Jumat, 17 April 2015

Terkuaknya Misi NGO Funding Norwegia: Ada Apa dengan Norwegia?

OLEH Willy Azano
Solidaritas Masyarakat Jambi

 Perdana Menteri (PM) Norwegia Erna Solberg mengunjungi komunitas adat terpencil, Suku Kubu atau Orang Rimba ,di kawasan hutan Dusun Senamat Ulu, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi, Rabu (15/4/2015).
Salam Solidaritas!

Masih hangat dalam benak kita tentang kasus Orang Rimba atau Suku Anak Dalam yang diberitakan mati kelaparan karena kehabisan hutan dan yang dikarenakan krisis pangan.

Pantas dicatat dalam kasus ini adalah berita tersebut bermula dari sebuah NGO konservasi bukan dari Orang Rimba atau masyarakatnya langsung, bukan dari hasil observasi dan investigasi lapangan, kenapa? Karena menurut penghulu (pemimpin Rimba) anggota mereka yang meninggal disebabkan oleh penyakit menular seperti campak, malaria, DBD, flu, batuk mejan, sesak nafas, yang dipicu oleh cuaca ektrem, dan ada juga yang disebabkan oleh keteguran dan gagal ginjal, bukan karena kelaparan.

Kenyataan ini secara langsung sudah mengambarkan bahwa terjadi distorsi informasi yang sangat serius, belum lagi habis rasa penasaran tersebut, tiba-tiba PM Norwegia datang ke Jambi, ada apa? Dan apakah ini saling berkaitan?

Misi Konservasi

Menurut data Transparansi Internasional Indonesia (TII), banyak negara maju dan lembaga asing mengalokasikan dana yang jika ditotal nilainya mencapai puluhan triliun rupiah untuk proyek REDD di Indonesia. Proyek REDD secara umum adalah misi yang berkepentingan dengan pembangunan rendah emisi, konservasi dan pelestarian hutan.

Norwegia (untuk saat ini) adalah salah satu negara penyumbang dana terbesar, yaitu US$ 1 miliar (satu miliar dolar Amerika) yang jika kurs dengan dolar hari ini (12.000-13.000) maka angka tersebut berkisar di angka 12-13 triliun rupiah.

Kemudian ada dari Korea Selatan sebesar US$ 3 juta atau sekitar Rp30 miliar, Australia AUD 30 juta atau sekitar Rp300 miliar, PBB sebesar US$ 5,4 juta atau sekitar Rp53 miliar dan Bank Dunia sebesar US$ 3,6 juta atau sekitar Rp36 miliar.

Dengan aliran dana sebanyak itu, REDD dinilai rawan dan berpotensi perilaku korupsi. Apalagi REDD berhubungan erat dengan bisnis hutan yang dipenuhi mafia dan tindak pencucian uang. Potensi korupsi REDD bisa terjadi dari proses penentuan lahan dan penghitungan karbon yang rentan dimanipulasi.

Ada juga yang mempermasalahkan harga diri bangsa yang terkesan hanya sekadar “tukang cuci piring pesta orang” karena proyek REDD ini dinilai hanya sarana bagi negara-negara maju untuk “mencuci dosa” dan lari dari tanggung jawab sebagai penghasil emisi karbon tertinggi di dunia. Tapi anggapan itu tentu masalah kecil dibanding masalah minimnya sosialisasi yang menyebabkan masyarakat (sekitar hutan) menjadi tersingkirkan.

Masyarakat banyak menolak pelaksanaan REDD karena dianggap hanya akan menguntungkan “pemain-pemain besar” seperti pejabat pemerintah, NGO yang mewakili masyarakat, dan korporasi pemilik lahan. Poin inilah yang sering membuat konflik sosial sehingga REDD dinilai tidak transparan dan gagal mensejahterakan rakyat.

Contoh, sebuah lembaga konservasi di Jambi ceritanya sejak 1998 sudah bekerja sama dengan pemerintah Norwegia untuk kepentingan Orang Rimba atau kawasan hutan yang ada di Jambi. Dari sekian lama kerja sama tersebut apakah masyarakat tahu berapa dana yang sudah mereka terima atau kelola selama ini? Kegiatannya apa saja? Apakah mereka pernah melaporkannya ke publik? Apakah kehidupan Orang Rimba dan Masyarakat Desa di dalam dan sekitar hutan mengalami kemajuan yang signifikan atau sebaliknya, stagnan dan tertinggal dari desa-desa yang lainnya.

Kemiskinan dan Pelanggaran HAM

Mari kita lihat ke dalam, baik itu Orang Rimba ataupun masyarakat desa yang hidup di dalam dan sekitar kawasan konservasi (hutan lindung, taman nasional, suaka alam, dsb) yang ada di Jambi.

Salah satunya Bukit Duabelas, adalah kawasan hidup bagi ribuan jiwa Orang Rimba yang sudah turun temurun, yang pada tahun 2000 ditetapkan sebagai kawasan taman nasional dengan luasan 60.500 hektare.

Sebelum tahun 2000 kawasan Bukit 12 masih berstatus sebagai Cagar Biosfer dengan luas 27.200 hektare.

Kawasan Bukit 12 per tahun 2000 memang bertambah luas lebih dari 100%, tapi apakah dengan bertambah luasnya kawasan Bukit 12 tersebut sudah menjamin kebutuhan dan perkembangan hidup Orang Rimba yang ada di sana?

Menurut laporan KomnasHAM, tujuh tahun pasca-kawasan Bukit 12 ditetapkan menjadi Taman Nasional telah melahirkan banyak pelanggaran Hak-hak dasar Orang Rimba selaku komunitas adat atau kelompok khusus. Karena kultur Orang Rimba (berhuma, ladang, berburu) dalam memenuhi kebutuhan pangan berbenturan dengan ketentuan konservasi yang dibawa taman nasional, yang mengedepankan upaya-upaya pelestarian kawasan, yang pada akhirnya membuat mereka (Orang Rimba) secara bertahap terpaksa keluar meninggalkan Bukit 12 karena kebutuhan dasar dan ekonomi, sirkulasi, hubungan dari dan menuju kampung mereka yang semakin sulit.

Cilakanya, ketika mereka diluar atau berada di lahan pemanfaatan masyarakat desa masalahnya justru bertambah, perbedaan pandangan dalam pemanfaatan lahan dan sumber daya kerap menimbulkan benturan horizon hingga memakan korban.

Kenyataan yang dialami Orang Rimba di atas sepertinya lebih dulu dialami oleh masyarakat yang bersentuhan dengan kawasan konservasi di TNKS, TNBT dan Taman Nasional Berbak, terjerembab dalam kemiskinan dan sulit tersentuh oleh pembangunan. Padahal dana luar negeri selama ini untuk wilayah mereka bisa jadi luar biasa besarnya.

Pertanyaanya adalah, kemana dan untuk apa saja dana triliunan yang dikucurkan selama ini? Apakah Orang Rimba dan Masyarakat Desa mengetahuinya karena mereka adalah subyek yang kehidupannya bersentuhan langsung dengan misi dan tujuan dari proyek konservasi.

Kemasan Isu

Kematian yang terjadi pada Orang Rimba di saat cuaca panca roba apalagi bersamaan dengan datangnya musim buah selama ini adalah hal yang biasa, atau bukan sesuatu yang aneh dalam kehidupan mereka. Kematian di saat cuaca ektrem yang memicu wabah DBD, flu, batuk, malaria, dan sebagainya juga terjadi pada masyarakat desa dan kota. Sama saja! Dan secara jumlah justru lebih besar.

Sebagian pemimpin dan masyarakat di rimba pun masih bertanya-tanya, kenapa kematian anggota mereka saat ini begitu dipersoalkan? Masuk ke tivi dan koran-koran? (hal ini masih dicari oleh mereka jawabannya).

Perlu diketahui, membawa anak-anak Orang Rimba berobat ke rumah sakit justru membuat tingkat stres mereka semakin tinggi dan (bisa saja) mempercepat kematian itu sendiri. Suasana baru, orang baru, alat-alat baru, aturan baru, dan hidup di dalam gedung adalah nuansa yang mencekam. Harusnya yang dilakukan adalah membuat barak pengobatan di tengah-tengah kediaman/kampung mereka, karena suasana alami adalah tempat yang sangat di sukai oleh anak-anak, sehingga proses penyembuhan bisa lebih mudah, cepat, baik dan maksimal.

Jika saja kisah kematian ini adalah setingan pihak tertentu untuk mendapatkan support dari Norwegia misalnya dana konservasi, maka hal ini menjadi sangat disayangkan karena kental dengan muatan eksploitasi dan politisasi.

Hendaknya jangan sampai terjadi, para pengelola dana Norwegia hidup dalam kemewahan dan eksklusivitas, sedang Orang Rimba dan Masyarakat Desa hidup dalam kemiskinan dan ancaman.

Tuntutan dan Sikap

1.       Biarlah Orang Rimba dan Masyarakat Desa yang ada di dalam dan sekitar kawasan hutan menentukan pilihan hidupnya sendiri, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangannya, jika pun ada kebijakan yang terkait dengan kehidupan mereka hendaknya mengedepankan nilai-nilai partisipatif.
2.      Taman Nasional ataupun kawasan konservasi harus betul-betul memenuhi kebutuhan dasar hidup Orang Rimba. Baik di bidang pendidikan, kesehatan dan faktor pendukung sosial, ekonomi dan budayanya, jangan sampai sebaliknya, membiarkan mereka terlunta-lunta, membuat konflik terus meninggi, dan menjadi obyek ekploitasi kepentingan jangka pendek saja.
3.      Negara harus miliki validitas data (jumlah dan sebaran) Orang Rimba atau SAD yang ada di Jambi, melakukan pendataan secara komprehensif, memberikan legalitas mereka sebagai penduduk, sebagai warga negara yang sah. Agar menjadi pegangan bersama dalam merumuskan kebijakan yang tepat guna.
1.    

Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kesempatan ini kami ucapkan banyak terima kasih, salam.

Aston, 16 April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...