OLEH Saifur
Rohman
Universitas Negeri Jakarta
Email: saifur_rohman2000@yahoo.com
Rancangan Undang-Undang Kebudayaan yang
diusulkan oleh legislatif pada 2012 tidak memberikan ruang yang strategis bagi
pengembangan bahasa dan sastra Indonesia. Hal itu terbukti melalui pernyataan
umum yang reduplikatif sehingga tidak mencerminkan strategi yang khas, lestari,
dan sistemik.
Karena itu makalah ini bermaksud
membuktikan bahwa karya sastra merupakan media sekaligus objek strategis dalam
pengembangan kebudayaan nasional. Langkah metodologis yang ditempuh adalah
melalui kajian penafsiran, metode filsafat sosial, dan atomisme logis. Metode
tafsir memanfaatkan hasil kritik sastra. Metode filsafat sosial dimanfaatkan
untuk menemukan nilai-nilai dasar kebangsaan. Metode atomisme logis digunakan
untuk menemukan logika dalam draf hukum.
Konsepsi kebudayaan yang digunakan
dalam makalah ini merupakan hasil analisis kritis terhadap konstruksi budaya
pasca-Indonesia yang telah dikembangkan dalam karya sastra.
Berdasarkan skema metodologis di atas
maka ditemukan lemahnya pemahaman terhadap identitas, makna, dan strategi
pengembangan kebudayaan Indonesia. Naskah akademik hingga draf hukum disusun
atas dasar sesat pikir yang berimplikasi terhadap involusi budaya. Pengembangan
yang diharapkan melalui UU kebudayaan justru menemui kebuntuan dalam labirin
gelap dan panjang.
Direkomendasikan perlunya penggalian
makna karya sastra dalam strategi pengembangan kebudayaan Indonesia. Sangatlah
musykil mengembangkan kebudayaan dengan cara mengabaikan ruh kebudayaan yang
tecermin dalam karya sastra.
Kata kunci: RUU Kebudayaan, Karya
Sastra, Transdisipliner, Involusi.
Pengantar
Pada 11 Oktober 2003 Burhan
Nurgiyantoro dikukuhkan sebagai guru besar sastra. Hipotesisnya tergambar dalam
pidato yang berjudul “Belajar Multikulturalisme pada Bahasa dan Sastra Indonesia”
(2003). Hipotesis pertama bahwa ada relasi antara sastra dan pemahaman budaya
dan kedua, oleh karena kebudayaan itu terkait dengan karya sastra,
multiluturalisme adalah salah satu fenomena budaya yang dapat dipelajari
melalui karya sastra.
Pemahaman terhadap konsep besar dan
abstrak tentang kebudayaan dan sastra dapat dimulai dari unsur kecil dan
konkret. Secara analitik, judul tersebut mengandung dua kelas yang dihubungkan
dengan satu kata hubung “pada”. Secara metodologis, pilihan kata hubung “pada”
antara frase “belajar multikulturalisme” dan “Bahasa dan Sastra Indonesia”
memiliki rasionalitas. Dalam beberapa arti, kata “pada” berlawanan dengan kata
“dalam”. Kata “pada” memilki arti “menunjukkan posisi di atas atau memiliki
arti setara dengan kata hubung “di” 2
(Sumber:
Http://kbbi.web.id/). Sementara itu kata “dalam” memiliki berada di kedalaman,
antonim dari bagian luar (Sumber: Http://kbbi.web.id/). Dalam beberapa arti
yang lain, kata “pada” juga tidak dimaksudkan sebagai antonim, tetapi menjelaskan
tentang “sama luasnya dengan...”. Hal itu berbeda dengan kata “dalam” yang
memiliki arti “bagian dari”. Budaya dan sastra memiliki luasan sama besar,
berhubungan secara kongruen dan bukan lebih kecil atau lebih besar.
Itulah rasionalitas pertama yang
ditemukan. Selanjutnya, rasionalitas konsepsi “pada” tersebut tampaknya mengacu
pada rasionalitas lain, yakni kongruensi realitas aktual dan imajinatif. Lihat,
pada mulanya Nurgiyantoro menyadari tentang kebudayaan sebagai sebuah kenyataan
yang berpijak pada dunia simbol. Sampai kemudian dia menghasilkan pernyataan
bahwa “intisari kebudayaan bukan artifak, peralatan, atau elemen-elemen
kultural lain yang berwujud, melainkan bagaimana para anggota kelompok
menginterpretasikan, mempergunakan, dan menerima benda-benda (Nurgiyantoro,
2003).” Katanya, budaya lebih sebagai konstruksi mental yang berasal dari
individu yang menafsirkan. Karena teks sastra merupakan ungkapan pengarang
terhadap realitas sosial-budaya sementara itu budaya adalah persoalan penafsiran
realitas maka sesungguhnya pengarang adalah “penafsir yang menulis
keterlibatannya dalam kebudayaan” sementara itu masyarakat adalah “penafsir
yang tidak menuliskan keterlibatan kebudayaannya”.
Untuk mempelajari intisari budaya
tersebut, menurutnya, seseorang harus menempuh dua jalan. Pertama melalui cara
resmi sebagaimana tertuang dalam kurikulum pendidikan. Salah satu mata
pelajarannya adalah Bahasa dan Sastra Indonesia. Kedua adalah cara tidak resmi,
yakni belajar sendiri. Karya sastra merupakan salah satu sumber utama,
khususnya “teks sastra yang mengangkat kehidupan sosial-budaya suatu masyarakat
(Nurgiyantoro, 2003).” Dua cara ini menempatkan karya sastra sebagai teknik
memahami budaya, baik secara kognitif maupun secara afektif.
Dia menjelaskan tentang “teks sastra
yang mengangkat kehidupan sosial (Nurgiyantoro, 2003)”, tetapi tidak
mengungkapkan tentang “realitas sosial yang mengangkat teks sastra”. Adalah
mudah menjawab pertanyaan “apa pesan sosial atau kritik sosial dari karya A
atau B”. Melalui tradisi kritik sastra, diketahui bahwa karya sastra dijadikan
sebagai media oleh subjek untuk memahami realitas budaya. Karena karya sastra
dijadikan sebagai media penyampai simbol, dia akan kesulitan menjawab bagaimana
realitas budaya menjadikan teks sastra bukan hanya sebagai medium simbol-simbol
kultural, tetapi sebagai objek tafsir masyarakat itu sendiri karena karya
sastra adalah hasil budaya sekaligus sebagai medium penyampai makna budaya.
Itulah kenapa makalah ini secara
singkat akan menjelaskan kedudukan karya sastra sebagai medium simbol-simbol
kultural (menyetujui pendapat Nurgiyantoro) tetapi sekaligus menyanggahnya
karena karya sastra bukan sekadar medium, melainkan didudukkan sebagai simbol
kultural itu sendiri. Karena “shastra” (sebagaimana asal-usul kata “sastra”
dalam bahasa Sanskrit yang berarti “ilmu yang tertulis”) adalah kehidupan yang
kongruen dengan kebudyaaan maka di akhir makalah ini akan ditemui simpulan
tentang kehadiran karya sastra Indonesia sebagai produk budaya yang penting dallam
pengembanan kebudayaan nasional. Alur pikir tersebut dijadikan dasar
rasionalitas tulisan ini. Bahwasanya kebudayaan yang dikemas melalui UU, dan
oleh karenanya dinyatakan dengan RUU Kebudayaan, secara niscaya tidak bisa
meninggalkan karya sastra sebagai cara sekaligus tujuan dalam konteks
pembangunan orientasi kultural Indonesia.
Skema metodologis makalah ini
memanfaatkan metode filsafat atomisme logis untuk memperoleh konsep kebudayaan
dalam RUU. Konsep itu direfleksikan ke dalam hasil penafsiran terhadap karya
sastra yang ditangkap melalui metode hermeneutik. Lingkaran hermeneutik itu
berakhir pada relevansi tafsir terhadap pengembangan draf RUU yang selaras
dengan cita-cita kebangsaan sebagaimana dipahami dalam perspektif filsafat
sosial.
“Imajinasi Kebudayaan” dalam RUU
Kebudayaan
Lahirnya sebuah Rancangan Undang-Undang
haruslah didahului oleh sebuah kajian teoretis yang dinamakan dengan Naskah
Akademik. Kajian tersebut terdiri atas penjelasan ilmiah yang memiliki
legitimasi dari teori dan mendapatkan pembuktian secara empiris.
Bila mencermati kajian teoretis yang
melahirkan RUU Kebudayaan, akan tampak jelas tentang asal-usul dan tujuan
adanya peraturan tersebut. Secara eksplisit, sebelum menjadi RUU kebudayaan,
dalam naskah akademik tertulis “Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya”. Hal
itu dimaksudkan bahwa lahirnya UU tersebut dijadikan sebagai upaya Negara dalam
melindungi kekayaan yang disebut dengan budaya. Budaya, dengan begitu, menurut
pandangan ymang tertera dalam Naskah Akademik tersebut, adalah sebuah aset,
harta, kekayaan, atau apa pun bentuk konkret yang berfungsi atribut pendukung
status kekayaan kelompok atau individu. Budaya bersifat ekstensional.
Akan tetapi, bila gejala-gejala
kultural secara ekstensional dianggap sebagai aset, gejala-gejala kultural
secara intensional justru menjadi ancaman serius. Pelestarian hasil-hasil kultural
yang bersifat tradisional itu tidak dibarengi dengan kemampuan mengembangkan
dan memanfaatkan hasil-hasil yang telah ada. Hal yang justru terjadi adalah
lemahnya aspek-aspek kebudayaan dalam wilayah intensionalitas. Dalam Naskah
Akademik dijelaskan, sebab-sebab lahirnya RUU kebudayaan adalah sebuah realitas
yang berisi tentang perubahan-perubahan tata nilai akibat pengaruh dunia luar.
Begini:
Kondisi kekinian Indonesia berada di
tengah globalisasi yang mengikis kesadaran generasi muda akan warisan tradisi
budaya Indonesia sehingga diperlukan sebuah solusi untuk mengenalkan kembali
warisan tradisi budaya Indonesia. Beranjak dari latar belakang inilah Rancangan
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekayaan Negara Atas
Budaya disusun. (Sumber: Naskah Akademik RUU Kebudayaan)
Istilah “sebuah solusi mengenalkan
kembali warisan tradisi” mengacu pada fakta sebelumnya tentang aspek kultural
secara intensional. Generasi sekarang dianggap kurang memahami nilai-nilai
tradisi yang diperlakukan sebagai produk jadi atau aset kekayaan. Rancangan
undang-undang tersebut dapat merupakan perangkat mekanisme untuk mempraktikkan
proyek tafsir massal terhadap budaya tradisi.
Sebagai hasil akhir rancangan tersebut
adalah “sebagai alat pemersatu di atas keanekaragaman budaya”. Pemersatu itu
jelas merupakan perwujudan ideologis yang dibangun bangsa ini sejak 1945.
Bila dilihat secara teoretis,
kebudayaan dalam konsepsi RUU Kebudayaan didefinisikan sebagai “Perwujudan dan
keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam rangka perkembangan
kepribadian manusia dengan segala hubungannya, yaitu hubungan manusia dengan
Tuhan Yang Maha Esa, hubungan manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.”
(Sumber RUU Kebudayaan). Hal itu selaras dengan konsep-konsep yang pernah
dikembangkan dalam disiplin ilmu antropologi klasik oleh Koentjaraningrat.
Diakui atau tidak, konsep-konsep budaya
di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perannya dalam buku Pengantar Ilmu
Antropologi (1990). Sejak tahun 1970-an, Koentjaraningrat dinilai berhasil
mengembangkan konstruksi pemikiran yang mapan tentang antropologi yang terdiri
atas bentuk dan isi. Bentuknya ada tujuh unsur sedangkan isinya ada empat.
Tujuh unsur kebudayaan sebagaimana dianut dalam buku kanon antropologi adalah
(1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan
hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, (7)
kesenian (Koentjaraningrat, 1990: 204). Sementara itu, isi kebudayaan yang
didefinisikan dengan gagasan, kehendak, dan tindakan menjadi tahapan-tahapan
dalam praktik kebudayaan. Secara sederhana Koentjaraningrat mengungkapkan
proses menjadi “budaya”, yakni dari (1) gagasan, tindakan, dan benda, (2) tema
atau pola budaya, (3) kompleks budaya, dan berakhir menjadi (4) adat istiadat
(Koentjaraningrat, 1990: 207).
Berdasarkan skema berpikir di atas,
maka RUU Kebudayaan itu kemudian mengambil unsur-unsur yang dianggap relevan
dengan perkembangan mutakhir. Dalam hal bentuk, RUU mengambil empat unsur saja,
yakni (1) bahasa, (2) seni, (3) ilmu pengetahuan, (4) adat-istiadat, dan (5)
cagar budaya. Masing-masing unsur tersebut memiliki implikasi bagi pemerintah
terhadap pembentukan institusi-institusi sosial. Sebagai bukti dapat dijelaskan
berikut ini:
1)
Unsur bahasa
Unsur bahasa sejak awal mula telah
membawa implikasi terhadap sendi-sendi kehidupan berbangsa. Hal itu jelas
tercantum dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, dimulai dari UUD, UU,
hingga peraturan-peratuan di bawahnya. Karena itulah para penyusun RUU
menganggap wajar manakala implikasi terhadap bahasa tidak dicantumkan di dalam
RUU tersebut karena sudah diwadahi oleh sistem perundang-undangan yang lain.
Kendati begitu, Pemerintah masih menandaskan bahwa pelestarian unsur bahasa
dalam RUU Kebudayaan itu dilakukan melalui (1) kesenian dan (2) memasukkan
bahasa daerah ke dalam muatan lokal kurikulum pendidikan. Adapun pembinaan
bahasa sebagaimana diatur dalam RUU tersebut, sebagaimana terbaca dalam pasal
12, diserahkan kepada sistem perundang-undangan lain yang berlaku.
2)
Unsur seni
Unsur membawa impikasi terhadap
lahirnya insitusi sosial yang disebut dengan industri budaya. Di dalam RUU
tersebut seni didefinisikan sebagai “Hasil karya manusia atau sekelompok
masyakat dalam bentuk yang dapat menimbulkan rasa indah dan bernilai tinggi
(Sumber: RUU Kebudayaan).” Seni memperoleh tempat dalam pemikiran pemerintah
melalui istilah pelestarian. Pelestarian itu dilakukan melalui pendidikan,
pengadaan sarana dan prasarana kegiatan, pelindungan hak cipta, pelindungan
atas kewajiban serah simpan karya cetak dan karya rekam, penghargaan seni. Hal
tersebut memberikan gambaran tentang sebuah sketsa pemerintah tentang
rencana-rencana ke depan untuk membangun unsur kesenian.
Karena pelestarian tersebut menyangkut
karya seni, maka pemerintah kemudian mengatur dalam bab tersendiri yang
berjudul “industri budaya” (Bab VII). Di dalam industri budaya ini dijelaskan
bahwa apa yang dimaksud dengan produk industri budaya meliputi lembaga yang
menghasilkan jenis-jenis benda yang spesifik, yakni teks, nonteks, campuran
(teks dan nonteks), dan jasa. Pemerintah memberikan jaminan pelindungan dan
pengembangan industri tersebut. Jaminan terebut dikatakan, “mencakup
keterpaduan dalam perencanaan, pengelolaan, pendanaan, pemasaran, dan
pelestarian.” Jaminan itu akan berlaku sepanjang memiliki sifat profesional,
bermanfaat, dan ada peran swasta.
3)
Unsur Sistem Pengetahuan
Unsur sistem pengetahuan ini
berimplikasi terhadap pembentukan mekanisme kontrol terhadap institusi
pendidikan dan sosial, yakni sekolah dan media massa. Sistem pengetahuan
menghasilkan rasionalitas yang toleran terhadap budaya lain. Dalam bagian
ketiga dijelaskan, sistem pengetahuan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa
melalui pengkajian dan pelestarian. Mekanisme kontrol ini secara jelaskan
dikatakan “melalui pendidikan dan media massa”. Sebetulnya dua hal ini juga
sudah mendapatkan pengaturan tersendiri dalam sistem perundang-undangan kita.
Perhatikan isi pasal berikut ini: “Pelestarian sistem pengetahuan melalui
pendidikan dilakukan dengan mengintegrasikan sistem pengetahuan lokal ke dalam
kurikulum satuan pendidikan mulai tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan
menengah.”
4)
Unsur Adat Istiadat
Unsur Adat istiadar berimplikasi
terhadap lembaga adat di Indonesia. Menurut pandangan RUU kebudayaan, adat
adalah “serangkaian tingkah laku yang terlembaga dan mentradisi dalam masyarakat
yang berfungsi mewujudkan nilai sosial budaya ke dalam kehidupan sehari-hari
(Sumber: RUU Kebudayaan).” Dalam konteks pembangunan kebudayaan, dikatakan
dalam pasal 20 bahwa adat dapat dimanfaatkan untuk memperkaya kebudayaan dan
untuk melestarikan dapat dilakukan melalui pendidikan dan media massa.
Konsekuensi adanya unsur adat istiadat dalam khazanah kebudayaan di Indonesia
adalah kewenangan lembaga adat untuk turut serta menangani
permasalahan-permasalahan sosial. Hal itu mirip denan kewenangan negara sebagai
sistem yang mengawasi dan melindungi setiap warga.
5)
Cagar Budaya
Cagar Budaya dimengerti sebagai
“warisan budaya bersifat kebendaan ... yang perlu dilestarikan keberadaannya
karena memiliki nilai penting”. Cagar budaya berimplikasi terhadap pembentukan
sebuah lembaga yang secara khusus mencatat hasil karya generasi masa lampau
yang dinilai penting bagi pengembangan kebudayaan secara umum. Implikasi
tersebut dijabarkan dalam Bab IX bertajuk “Dokumentasi”.
Tinjauan Kritis
Pola pikir tentang kebudayaan di atas
dapat dikatakan berdiri di sebuah mindset yang bisa diakui bersama sehingga
sebagian orang mengatakan sebagai pakem dalam disiplin ilmu antropologi (Lihat
Ohromi dan bandingkan dengan Koentjaraningrat). Berdasarkan pakem di atas, maka
dapat diperoleh hasil refleksi di bawah ini:
Unsur-unsur kebudayaan yang relevan
tidak mengakomodasi realitas mayor di Indonesia. Sebagai contoh, sistem
keyakinan yang dipercayai sebagai realisasi dari keyakinan individu atau
kelompok tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Penganut agama lokal di
nusantara tidak mendapatkan tempat dalam pelbagai Undang-Undang di Indonesia,
termasuk dalam Rancangan Undang-Undang Kebudayaan. Sistem keyakinan pernah
diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri kebudayaan dan
pariwisata Nomor 43 Tahun 2009 dan Nomor 41 tentang Pedoman Pelayanan Kepada
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kendati begitu, peraturan
tersebut tidak memberikan kekuatan hukum yang lebih kuat.
Pelbagai unsur kebudayaan telah
diundangkan secara khusus dan mendetail di dalam sistem perundang-undangan
lain. Dengan begitu, Rancangan ini tak ubahnya sebagai sebuah RUU yang secara
umum yang melakukan pengulangan demi pengulangan dari UU yang lain.
Mekanisme ilmu pengetahuan yang
mencatumkan “program acara kebudayaan” tidak menyebut secara jelas “hasil-hasil
budaya” yang akan dijadikan sebagai media penyampai pesan kebudayaan. Dalam RUU
pula tidak tercantumkan jenis kebudayaan apa yang secara kontinyu, periodik,
atau spontan diumumkan melalui media massa. Dalam pasal 19 tercantum ayat yang
menyatakan, “a. paling sedikit 2 (dua) jam dalam satu minggu, untuk media massa
elektronik dan paling sedikit 1 (satu) kolom khusus untuk media cetak.” Bila
media elektronik diminta untuk menyediakan dua jam dalam satu minggu memiliki
arti denotatif yang jelas, maka permintaan “satu kolom khusus” memiliki arti
yang diragukan. Sebab, satu kolom dalam media cetak itu mengandung arti lebar
kalimat yang tercetak dalam satu halaman. Biasanya satu kolom adalah 5-10 kata.
Dalam satu halaman media cetak harian terapat 6 kolom per halaman sedangkan
untuk media cetak mingguan hanya terdapat tiga kolom. Bisa dibayangkan, bila
terbitan per hari hanya diminta satu kolom berarti memiliki berita sangat kecil
dalam media harian.
Agak aneh klausul cagar budaya
dimasukkan kembali ke dalam bagian tersendiri dan mengulang secara umum. Sebab,
sudah ada Undang-Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya yang secara khusus membicarakan hal tersebut. Dalam RUU ini hanya
mengatur tentang dokumentasi dan pelestarian sementara dalam UU No 11 tahun
2010 sudah mengatur tentang mekanisme pelestarian, lembaga-lembaga yang berwenang,
serta mekanisme dokumentasi yang detail.
Pengaturan kewenangan lembaga adat pada
wilayah perdata perlu diatur secara detail tentang mekanisme sosial sehingga
tidak tumpang tindih dengan kewenangan negara. Istilah “lembaga adat yang
menyelesaikan masalah-masalah perdata” cenderung dapat disalahgunakan untuk
kepentingan-kepentingan politis pada era reformasi yang bising dengan istilah
suku, adat, kebebasan, dan demokrasi.
Bahasa dan Seni sebagai Media dan
Tujuan
Dalam RUU dijelaskan bahwa pelestarian
bahasa dilakukan melalui dua cara, yakni (1) seni dan (2) mata pelajaran muatan
lokal. Itu berarti pelestarian satu unsur kebudayaan “diserahkan” pada unsur
kebudayaan lain, yakni seni. Sementara itu, konsepsi pendidikan juga tidak
hanya dijadikan sebagai media pelestarian bahasa, tetapi juga unsur sistem
pengetahuan. Karena unsur pengetahuan berimplikasi terhadap pengembangan
rasionalitas yang toleran. Hal itu selaras dengan garis besar kurikulum 2013
yang mengedepankan pendidikan yang berkarakter dan toleran.
Ketika kesenian dijadikan sebagai ujung
tombak pelestarian unsur budaya, maka praktik pelestarian berkesenian itu
dijabarkan melalui pendidikan, pengadaan sarana dan prasarana kegiatan,
pelindungan hak cipta, pelindungan atas kewajiban serah simpan karya cetak dan
karya rekam, dan penghargaan seni.
Mekanisme pelestarian itu sesungguhnya
sudah diatur di dalam sistem perundang-undangan yang lain. Dengan begitu, RUU
tersebut sebetulnya untuk ke sekian kali menyerahkan tanggungjawab yang kepada
sistem sosial yang sudah terbangun sebelumnya.
Kemampuan RUU tersebut menghasilkan
sebuah rekayasa sosial yang baru dipertanyakan. Sebab, RUU tidak hanya gagal
memprediksi apa pola-pola sosial yang ada datang, tetapi juga tidak mampu
menyuguhkan sebuah realitas baru yang dijadikan sebagai visi kenegaraan dan
kebangsaan. RUU gagal menjawab pertanyaan, di mana kesejatian atau identitas
kultural yang hendak dimunculkan?
Kajian-kajian teoretis menunjukkan
bahwa kebudayaan bukanlah hasil cetakan yang menyerupai sebuah bentuk mati atau
tak berubah. Kebudayaan sebagai “hasil dari proses belajar” (Ember, 2006: 18).
Karena proses itu tidak berhenti, maka kebudayaan memiliki sifat (1) menyatu,
(2) menyesuaikan, dan (3) selalu berubah.
Dalam proses perubahan itulah bahasa
memegang peranan dalam memajukan dan memundurkan sebuah kebudayaan. Kata Ember:
“Bahasa berbeda sifatnya dari semua
sistem komunikasi antara hewan, berhubung dengan bahasa bersifat simbolis,
artinya suatu perkataan mampu melambangkan arti apa pun, walaupun hal atau
barang yang dilambangkan artinya oleh kata itu tidak hadir” (Ember, 2006: 20).
Fakta di atas memberikan jalinan yang
runut dari sebuah proses lahirnya budaya. Diawali dari sebuah gagasan, sistem
tanda dalam komunikasi hingga susunan simbol yang mengawetkan segala
kebijaksaan yang pernah dicapai secara gemilang oleh sebuah generasi.
Sifat Karya Sastra dan Identitas
Kebudayaan
RUU tersebut mencatumkan konsepsi
“kebudayaan nasional” tetapi tidak mencatumkan “identitas kebudayaan nasional”.
Ini mengingatkan pada upaya memperkenalkan seseorang tetapi tidak menyebutkan
namanya. Ironi kemudian muncul: Saya menceritakan kepada Anda tentang
seseorang. Dalam cerita itu, saya katakan, ada seseorang tetapi tidak memiliki
nama, alamat, jenis kelamin, dan statusnya. Ada seseorang, tetapi tidak
memiliki identitas; Adakah orang tersebut?
Mestinya RUU tersebut muncul pada tahun
1970-an ketika terjadi perdebatan antara Sutan Takdir Alisyahbana dan Armijn
Pane. Perdebatan identitas budaya Indonesia pada masa lalu mempermasalahan
orientasi pengembangan identitas kultural. Secara klasik dijelaskan dalam Layar
Terkembang sebagai simbol kebudayaan Indonesia yang berorientasi pada
kemajuan, modernitas, inovasi, dan rasionalitas sementara Belenggu adalah
simbol identitas kebudayaan Indonesia yang berorientasi pada stabilitas, norma,
dan warisan kebudayaan. Pada 1993 YB Mangunwijaya menulis novel Burung-burung
Rantau yang bermaksud menyelesaikan perdebatan identitas kebudayaan itu
dengan menggunakan istilah “pasca-Indonesia”. Identitas kebudayaan
pasca-Indonesia adalah kebudayaan yang tidak berorientasi pada Barat yang
rasional maupun Timur yang normatif, melainkan pada sebuah nilai-nilai 11
filosofis
bangsa yang relevan dengan perkembangan dunia global. Jelasnya begini: Nilai
Timur yang selaras dengan nilai Barat.
Ketika pada 2000-an identitas
kebudayaan Indonesia definisikan sebagai “menjadi Indonesia”
(sekurang-kurangnya pernah diungkapkan oleh Daniel Dakhidae pada awal 2000-an)
oleh karena identitas itu tidak pernah selesai dibangun, maka identitas
kebudayaan sekurang-kurangnya bisa dilihat dalam konteks multikulturalisme,
sebuah pengejawantahan dari “bhinneka” atas pelangi nilai. Dalam istilah
Suprayitno adalah Mencoba (lagi) Menjadi Indonesia (2001) dan untuk
selanjutnya mencoba lebih lagi, tak ubahnya Sisifus dari kiriman cerita Albert
Camus.
Sederhananya sebagai berikut: Jika Burung-burung
Rantau (1993) yang semula menjadi sintesis dari dua tesis Layar
Terkembang dan Belenggu, maka kini Burung-Burung Rantau akan
bersiap menjadi tesis yang mendapatkan antitesis dari novel Laskar Pelangi (2005)
karya Andrea Hirata. Pelangi adalah simbol beragam nilai yang membentuk sebuah
mozaik dan itu kemudian disebut dengan identitas kebudayaan nasional.
Konsepsi dialektika identitas inilah
yang luput dari pemahaman RUU. Dialektika merupakan penyederhanaan dari proses
besar kebudayaan. Sekurang-kurangnya Hegel telah sangat berjasa menunjukkan
praktik dialektika dalam sejarah kebudayaan dunia. Dalam dunia sastra
dialektika ini identik dengan tafsir model tradisi Marxis. Karena itu, tak
heran manakala Michael Ryan dalam Teori Sastra: Sebuah Pengantar Praktis (2011)
menjelaskan hubungan karya sastra dan kebudayaan dalam perspektif Marxisme,
budaya material, kajian etnis, dan kajian poskolonial. Etnografi dan karya
sastra memiliki persamaan dalam pengungkapkan realitas sosial. Sementara itu,
keduanya memiliki perbedaan yang mencolok karena “ciri-ciri imajiner tersebut
merupakan penentu paling tegas pada perbedaan budaya dan kekhususan sastra
(Ryan, 2011: 244).” Ciri tersebut membedakan antara karya-karya Pramoedya
Ananta Toer dengan karya-karya Sartono Kartodidjo, misalnya, kendati mereka berdua
sama-sama membicarakan tentang sejarah Indonesia. Bila Pramoedya
“mengimajinasikan” sejarah maka Sartono “menggambarkan” sejarah. Demikian pula,
cerpen “Penembak Misterius” karya Seno Gumira Ajidarma bukanlah sejarah tentang
penembak misterius yang biasa disingkat dengan Petrus pada masa Jenderal
Soeharto (1966-1998).
Imajinasi merupakan isi kebudayaan yang
bersifat abstrak. Kebudayaan tidak pernah bisa dibangun tanpa gagasan yang
bersifat imajinatif karena isi kebudayaan adalah (1) gagasan, (2) kehendak, dan
(3) tindakan. Dalam perspektif konstruktivisme, karya sastra yang memuat
gagasan imajinatif merupakan objek kebudayaan yang mendapatkan tempat sama penting
dengan arsitektur Indis yang telah ditinggalkan kolonial. Persoalan yang selalu
muncul, bilamana hasil arsitektur itu dimasukkan dalam sebuah mekanisme
perlindungan cagar budaya, anehnya karya sastra hanya dimasukkan di dalam
dokumentasi katalog di perpustakaan-perpustakaan pusat kota.
Beranjak dari kenyataan tersebut,
pengelolaan kebudayaan tersebut jelas sangat pincang. Fakta menunjukkan,
persoalan-persoalan sejarah yang tidak bisa diungkap oleh dokumentasi cagar
budaya maupun buku-buku referensi sejarah ilmiah akhirnya hanya bisa
diartikulasikan melalui karya sastra. Sastra berhasil membuka tabir realitas
historis yang terkadang gelap dan menghidupkan dalam sebuah realitas “aktual”
bagi pembaca. Sebagai contoh, fiksi populer yang selama ini dipandang memiliki
mutu estetis rendah memiliki kelebihan dalam menjelaskan fakta-fakta historis
pada masa itu. Budaya pop pada masa tahun 1990-an bisa dibidik melalui fiksi
seperti Lupus karya Hilman maupun Balada Si Roy karya Gola Gong.
Demikian pula novel-novel Eddy D Iskandar dapat menggambarkan begitu detail
kenyataan-kenyataan pada tahun 1980-an.
Ida Rochani Adi dalam buku berjudul Fiksi
Populer: Teori dan Metode Kajian (2011) berbicara tentang relasi budaya dan
sastra dalam subab “Fiksi Populer dan Budaya (Adi, 2011: 129). Dia
mengkhususkan diri pada fiksi populer sebagai titik tolak menghubungkan dengan
gejala-gejala umum dalam masyarakat. Dikatakan bahwa fiksi tidak bisa
dilepaskan dari latar belakang kultural yang menjadi tempat kelahirannya. Fiksi
akan berisi budaya “orang yang memakai dan mengonsumsinya, begitu juga dalam
pemaknaannya (Adi, 2011: 132).” Sastrawan, dengan begitu, adalah pelaku
kebudayaan yang memiliki kedudukan sama dengan anggota masyarakat lain.
Bedanya, seorang sastrawan adalah pelaku kebudayaan yang rajin mencatat
kebudayaan itu sendiri dalam karya sastra; sebuah catatan yang tidak pernah
bisa ditemukan dalam buku-buku ilmiah tentang pengantar sejarah.
HB Jassin dalam “Tanggungdjawab
Pengarang Djangan Digeserkan pada Masjarakat” menuliskan tentang pentingnya
para sastrawan menghasilkan sebuah karya sastra sebagai cermin realitas sosial.
Tanggungjawab terpentingnya adalah “tidak mendjadi beku ditengah alam jang
tenang” (HB Jassin, 1954: 213). Karena “Seniman jang mempunyai pribadi tidak
tenggelam dalam kehidupan kota jang bergolak (HB Jassin, 1954: 214)”. HB Jassin
menghubungkan karya sastra dengan kebudayaan melalui tanggungjawab pengarang
terhadap hasil kerjanya. Dia berpandangan:
Terdjadinya hasil kesusasteraan jang
berarti ialah dimana ada pertikaan antara pengarang dan dunia sekelilingnja.
Didalam pertikaian ini pengarang hendak memberikan penjelesaian dan
penjelesaian ini boleh berupa sadjak, tjerita pendek, roman atau essay (HB
Jassin, 1954: 214).
HB Jassin bisa saja salah bilamana
membebankan perkembangan kebudayaan di Indonesia melalui tangan pengarang; di
samping fakta bahwa dunia kepengarangan di Indonesia adalah sebuah wilayah tak
terbaca dalam peta anggaran belanja nasional.
Jelas, dialektika dalam pembangunan
kebudayaan nasional itu mestinya dapat ditangkap oleh para penyusun draf UU
jika mereka memanfaatkan karya sastra sebagai alat untuk mendalami kebudayaan
sekaligus menempatkannya sebagai hasil kebudayaan yang strategis. Berdasarkan
kajian dalam teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra,
kebutuhan-kebutuhan strategi kebudayaan dapat dituangkan melalui karya sastra.
Hal itu dilandasi oleh alasan berikut ini:
1. Sifat
karya sastra sebagai media komunikasi akan menjadikan cita-cita yang
dimaklumatkan dalam RUU dengan istilah “komunikasi antarbudaya” bisa tercapai.
Dengan begitu harapan adanya toleransi, penghargaan, dan kehidupan multikultur
sebagaimana yang digagas oleh Nurgiyantoro (2003) bisa mendapatkan manfaatnya.
2. Sifat
karya sastra sebagai mimesis atas realitas aktual memberikan potret yang
realis, dekat, dan aktual bagi masyarakat. Potret tersebut akan menggambarkan
adanya dialektika identitas sebagaimana dikonstruksikan dalam novel-novel
1970-an hingga tahun 2000-an. Mimesis karya sastra akan menjawab
persoalan-persoalan identitas, tawar-menawar dalam area kontestasi, hingga
adnaya dialog yang intensif antarkelompok. Hal itu selama ini tidak tertuang di
dalam RUU. Sastra Indonesia dalam konsepsi mimetik menghasilkan realitas ultim.
Contoh, identitas kebudayaan masa lampau bisa dikenali dalam Sandyakalaning
Majapahit maupun Nagara Krtagama.
3. Sifat
karya sastra sebagai karya imajinatif secara langsung menjadikan karya sastra
adalah hasil kebudayaan dalam bentuk gagasan imajinatif. Contoh karya yang
mencerminkan hal imajinatif adalah Ziarah karya Iwan Simatupang. Dia
memberikan inspirasi bagi masyarakat tentang faham-faham liberalisme dan
eksitensialisme sebagaimana diungkapkan dalam penetian Okke KS Zaimar. Sifat
imajinatif yang melekat dalam karya sastra akan menyuguhkan model-model
realitas sosial baru yang bisa dijadikan sebagai pembentukan visi-visi
kebudayaan pada masa depan.
4. Sifat
ekspresif dari karya sastra akan menjadikan pengarang sebagai warga negara yang
memiliki kewajiban mengembangkan kebudayaan nasional. Hal itu selaras dengan
gagasan Suminto A Sayuti dalam pidato pengukuhan guru besar Suminto A Sayuti bertajuk
“Sastra yang Mengugat: Sastra Indonesia Modern dalam Perspektif Sosial-Politik”
(2000) memberikan wawasan tentang pentingnya sastrawan merefleksikan kondisi
sosial politik sebagai sikap kritik terhadap kondisi kultural. Karena itu
“Keberanian seniman untuk mengekspresikan potret masyarakat sebagai bentuk
„bahasa pilihan‟-nya
dengan risiko berhadapan langsung dengan pembungkaman oleh penguasa pada
keseniannya... Hal ini harus dimaknai sebagai upaya budaya yang strategis (Sayuti,
2000).
5. Sifat
pragmatis karya sastra akan menghasilkan institusi ekonomi, sosial, dan
politik. Di situ ada penerbit buku, lembaga kesenian, dan kelompok seni. Karya
sastra akan mennghidupkan apa yang disebut oleh RUU dengan industri kreatif.
Sebab sebuah karya sastra yang terbit akan selalu mengandaikan sebuah komunitas
pembaca tertentu di lingkungan-lingkungan tertentu pula. Dalam hal ini peran
swasta sebagaimana diinginkan oleh Pemerintah dalam pengembangan kebudayaan
Indonesia bisa optimal.
Berdasarkan penjabaran di atas,
sifat-sifat alamiah karya sastra secara singkat dapat dijelaskan sebagai
berikut: Sifat media komunikasi untuk simbol kultural, gagasan imajinatif untuk
inspirasi, ekspresi pengarang yang memikul tanggungjawab dialektika kebudayaan,
mimesis untuk realitas kultural yang sedang telah dan akan berlangsung, dan
pragmatis-ekonomis dalam lingkungan sosial. Fungsi-fungsi di atas memberikan
implikasi terhadap konsep-konsep dasar penyusunan peraturan perundang-undangan.
Sebagai contoh, ketika karya sastra
memuat simbol-simbol kultural maka simbol-simbol itu dapat dijadikan sebagai
konsep dasar untuk menyusun tentang nilai-nilai, identitas, hingga unsur-unsur
fundamental yang bermanfaat pembentukan kebudayaan nasional. Demikian pula sifat-sifat
alamiah yang lain.
Berdasarkan hasil tafsir terhadap karya
sastra, sifat-sifat alamiah karya sastra, dan distribusi unsur kealamiahan
karya yang bermanfaat terhadap konsep perundang-undangan, maka kian jelaslah
sebuah sketsa sistem perundang-undangan yang ideal tentang kebudayaan. RUU
kebudayaan tanpa melibatkan karya sastra sebagai medium dan objek tak ubahnya
menghadirkan zombi di tengah kerumunan. Hidup tapi tak ada denyut nadi, degup
jantung, aliran darah, bahka tanpa roh.
Simpulan
1. Karya
sastra merupakan permodelan realitas sosial yang dibangun oleh pengarang.
Sastra dan budaya dalamn konstruksi logika memiliki hubungan biimplikasi. Hal
itu kongruen dengan subjek yang menafsirkan realitas sosial berdasarkan
pandangan hidupnya. Dengan begitu, oleh sebab pengarang dan anggota masyarakat
sama-sama menafsirkan realitas, maka pengarang adalah penafsir yang mencatat
pandangan hidupnya.
2. Budaya
adalah hasil dari proses menafsirkan simbol-simbol yang mewadahi gagasan,
kehendak, dan tindakan kelompok maupun individu. Budaya memberikan identitas,
pola-pola tertentu dalam praktik sosial, hingga ideologi-ideologi untuk
membangun masa depan.
3. Pengarang
adalah pencatat perubahan-perubahan kebudayaan dari masa ke masa. Dia memotret,
merefleksikan, membangun ulang, dan menjadikan karya sastra sebagai pesan-pessan
kultural pada masa itu.
4. Berdasarkan
hipotesis tentang karya sastra, budaya, dan pengarang, maka konsepsi kebudayaan
merupakan perpanjangan dari konsepsi pandangan dunia dalam karya sastra.
5. Naskah
Akademik untuk memunculkan RUU Kebudayaan mengabaikan karya sastra. Naskah
tersebut memiliki kekurangan referensial dalam hal pencarian unsur-unsur dasar
sebagai bagian dari identitas kebudayaan nasional.
6. Lemahnya
Naskah Akademik berimplikasi terhadap kaburnya pemahaman dasar tentang konsepsi
yang disebut dengan kebudayan nasional.
7. Karena
naskah akademik mengabaikan makna dalam karya sastra maka RUU kebudayaan tidak
mengakomodasi karya sastra Indonesia sebagai unsur terpenting dalam
melestarikan, mengembangkan, dan memanfaatkan kebudayaan nasional. Relasi
bahasa dan seni dalam ayat-ayat tersebut hanya memberikan penjelasan-penjelasan
umum yang sudah diatur di dalam sistem perundang-undangan lain sehingga RUU
Kebudayaan seperti macan kertas.
Saran
1. Dalam
pertimbangan penyusunan Naskah Akademik sebagai dasar penyusunan RUU mestinya
menjadikan karya sastra sebagai sumber referensi penting untuk menemukan
identitas, nilai-nilai yang telah, sedang, dan akan berubah.
2. RUU
seharusnya mencantumkan karya sastra sebagai media sekaligus sebagai hasil yang
perlu mendapatkan perhatian dalam pengembangan kebudayaan.
3. Pencatumkan
klausul tentang karya sastra haruslah berada dalam bingkai konsepsi pelestarian
kebudayaan nasional yang sudah, sedang, dan akan berlangsung.
Universitas Negeri Jakarta, 31 Juli
2013.
Daftar
Pustaka
Adi, Ida
Rochani. 2011. Fiksi Populer: Teori dan Metode Kajian. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ember, Carol R.
2006. “Konsep Kebudayaan” dalam T Ohromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya.
Halaman 13-33. Jakarta: Yayasan Obor.
Hirata, Andrea.
2005. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Jassin, HB.
1954. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay. Jakata:
Gunung Agung.
Koentjaraningrat.
1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Miller, J.
Hillis. On Literature: Aspek Kajian Sastra. Terjemahan Indonesia Bethari
Anissa Ismayasari. Yogyakarta: Jalasutra.
Nurgiyantoro,
Burhan. 2003. “Belajar Multikulturalisme pada Bahasa dan Sastra Indonesia”.
Pidato Pengukuhan Guru Besar pada 11 Oktober 2003. Yogyakarta: Universitas
Negeri Yogyakarta.
Rohman, Saifur.
2002. Alegori Indonesia: Tegangan Kedaerahan dan Kesejagatan dalam Kritik
Sastra. Yogyakarta: Cipta Adi Pustaka.
_____________.
2013. Pengantar Metodologi Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Rohman, Saifur
dan Sri Suhita. 2013. “Kontribusi Sastra Lokal”. Prosiding Seminar
Internasional. Bandung: Balai Bahasa. 17
Ryan, Michael. 2011. Teori Sastra: Sebuah Pengantar
Praktis. Terjemahan Indonesia oleh Bethari Anissa Ismayasari. Yogyakarta:
Jalasutra.
Sayuti, Suminto
A. “Sastra yang Menggugat: Sastra Indonesia Modern dalam Perspektif
Sosial-Politik”. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada 5 Agustus 2000. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Suprayitno.
2001. Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia. Yogyakarta: Tarawang.
Naskah
Sumber
Naskah Rancangan
Undang-Undang Kebudayaan 2012
Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekayaan Negara atas Budaya. Diunduh dari
Http://gedeyenuyani.blogspot.com/2012/02/rancangan-undang-undang-kekayaan-budaya.html?m=1.
Kamis, 16 Februari 2012
Peraturan
Perundang-undangan
UUD 1945
Amandemen Keempat
Undang-Undang No
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang
Republik Indonesia No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Peraturan
Bersama Mendagri dan Menbudpar No 42 tahun 2009 tentang Pedoman Pelestarian
Kebudayaan.
Peraturan
Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri kebudayaan dan pariwisata Nomor 43
Tahun 2009 dan Nomor 41 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 tentang pedoman Fasilitasi Organisasi
kemasyarakatan Bidang Kebudayaan Keraton dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan
Pengembangan Budaya Daerah.
Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah
dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah.
Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2007 tentang Pedoman Pelestarian dan
Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat.
Peraturan Menteri
Kebudyaaan dan Pariwisata Nomor PM.45/001/MKP/2009 tentang Pedoman Permuseuman.
Peraturan
Menteri kebudyaaan dan Pariwisata Nomor PM.47/UM001/MKP/2009 tentang Pedoman
Pemetaan Sejarah.
Peraturan
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.40/UM.001/MKP/2009 tentang Pedoman
Pelestarian Benda Cagar Budaya dan Situs.
Laman
Http://www.ui.ac.id/”Focus
Group Discussion Rancangan Undang-Undang Kebudayaan RI”. Diunduh tanggal 6 Juni
2013.
Http://www.bisnis-kti.com/index.php/2013/02/wow-anggota-dpr-kunjungi-3-negara-susun-ruu-kebudayaan-dan-perbukuan/
Http://kbbi.web.id/Tanggal
20 Juli 2011.
Saifur Rohman menamatkan S3 Ilmu
Filsafat UGM tahun 2009, S2 Ilmu Susastra UI tahun 2002, S2 Ilmu Psikologi
Unika tahun 2011, dan S1 Ilmu Sastra Undip tahun 1999.
Tulisan
ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya,
28—31 Oktober 2013 yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar