OLEH Ahmadun Yosi Herfanda
Pengajar dan Pecinta Sastra
Abstract
At
this time, Indonesia is entering creative industry era, an industry system that
based on membership, talent and creativity. Bases of literary work industry,
that reside in system of publishing industry, equal to creative industry bases.
Even, publishing industry – entered literary work publishing – is one part of
the important from creative industry system. However, publisher chance and
literary work book remain to be just concern, until remain to be needed “God
hand” to save it.
Mengikuti
kecenderungan global, terutama kecenderungan di negara-negara maju,
perekonomian Indonesia dewasa ini juga sedang memasuki era ekonomi kreatif --
suatu era perekonomian yang sangat mengandalkan produk-produk industri kreatif. Negara-negara
maju, seperti Jepang, Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat, telah cukup lama
mendapat sumbangan devisa yang sangat besar dari industri yang terkait erat
dengan kebutuhan budaya dan gaya hidup masyarakat perkotaan (urban) tersebut.
Industri kreatif secara singkat dapat didefinisikan sebagai industri yang
berbasis pada keahlian, talenta dan kreativitas; seperti mode, kerajinan,
penerbitan (buku dan media massa cetak), musik, film, dan periklaman.
Industri
penerbitan, termasuk penerbitan karya sastra, diharapkan dapat ikut mengambil
peran di dalamnya, agar industri kreatif lebih terasa berbudaya, dan tidak
hanya berorientasi pada keuntungan finansial (profit oriented). Sastra, karya
sastra, dan industri kreatif, sama-sama berbasis pada talenta dan kreativitas
serta sama-sama bernuansa budaya. Bedanya, proses penciptaan karya sastra lebih
diorientasikan pada kepentingan literer (kesastraan), sedangkan industri
kreatif lebih diorientasikan pada kepentingan pasar sebagaimana sifat dasar
dunia industri.
Pertanyaannya,
adakah “tempat yang menyenangkan” bagi karya sastra di tengah era industri
kreatif yang telah melanda dunia dan gelombangnya kini mulai merengkuh
Indonesia?
Wacana Iindustri Kreatif
Sejak
akhir dasawarsa 1990-an, industri kreatif sering muncul sebagai wacana yang
menarik di berbagai negara. Menyusul negara-negara maju, seperti Amerika
Serikat (AS), Jepang, dan Ingris, yang telah menikmati devisa cukup melimpah
dari indutsri kreatif, yang juga sering disebut sebagai industri budaya
(cultural industries); negara-negara berkembang pun telah mulai sibuk
mempersiapkan diri memasuki era ekonomi kreatif. Pemerintah Indonesia, melalui Departemen
Perdagangan, misalnya, telah mengembangkan konsep ekonomi kreatif sejak tahun
2009.
Pemerintah
kini pun telah memberi perhatian secara khusus melalui Kementerian Pariwisata
dan Industri Kreatif. Para kreator kesenian, termasuk sastrawan, juga telah
mulai berharap-harap cemas, apa yang dapat ikut mereka nikmati dalam era
industri yang bertumpu pada kreativitas masyarakat itu.
Jika
ditelusur asal-usulnya, istilah industri kreatif (creative industries) pertama
kali digunakan oleh Partai Buruh Inggris pada tahun 1997. Menurut Togar M.
Simatupang (2010), industri kreatif berpotensi meningkatkan kesejahteraan
melalui penawaran kreasi intelektual dan kultural. Industri kreatif terdiri dari
penyediaan produk kreatif langsung kepada pelanggan dan pendukung penciptaan
nilai kreatif pada sektor lain yang secara tidak langsung berhubungan dengan
pelanggan. Produk kreatif mempunyai ciri-ciri: siklus hidup yang singkat,
risiko tinggi, margin yang tinggi, keanekaragaman tinggi, persaingan tinggi,
dan mudah ditiru.
Analisis
pertama terhadap dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh sektor kreatif di Inggris
dilakukan tahun 1998 oleh Departemen Kebudayaan, Media, dan Olah Raga Inggris.
Tercatat, industri kreatif Inggris ini menyumbang sekitar 7,9 persen penerimaan
nasionalnya atau £ 76,6 miliar pada tahun 2000. Pemerintah Inggris menetapkan
13 sektor usaha yang tergolong sebagai industri kreatif, yakni (1) periklanan,
(2) kesenian dan barang antik, (3) kerajinan tangan, (4) desain, (5) tata
busana, (6) film dan video, (7) perangkat lunak hiburan interaktif, (8) musik,
(9) seni pertunjukan, (10) penerbitan, (11) jasa komputer, (12) televisi, dan
(13) radio.
Negara-negara
lain, seperti Amerika, Jepang, dan Australia, umumnya juga menetapkan sekitar
13 sektor yang hampir sama sebagai target pengembangan industri kreatif untuk
menumbuhkan iklim ekonomi kreatif yang kondusif. Sektor-sektor yang digarap
tentu disesuaikan dengan potensi masyarakat di negara masing-masing. Hong Kong,
misalnya, memilih sektor periklanan, arsitektur, kesenian dan barang antik,
komik, desain, tata busana, film, game software, musik, seni pertunjukan,
penerbitan, perangkat lunak dan jasa teknologi informasi, serta televisi,
sebagai target pengembangan ekonomi kreatif.
Sedangkan
Departemen Perdagangan RI telah mencanangkan 14 bidang usaha untuk menopang
pertumbuhan ekonomi kreatif, yakni (1) jasa periklanan, (2) arsitektur, (3)
seni rupa, (4) kerajinan, (5) desain, (6) mode (fashion), (7) film, (8) musik,
(9) seni pertunjukan, (10) penerbitan, (11) riset dan pengembangan, (12)
software, (13) televisi dan radio, serta (14) video game. Industri kreatif,
menurut Mari Elka Pangestu (2007), merupakan pilar utama dalam mengembangkan
sektor ekonomi kreatif yang memberikan dampak yang positif bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara.4
Dari
tahun ke tahun, di Indonesia, sumbangan industri kreatif tampak semakin besar.
Menurut Ketua Forum Grafika Digital David B. Mihardja (2007), industri kreatif
di Indonesia tumbuh 15 persen setiap tahunnya. Menurut Pangestu (2007),
berdasarkan hasil Studi Kontribusi Ekonomi Kreatif Indonesia, industri kreatif
Indonesia telah menyumbangkan sekitar 5,67 persen dari PDB Indonesia pada tahun
2006, dengan nilai tambah bruto sekitar Rp 105 triliun (Rp 104.787 miliar).
Sumbangan terbesar diberikan oleh industri mode (Rp 46 triliun), disusul
kerajinan (Rp 29 triliun), dan periklanan (Rp 7 triliun). Sisanya disumbang
oleh sektor-sektor lain, termasuk penerbitan, tentu juga termasuk sumbangan
kecil dari penerbitan karya sastra, terutama novel.
Pada
tahun-tahun berikutnya, sumbangan industri kreatif terus tumbuh cukup pesat.
Pada tahun 2013, sektor Industri Kreatif Indonesia, menurut Menteri Pariwisata
dan Industri Kreatif Mari Elka Pangestu, menyumbangkan 7,6 persen dari Produk
Domesti Bruto (PDB), dengan nilai nominal yang mencapai Rp 151 triliun.
Sumbangan tersebut berasal dari industri mode (fesyen) 43 persen, industri
kerajinan 25 persen, periklanan delapan persen, desain enam persen, dan musik
enam persen. Pemerintah juga terus mendorong agar industri kreatif terus
berkembang, dan pada tahun 2015 sumbangan sektor industri ini ditargetkan
mencapai 8-9 persen.5
Meskipun
sumbangannya masih relatif kecil dibanding sektor-sektor ekonomi lain, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengaku optimis ekonomi kreatif di Indonesia akan
tumbuh dan menjadi salah satu penopang pertumbuhan ekonomi ke depan. Untuk masa
depan perekonomian tidak bisa hanya mengandalkan ekonomi pertanian,
pertambangan, industri, dan jasa konvensional. Namun, perlu juga mengembangkan
dua sektor ekonomi lainnya, yakni, ekonomi pariwisata dan ekonomi kreatif.
Industri Sastra
Seirama
dengan makin pesatnya pertumbuhan industri kreatif, makin kuat pula
kecenderungan untuk menyiasati penerbitan buku sastra sebagai sebuah industri.
Dan, penerbitan karya sastra pun menjadi bagian tak terpisahkan dari industri
penerbitan (buku) yang terus berkembang makin pesat dengan dukungan daya beli
dan minat baca masyarakat yang terus meningkat – meskipun hingga 2013
sumbangannya belum terlihat signifikan.
Persaingan
pasar yang makin ketat, kepentingan penerbit untuk mengembalikan modal dan
meraih keuntungan, serta kesadaran untuk memberikan royalti yang layak guna
meningkatkan kesejahteraan penulis buku sastra, makin mendorong penerbitan buku
sastra untuk menerapkan pendekatan bisnis atau industri. Hasilnya, buku-buku
laris (bestseller) terus bermunculan, sejak teenlit, chicklit, fiksi seksual,
sampai fiksi Islami – dan semua buku yang disukai pasar. Penulis buku apapun,
tentu tidak akan mendapatkan royalti dan apresiasi yang memadai jika bukunya
tidak laku. Dan, agar suatu buku bisa laku, baik penerbit maupun penulis, harus
dapat membaca keinginan pasar. Dan, bagi dunia industri, pasar adalah
segalanya.
Karena
karya sastra adalah produk budaya, maka usaha penerbitan buku sastra yang
bersifat profitable (komersial) dapat dianggap sebagai bagian dari industri
budaya. Dan, karena basis industri budaya ini adalah kreativitas, atau sangat
mengandalkan kreativitas pelakunya, maka dapat pula disebut sebagai industri
kreatif.
Ia
memiliki posisi yang sama dengan industri film atau musik, yang tidak hanya
membawa peran kultural tapi juga peran bisnis karena diproduk untuk dijual guna
mendapatkan keuntungan. Ketika seseorang menempatkan produksi sastra dalam
perspektif bisnis, sesungguhnya ketika itu pula karya sastra telah mengalami
pergeseran fungsi, tidak lagi hanya sebagai produk kultural tapi juga produk
industri. Karena itu, sebagaimana lazimnya sebuah sistem industri, karya sastra
akan dianggap sebagai 'komoditas' yang menjadi salah satu alat perputaran
modal.
Karya
sastra masuk dalam proses industrialisasi yang hampir sepenuhnya bergerak untuk
kepentingan pasar. Dalam perspektif inilah karya sastra dalam posisinya sebagai
'komoditas' itu sering harus tunduk pada kepentingan pasar.
Di
sini pula selera konsumen -- seperti yang dipahami oleh industriawan --sering
sangat menentukan corak komoditas tersebut. Meskipun, 'selera konsumen' itu
sering bersifat semu. Artinya, seringkali hanya berdasarkan praduga pebisnis.
Mirip dengan rating acara televisi, maka tarikan pasar buku-buku sastra
tertentu menjadi indikasi utama untuk menengarai selera konsumen.
Ke
arah itulah kemudian buku-buku lebih banyak diterbitkan sejak masa jaya novel
pop hingga era novel-novel inspiratif dewasa ini. Ketika tarikan pasar terhadap
novel pop begitu kuat, misalnya, maka penerbitan buku novel pop, baik pop
sekuler maupun pop Islami, mengalami kapitalisasi yang begitu besar. Dari
sinilah kemudian lahir dan tumbuh penulis-penulis novel pop Indonesia yang
begitu ternama, seperti Mira W, Marga T. dan La Rose. Pada masanya, produksi roman-roman
picisan Ali Shahab dan Motinggo Boesye juga mengalami kapitalisasi yang cukup
besar.
Begitu
juga pada era berikutnya, fiksi-fiksi seksual karya para penulis perempuan,
seperti Ayu Utami, dan Djenar Maesa Ayu, mendapatkan kapitalisasi yang besar.
Di mata kapitalis penerbitan, karya-karya para penulis perempuan itu memiliki
tarikan pasar yang kuat, dan karena itu dirangkul untuk dikapitalisasi. Baik
novel pop, fiksi seksual maupun roman picisan adalah contoh-contoh terpenting
'buku-buku sastra' yang mengalami kapitalisasi untuk masuk ke dalam sistem
industri penerbitan, dan menjadi bagian dari industri kreatif.
Sesungguhnya,
hampir seperti itu pula nasib 'fiksi Islami'. Pada awalnya, fiksi Islami lahir
sebagai upaya untuk membangun ruang alternatif bagi para penulis Muslim yang
meyakini bahwa menulis adalah bagian dari upaya penyebaran nilai-nilai Islam,
dan karena itu percaya bahwa penyebaran karya sastra adalah bagian dari upaya
pencerahan nurani masyarakat. Namun, ternyata buku-buku fiksi Islami -- yang
penerbitannya semula hanya ditangani oleh Annida, Forum Lingkar Pena (FLP) dan
beberapa penerbit kecil seperti Asy-Syamil dan FBA Pers -- memiliki tarikan
pasar yang sangat kuat.
Maka,
penerbit-penerbit besar seperti Gramedia dan Mizan, pun lantas ramai-ramai ikut
menerbitkan buku-buku fiksi Islami. Buku-buku fiksi Islami yang semula
diorientasikan sebagai 'bacaan dakwah' lantas masuk dalam sistem industri yang
berorientasi keuntungan finansial dengan kesuksesan besar tanpa kehilangan misi
pencerahannya. Penerbitan novel Islami, Ayat-ayat
Cinta karya Habiburrahman el-Shirazy, misalnya, menangguk keuntungan Rp10
miliar lebih dengan royalti lebih dari Rp2 miliar bagi pengarangnya.
Kesuksesan
yang sama diraih oleh tetralogi Laskar
Pelangi karya Andrea Hirata dan Negeri
5 Menara karya Ahmad Fuadi. Keuntungan makin berlimpah ketika novel-novel
tersebut diangkat ke layar perak (film) dengan menyumbang pendapat hingga
miliaran rupiah.
Iklim
pasar bebas pun melanda industri penerbitan, dan dalam iklim seperti ini
lembaga bisnis penerbitan yang lemah (modal dan manajemennya), dan kurang
cerdas menyiasati pasar serta hanya berkutat pada buku-buku sastra idealis,
cenderung tersingkir atau setidaknya terseok-seok, dan baru terselamatkan
setelah diakuisisi oleh kapitalis penerbitan bermodal besar.
Penerbit
Bentang, yang banyak menerbitkan karya sastra idealis, misalnya, kabarnya
terlilit hutang dan kini diakuisisi oleh Mizan. Indonesia Tera yang juga fokus
pada buku-buku sastra, kini kabarnya juga sedang pingsan. Begitu juga puluhan
penerbit kecil buku-buku sastra, seperti Logung Pustaka, juga tak ada kabarnya
lagi. Beberapa penerbit buku fiksi Islami yang sempat berjaya di era kejayaan fiksi
Islami, seperti Annida dan FBA Press, kabarnya kini juga sudah kolap.
Sementara,
FLP Publishing House “diselamatkan” oleh Mizan. Bahkan, penerbit raksasa yang
disubsidi pemerintah sebagai BUMN, yakni Balai Pustaka, pun telah kolap dan
dipailitkan. Gedung Balai Pustaka di Jl. Gunung Sahari bahkan telah dijual.
Penerbit karya sastra ternama, Pustaka Jaya, kini juga hampir tidak terdengar
kabarnya lagi. Meskipun begitu, tetap saja bermunculan pemilik dana yang ingin
mencoba-coba berbisnis penerbitan buku sastra, seperti Komodo Books, Penerbit
Padasan, Wedatama, Alvabet, Gagas Media, dan Jalasutra.
Di
luar nama-nama ini, sempat muncul beberapa penerbit karya sastra yang sempat
menerbitkan beberapa buku kemudian hilang dan dilupakan orang. Modal usaha
penerbitan buku yang relatif kecil, dengan kebutuhan manajemen yang cukup
sederhana, memudahkan siapapun untuk mencoba-coba memasuki bisnis penerbitan
buku, yang kemudian meninggalkannya setelah gagal memasuki pasar. Menerbitkan
buku memang gampang. Yang sulit adalah menaklukkan pasar perbukuan yang sangat
diwarnai iklim pasar bebas, yang siap “membunuh” penerbit yang lemah.
Nasib Buku Sastra
Kapitalisasi
sistem produksi (penerbitan) buku sastra tentu tidak selamanya merugikan
pertumbuhan sastra. Kapitalisasi memberikan darah segar bagi sistem penerbitan
buku sastra, dan karena itu ia juga merangsang produktivitas penciptaan karya
sastra. Dengan sistem pengelolaan (manajemen) yang bervisi bisnis dan didukung
modal besar, tiap judul karya sastra juga tidak hanya dapat diterbitkan dalam
jumlah lebih besar tapi juga dapat dikemas secara lebih bagus dan
didistribusikan secara lebih menyebar.
Dengan
demikian, dan inilah salah satu sisi positifnya, karya sastra juga mengalami
pemasyarakatan secara lebih baik. Sementara, bagi para penulis, penerbit yang
profesional dan bervisi bisnis dapat memberikan royalti yang lebih profesional
sehingga dapat mendorongnya untuk lebih produktif. Selain itu, beberapa
penerbit besar juga bersedia melakukan 'subsidi silang' untuk menerbitkan
karya-karya 'sastra idealis' yang un-marketable,
termasuk buku-buku kumpulan puisi.
Dengan
demikian, buku-buku kumpulan puisi diterbitkan bukanlah dalam rangka industri
budaya ataupun industri kreatif, tapi lebih karena “belas kasihan” atau bahasa
kerennya untuk “kepentingan apresiasi sastra”. Selain itu, banyak pula
buku-buku karya sastra yang diterbitkan oleh penerbit ternama dengan biaya
pengarangnya sendiri. Dalam model kerja sama ini, yang penting sang pengarang
dapat eksis, dan pihak penerbit tidak terancam rugi.
Sang
pengarang akan beruntung kalau kemudian bukunya mendapatkan penghargaan sastra
dengan hadiah yang besar. Di luar keberuntungan tersebut, nasib buku-buku
kumpulan puisi paling menyedihkan. Begitu juga nasib karya-karya sastra yang
ditulis lebih untuk kepentingan literer baik novel maupun kumpulan cerpen, juga
tetap saja menyedihkan. Orientasi pasar yang begitu kuat menyebabkan
karya-karya sastra yang marketable
seperti novel pop, teenlit, chicklit, fiksi (remaja) Islami, dan fiksi seksual,
mendapat porsi perhatian yang lebih besar dari kalangan pelaku industri buku
sastra, karena memang memiliki tarikan pasar yang lebih kuat. Sehingga, jumlah
buku 'sastra idealis' – termasuk buku kumpulan puisi -- yang diterbitkan oleh
penerbit komersial masih sangat terbatas.
Buku-buku
sastra berkategori demikian umumnya juga kurang laku, hanya “teronggok
kesepian” di pojok rak bawah toko buku, atau segera dilempar ke gudang untuk
dikembalikan ke penerbitnya karena dianggap hanya menyesaki rak toko buku.
Kesedihan itu makin bertambah, manakala kita melihat rubrik-rubrik puisi di
surat-surat kabar penting di Indonesia, sejak tahun 2009, rontok satu demi
satu. Dimulai dari Media Indonesia,
kemudian Republika dan lain-lain.
Dalihnya sama, rubrik puisi minim pembaca, ratingnya sangat rendah. Lagi-lagi,
alasan pasar yang dipakai untuk menutup rubrik puisi.
Pengelola
surat kabar, yang memang profit oriented,
tidak mau mengorbankan halaman surat kabarnya untuk dihuni “makhluk sepi”
bernama puisi. Lebih baik untuk rubrik yang diminati pembaca, yang dapat
mendongkrak oplah dan mendatangkan iklan – karena oplah dan iklan bagi pebisnis
berarti uang. Dan, memang uanglah tujuan utama umumnya pemodal dalam
menjalankan bisnisnya. Masa “bulan madu” antara penyair dan redaktur sastra
surat kabar tampaknya telah berakhir, dan akan terus dalam suasana “talak tiga”
jika tidak ada perubahan sikap apresitaif dari para pengelola surat kabar
terhadap puisi. Jika kelak rubrik puisi media massa cetak benar-benar tidak ada
lagi, sementara buku-buku kumpulan puisi tetap kurang laku, maka untuk menemui
publiknya para penyair tinggal bergantung pada acara-acara pentas baca puisi
dalam kegiatan-kegiatan semacam Pertemuan Penyair Nusantara (PPN), Temu Sastra
Indonesia (TSI), Temu Sastra Mitra Praja Utama (Temu Sastra MPU), dan Jakarta
International Literary Festival (JILFest).
Perlu Tangan Tuhan
Mungkin
diperlukan “tangan Tuhan” untuk memberikan tempat yang lebih mulia dan mudah
menemui publiknya bagi karya-karya sastra idealis yang adiluhung dan hanya
berorientasi literer (sastrawi). Perlu penerbitan-penerbitan alternaif semacam
Horison dan Jurnal Sajak bagi karya-karya sastra idealis, khususnya bagi puisi,
yang kurang mendapat tempat di jaringan penerbit-penerbit komersial dan media
massa (surat kabar).
Di
sinilah, semestinya, pemerintah memberikan perhatian yang lebih besar, dengan
proyek-proyek penerbitan buku atau majalah sastra bersubsidi atau pengadaan
buku-buku untuk perpustakaan sekolah yang dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah.
Namun, sayangnya, penerbit pemerintah (BUMN) yang berpeluang menerbitkan
buku-buku karya sastra idealis dengan sistem subsidi, yakni Balai Pustaka,
malah dibiarkan sekarat, dan kemudian dipailitkan.
Semestinya,
pemerintah terus mensubsidi Balai Pustaka untuk bertahan hidup guna mengurus
penerbitan buku-buku sastra idealis. Bentuk BUMN yang profit oriented tentu
kurang pas bagi Balai Pustaka, dan yang paling pas adalah menjadi semacam badan
penerbit pemerintah yang terus disubsidi untuk kepentingan pengembangan sastra
sebagai bagian dari pembentuk jati diri dan harga diri bangsa.
Selain
itu, pertunjukan baca puisi yang dikemas secara lebih menarik, dan
pertemuan-pertemuan penyair semacam PPN dan JILFest, juga perlu diperbanyak
dengan berbagai versi guna memberikan ruang yang lebih banyak bagi para penyair
guna menjangkau publik yang lebih luas. Dan, akan sangat bermanfaat jika
acara-acara semacam itu disertai dengan penerbitan buku-buku antologi puisi
dengan kemasan yang lebih menarik dan karya-karya yang lebih berkualitas,
sehingga publik luas dan pengamat sastra pun tertarik untuk melirik dan
membincangkannya. Mengawinkan puisi dengan cabang seni yang disukai publik,
seperti musik, juga perlu lebih banyak dilakukan. Ebied G. Ade dan Trio Bimbo,
juga Ully Sigar Rusyadi, pernah (pada masa jaya mereka) sangat sukses melakukan
ini dalam konteks industri kreatif yang lebih kultural. Album-album mereka,
yang melagukan puisi, sangat laris dan mendatangkan untung besar.
Saat
ini hampir tidak ada lagi upaya seperti itu yang sukses. Ada memang grup-grup
musikalisasi puisi, seperti Sanggar Matahari, tapi albumnya kurang laku karena
kurang easy listening. Ada juga
sejumlah penyair yang mulai mencoba menyanyikan puisi-puisinya sendiri, seperti
Tan Lioe Ie dan Asrizal Nur. Asrizal, dengan dukungan pertunjukan konser baca
puisi digital, bahkan juga mengemas lagu-lagu puisinya dengan pendekatan
industri kreatif. Tapi, sejauh ini, gaung album mereka belum terdengar.
Di
tengah situasi seperti itu, sangat perlu dilakukan upaya terobosan untuk
menyelamatkan puisi dari ruang sepi di tengah gempita industri kreatif yang
makin mencekiknya. Sebab, puisi adalah “ibu kesusastraan” serta misionaris
moral dan kemanusiaan yang perlu dilindungi dari kepunahannya. Kurang lengkap
peradaban tanpa kehadiran puisi. Kurang indah hidup tanpa kata-kata puitis
dalam baris-baris yang bermakna bernama sajak. Dan, seperti oksigen yang selalu
menyesap ruang-ruang kehidupan, puisi memang takkan pernah pergi, karena selalu
diperlukan kehadirannya oleh kehidupan itu sendiri. Siasat yang cerdas juga
perlu dilakukan untuk buku-buku kumpulan cerpen dan novel-novel idealis,
misalnya mengalihwahanakannya ke dalam kemasan yang lebih mudah diserap oleh
pasar industri kreatif, seperti mengemasnya ke film layar lebar dan sinetron,
atau mengalihkan teksnya ke wahana digital menjadi e-book. Tanpa siasat yang
cerdas seperti itu, karya sastra tidak akan memberi peran dan mendapat bagian
yang berarti dalam era industri kreatif yang memaksa kita semua masuk ke dalam
pusarannya. Karya sastra perlu tetap diberi tempat yang terhormat dan
menyenangkan, agar di era yang makin profit oriented itu karya sastra dapat
ikut menjaga masyarakat dan bangsa kita untuk tetap berbudaya.
Jakarta,
September 2013
Sumber rujukan:
- Herfanda, Ahmadun Yosi, “Industri Buku Sastra”, esei pada Harian Republika, Minggu, 11 November 2007.
- Herfanda, Ahmadun Yosi, “Kapitalisasi Penerbitan Buku Sastra” dalam Sastra Kota, Ahmadun Yosi Herfanda dkk., ed., kumpulan makalah untuk Temu Sastra Jakarta 2003, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Bentang Budaya, 2003.
- Mihardja, David B., “Pemetaan Industri Kreatif”, makalah seminar Creative Industry Mapping, di Jakarta, 23 Mei 2007.
- Pangestu, Mari Elka, “Pertumbuhan Sektor Industri Kreatif”, Harian Bisnis Indonesia, 24 Oktober 2007.
- Pangestu, Mari Elka, “Industri Kreatif Sumbang 7,6 Persen terhadap PDB”, sambutan pembukaan Pekna Industri Kreatif di Jakarta, Harian Pelita, 24 Juni 2013.
- Simatupang, Togar M., Industri Kreatif Indonesia, www.slideshare.net, 10 Juli 2010.
- Undang-Undang No. 31 Th 2000 Tentang Desain Industri.
- Yudhoyono, Susilo Bambang, sambutan pembukaan Pekan Produk Kreatif Indonesia 2009, di Assembly Hall Jakarta Convention Centre, Jakarta, 26 Juni 2009.
Tulisan
ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya,
28—31 Oktober 2013 yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar