadiran sastra internet hendaknya dipandang sebagai
fenomena dan dinamika kehidupan kesastraan, yang sekaligus diperlukan format
estetika yang menguntungkan per-kembangan sastra di Indonesia.
Tindakan yang perlu kita lakukan pada
saat ini adalah memperlakukan jenis karya sastra apa pun secara adil. Kehadiran
sastra koran, sastra buku, atau sastra elektronik seharusnya diperlakukan
sebagai kekayaan sastra dalam perjalanan sejarah sastra di Indonesia. Melalui
teknologi informasi yang semakin merebak di bebagai belahan dunia, sastra siber
hendaknya diberdayakan sedemikian rupa sehingga karya sastra dan bahasa
Indonesia dapat dibumikan ke dalam peradaban global.
DAFTAR
PUSTAKA
Lembaga Kantor
Berita Nasional Antara. 1976. Almanak Antara.. Jakarta
Asmadi, T.D.
2008. ―Merintis Bahasa Jurnalistik Baku untuk Mencerdaskan Bangsa‖. Makalah dalam
Kongres IX Bahasa Indonesia. 28 Oktober –1 November 2008. Jakarta: Pusat Bahasa, Depdiknas.
Efendi (Ed. ).
2001. Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Enraswara,
Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori dan
Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
-------. 2008. Metodologi
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Med Press.
Fananie,
Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University
Press.
http//:katarsis2011.wordpress.
―Cybersastra (Bukan) Sastra Era 2010‖, diunduh pada 5 Juli 2013.
http://sawali.
wordpress. Com, diunduh pada 10 Juli 2013.
http://www.
poetry.com, diunduh pada 14 Juli 2013.
http://www.
taufiq. ismail.com, diunduh 20 Juli 2013.
http://www. lontar. org, diunduh pada 1 Agustus 2013.
http://lallement.com,
diunduh pada 5 Agustus 2013.
http://www.
hayamwuruk-online. blogspot.com, diunduh pada 10 Agustus 2013.
Pradopo, Rachmat
Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahman, Jamal
D., 2002. Sastra, Majalah, Koran, Cyber. Catatan Kebudayaan Majalah Sastra Horison Februari 2002.
Ratna, Nyoman
Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Rembulan, Ilenk.
cybersastra. org. ―Puisi Digital Cyberputika‖, diunduh pada
15 Agustus 2013.
Sambodja, Asep.
2003. ‖Peta
Politik Sastra Indonesia (1908-2008)‖. Makalah dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII, Jakarta, 14—17 Oktober 2003. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Situmorang, Saut (Ed.). 2004. Cyber Graffiti: Polemik
Sastra Cyberpunk. Bandung: Angkasa.
Tulisan
ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya,
28—31 Oktober 2013 yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar