OLEH Ida Bagus Putrayasa
Universitas
Penddikan Ganesha
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter bangsa dalam pembelajaran
apresiasi sastra. Penelitian ini dilakukan pada siswa SMP Widya Sakti Denpasar
melalui pembelajaran apresiasi sastra.Metode yang digunakan untuk mengumpulkan
data adalah dokumentasi, observasi, dan wawancara.
Metode dokumentasi digunakan untuk
mengumpulkan data tentang materi sastra yang diajarkan dalam pembelajaran
apresiasi sastra. Metode observasi dan wawancara digunakan untuk mengumpulkan
data tentang proses pembelajaran yang berlangsung di SMP Widya Sakti Denpasar.
Data yang terkumpul dianalisis dengan
deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) materi
pembelajaran apresiasi sastra secara umum sudah mengandung pendidikan
nilai/karakter bangsa, (2) Pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra sudah
mengarah pada penanaman pendidikan nilai/karakter bangsa.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa materi sastra yang digunakan dalam pembelajaran
apresiasi sastra sudah mengandung pendidikan nilai/karakter bangsa. Bertolak
dari simpulan tersebut, dapat disarankan kepada guru pengajar bahasa dan sastra
Indonesia agar dalam pembelajaran selalu menanamkan pendidikan nilai/karakter
bangsa demi mempererat tali persaudaraan, dan dalam lingkup yang lebih luas
memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kata-kata
kunci: sastra, pendidikan nilai/karakter
Pendahuluan
Era kesejagatan melahirkan sikap dan
tindakan kompetitif yang semakin tinggi dan patut kita miliki. Namun, sering
dilakukan dengan prinsip survival of the fittest, siapa kuat dia yang
menang, menghalalkan segala macam cara, memarginalkan sifat-sifat humanistik
yang etis dan estetis. Pola pikir dan perilaku demikian dapat memperlemah
nilai-nilai sosial budaya, seperti gotong royong, kebersamaan, kekeluargaan,
toleransi, dan lain-lainnya, yang merupakan perekat masyarakat peguyuban dan
bangsa Indonesia yang multikultur dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Selain itu, pemahaman, kesadaran, dan komitmen untuk mengamalkan
Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara tampak makin melemah.
Jika semua gejala tersebut di atas
dibiarkan terus berlanjut, tidak mustahil akan menjurus pada goyahnya keutuhan
NKRI dan kehancuran bangsa. Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi yang serius
dan berkelanjutan. Masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda perlu
memperkokoh jati dirinya sehingga tidak terpengaruh oleh berbagai budaya yang tidak
sesuai dengan kepribadian bangsa. Di sinilah letak peran strategis pendidikan
untuk memecahkan masalah konflik sosial, baik yang tersembunyi maupun yang
nyata terjadi di masyarakat.
Melalui pendidikan, peradaban sebuah
masyarakat bisa terbentuk, bahkan disebut-sebut sebagai agent of change (Rohinah,
2011:8). Dari institusi pendidikan, diharapkan dapat dibentuk manusia-manusia
yang berjiwa luhur, berperikemanusiaan, tidak merampas hak orang lain, jujur,
dan mandiri. Pendek kata, institusi pendidikan diharapkan mampu menumbuhkan
jiwa-jiwa kebaikan pada setiap manusia.
Dalam realita pendidikan Indonesia
kontemporer, pengaruh globalisasi membangun peran ambivalen terhadap hakikat
autentik pendidikan. Fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab –sebagaimana termaktub
dalam pasal 3 UU Sisdiknas– (nyaris) hanya menjadi slogan ketika kultur sosial
masyarakat dinilai tidak cukup kondusif dalam mendukung terciptanya atmosfer
pendidikan yang nyaman dan mencerahkan. Orientasi pendidikan dikacaukan oleh
prioritas melayani persaingan global ketimbang memelihara harmoni lokal.
Menghadapi era kesejagatan yang serba
kompetitif dan berdaya saing tinggi, institusi pendidikan diharapkan
benar-benar mampu mengoptimalkan fungsinya sebagai pusat pendidikan nilai yang
tidak hanya berbasiskan ranah kognitif-psikomotorik, tetapi juga ranah afektif
yang berorientasi pada pembentukan watak dan kepribadian siswa. Dengan demikian,
keluaran pendidikan tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas
secara emosional, spiritual, dan sosial, sehingga kelak mampu bersaing di
tengah-tengah arus global secara arif, matang, dan dewasa.
Era kesejagatan bukannya untuk dihindari,
kita justru dituntut dan ditantang untuk berani/menyambutnya tanpa harus
kehilangan jati diri. IPTEKS harus dikuasi dan ditundukkan, sehingga kita tetap
memiliki integritas yang bersumber dari akar budaya bangsa. Jati diri bangsa
seperti ini harus dibina sejak dini dan berlanjut sepanjang hayat melalui
proses pendidikan nasional, baik secara formal, nonformal, maupun informal,
yang berorientasi pada dinamika IPTEKS yang diintegrasikan dengan budaya lokal
/ budaya bangsa yang relevan.
Hal tersebut sesuai dengan
Undang-Undang No.20/2003 yang pada Pasal 3 disebutkan bahwa“Pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung
jawab”.
Menyimak apa yang diamanatkan oleh UU
No. 20 tahun 2003 tersebut, jelas terkandung makna bahwa pendidikan di negara
kita tidak saja menghasilkan insan bangsa yang cerdas dengan kemampuan IPTEKS
dan kreativitas yang tinggi; namun juga beriman, berakhlak mulia yang dilandasi
nilai-nilai luhur budaya dan kepribadian bangsa, yang tecermin dalam kehidupan
sehari-hari, yang bersumber dari nilai-nilai luhur kearifan lokal dan lokal
genius bangsa.
Yang tidak kalah penting, perlu adanya
terobosan visioner yang bisa mengajak dan menginternalisasikan nilai-nilai
pendidikan sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan psiko-sosial
peserta didik. Karya sastra, agaknya bisa menjadi medium yang strategis untuk
mewujudkan tujuan mulia itu. Melalui karya sastra, anak-anak sejak dini bisa
melakukan olah rasa, olah batin, dan olah budi secara intens sehingga secara
tidak langsung mereka memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses
apresiasi dan berkreasi melalui karya sastra.
Dalam konteks demikian, baiksebagai
media maupunsebagaibahan ajar, sastra memiliki kontribusi penting dalam upaya
melahirkan generasi yang cerdas dan bermoral seperti yang diharapkan. Ini
artinya, mau atau tidak, institusi pendidikan harus memosisikan diri menjadi
“benteng” utama apresiasi sastra melalui pengajaran yang dikelola secara tepat,
serius, dan optimal.
B.P. Situmorang (dalam Sarjono, 2001),
mengatakan bahwa sastra perlu diajarkan kepada para siswa agar mereka mampu
menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk
mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan
pengetahuan dan kemampuan berbahasa.Hal ini dapat memupuk jiwa estetis, jiwa
keindahan, jiwa yang mengandung unsur-unsur moral (etika), untuk mengalihkan
kenakalan remaja serta menyalurkannya ke arah yang lebih positif melalui
apresiasi sastra.
Hal yang dikemukakan di atas ternyata
sangat relevan dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yang tertuang pada
standar isi (Permendiknas Nomor 22/2006) nomor lima dan enam sebagai berikut:
(5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa, (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah
budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Dalam mengikuti perkembangan usia
remaja, perlu disadari bahwa usia siswa sekolah menengah pertama (SMP) yang
berkisar antara 11 sampai 16 tahun adalah masa-masa sulit bagi mereka dalam
mengendalikan emosinya. Seperti yang dikatakan Piaget (dalamWinarto,2011),
masa-masa seperti itu sebagai masa peralihan, yang mengubah seseorang dari usia
anak-anak menjadi usia dewasa.
Sebagai peserta didik yang masih berada
pada masa peralihan, para siswa SMP perlu mendapat asupan ”vitamin” bagi
pertumbuhan jiwanya. Salah satu pengajaran yang dapat disisipi vitamin itu
adalah pengajaran sastra.
Untuk memfilter dampak negatif kekuatan
global yang telah merasuki gaya hidup masyarakat Indonesia, termasuk siswa SMP,
yang sedang berada pada masa transisi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) mengisyaratkan agar pembelajaran dikaitkan dengan lingkungan sosial dan
budaya di sekitar peserta didik. Pada fase ini sangatlah strategis apabila
enkulturasi dan pembelajaran sastra yang berbasis kearifan lokal pada siswa SMP
ini dilakukan secara fokus dan intensif.
Melalui teknik ini secara langsung
dapat ditanamkan nilai-nilai kearifan lokal sebagai nurturant effect.
Integrasi budaya dan potensi lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi
pembentukan karakter dan identitas. Permasalahan pokok yang dikaji dalam
tulisan ini adalah: “Bagaimana sastra dapat dimanfaatkan sebgai media
pendidikan nilai/karakter bangsa?”
Agar sastra dapat dimanfaatkan sebagai
media pendidikan nilai/karakter, maka sastra tidak bisa dilepaskan dari
aspekpembelajaran. Oleh karena itu, permasalahan pokok di atas dapat dirinci
menjadi subpermasalahan berikut: (1) Bagaimanakah perencanaan pembelajaran
apresiasi sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter di SMP Widya Sakti
Denpasar? (2) Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra sebagai
media pendidikan nilai/karakter di SMP Widya Sakti Denpasar? dan (3)
Bagaimanakah evaluasi pembelajaran apresiasi sastra sebagai media pendidikan
nilai/karakter di SMP Widya Sakti Denpasar?
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan rancangan deskriptif-kualitatif. Rancangan yang bersifat
deskriptif-kualitatif bermaksud menggambarkan sesuatu apa adanya dengan
menggunakan kata-kata. Dalam hal ini yang dideskripsikan adalah “bagaimana
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran apresiasi sastra sebagai
media pendidikan nilai/karakter di SMP Widya Sakti Denpasar”.
Subjek dalam penelitian ini adalah guru
bahasa Indonesia di SMP Widya Sakti Denpasar yang berjumlah 3 orang, yaitu
masing-masing satu orang guru kelas VII, satu orang guru kelas VIII, dan satu
orang guru kelas IX. Dipilihnya subjek ini karena gurulah yang mempunyai peran
dalam sebagian besar kegiatan pembelajaran, baik dalam merencanakan,
melaksanakan, maupun mengevaluasi hasil pembelajaran. Objek penelitian secara
umum adalah pembelajaran apresiasi sastra sebagai media pendidikan
nilai/karakter di SMP Widya Sakti Denpasar.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian
ini adalah data tentang perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan
evaluasi pembelajaran apresiasi sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter
di SMP Widya Sakti Denpasar. Masing-masing data tersebut dikumpulkan dengan:
(1) metode dokumentasi, (2) metode observasi, dan (3) metode wawancara. Data
yang telah terkumpul dianalisis dengan analisis deskriptif kualitatif.
Hasil dan Pembahasan
Perencanaan Pembelajaran Apresiasi
Sastra sebagai Media Pendidikan Nilai/Karakter
Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru
bahasa Indonesia di SMP Widya Sakti Denpasar sudah menyusun rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) secara lengkap dan sistematis. RPP ini disusun dengan tujuan
agar pembelajaran dapat berlangsung secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif.
Di samping itu, RPP memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan per-kembangan fisik serta
psikologis peserta didik. Hal ini sesuai dengan PP No. 19/2005 dan diperkuat
dengan Permendiknas No. 41/2007 tentang Standar Proses, yang antara lain
mengatur tentang perencanaan proses pembelajaran yang mensyaratkan bagi
pendidik pada satuan pendidikan untuk mengembangkan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) RPP apresiasi sastra yang dirancang guru bahasa Indonesia sudah
disesuaikan dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), khususnya
silabus yang menjadi acuan utama dalam penyusunan rencana pelaksanaan
pembelajaran. Penyusunan rencana pembelajaran ini juga tidak mengesampingkan
kondisi sekolah, lingkungan, kebutuhan, dan karakteristik peserta didik. RPP
dijabarkan dari silabus untuk me-ngarahkan kegiatan belajar peserta didik dalam
upaya mencapai kompetensi dasar.
RPP yang disusun guru memuat identitas
RPP, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, alokasi waktu, tujuan
pembelajaran, materi, metode, kegiatan pembelajaran, sumber dan media
pembelajaran, serta penilaian. RPP disusun untuk setiap KD yang dapat
dilaksanakan dalam satu atau dua kali pertemuan. Hal ini se-jalan dengan
pendapat Isdisusilo (2012:29) yang menyatakan bahwa langkah-langkah minimal
dari penyusunan RPP dimulai dari mencantumkan identitas RPP, tujuan
pem-belajaran, materi pembelajaran, metode, langkah-langkah kegiatan
pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian. Setiap komponen mempunyai arah
pengembangan masing-masing, namun semua merupakan satu kesatuan.
Di samping itu, hal ini juga senada
dengan Permendiknas No. 41/2007 yang menyebutkan bahwa RPP dijabarkan dari
silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai
kompetensi dasar. RPP yang disusun guru memuat identitas RPP, standar
kom-petensi, kompetensi dasar, indikator, alokasi waktu, tujuan pembelajaran,
materi, metode, kegiatan pembelajaran, sumber dan media pembelajaran, serta
penilaian. RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu atau
dua kali per-temuan.
Terkait dengan pengintegrasian
nilai-nilai kearifan lokal (terutama sastra sebagai media pendidikan
nilai/karakter) dalam pembelajaran apresiasi sastra, beberapa komponen RPP di kelas
VII dan VIII tidak menampakkan adanya hal tersebut. Komponen yang dimaksud
adalah rumusan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, tujuan
pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran yang meliputi tahap pendahuluan dan
penutup, serta pada bagian evaluasi. Tidak diintegrasikannya nilai-nilai
kearifan lokal ke dalam rumusan standar kompetensi, kompetensi dasar,
indikator, dan tujuan pembelajaran karena rumusan itu langsung dikutip dari
silabus mata pelajaran. Sementara itu, dalam langkah-langkah pembelajaran yang
meliputi tahap pendahuluan dan penutup, serta pada bagian evaluasi
pengintegrasian nilai kearifan lokal tidak dilakukan oleh guru. Semestinya, RPP
dirancang agar muatan maupun semua tahap kegiatan pembelajaran apresiasi sastra
memfasilitasi pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ahmadi
(2012) yang menyatakan bahwa proses integrasi nilai-nilai kearifan lokal ke
dalam pembelajaran tentunya guru harus menyesuaikan dengan lingkungan, tingkat
perkembangan anak, materi / mata pelajaran yang disampaikan, dan metode
pembelajaran yang digunakan. Lebih lanjut dikatakan pula bahwa RPP perlu
dirancang agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai kearifan lokal
sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya
melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan
selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri.
Dengan pendapat ini bisa dimaknai bahwa
dari rancangan pembelajaran yang disusun guru bisa menciptakan pembelajaran
apresiasi yang memberikan kesempatan pada peserta didik untuk belajar melalui
proses berpikir, bersikap, dan berbuat.
Terkait dengan pengintegrasian
nilai-nilai kearifan lokal ke dalam perencanaan pembelajaran juga disampaikan oleh
Isdisusilo (2012:146)yang menyatakan bahwa: pada tahap perencanaan, silabus dan
RPP dirancang agar muatan maupun kegiatan pembelajarannya memfasilitasi untuk
mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal. Caranya dengan mengadaptasi
silabus yang telah ada dengan menambahkan satu kolom dalam silabus untuk
mewadahi nilai-nilai kearifan yang akan diintegrasikan. Sedangkan cara menyusun
RPP yang terintegrasi dengan nilai-nilai kearifan adalah dengan mengadaptasi
RPP yang sudah ada dengan menambahkan nilai-nilai kearifan pada materi,
mengembangkan langkah-langkah pembelajaran yang memungkinkan peserta didik
memiliki kesempatan melakukan integrasi nilai dan menunjukkannya dalam
perilaku, atau dengan mengembangkannya melalui penilaian.
Pengintegrasian
nilai-nilai kearifan lokal dalam RPP kelas IX tampak pada ba-gian rumusan
kompetensi dasar, indikator pembelajaran, tujuan, materi, kegiatan inti,
pemilihan media, dan penilaian hasil pembelajaran. Secara operasional pada
bagian materi pembelajaran sudah disebutkan nilai-nilai kearifan lokal yang
dimaksudkan seperti: nilai moral atau keagamaan, nilai kemanusiaan atau sosial,
nilai etika atau susila, nilai estetika atau keindahan. Pengintegrasian ini
dilakukan sesuai dengan pendapat Ahmadi (2012:51) yang menyatakan bahwa proses
integrasi nilai-nilai kearifan lokal yang menyatakan bahwa proses integrasi
nilai-nilai kearifan lokal ke dalam pembelajaran tentunya guru harus
menyesuaikan dengan lingkungan, tingkat perkembangan anak, materi / mata
pelajaran yang disampaikan, dan metode pembelajaran yang digunakan. Pendapat di
atas dipertegas lagi oleh B.P. Situmorang (dalam Agus R.Sarjono, 2001), yang
mengatakan bahwa pengajaran sastra perlu diajarkan kepada para siswa agar
mereka mampu menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra
untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Hal ini dapat memupuk jiwa
estetis, jiwa keindahan, jiwa yang mengandung unsur-unsur kearifan moral
(etika), untuk mengalihkan kenakalan remaja serta menyalurkannya ke arah yang
lebih positif melalui apresiasi sastra.
Pelaksanaan Pembelajaran Apresiasi
Sastra sebagai Media Pendidikan Nilai/Karakter
Pengintegrasian nilai-nilai kearifan
lokal (terutama sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter) diaplikasikan
pada semua tahapan pembelajaran, tidak hanya melalui materi pelajaran, tetapi
mewarnai hampir keseluruhan aktivitas dan kehidupan sekolah di SMP Widya Sakti
Denpasar. Hal ini sudah tampak dari awal guru masuk kelas, tahap awal
pembelajaran sampai tahap akhir pembelajaran. Nilai kearifan ini tidak
diajarkan secara khusus, tetapi diintegrasikan atau dikembangkan melalui materi
pembelajaran apresiasi sastra. Nilai-nilai kearifan lokal ini seutuhnya digali
dari konteks pembelajaran berdasarkan pengalaman nyata siswa. Hal ini sangat
penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi bernilai kearifan dengan
kehidupan nyata, bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional.
Nilai-nilai kearifan (sastra) itu akan tertanam erat dalam memori siswa
sehingga menjadi pembentuk karakter. Semua hal tersebut sesuai dengan pendapat
Isdisusilo (2012:145) yang menyatakan bahwa,
proses pengembangan nilai-nilai
merupakan sebuah proses yang panjang dan berkelanjutan dimulai dari awal
peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Materi tentang
nilai-nilai bukanlah bahan ajar biasa. Arti-nya, nilai-nilai tersebut tidak
dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan
suatu konsep, teori, prosedur, atau pun fakta dalam mata pelajaran agama,
bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS, dan sebagainya.
Dengan demikian, nilai-nilai kearifan
lokal diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran. Pengintegrasian ke dalam
pembelajaran bisa melalui materi, metode, maupun penilaian. Dalam pelaksanaan
pembelajaran di kelas, guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada,
tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai
kearifan. Demikian pula guru tidak harus mengembangkan proses belajar khusus
untuk mengembangkan nilai.
Nilai-nilai kearifan yang tampak
diintegrasikan dalam keseluruhan proses pem-belajaran apresiasi sastra lebih
banyak nilai sosial. Nilai-nilai sosial dipedomani agar siswa manjadi manusia
yang arif dan bijaksana. Sebagai contoh, nilai harmoni atas dasar etika moral,
kedisiplinan, santun, peduli, spiritual, religius, tri hita karana (sebagai
konsep harmonisnya hubungan antarsesama siswa, siswa dengan Tuhan, dan siswa
dengan lingkungan), tat twamasi yang mengandung prisip kebersamaan dan
kesetaraan, tidak egois/nyapa kadi aku, kepatuhan, pengendalian kama atau
nafsu dalam diri, catur purusa arta, karma pala, subha, asubha karma,
rua bhineda, dan gotong royong, tri kaya parisudha, hormat pada
orang tua/suputra, tidak menuruti kemarahan/kroda, kebenaran, kesetiaan,
kepemimpinan/asta brata, asuri sampad, paras-paros, bakti pada
catur guru, mulat sarira, kesusilaan, dan toleransi. Di sam-ping itu,
dikembangkan pula nilai-nilai budaya dan pendidikan.
Nilai kearifan lokal (terutama sastra
sebagai media pendidikan nilai/karakter) dikembangkan, dieksplisitkan,
dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari melalui pembelajaran apresiasi
sastra. Dengan demikian pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal tidak hanya
pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengalaman nyata
dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Terbukti bahwa dengan pengintegrasian
nilai-nilai kearifan lokal (terutama sastra) membuat pembelajaran menjadi lebih
menarik dan bermakna secara fungsional bagi siswa. Melalui keterangan guru juga
diperoleh informasi bahwa pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal ke dalam
pembelajaran terbukti dapat meningkatkan gairah siswa untuk berpikir dan
menghayati pesan atau nilai-nilai kearifan yang disampaikan karena mereka
langsung terlibat, baik secara fisik maupun psikis. Pengalaman siswa menjadi
lebih konkret, pesan yang ingin disampaikan benar-benar dapat mencapai sasaran
dan tujuan yang ingin dicapai.
Pengembangan nilai-nilai kearifan ini
memerlukan upaya pengondisian sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk
memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai-nilai tersebut. Upaya ini bisa
dilihat dari salah satu metode pembelajaran yang digunakan guru, yaitu metode
bermain peran.
Melalui metode ini guru dapat
mendekatkan siswa dengan kondisi yang sebenarnya. Secara tidak langsung
permainan peran ini sekaligus juga dapat digunakan guru sebagai media.
Penampilan kelompok siswa di depan kelas melalui bermain peran dapat
menghasilkan keseragaman pengamatan, dapat menanamkan konsep dasar yang benar,
nyata, dan tepat, dapat memberikan pengalaman yang menyeluruh dari hal-hal yang
konkret sampai abstrak.
Kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran dengan menggunakan variasi metode seperti ceramah, tanya jawab,
diskusi, inkuiri, bermain peran, penugasan, dan unjuk keja tampak dilakukan
dengan baik dan tepat untuk memberdayakan potensi peserta didik. Metode
pembelajaran aktif tampak digunakan oleh guru dalam pengintegrasian nilai-nilai
kearifan lokal terkait pembelajaran apresiasi sastra. Proses pembelajaran dilakukan
dengan mengutamakan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered)
dalam bingkai model dan strategi pembelajaran aktif (active learning), ditopang
oleh peran guru sebagai fasilitator belajar. Peserta didik tidak hanya terpaku
di tempat duduk, bisa berpindah-pindah untuk membangun kerja kelompok dan dalam
waktu yang singkat membuat mereka berpikir tentang materi pelajaran.
Hal ini sejalan dengan pendapat
Isdisusilo (2012:145) yang menyatakan bahwa penggunaan metode pembelajaran
aktif dan menyenangkan digunakan dalam proses pendidikan nilai-nilai. Hal ini
dikarenakan pada prinsipnya proses pendidikan nilai-nilai dilakukan oleh
peserta didik, bukan oleh guru. Proses pembelajaran dila-kukan dalam suasana
belajar yang menimbulkan rasa menyenangkan.
Secara umum, guru telah melakukan
seluruh rangkaian kegiatan pembelajaran sesuai dengan ketentuan Permendiknas
Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah yang meliputi kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup.
Kegiatan pendahuluan dilakukan guru
dengan melaksanakan apersepsi, yaitu dengan menghubungkan materi pelajaran yang
telah dimiliki siswa dengan materi yang akan dipelajari dan tidak
mengesampingkan motivasi belajar siswa. Kegiatan ini dilanjutkan dengan penyampaian
tujuan pembelajaran. Kegiatan inti pembelajaran dilakukan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif dalam
keseluruhan proses pembelajaran. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan
sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
Apabila dilihat dari aktivitas guru dan
siswa selama kegiatan belajar-mengajar apresiasi sastra, maka keseluruhan
aktivitas guru dan siswa menunjukkan pembelajaran yang berorientasi pendekatan
keterampilan proses dalam seting pembelajaran kooperatif yang berpusat pada
siswa. Siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil, sehingga melatih
mereka untuk mampu menginternalisasi nilai-nilai kearifan lokal seperti
menerima perbedaan pendapat, menghargai pendapat orang lain, dan bekerja dengan
teman yang berbeda latar belakangnya.
Kegiatan penutup dilakukan guru bersama
siswa dengan merangkum pembelajaran, guru memberikan evaluasi kepada siswa,
bersama-sama melakukan refleksi, guru melakukan tindak lanjut dalam bentuk
pemberian tugas kelompok, dan penyampaian rencana pembelajaran pada pertemuan
berikutnya.
Evaluasi Pembelajaran Apresiasi Sastra
sebagai MediaPendidikan Nilai/Karakter
Sebelum evaluasi dilaksanakan, guru
terlebih dahulu menyusun perencanaan evaluasi. Hal ini dimaksudkan agar
evaluasi memiliki akurasi dan ketepatan untuk mengukur hasil pembelajaran.
Perencanaan ini menyangkut pemilihan atau penentuan teknik yang akan
dipergunakan dalam evaluasi.
Setiap teknik penilaian dibuatkan
in-strumen penilaian yang disesuaikan dengan indikator pencapaian
kompetensi.Teknik evaluasi yang digunakan guru adalah tes tulis, tes
praktik/kinerja, penugasan ke-lompok dan pengamatan atau observasi. Instrumen
evaluasinya berupa butir-butir soal dan pedoman pengamatan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Sudijono (2011:59) yang menyatakan bahwa,
sebelum evaluasi dilaksanakan, terlebih
dahulu guru harus menyusun perencanaannya secara baik dan matang. Perencanaan
evaluasi ini mencakup kegiatan:1) merumuskan tujuan evaluasi, 2) menetapkan
aspek-aspek yang akan dievaluasi, 3) memilih dan menentukan teknik yang akan
dipergunakan dalam pelaksanaan evaluasi, 4) menyusun alat pengukur yang akan
digunakan dalam pengukuran dan penilaian hasil belajar peserta didik, dan 5)
menentukan tolok ukur, norma atau kriteria yang akan dijadikan pegangan atau
patokan dalam memberikan interpretasi terhadap data hasil evaluasi.
Permendiknas No. 22 Tahun 2006
menyatakan bahwa Standar Isi (SI) untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai
kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Di dalam
SI dijelaskan bahwa kegiatan pembelajaran dalam KTSP meliputi tatap muka,
penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Tatap muka
adalah pertemuan formal antara pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran di
kelas. Penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur adalah
kegiatan pembelajaran berupa pendalaman materi pembelajaran oleh peserta didik
yang dirancang oleh pendidik untuk mencapai standar kompetensi.
Waktu penyelesaian penugasan
terstruktur ditentukan oleh pendidik, sedangkan waktu penyelesaian kegiatan
mandiri tidak terstruktur diatur sendiri oleh peserta didik. Sejalan dengan
ketentuan tersebut, evaluasi pembelajaran apresiasi sastra sudah dirancang guru
di SMP Widya Sakti Denpasar untuk dapat mengukur dan memberikan informasi
mengenai pencapaian kompetensi peserta didik yang diperoleh melalui kegiatan
tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur.
Hasil pembelajaran apresiasi sastra
terkait dengan pemahaman peserta didik terhadap nilai-nilai kearifan lokal
diketahui dengan melakukan pengukuran secara ti-dak langsung. Pengukuran tidak
langsung ini dilakukan melalui indikator-indikator atau gejala-gejala yang
menunjukkan bahwa peserta didik menampakkan perilaku yang mencerminkan
pencapaian kompetensi pembelajaran apresiasi sastra sesuai dengan tujuan
evaluasi, seperti mampu menunjukkan relevansi nilai-nilai kearifan yang
terdapat dalam karya sastra dengan nilai-nilai kehidupan siswa secara nyata.
Evaluasi terhadap kompetensi apresiasi sastra terdiri atas evaluasi proses,
sikap, dan hasil pembelajaran. Dalam setiap kegiatan evaluasi, baik evaluasi
proses maupun hasil belajar, aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, selalu
menjadi sasaran.
Evaluasi terhadap pengembangan
nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran apresiasi sastra, berlangsung
sejalan dengan proses pembelajaran melalui peng-amatan atas sikap dan tanggapan
atau respons siswa. Evaluasi tersebut dilakukan dengan cara menciptakan kondisi
dan suasana pembelajaran agar bentuk kreativitas yang menampakkan perilaku
peserta didik mampu mengapresiasi secara positif nilai-nilai kearifan melalui
karya sastra bisa teramati. Misalnya dengan meminta siswa menentukan tema
cerpen atau menentukan penokohan cerpen.
Melalui penggambaran tokoh inilah
banyak bisa digali nilai-nilai kearifan terkait dengan bagaimana bersikap atau
bertindak dalam kehidupan. Hal ini juga bisa diamati saat siswa diminta
men-ceritakan pengalaman hidupnya untuk menjadi dasar ide penulisan naskah
drama, memberikan tanggapan tentang nilai-nilai kearifan yang terdapat dalam
teks drama yang berjudul “Jayaprana dan Layonsari”. Semua itu merupakan upaya guru
untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan pemahaman siswa
terhadap nilai-nilai kearifan lokal bisa diamati. Evaluasi hasil dimaksudkan
untuk menda-patkan informasi tentang kemampuan siswa dalam memahami dan menghayati
bebe-rapa produk sastra yang sarat akan nilai-nilai kearifan.
Evaluasi hasil pembelajaran ini
dilakukan dengan menugaskan siswa secara berkelompok untuk melaporkan se-cara
tertulis apa yang ditagih dalam lembar instrumen yang dijabarkan dari indikator
pencapaian kompetensi. Evaluasi sikap berkaitan dengan respons siswa terhadap
pembelajaran. Evaluasi ini bertujuan mengetahui sikap siswa terhadap
pembelajaran yang meliputi aspek partisipasi, motivasi, kerja sama, dan
inisiatif. Evaluasi sikap ini dilakukan oleh guru dengan mengamati sikap siswa
saat proses pembelajaran ber-langsung, kemudian menuliskan hasil pengamatan
pada pedoman observasi yang su-dah disiapkan sebelumnya.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasannya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1. Perencanaan
pembelajaran apresiasi sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter di SMP
Widya Sakti Denpasar secara umum sudah diintegrasikan ke dalam beberapa
komponen RPP. Pada RPP kelas VII dan VIII pengintegrasian tampak pada materi,
langkah inti, dan media pembelajaran. Pada RPP kelas IX pengintegrasian
nilai-nilai kearifan lokal (terutama sastra sebagai media pendidikan
nilai/karakter) tampak pada bagian rumusan kompetensi dasar, indikator
pembelajaran, tujuan, materi, kegiatan inti, pemilihan media, dan penilaian
hasil pembelajaran.
2. Pelaksanaan
pembelajaran apresiasi sastra berbasis kearifan lokal (terutama sastra sebagai
media pendidikan nilai/karakter) di SMP Widya Sakti Denpasar sudah
diintegrasikan ke dalam semua tahapan pembelajaran, baik pada tahap
pendahuluan, inti, maupun penutup.
3. Evaluasi
pembelajaran apresiasi sastra berbasis kearifan lokal (terutama sastra sebagai
media pendidikan nilai/karakter) di SMP Widya Sakti Denpasar berlangsung
sejalan dengan proses pembelajaran melalui pengamatan atas sikap dan tanggapan
atau respons siswa. Evaluasi tersebut dilakukan dengan cara menciptakan kondisi
dan suasana pembelajaran agar bentuk kreativitas yang menampakkan perilaku
peserta didik mampu mengapresiasi secara positif nilai-nilai kearifan melalui
karya sastra bisa teramati.
Saran
Berdasarkan simpulan yang dipaparkan di
atas, dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut. (1) Dalam penyusunan
perencanaan pembelajaran (RPP) apresiasi sastra, baik di kelas VII, VIII,
maupun IX, hendaknya guru memanfaatkan sastra sebagai media pendidikan
nilai/karakter yang diintegrasikan pada seluruh komponen RPP, (2) Dalam
pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra berbasis kearifan lokal (terutama
sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter), guru-guru hendaknya
mengintegrasikannya ke dalam semua tahapan pembelajaran, baik pada tahap
pendahuluan, inti, maupun penutup. (3) Evaluasi pembelajaran apresiasi sastra
berbasis kearifan lokal (terutama sastra sebagai media pendidikan
nilai/karakter) hendaknya dilakukan pada hasil dan proses. Pada hasil dilakukan
melalui pemberian tugas menganalisis sebuah karya sastra yang di dalamnya
terkandung pendidikan nilai/karakter, sedangkan pada proses dilakukan melalui
pengamatan atas sikap dan respons siswa dalam mengapresiasi karya-karya sastra
sebagai medianya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi,
dkk. 2012. Mengembangkan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dalam KTSP.
Jakarta: Prestasi Pustaka.
Ardana,
Gede. 2007. Pemberdayaan Kearifan Lokal Masyarakat Bali dalam Menghadapi
Budaya Global. Denpa-sar: Pustaka Tarukan Agung.
Isdisusilo.
2012. Panduan Lengkap Menyu-sun Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.
Kata Pena.
Mulyani,
Mimi. 2012. Model Pembelajaran Menulis Berbasis Kearifan Lokal yang
berorientasi Pendidikan KarakterStudi
Kuasi Eksperimen pada Siswa SMPN 2 Kelas VII, Windusari, Magelang. Semarang: FBS Universitas Negeri
Semarang.
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar
Penilaian Pendi-dikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah.
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar
Proses. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah.
Rohinah.
2011. Restorasi Pendidikan. Yogyakarta: Pilar Media.
Saini
K.M. 2005.”Kearifan Lokal di Arus Global”.dalam Pikiran Rakyat, Edisi 30
Juli 2005.
Sarjono,
Agus R. 2001. Parade Budaya dalam Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Sartini.2006.
Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. http://filsafat.ugm.ac.id,diakses
tanggal 13 Maret 2012.
Sudijono,
Prof. Drs. Anas. 2011. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Suja,
I Wayan, 2010.Kearifan Lokal Sains Asli Bali.Surabaya : Paramita.
Udayana,
I Dewa Gede Alit. 2010. Pesan-Pesan Kebijaksanaan Bali Klasik.
Den-pasar: Pustaka Bali Post.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasi-onal(Sisdiknas). Jakarta: Fokus Media.
Tulisan
ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya,
28—31 Oktober 2013 yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar