Jumat, 10 April 2015

Sastra sebagai Media Pendidikan Nilai/Karakter Bangsa

OLEH Ida Bagus Putrayasa
Universitas Penddikan Ganesha
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter bangsa dalam pembelajaran apresiasi sastra. Penelitian ini dilakukan pada siswa SMP Widya Sakti Denpasar melalui pembelajaran apresiasi sastra.Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dokumentasi, observasi, dan wawancara.

Metode dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data tentang materi sastra yang diajarkan dalam pembelajaran apresiasi sastra. Metode observasi dan wawancara digunakan untuk mengumpulkan data tentang proses pembelajaran yang berlangsung di SMP Widya Sakti Denpasar.
Data yang terkumpul dianalisis dengan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) materi pembelajaran apresiasi sastra secara umum sudah mengandung pendidikan nilai/karakter bangsa, (2) Pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra sudah mengarah pada penanaman pendidikan nilai/karakter bangsa.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa materi sastra yang digunakan dalam pembelajaran apresiasi sastra sudah mengandung pendidikan nilai/karakter bangsa. Bertolak dari simpulan tersebut, dapat disarankan kepada guru pengajar bahasa dan sastra Indonesia agar dalam pembelajaran selalu menanamkan pendidikan nilai/karakter bangsa demi mempererat tali persaudaraan, dan dalam lingkup yang lebih luas memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kata-kata kunci: sastra, pendidikan nilai/karakter
Pendahuluan
Era kesejagatan melahirkan sikap dan tindakan kompetitif yang semakin tinggi dan patut kita miliki. Namun, sering dilakukan dengan prinsip survival of the fittest, siapa kuat dia yang menang, menghalalkan segala macam cara, memarginalkan sifat-sifat humanistik yang etis dan estetis. Pola pikir dan perilaku demikian dapat memperlemah nilai-nilai sosial budaya, seperti gotong royong, kebersamaan, kekeluargaan, toleransi, dan lain-lainnya, yang merupakan perekat masyarakat peguyuban dan bangsa Indonesia yang multikultur dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, pemahaman, kesadaran, dan komitmen untuk mengamalkan Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara tampak makin melemah.
Jika semua gejala tersebut di atas dibiarkan terus berlanjut, tidak mustahil akan menjurus pada goyahnya keutuhan NKRI dan kehancuran bangsa. Oleh karena itu, perlu dicarikan solusi yang serius dan berkelanjutan. Masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda perlu memperkokoh jati dirinya sehingga tidak terpengaruh oleh berbagai budaya yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Di sinilah letak peran strategis pendidikan untuk memecahkan masalah konflik sosial, baik yang tersembunyi maupun yang nyata terjadi di masyarakat.
Melalui pendidikan, peradaban sebuah masyarakat bisa terbentuk, bahkan disebut-sebut sebagai agent of change (Rohinah, 2011:8). Dari institusi pendidikan, diharapkan dapat dibentuk manusia-manusia yang berjiwa luhur, berperikemanusiaan, tidak merampas hak orang lain, jujur, dan mandiri. Pendek kata, institusi pendidikan diharapkan mampu menumbuhkan jiwa-jiwa kebaikan pada setiap manusia.
Dalam realita pendidikan Indonesia kontemporer, pengaruh globalisasi membangun peran ambivalen terhadap hakikat autentik pendidikan. Fungsi pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab –sebagaimana termaktub dalam pasal 3 UU Sisdiknas– (nyaris) hanya menjadi slogan ketika kultur sosial masyarakat dinilai tidak cukup kondusif dalam mendukung terciptanya atmosfer pendidikan yang nyaman dan mencerahkan. Orientasi pendidikan dikacaukan oleh prioritas melayani persaingan global ketimbang memelihara harmoni lokal.
Menghadapi era kesejagatan yang serba kompetitif dan berdaya saing tinggi, institusi pendidikan diharapkan benar-benar mampu mengoptimalkan fungsinya sebagai pusat pendidikan nilai yang tidak hanya berbasiskan ranah kognitif-psikomotorik, tetapi juga ranah afektif yang berorientasi pada pembentukan watak dan kepribadian siswa. Dengan demikian, keluaran pendidikan tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial, sehingga kelak mampu bersaing di tengah-tengah arus global secara arif, matang, dan dewasa.
Era kesejagatan bukannya untuk dihindari, kita justru dituntut dan ditantang untuk berani/menyambutnya tanpa harus kehilangan jati diri. IPTEKS harus dikuasi dan ditundukkan, sehingga kita tetap memiliki integritas yang bersumber dari akar budaya bangsa. Jati diri bangsa seperti ini harus dibina sejak dini dan berlanjut sepanjang hayat melalui proses pendidikan nasional, baik secara formal, nonformal, maupun informal, yang berorientasi pada dinamika IPTEKS yang diintegrasikan dengan budaya lokal / budaya bangsa yang relevan.
Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang No.20/2003 yang pada Pasal 3 disebutkan bahwa“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab”.
Menyimak apa yang diamanatkan oleh UU No. 20 tahun 2003 tersebut, jelas terkandung makna bahwa pendidikan di negara kita tidak saja menghasilkan insan bangsa yang cerdas dengan kemampuan IPTEKS dan kreativitas yang tinggi; namun juga beriman, berakhlak mulia yang dilandasi nilai-nilai luhur budaya dan kepribadian bangsa, yang tecermin dalam kehidupan sehari-hari, yang bersumber dari nilai-nilai luhur kearifan lokal dan lokal genius bangsa.
Yang tidak kalah penting, perlu adanya terobosan visioner yang bisa mengajak dan menginternalisasikan nilai-nilai pendidikan sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan psiko-sosial peserta didik. Karya sastra, agaknya bisa menjadi medium yang strategis untuk mewujudkan tujuan mulia itu. Melalui karya sastra, anak-anak sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin, dan olah budi secara intens sehingga secara tidak langsung mereka memiliki perilaku dan kebiasaan positif melalui proses apresiasi dan berkreasi melalui karya sastra.
Dalam konteks demikian, baiksebagai media maupunsebagaibahan ajar, sastra memiliki kontribusi penting dalam upaya melahirkan generasi yang cerdas dan bermoral seperti yang diharapkan. Ini artinya, mau atau tidak, institusi pendidikan harus memosisikan diri menjadi “benteng” utama apresiasi sastra melalui pengajaran yang dikelola secara tepat, serius, dan optimal.
B.P. Situmorang (dalam Sarjono, 2001), mengatakan bahwa sastra perlu diajarkan kepada para siswa agar mereka mampu menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.Hal ini dapat memupuk jiwa estetis, jiwa keindahan, jiwa yang mengandung unsur-unsur moral (etika), untuk mengalihkan kenakalan remaja serta menyalurkannya ke arah yang lebih positif melalui apresiasi sastra.
Hal yang dikemukakan di atas ternyata sangat relevan dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yang tertuang pada standar isi (Permendiknas Nomor 22/2006) nomor lima dan enam sebagai berikut: (5) menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Dalam mengikuti perkembangan usia remaja, perlu disadari bahwa usia siswa sekolah menengah pertama (SMP) yang berkisar antara 11 sampai 16 tahun adalah masa-masa sulit bagi mereka dalam mengendalikan emosinya. Seperti yang dikatakan Piaget (dalamWinarto,2011), masa-masa seperti itu sebagai masa peralihan, yang mengubah seseorang dari usia anak-anak menjadi usia dewasa.
Sebagai peserta didik yang masih berada pada masa peralihan, para siswa SMP perlu mendapat asupan ”vitamin” bagi pertumbuhan jiwanya. Salah satu pengajaran yang dapat disisipi vitamin itu adalah pengajaran sastra.
Untuk memfilter dampak negatif kekuatan global yang telah merasuki gaya hidup masyarakat Indonesia, termasuk siswa SMP, yang sedang berada pada masa transisi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengisyaratkan agar pembelajaran dikaitkan dengan lingkungan sosial dan budaya di sekitar peserta didik. Pada fase ini sangatlah strategis apabila enkulturasi dan pembelajaran sastra yang berbasis kearifan lokal pada siswa SMP ini dilakukan secara fokus dan intensif.
Melalui teknik ini secara langsung dapat ditanamkan nilai-nilai kearifan lokal sebagai nurturant effect. Integrasi budaya dan potensi lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas. Permasalahan pokok yang dikaji dalam tulisan ini adalah: “Bagaimana sastra dapat dimanfaatkan sebgai media pendidikan nilai/karakter bangsa?”
Agar sastra dapat dimanfaatkan sebagai media pendidikan nilai/karakter, maka sastra tidak bisa dilepaskan dari aspekpembelajaran. Oleh karena itu, permasalahan pokok di atas dapat dirinci menjadi subpermasalahan berikut: (1) Bagaimanakah perencanaan pembelajaran apresiasi sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter di SMP Widya Sakti Denpasar? (2) Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter di SMP Widya Sakti Denpasar? dan (3) Bagaimanakah evaluasi pembelajaran apresiasi sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter di SMP Widya Sakti Denpasar?
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan deskriptif-kualitatif. Rancangan yang bersifat deskriptif-kualitatif bermaksud menggambarkan sesuatu apa adanya dengan menggunakan kata-kata. Dalam hal ini yang dideskripsikan adalah “bagaimana perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran apresiasi sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter di SMP Widya Sakti Denpasar”.
Subjek dalam penelitian ini adalah guru bahasa Indonesia di SMP Widya Sakti Denpasar yang berjumlah 3 orang, yaitu masing-masing satu orang guru kelas VII, satu orang guru kelas VIII, dan satu orang guru kelas IX. Dipilihnya subjek ini karena gurulah yang mempunyai peran dalam sebagian besar kegiatan pembelajaran, baik dalam merencanakan, melaksanakan, maupun mengevaluasi hasil pembelajaran. Objek penelitian secara umum adalah pembelajaran apresiasi sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter di SMP Widya Sakti Denpasar.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data tentang perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran apresiasi sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter di SMP Widya Sakti Denpasar. Masing-masing data tersebut dikumpulkan dengan: (1) metode dokumentasi, (2) metode observasi, dan (3) metode wawancara. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan analisis deskriptif kualitatif.
Hasil dan Pembahasan
Perencanaan Pembelajaran Apresiasi Sastra sebagai Media Pendidikan Nilai/Karakter
Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru bahasa Indonesia di SMP Widya Sakti Denpasar sudah menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) secara lengkap dan sistematis. RPP ini disusun dengan tujuan agar pembelajaran dapat berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif. Di samping itu, RPP memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan per-kembangan fisik serta psikologis peserta didik. Hal ini sesuai dengan PP No. 19/2005 dan diperkuat dengan Permendiknas No. 41/2007 tentang Standar Proses, yang antara lain mengatur tentang perencanaan proses pembelajaran yang mensyaratkan bagi pendidik pada satuan pendidikan untuk mengembangkan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) RPP apresiasi sastra yang dirancang guru bahasa Indonesia sudah disesuaikan dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), khususnya silabus yang menjadi acuan utama dalam penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran. Penyusunan rencana pembelajaran ini juga tidak mengesampingkan kondisi sekolah, lingkungan, kebutuhan, dan karakteristik peserta didik. RPP dijabarkan dari silabus untuk me-ngarahkan kegiatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai kompetensi dasar.
RPP yang disusun guru memuat identitas RPP, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, alokasi waktu, tujuan pembelajaran, materi, metode, kegiatan pembelajaran, sumber dan media pembelajaran, serta penilaian. RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu atau dua kali pertemuan. Hal ini se-jalan dengan pendapat Isdisusilo (2012:29) yang menyatakan bahwa langkah-langkah minimal dari penyusunan RPP dimulai dari mencantumkan identitas RPP, tujuan pem-belajaran, materi pembelajaran, metode, langkah-langkah kegiatan pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian. Setiap komponen mempunyai arah pengembangan masing-masing, namun semua merupakan satu kesatuan.
Di samping itu, hal ini juga senada dengan Permendiknas No. 41/2007 yang menyebutkan bahwa RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai kompetensi dasar. RPP yang disusun guru memuat identitas RPP, standar kom-petensi, kompetensi dasar, indikator, alokasi waktu, tujuan pembelajaran, materi, metode, kegiatan pembelajaran, sumber dan media pembelajaran, serta penilaian. RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu atau dua kali per-temuan.
Terkait dengan pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal (terutama sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter) dalam pembelajaran apresiasi sastra, beberapa komponen RPP di kelas VII dan VIII tidak menampakkan adanya hal tersebut. Komponen yang dimaksud adalah rumusan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, tujuan pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran yang meliputi tahap pendahuluan dan penutup, serta pada bagian evaluasi. Tidak diintegrasikannya nilai-nilai kearifan lokal ke dalam rumusan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, dan tujuan pembelajaran karena rumusan itu langsung dikutip dari silabus mata pelajaran. Sementara itu, dalam langkah-langkah pembelajaran yang meliputi tahap pendahuluan dan penutup, serta pada bagian evaluasi pengintegrasian nilai kearifan lokal tidak dilakukan oleh guru. Semestinya, RPP dirancang agar muatan maupun semua tahap kegiatan pembelajaran apresiasi sastra memfasilitasi pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ahmadi (2012) yang menyatakan bahwa proses integrasi nilai-nilai kearifan lokal ke dalam pembelajaran tentunya guru harus menyesuaikan dengan lingkungan, tingkat perkembangan anak, materi / mata pelajaran yang disampaikan, dan metode pembelajaran yang digunakan. Lebih lanjut dikatakan pula bahwa RPP perlu dirancang agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai kearifan lokal sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri.
Dengan pendapat ini bisa dimaknai bahwa dari rancangan pembelajaran yang disusun guru bisa menciptakan pembelajaran apresiasi yang memberikan kesempatan pada peserta didik untuk belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat.
Terkait dengan pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal ke dalam perencanaan pembelajaran juga disampaikan oleh Isdisusilo (2012:146)yang menyatakan bahwa: pada tahap perencanaan, silabus dan RPP dirancang agar muatan maupun kegiatan pembelajarannya memfasilitasi untuk mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal. Caranya dengan mengadaptasi silabus yang telah ada dengan menambahkan satu kolom dalam silabus untuk mewadahi nilai-nilai kearifan yang akan diintegrasikan. Sedangkan cara menyusun RPP yang terintegrasi dengan nilai-nilai kearifan adalah dengan mengadaptasi RPP yang sudah ada dengan menambahkan nilai-nilai kearifan pada materi, mengembangkan langkah-langkah pembelajaran yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan melakukan integrasi nilai dan menunjukkannya dalam perilaku, atau dengan mengembangkannya melalui penilaian.  
Pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal dalam RPP kelas IX tampak pada ba-gian rumusan kompetensi dasar, indikator pembelajaran, tujuan, materi, kegiatan inti, pemilihan media, dan penilaian hasil pembelajaran. Secara operasional pada bagian materi pembelajaran sudah disebutkan nilai-nilai kearifan lokal yang dimaksudkan seperti: nilai moral atau keagamaan, nilai kemanusiaan atau sosial, nilai etika atau susila, nilai estetika atau keindahan. Pengintegrasian ini dilakukan sesuai dengan pendapat Ahmadi (2012:51) yang menyatakan bahwa proses integrasi nilai-nilai kearifan lokal yang menyatakan bahwa proses integrasi nilai-nilai kearifan lokal ke dalam pembelajaran tentunya guru harus menyesuaikan dengan lingkungan, tingkat perkembangan anak, materi / mata pelajaran yang disampaikan, dan metode pembelajaran yang digunakan. Pendapat di atas dipertegas lagi oleh B.P. Situmorang (dalam Agus R.Sarjono, 2001), yang mengatakan bahwa pengajaran sastra perlu diajarkan kepada para siswa agar mereka mampu menikmati, menghayati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Hal ini dapat memupuk jiwa estetis, jiwa keindahan, jiwa yang mengandung unsur-unsur kearifan moral (etika), untuk mengalihkan kenakalan remaja serta menyalurkannya ke arah yang lebih positif melalui apresiasi sastra.
Pelaksanaan Pembelajaran Apresiasi Sastra sebagai Media Pendidikan Nilai/Karakter
Pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal (terutama sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter) diaplikasikan pada semua tahapan pembelajaran, tidak hanya melalui materi pelajaran, tetapi mewarnai hampir keseluruhan aktivitas dan kehidupan sekolah di SMP Widya Sakti Denpasar. Hal ini sudah tampak dari awal guru masuk kelas, tahap awal pembelajaran sampai tahap akhir pembelajaran. Nilai kearifan ini tidak diajarkan secara khusus, tetapi diintegrasikan atau dikembangkan melalui materi pembelajaran apresiasi sastra. Nilai-nilai kearifan lokal ini seutuhnya digali dari konteks pembelajaran berdasarkan pengalaman nyata siswa. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi bernilai kearifan dengan kehidupan nyata, bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional. Nilai-nilai kearifan (sastra) itu akan tertanam erat dalam memori siswa sehingga menjadi pembentuk karakter. Semua hal tersebut sesuai dengan pendapat Isdisusilo (2012:145) yang menyatakan bahwa,
proses pengembangan nilai-nilai merupakan sebuah proses yang panjang dan berkelanjutan dimulai dari awal peserta didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Materi tentang nilai-nilai bukanlah bahan ajar biasa. Arti-nya, nilai-nilai tersebut tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori, prosedur, atau pun fakta dalam mata pelajaran agama, bahasa Indonesia, PKn, IPA, IPS, dan sebagainya.
Dengan demikian, nilai-nilai kearifan lokal diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran. Pengintegrasian ke dalam pembelajaran bisa melalui materi, metode, maupun penilaian. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, guru tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada, tetapi menggunakan materi pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai kearifan. Demikian pula guru tidak harus mengembangkan proses belajar khusus untuk mengembangkan nilai.
Nilai-nilai kearifan yang tampak diintegrasikan dalam keseluruhan proses pem-belajaran apresiasi sastra lebih banyak nilai sosial. Nilai-nilai sosial dipedomani agar siswa manjadi manusia yang arif dan bijaksana. Sebagai contoh, nilai harmoni atas dasar etika moral, kedisiplinan, santun, peduli, spiritual, religius, tri hita karana (sebagai konsep harmonisnya hubungan antarsesama siswa, siswa dengan Tuhan, dan siswa dengan lingkungan), tat twamasi yang mengandung prisip kebersamaan dan kesetaraan, tidak egois/nyapa kadi aku, kepatuhan, pengendalian kama atau nafsu dalam diri, catur purusa arta, karma pala, subha, asubha karma, rua bhineda, dan gotong royong, tri kaya parisudha, hormat pada orang tua/suputra, tidak menuruti kemarahan/kroda, kebenaran, kesetiaan, kepemimpinan/asta brata, asuri sampad, paras-paros, bakti pada catur guru, mulat sarira, kesusilaan, dan toleransi. Di sam-ping itu, dikembangkan pula nilai-nilai budaya dan pendidikan.
Nilai kearifan lokal (terutama sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter) dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari melalui pembelajaran apresiasi sastra. Dengan demikian pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengalaman nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Terbukti bahwa dengan pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal (terutama sastra) membuat pembelajaran menjadi lebih menarik dan bermakna secara fungsional bagi siswa. Melalui keterangan guru juga diperoleh informasi bahwa pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal ke dalam pembelajaran terbukti dapat meningkatkan gairah siswa untuk berpikir dan menghayati pesan atau nilai-nilai kearifan yang disampaikan karena mereka langsung terlibat, baik secara fisik maupun psikis. Pengalaman siswa menjadi lebih konkret, pesan yang ingin disampaikan benar-benar dapat mencapai sasaran dan tujuan yang ingin dicapai.
Pengembangan nilai-nilai kearifan ini memerlukan upaya pengondisian sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk memunculkan perilaku yang menunjukkan nilai-nilai tersebut. Upaya ini bisa dilihat dari salah satu metode pembelajaran yang digunakan guru, yaitu metode bermain peran.
Melalui metode ini guru dapat mendekatkan siswa dengan kondisi yang sebenarnya. Secara tidak langsung permainan peran ini sekaligus juga dapat digunakan guru sebagai media. Penampilan kelompok siswa di depan kelas melalui bermain peran dapat menghasilkan keseragaman pengamatan, dapat menanamkan konsep dasar yang benar, nyata, dan tepat, dapat memberikan pengalaman yang menyeluruh dari hal-hal yang konkret sampai abstrak.
Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dengan menggunakan variasi metode seperti ceramah, tanya jawab, diskusi, inkuiri, bermain peran, penugasan, dan unjuk keja tampak dilakukan dengan baik dan tepat untuk memberdayakan potensi peserta didik. Metode pembelajaran aktif tampak digunakan oleh guru dalam pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal terkait pembelajaran apresiasi sastra. Proses pembelajaran dilakukan dengan mengutamakan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered) dalam bingkai model dan strategi pembelajaran aktif (active learning), ditopang oleh peran guru sebagai fasilitator belajar. Peserta didik tidak hanya terpaku di tempat duduk, bisa berpindah-pindah untuk membangun kerja kelompok dan dalam waktu yang singkat membuat mereka berpikir tentang materi pelajaran.
Hal ini sejalan dengan pendapat Isdisusilo (2012:145) yang menyatakan bahwa penggunaan metode pembelajaran aktif dan menyenangkan digunakan dalam proses pendidikan nilai-nilai. Hal ini dikarenakan pada prinsipnya proses pendidikan nilai-nilai dilakukan oleh peserta didik, bukan oleh guru. Proses pembelajaran dila-kukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa menyenangkan.
Secara umum, guru telah melakukan seluruh rangkaian kegiatan pembelajaran sesuai dengan ketentuan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang meliputi kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup.
Kegiatan pendahuluan dilakukan guru dengan melaksanakan apersepsi, yaitu dengan menghubungkan materi pelajaran yang telah dimiliki siswa dengan materi yang akan dipelajari dan tidak mengesampingkan motivasi belajar siswa. Kegiatan ini dilanjutkan dengan penyampaian tujuan pembelajaran. Kegiatan inti pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif dalam keseluruhan proses pembelajaran. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi.
Apabila dilihat dari aktivitas guru dan siswa selama kegiatan belajar-mengajar apresiasi sastra, maka keseluruhan aktivitas guru dan siswa menunjukkan pembelajaran yang berorientasi pendekatan keterampilan proses dalam seting pembelajaran kooperatif yang berpusat pada siswa. Siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil, sehingga melatih mereka untuk mampu menginternalisasi nilai-nilai kearifan lokal seperti menerima perbedaan pendapat, menghargai pendapat orang lain, dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakangnya.
Kegiatan penutup dilakukan guru bersama siswa dengan merangkum pembelajaran, guru memberikan evaluasi kepada siswa, bersama-sama melakukan refleksi, guru melakukan tindak lanjut dalam bentuk pemberian tugas kelompok, dan penyampaian rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya.
Evaluasi Pembelajaran Apresiasi Sastra sebagai MediaPendidikan Nilai/Karakter
Sebelum evaluasi dilaksanakan, guru terlebih dahulu menyusun perencanaan evaluasi. Hal ini dimaksudkan agar evaluasi memiliki akurasi dan ketepatan untuk mengukur hasil pembelajaran. Perencanaan ini menyangkut pemilihan atau penentuan teknik yang akan dipergunakan dalam evaluasi.
Setiap teknik penilaian dibuatkan in-strumen penilaian yang disesuaikan dengan indikator pencapaian kompetensi.Teknik evaluasi yang digunakan guru adalah tes tulis, tes praktik/kinerja, penugasan ke-lompok dan pengamatan atau observasi. Instrumen evaluasinya berupa butir-butir soal dan pedoman pengamatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudijono (2011:59) yang menyatakan bahwa,
sebelum evaluasi dilaksanakan, terlebih dahulu guru harus menyusun perencanaannya secara baik dan matang. Perencanaan evaluasi ini mencakup kegiatan:1) merumuskan tujuan evaluasi, 2) menetapkan aspek-aspek yang akan dievaluasi, 3) memilih dan menentukan teknik yang akan dipergunakan dalam pelaksanaan evaluasi, 4) menyusun alat pengukur yang akan digunakan dalam pengukuran dan penilaian hasil belajar peserta didik, dan 5) menentukan tolok ukur, norma atau kriteria yang akan dijadikan pegangan atau patokan dalam memberikan interpretasi terhadap data hasil evaluasi.
Permendiknas No. 22 Tahun 2006 menyatakan bahwa Standar Isi (SI) untuk satuan Pendidikan Dasar dan Menengah mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Di dalam SI dijelaskan bahwa kegiatan pembelajaran dalam KTSP meliputi tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Tatap muka adalah pertemuan formal antara pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran di kelas. Penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur adalah kegiatan pembelajaran berupa pendalaman materi pembelajaran oleh peserta didik yang dirancang oleh pendidik untuk mencapai standar kompetensi.
Waktu penyelesaian penugasan terstruktur ditentukan oleh pendidik, sedangkan waktu penyelesaian kegiatan mandiri tidak terstruktur diatur sendiri oleh peserta didik. Sejalan dengan ketentuan tersebut, evaluasi pembelajaran apresiasi sastra sudah dirancang guru di SMP Widya Sakti Denpasar untuk dapat mengukur dan memberikan informasi mengenai pencapaian kompetensi peserta didik yang diperoleh melalui kegiatan tatap muka, penugasan terstruktur, dan kegiatan mandiri tidak terstruktur.
Hasil pembelajaran apresiasi sastra terkait dengan pemahaman peserta didik terhadap nilai-nilai kearifan lokal diketahui dengan melakukan pengukuran secara ti-dak langsung. Pengukuran tidak langsung ini dilakukan melalui indikator-indikator atau gejala-gejala yang menunjukkan bahwa peserta didik menampakkan perilaku yang mencerminkan pencapaian kompetensi pembelajaran apresiasi sastra sesuai dengan tujuan evaluasi, seperti mampu menunjukkan relevansi nilai-nilai kearifan yang terdapat dalam karya sastra dengan nilai-nilai kehidupan siswa secara nyata. Evaluasi terhadap kompetensi apresiasi sastra terdiri atas evaluasi proses, sikap, dan hasil pembelajaran. Dalam setiap kegiatan evaluasi, baik evaluasi proses maupun hasil belajar, aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, selalu menjadi sasaran.
Evaluasi terhadap pengembangan nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran apresiasi sastra, berlangsung sejalan dengan proses pembelajaran melalui peng-amatan atas sikap dan tanggapan atau respons siswa. Evaluasi tersebut dilakukan dengan cara menciptakan kondisi dan suasana pembelajaran agar bentuk kreativitas yang menampakkan perilaku peserta didik mampu mengapresiasi secara positif nilai-nilai kearifan melalui karya sastra bisa teramati. Misalnya dengan meminta siswa menentukan tema cerpen atau menentukan penokohan cerpen.
Melalui penggambaran tokoh inilah banyak bisa digali nilai-nilai kearifan terkait dengan bagaimana bersikap atau bertindak dalam kehidupan. Hal ini juga bisa diamati saat siswa diminta men-ceritakan pengalaman hidupnya untuk menjadi dasar ide penulisan naskah drama, memberikan tanggapan tentang nilai-nilai kearifan yang terdapat dalam teks drama yang berjudul “Jayaprana dan Layonsari”. Semua itu merupakan upaya guru untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan pemahaman siswa terhadap nilai-nilai kearifan lokal bisa diamati. Evaluasi hasil dimaksudkan untuk menda-patkan informasi tentang kemampuan siswa dalam memahami dan menghayati bebe-rapa produk sastra yang sarat akan nilai-nilai kearifan.
Evaluasi hasil pembelajaran ini dilakukan dengan menugaskan siswa secara berkelompok untuk melaporkan se-cara tertulis apa yang ditagih dalam lembar instrumen yang dijabarkan dari indikator pencapaian kompetensi. Evaluasi sikap berkaitan dengan respons siswa terhadap pembelajaran. Evaluasi ini bertujuan mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran yang meliputi aspek partisipasi, motivasi, kerja sama, dan inisiatif. Evaluasi sikap ini dilakukan oleh guru dengan mengamati sikap siswa saat proses pembelajaran ber-langsung, kemudian menuliskan hasil pengamatan pada pedoman observasi yang su-dah disiapkan sebelumnya.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasannya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1.       Perencanaan pembelajaran apresiasi sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter di SMP Widya Sakti Denpasar secara umum sudah diintegrasikan ke dalam beberapa komponen RPP. Pada RPP kelas VII dan VIII pengintegrasian tampak pada materi, langkah inti, dan media pembelajaran. Pada RPP kelas IX pengintegrasian nilai-nilai kearifan lokal (terutama sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter) tampak pada bagian rumusan kompetensi dasar, indikator pembelajaran, tujuan, materi, kegiatan inti, pemilihan media, dan penilaian hasil pembelajaran.
2.      Pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra berbasis kearifan lokal (terutama sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter) di SMP Widya Sakti Denpasar sudah diintegrasikan ke dalam semua tahapan pembelajaran, baik pada tahap pendahuluan, inti, maupun penutup.
3.      Evaluasi pembelajaran apresiasi sastra berbasis kearifan lokal (terutama sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter) di SMP Widya Sakti Denpasar berlangsung sejalan dengan proses pembelajaran melalui pengamatan atas sikap dan tanggapan atau respons siswa. Evaluasi tersebut dilakukan dengan cara menciptakan kondisi dan suasana pembelajaran agar bentuk kreativitas yang menampakkan perilaku peserta didik mampu mengapresiasi secara positif nilai-nilai kearifan melalui karya sastra bisa teramati.
Saran
Berdasarkan simpulan yang dipaparkan di atas, dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut. (1) Dalam penyusunan perencanaan pembelajaran (RPP) apresiasi sastra, baik di kelas VII, VIII, maupun IX, hendaknya guru memanfaatkan sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter yang diintegrasikan pada seluruh komponen RPP, (2) Dalam pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra berbasis kearifan lokal (terutama sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter), guru-guru hendaknya mengintegrasikannya ke dalam semua tahapan pembelajaran, baik pada tahap pendahuluan, inti, maupun penutup. (3) Evaluasi pembelajaran apresiasi sastra berbasis kearifan lokal (terutama sastra sebagai media pendidikan nilai/karakter) hendaknya dilakukan pada hasil dan proses. Pada hasil dilakukan melalui pemberian tugas menganalisis sebuah karya sastra yang di dalamnya terkandung pendidikan nilai/karakter, sedangkan pada proses dilakukan melalui pengamatan atas sikap dan respons siswa dalam mengapresiasi karya-karya sastra sebagai medianya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, dkk. 2012. Mengembangkan Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dalam KTSP. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Ardana, Gede. 2007. Pemberdayaan Kearifan Lokal Masyarakat Bali dalam Menghadapi Budaya Global. Denpa-sar: Pustaka Tarukan Agung.
Isdisusilo. 2012. Panduan Lengkap Menyu-sun Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Kata Pena.
Mulyani, Mimi. 2012. Model Pembelajaran Menulis Berbasis Kearifan Lokal yang berorientasi Pendidikan KarakterStudi Kuasi Eksperimen pada Siswa SMPN 2 Kelas VII, Windusari, Magelang. Semarang: FBS Universitas Negeri Semarang.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendi-dikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Rohinah. 2011. Restorasi Pendidikan. Yogyakarta: Pilar Media.
Saini K.M. 2005.”Kearifan Lokal di Arus Global”.dalam Pikiran Rakyat, Edisi 30 Juli 2005.
Sarjono, Agus R. 2001. Parade Budaya dalam Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Sartini.2006. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. http://filsafat.ugm.ac.id,diakses tanggal 13 Maret 2012.
Sudijono, Prof. Drs. Anas. 2011. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suja, I Wayan, 2010.Kearifan Lokal Sains Asli Bali.Surabaya : Paramita.
Udayana, I Dewa Gede Alit. 2010. Pesan-Pesan Kebijaksanaan Bali Klasik. Den-pasar: Pustaka Bali Post. 
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasi-onal(Sisdiknas). Jakarta: Fokus Media.

Tulisan ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya, 28—31 Oktober 2013 yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...