OLEH Willy Azano
Solidaritas Masyarakat
Jambi
Salam
Solidaritas!
Masih
hangat dalam benak kita tentang kasus Orang Rimba atau Suku Anak Dalam yang diberitakan
mati kelaparan karena kehabisan hutan dan yang dikarenakan krisis pangan.
Pantas
dicatat dalam kasus ini adalah berita tersebut bermula dari sebuah NGO
konservasi bukan dari Orang Rimba atau masyarakatnya langsung, bukan dari hasil
observasi dan investigasi lapangan, kenapa? Karena menurut penghulu (pemimpin Rimba)
anggota mereka yang meninggal disebabkan oleh penyakit menular seperti campak,
malaria, DBD, flu, batuk mejan, sesak nafas, yang dipicu oleh cuaca ektrem, dan
ada juga yang disebabkan oleh keteguran dan gagal ginjal, bukan karena
kelaparan.
Kenyataan
ini secara langsung sudah mengambarkan bahwa terjadi distorsi informasi yang
sangat serius, belum lagi habis rasa penasaran tersebut, tiba-tiba PM Norwegia
datang ke Jambi, ada apa? Dan apakah ini saling berkaitan?
Misi Konservasi
Menurut
data Transparansi Internasional Indonesia (TII), banyak negara maju dan lembaga
asing mengalokasikan dana yang jika ditotal nilainya mencapai puluhan triliun
rupiah untuk proyek REDD di Indonesia. Proyek REDD secara umum adalah misi yang
berkepentingan dengan pembangunan rendah emisi, konservasi dan pelestarian
hutan.
Norwegia
(untuk saat ini) adalah salah satu negara penyumbang dana terbesar, yaitu US$ 1
miliar (satu miliar dolar Amerika) yang jika kurs dengan dolar hari ini
(12.000-13.000) maka angka tersebut berkisar di angka 12-13 triliun rupiah.
Kemudian
ada dari Korea Selatan sebesar US$ 3 juta atau sekitar Rp30 miliar, Australia
AUD 30 juta atau sekitar Rp300 miliar, PBB sebesar US$ 5,4 juta atau sekitar Rp53
miliar dan Bank Dunia sebesar US$ 3,6 juta atau sekitar Rp36 miliar.
Dengan
aliran dana sebanyak itu, REDD dinilai rawan dan berpotensi perilaku korupsi.
Apalagi REDD berhubungan erat dengan bisnis hutan yang dipenuhi mafia dan
tindak pencucian uang. Potensi korupsi REDD bisa terjadi dari proses penentuan
lahan dan penghitungan karbon yang rentan dimanipulasi.
Ada
juga yang mempermasalahkan harga diri bangsa yang terkesan hanya sekadar
“tukang cuci piring pesta orang” karena proyek REDD ini dinilai hanya sarana
bagi negara-negara maju untuk “mencuci dosa” dan lari dari tanggung jawab
sebagai penghasil emisi karbon tertinggi di dunia. Tapi anggapan itu tentu
masalah kecil dibanding masalah minimnya sosialisasi yang menyebabkan
masyarakat (sekitar hutan) menjadi tersingkirkan.
Masyarakat
banyak menolak pelaksanaan REDD karena dianggap hanya akan menguntungkan
“pemain-pemain besar” seperti pejabat pemerintah, NGO yang mewakili masyarakat,
dan korporasi pemilik lahan. Poin inilah yang sering membuat konflik sosial
sehingga REDD dinilai tidak transparan dan gagal mensejahterakan rakyat.
Contoh,
sebuah lembaga konservasi di Jambi ceritanya sejak 1998 sudah bekerja sama
dengan pemerintah Norwegia untuk kepentingan Orang Rimba atau kawasan hutan
yang ada di Jambi. Dari sekian lama kerja sama tersebut apakah masyarakat tahu
berapa dana yang sudah mereka terima atau kelola selama ini? Kegiatannya apa
saja? Apakah mereka pernah melaporkannya ke publik? Apakah kehidupan Orang
Rimba dan Masyarakat Desa di dalam dan sekitar hutan mengalami kemajuan yang
signifikan atau sebaliknya, stagnan dan tertinggal dari desa-desa yang lainnya.
Kemiskinan dan Pelanggaran
HAM
Mari
kita lihat ke dalam, baik itu Orang Rimba ataupun masyarakat desa yang hidup di
dalam dan sekitar kawasan konservasi (hutan lindung, taman nasional, suaka
alam, dsb) yang ada di Jambi.
Salah
satunya Bukit Duabelas, adalah kawasan hidup bagi ribuan jiwa Orang Rimba yang
sudah turun temurun, yang pada tahun 2000 ditetapkan sebagai kawasan taman
nasional dengan luasan 60.500 hektare.
Sebelum
tahun 2000 kawasan Bukit 12 masih berstatus sebagai Cagar Biosfer dengan luas
27.200 hektare.
Kawasan
Bukit 12 per tahun 2000 memang bertambah luas lebih dari 100%, tapi apakah
dengan bertambah luasnya kawasan Bukit 12 tersebut sudah menjamin kebutuhan dan
perkembangan hidup Orang Rimba yang ada di sana?
Menurut
laporan KomnasHAM, tujuh tahun pasca-kawasan Bukit 12 ditetapkan menjadi Taman
Nasional telah melahirkan banyak pelanggaran Hak-hak dasar Orang Rimba selaku
komunitas adat atau kelompok khusus. Karena kultur Orang Rimba (berhuma,
ladang, berburu) dalam memenuhi kebutuhan pangan berbenturan dengan ketentuan
konservasi yang dibawa taman nasional, yang mengedepankan upaya-upaya
pelestarian kawasan, yang pada akhirnya membuat mereka (Orang Rimba) secara
bertahap terpaksa keluar meninggalkan Bukit 12 karena kebutuhan dasar dan
ekonomi, sirkulasi, hubungan dari dan menuju kampung mereka yang semakin sulit.
Cilakanya,
ketika mereka diluar atau berada di lahan pemanfaatan masyarakat desa
masalahnya justru bertambah, perbedaan pandangan dalam pemanfaatan lahan dan
sumber daya kerap menimbulkan benturan horizon hingga memakan korban.
Kenyataan
yang dialami Orang Rimba di atas sepertinya lebih dulu dialami oleh masyarakat
yang bersentuhan dengan kawasan konservasi di TNKS, TNBT dan Taman Nasional
Berbak, terjerembab dalam kemiskinan dan sulit tersentuh oleh pembangunan.
Padahal dana luar negeri selama ini untuk wilayah mereka bisa jadi luar biasa
besarnya.
Pertanyaanya
adalah, kemana dan untuk apa saja dana triliunan yang dikucurkan selama ini?
Apakah Orang Rimba dan Masyarakat Desa mengetahuinya karena mereka adalah
subyek yang kehidupannya bersentuhan langsung dengan misi dan tujuan dari
proyek konservasi.
Kemasan Isu
Kematian
yang terjadi pada Orang Rimba di saat cuaca panca roba apalagi bersamaan dengan
datangnya musim buah selama ini adalah hal yang biasa, atau bukan sesuatu yang
aneh dalam kehidupan mereka. Kematian di saat cuaca ektrem yang memicu wabah
DBD, flu, batuk, malaria, dan sebagainya juga terjadi pada masyarakat desa dan
kota. Sama saja! Dan secara jumlah justru lebih besar.
Sebagian
pemimpin dan masyarakat di rimba pun masih bertanya-tanya, kenapa kematian
anggota mereka saat ini begitu dipersoalkan? Masuk ke tivi dan koran-koran?
(hal ini masih dicari oleh mereka jawabannya).
Perlu
diketahui, membawa anak-anak Orang Rimba berobat ke rumah sakit justru membuat
tingkat stres mereka semakin tinggi dan (bisa saja) mempercepat kematian itu
sendiri. Suasana baru, orang baru, alat-alat baru, aturan baru, dan hidup di
dalam gedung adalah nuansa yang mencekam. Harusnya yang dilakukan adalah
membuat barak pengobatan di tengah-tengah kediaman/kampung mereka, karena
suasana alami adalah tempat yang sangat di sukai oleh anak-anak, sehingga
proses penyembuhan bisa lebih mudah, cepat, baik dan maksimal.
Jika
saja kisah kematian ini adalah setingan pihak tertentu untuk mendapatkan support dari Norwegia misalnya dana
konservasi, maka hal ini menjadi sangat disayangkan karena kental dengan muatan
eksploitasi dan politisasi.
Hendaknya
jangan sampai terjadi, para pengelola dana Norwegia hidup dalam kemewahan dan
eksklusivitas, sedang Orang Rimba dan Masyarakat Desa hidup dalam kemiskinan
dan ancaman.
Tuntutan dan Sikap
1. Biarlah Orang Rimba dan
Masyarakat Desa yang ada di dalam dan sekitar kawasan hutan menentukan pilihan
hidupnya sendiri, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangannya, jika pun ada
kebijakan yang terkait dengan kehidupan mereka hendaknya mengedepankan
nilai-nilai partisipatif.
2. Taman Nasional ataupun
kawasan konservasi harus betul-betul memenuhi kebutuhan dasar hidup Orang
Rimba. Baik di bidang pendidikan, kesehatan dan faktor pendukung sosial,
ekonomi dan budayanya, jangan sampai sebaliknya, membiarkan mereka
terlunta-lunta, membuat konflik terus meninggi, dan menjadi obyek ekploitasi
kepentingan jangka pendek saja.
3. Negara harus miliki
validitas data (jumlah dan sebaran) Orang Rimba atau SAD yang ada di Jambi,
melakukan pendataan secara komprehensif, memberikan legalitas mereka sebagai
penduduk, sebagai warga negara yang sah. Agar menjadi pegangan bersama dalam
merumuskan kebijakan yang tepat guna.
1.
Demikian
kami sampaikan, atas perhatian dan kesempatan ini kami ucapkan banyak terima
kasih, salam.
Aston, 16 April 2015
Sumber:
http://berita3jambi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar