OLEH Tirto Suwondo
Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta
/1/
Judul paparan ini menuntut pemahaman
terhadap apa yang dimaksud dengan istilah (1) sastra, (2) pilihan model
berpikir, dan (3) kreatif, inovatif, dan demokratis. Yang dimaksud dengan
"sastra" dalam konteks ini merujuk pada pengertian yang diajukan
Miller (2002), yaitu penggunaan secara khusus kata-kata atau tanda-tanda yang
ada dalam beberapa bentuk kebudayaan manusia di mana pun dan kapan pun. Dalam
kaitan ini sastra merupakan suatu kecerdasan universal mengenai kata-kata atau
tanda-tanda lain yang dianggap sastra. Sebagai suatu kecerdasan universal,
sastra mengeksploitasi kekuatan kata yang luar biasa untuk memberi tanda pada
ketiadaan rujukan apa pun. Di samping itu, sastra bukan semata imitasi
kata-kata tentang realitas yang sudah ada, melainkan lebih dari itu, sastra
merupakan suatu penciptaan atau penemuan dunia baru (metadunia, hiperrealitas).
Berkaitan dengan pengertian sastra di
atas, istilah "pilihan model berpikir" dalam konteks ini mengacu pada
asumsi bahwa di dalam sastra terdapat sesuatu (pola) yang fungsional dan dengan
akal budi sesuatu itu dapat dipilih dan dijadikan model untuk mempertimbangkan
dan memutuskan sesuatu yang lain. Sementara itu, istilah "kreatif,
inovatif, dan demokratis" lebih merujuk pada pengertian yang sudah umum.
Dalam filsafat proses sebagaimana diungkapkan oleh Whitehead (Sudarminto,
1991), istilah kreatif (kreativitas) mengandung makna/arti "berdaya
cipta" akibat terjadinya perbenturan antar-entitas dalam proses
subjektivikasi dan objektivikasi, sedangkan istilah inovatif --yang berkaitan
erat dengan istilah kreatif-- mengandung makna "menunjukkan sesuatu yang
baru." Sementara, istilah "demokratis" merujuk pada konsep teori
alteritas ala Bakhtin (Todorov, 1984) yang berarti dialogis (mengakui,
menghargai, dan tidak meniadakan identitas/otoritas pihak lain).
Bertolak dari beberapa pengertian yang
telah dikemukakan, sampailah kini pada pertanyaan mendasar: bagaimanakah sastra
--yang di dalam dan di sekitarnya terdapat tatanan, proses, logika, dan atau
pola tertentu-- dapat menjadi pilihan model (yang tidak sekadar) berpikir
(tetapi juga menjadi pilihan tindakan) kreatif, inovatif, dan demokratis bagi
manusia (pembaca, di mana pun di dunia) dalam mengarungi kehidupan yang kian
keras ini? Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan diuraikan secara sederhana
dalam paparan berikut.
/2/
Sebagian orang masih percaya bahwa
sastra tidak perlu dibaca. Sebab, menurut mereka, sastra hanyalah imitasi,
bukan realitas, hanyalah bayangan, bukan kenyataan hidup. Barangkali ini
dipengaruhi oleh Plato beberapa abad lalu yang menyarankan agar kita tidak
perlu membaca puisi (sastra) karena puisi menurutnya hanya tiruan, salinan, dan
karena itu berarti kepalsuan.
Namun, berkat pembelaan Aristoteles,
suatu pandangan bahwa sastra perlu (dan harus) dibaca semakin kuat karena
sastra berada dalam realitas sosial dan ia mengandung fungsi pragmatis dan
membumi (dalam kehidupan). Terlebih lagi, karena sifat imajinatif karya sastra
ternyata di suatu saat mampu membuktikan dirinya menjadi kenyataan, kian
kuatlah keyakinan bahwa sastra benar-benar perlu dibaca.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika
dalam konteks ini dikatakan bahwa sastra layak menjadi pilihan model berpikir.
Sebab, imajinasi dalam sastra mampu membawa pembaca ke arah petualangan yang
tak terbatas, dan sifat kreatif sastra cenderung mengajak pembaca untuk selalu
bertanya, berdialog, menganalisis, menyimpulkan, dan sejenisnya.
Bahwa imajinasi (dalam karya sastra)
sanggup menjadi dorongan kreatif bagi masyarakat (pembaca, penikmat) terbukti
pada contoh berikut (Joni Ariadinata, Horison, Maret 2007).
Jauh sebelum ditemukan kapal selam,
pesawat terbang, dan pesawat luar angkasa, novelis Inggris bernama Jules Verne
telah menulis dan mengimajinasikan temuan baru itu dalam novelnya 20.000 Mil
di Bawah Permukaan Laut, Mengelilingi Dunia dalam 80 Hari, dan Perjalanan
ke Bulan. Padahal, pada saat awal novel itu beredar, imajinasi Jules Verne
yang luar biasa itu dianggap mustahil.
Demikian juga, sebelum teknologi
kloning dan bayi tabung pertama dilahirkan (1988), pada 1932 Aldous Huxley,
juga novelis Inggris, telah menulis novel Brave New World yang
menggambarkan adanya koloni manusia yang tidak "dilahirkan", tetapi
"diproduksi" secara massal sesuai dengan kebutuhan jenis kelamin,
pekerjaan, postur tubuh, tingkat kecerdasan, dan sejenisnya. Embrio- embrionya
dibibitkan dalam tabung di ruang laboratorium, sperma dan ovum dipilih dan
diawetkan di suatu pusat pembibitan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa
imajinasi (dalam sastra) ternyata mampu memicu kreativitas (pembaca) dan mampu
melahirkan imajinasi baru lain untuk kemudian mewujudkannya menjadi suatu
kenyataan. Boleh jadi, kelak, imajinasi yang tertuang di dalam beberapa fiksi
sains (science fiction) yang inovatif dan sangat spekulatif, misalnya Star
Wars, Cyborg, Hulk, beragam manusia super, juga berbagai
bentuk penjelajahan ruang angkasa (antartika) lainnya, barangkali juga
tidak hanya akan berhenti pada rekayasa animasi saja, tetapi akan benar-benar
menjadi kenyataan.
Betapa sangat kreatifnya kelak jika
sejak dini anak-anak kita, misalnya, sudah dibiasakan untuk membaca dan
mengolah imajinasi yang spektakuler itu karena imajinasi yang demikian niscaya
akan menajamkan kepekaan dan kesadaran kreatif dan kritis yang kelak dibutuhkan
oleh bidang ilmu apa pun.
Meskipun sampai hari ini belum (tidak)
lahir karya-karya fiksi sains yang futuristis seperti di dunia Barat,
sebenarnya ada beberapa karya sastra Indonesia yang memiliki kecenderungan ke
arah itu.
Bacalah, misalnya, bagaimana Budi Darma
dalam cerpen Orang-Orang Bloomington (1980) dan novel Olenka (1983)
secara kreatif menciptakan tokoh-tokoh setengah manusia dan setengah robot;
bagaimana Danarto dalam cerpen "Paris Nostradamus" (1988) meramalkan
suatu saat nanti kota Paris akan ditinggalkan penghuninya dan duplikat kota itu
dipindahkan di bawah tanah; dan bagaimana pula Danarto dalam cerpen
"Jakarta 2020 atawa Holobot" (1995) memprediksi apa yang akan terjadi
di kota Jakarta pada 2020.
Bahkan, kalau kita mencoba menengok
karya klasik Jawa, Jayabaya dan Ranggawarsita juga telah meramalkan bahwa kelak
akan (dan kini telah) terjadi zaman EDAN. Menurut James F. Sundah (2013), kata
EDAN itu identik dengan (E)lektronik, (D)igital, (A)ngka-angka, dan (N)orma
Baru. Kita tahu dan percaya bahwa imajinasi kreatif mereka (yang keluar dan
masuk ke dalam metadunia, hiperrealitas) itu kini sebagian telah terbukti.
Tanda atau signal ke arah itu
sudah bisa dirasakan, bahkan sudah tampak di depan mata, misalnya segala
sesuatu (ruang dan waktu) di dunia ini telah berhasil dikemas secara praktis,
teknis, dan teknologis dengan ukuran kuantitatif dan efisiensif. Karena itu,
pujangga Jawa itu menyarankan, kita harus senantiasa ingat dan waspada.
Tindakan kreatif dan inovatif pengarang
(dalam sastra) seperti di atas-lah yang layak dan dapat dijadikan model
berpikir kita (pembaca) dalam rangka mengarungi kehidupan ini. Kalau kita
melakukan pencermatan bagaimana pengarang mengolah sesuatu (tema, problem
kehidupan) ke dalam tatanan struktur (teknik penceritaan, penataan konflik, dan
pemecahan masalah), hasilnya tentu akan dapat menuntun kita untuk dapat
bertindak secara kreatif, inovatif, dan demokratis (dalam pengertian menjunjung
tinggi kebenaran dan menghargai hak dan otoritas pihak lain).
Dalam kaitan dengan problem kehidupan
keagamaan, misalnya, imajinasi kreatif A.A. Navis layak menjadi model. Berkat
diilhami oleh cerita tentang banyaknya orang Indonesia yang masuk neraka akibat
kemalasannya, Navis menulis cerpen "Robohnya Surau Kami" (1955,
terbit 1956) dan dilihat dari pola berpikirnya diulang kembali dalam cerpen
"Datangnya dan Perginya" (1956).
Dalam dua cerpen ini Navis membangun
oposisi biner antara surga dan neraka, antara sikap keagamaan dan sikap
kemanusiaan. Melalui oposisi biner ini kita "diminta" untuk memilih,
mana yang lebih penting dan harus diambil. Apakah kita harus memilih sikap
sesuai dengan hukum agama dengan konsekuensi menghancurkan kebahagiaan manusia,
ataukah kita harus berpihak pada sikap kemanusiaan dengan konsekuensi
menanggung dosa menurut hukum dan syariat agama? Tampak bahwa di dalam dua
cerpen ini Navis lebih memilih "kepentingan dunia (kemanusiaan)"
daripada "kewajiban melakukan syariat dan hukum-hukum keagamaan."
Pilihan sikap Navis demikian melahirkan
problem tersendiri karena hal itu berarti ada semacam reduksi terhadap
hukum-hukum agama, di samping ada penyimpangan yang seolah agama bukan untuk
kepentingan manusia. Berkat problem yang demikian, Navis secara kreatif
kemudian mencoba mengubah sikap dan cara berpikirnya, dan sikap itu dituangkan
ke dalam novel Kemarau (terbit pertama 1963).
Dalam novel yang kelahirannya diilhami
oleh film Jepang (Naked Island) tentang sebuah keluarga yang hidup di
daerah tandus sehingga untuk memenuhi kebutuhannya mereka harus mengambil air
di pulau lain (Eneste, 1982), Navis tidak lagi menyodorkan pilihan opositif
yang sama-sama berat. Akan tetapi, secara inovatif bahkan demokratis Navis
mengakomodasi keduanya, yaitu berpihak kepada agama tetapi tetap memberikan
ruang untuk kebahagiaan manusia di dunia. Memang demikian model berpikir yang
dikehendaki oleh horison harapan pembaca sesuai dengan kondisi dan nilai-nilai
(etika) budaya yang berlaku dalam masyarakat kita (Indonesia).
Hal senada diungkapkan oleh Mohammad
Diponegoro ketika menulis dan kemudian mementaskan lakon (drama) Iblis (1961,
terbit 1983) di berbagai kota di Indonesia. Iblis adalah sebuah lakon
yang mengaktualisasi peristiwa sejarah Islam yang sampai sekarang diperingati
sebagai Idul-Qurban.
Lakon ini mengisahkan ketegaran Ibrahim
ketika menerima ujian berat dari Tuhan untuk menyembelih (mengorbankan) Ismail
(anaknya sendiri). Akan tetapi, yang lebih penting ialah bahwa melalui lakon
ini secara kreatif kisah Ibrahim itu oleh Mohammad Diponegoro disarikan dan
dihubungkan dengan kehidupan masa kini untuk merepresentasikan kenyataan bahwa
di Indonesia masih banyak manusia yang hatinya dikuasai iblis (penjahat,
koruptor, dll.).
Hal tersebut berarti bahwa melalui
lakon Iblis pengarang secara inovatif melakukan pengubahan konsep atau
arah berpikir --tidak seperti pada lakon-lakon yang ada sebelumnya-- dengan
tujuan agar ada hubungan homologis antara imajinasi dan realitas, selain ada
korelasi antara sastra dan kehidupan nyata. Bahkan, jika dilihat melalui
tatanan organisasi pementasannya, Mohammad Diponegoro juga melakukan
pembaharuan secara demokratis karena kehadiran penonton diposisikan ke dalam
kedudukan yang sama dengan para tokoh sehingga mereka dapat berdialog secara bebas.
Itulah sebabnya, tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa pola dan cara berpikir Mohammad Diponegoro layak menjadi model
berpikir kreatif, inovatif, dan demokratis bagi kita (pembaca dan atau
penonton).
Contoh lain dapat ditunjukkan mengenai
bagaimana seharusnya berpikir tentang priayi dan maknanya dalam konteks
kehidupan modern sekarang ini. Tentang hal ini kita dapat belajar banyak dari
novel Para Priyayi (1992) karya Umar Kayam. Tampak bahwa novel ini lahir
dari hasil pengamatan terhadap kenyataan bahwa di sekitar kita terdapat banyak
priyayi yang tidak tahu akan kepriyayiannya, priyayi yang jauh dari nilai,
jiwa, dan semangat priyayi yang sesungguhnya.
Oleh sebab itu, melalui novel ini Umar
Kayam ingin menyadarkan kita (pembaca) bahwa konsep dan makna priyayi sudah
berubah. Pada masa lalu, priyayi identik dengan bangsawan, birokrat
pemerintahan, yang berdiri di atas dan menjadi pengayom dan sumber nilai bagi
rakyat bawah (wong cilik); sedangkan pada masa kini tidak demikian
karena wong cilik pun dapat masuk ke jenjang priyayi apabila berhasil
melewati proses mobilitas sosial tertentu.
Bertolak dari pandangan itulah kemudian
Umar Kayam mencoba membangun imajinasi kreatif dalam novel dengan cara
menempatkan tokoh Lantip yang "kontroversial", yang "mestinya
tidak bisa menjadi priyayi karena ia hanya seorang anak jadah", ke dalam
kedudukan yang justru paling tinggi.
Pengambilan sikap demikian bukan tanpa
alasan; alasan utamanya ialah karena orang-orang (tokoh) seperti Harimoerti,
Noegroho, Hardoyo, dan Soemini yang seharusnya menempati posisi priyayi karena
memiliki garis keturunan (bangsawan) itu ternyata telah memiliki "cacat
atau kesalahan besar" terhadap keluarga besar (kepriyayian).
Karena itu, hanya Lantip-lah --walau ia
bukan darah biru-- yang pantas menjadi priyayi karena hanya ia yang mampu
menjiwai dan mempraktikkan semangat pengabdian (penghambaan) dan nilai-nilai
priyayi yang sesungguhnya. Bahkan, penghambaan Lantip yang demikian besar itu
digambarkan sebesar penghambaan tiga tokoh (tiga teladan, Tripama) dalam
dunia wayang (Sumantri, Kumbakarna, dan Karna).
Hanya saja, terhadap konsep priyayi
ini, tampak bahwa Umar Kayam secara demokratis membuka dan menawarkan hal yang
mencerahkan. Hal mencerahkan yang dikemukakan ialah bahwa kemungkinan besar di
masa-masa yang akan datang sebutan "priyayi" tidak akan lagi
bermakna.
Dikatakan demikian karena kelak apa
yang disebut "priyayi" tidak akan dilihat sebagai sebuah status,
tidak akan dipandang sebagai sebuah golongan sosial tertentu yang menjadi
pelindung dan sumber nilai bagi golongan sosial lain (wong cilik),
tetapi hanya dilihat sebagai suatu konsep hidup yang eksistensinya diukur dari
tatanan, sikap moral, dan etikanya.
Oleh karena itu, secara demokratis Umar
Kayam dalam novelnya menyatakan --melalui mulut tokoh Lantip seusai berpidato
di depan rapat keluarga besar-- bahwa kata "priyayi" tidaklah perlu
dimaknai karena yang terpenting dalam kehidupan modern ini ialah seberapa besar
seseorang (manusia) dapat berarti bagi orang (manusia) lain tanpa harus
membedakan status, kedudukan, kekayaan, dan sebagainya. Demikian cara atau
model berpikir Umar Kayam yang bermanfaat bagi kita dalam upaya mengatasi
berbagai problem kehidupan kini dan nanti.
Kalau Umar Kayam melalui novelnya
mengajak kita untuk berpikir mengenai priyayi dan berbagai latar belakang serta
latar depannya, berbeda halnya dengan Kuntowijoyo melalui novelnya Mantra
Pejinak Ular (2000).
Melalui novel ini Kuntowijoyo memandu
kita (pembaca) untuk berpikir secara kreatif dalam menyikapi realitas sejarah
sosial-politik pada masa Orde Baru. Membaca novel ini ibarat menikmati potret
buram tentang apa yang terjadi ketika rezim Orde Baru berkuasa. Kuntowijoyo
melihat bahwa di masa itu ketidakadilan sudah ada di mana-mana. Katanya, para
penguasa bukan lagi pamong, tetapi maling berdasi, berbintang, dan
berpendidikan.
Para penguasa, pengusaha, dan tentara
bersekongkol untuk memeras rakyat. Mereka mengaku satria padahal sebenarnya
perampok. Hutan dibabat habis, tambang di perut bumi dikuras, tanah di bukit-bukit
dikapling, tidak tersisa untuk anak cucu, dan rakyat (wong cilik) digusur
tanpa perikemanusiaan.
Fakta sejarah demikian yang kemudian
menggugah nurani Kuntowijoyo untuk berpikir bagaimana cara menghentikan
kekuasaan yang menindas itu. Namun, karena tidak memiliki posisi dalam
birokrasi pemerintahan, ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Dan karena kekuasaan Orde Baru dengan
mesin politiknya yang single majority begitu kuat, ia berpikir bahwa
sistem otoriter itu tak mungkin bisa dihentikan. Oleh sebab itu, sebagai
sastrawan kreatif, ia harus melawan lewat sastra. Ia yakin bahwa sastra yang
berjuang untuk kebenaran itu akan mampu melakukan perubahan. Ia juga yakin
bahwa sastra (seni) akan memberi air bagi mereka yang kehausan, akan memberi
payung bagi mereka yang kehujanan, dan akan memberi tongkat bagi pejalan yang
sempoyongan.
Bertolak dari keyakinan itu kemudian
Kuntowijoyo menampilkan sosok tokoh dalang (Abu Kasan Sapari) dalam dunia
wayang untuk membeberkan bagaimana sepak-terjang Orde Baru dan penyelewengannya
atas demokrasi. Mengapa ia mengungkap realitas sejarah itu melalui dunia
wayang? Baginya, dunia wayang merupakan medium yang paling pas untuk
menjelaskan hubungan raja dan kawula, pemerintah dan rakyat, penguasa dan wong
cilik, dan sejenisnya.
Dengan begitu, melalui wayang ia dapat
dengan bebas membeberkan esensi demokrasi bagi sebuah pemerintahan. Selain itu,
ia juga menggunakan mitos (ular) sebagai aksentuasi simbolik atas novelnya.
Hanya saja, unsur mitos itu tidak dilihat bagaimana cara berpikirnya, tetapi
dilihat fungsinya, yaitu sebagai kekuatan untuk mengutuhkan pengalaman manusia
tentang realitas. Dan realitas sejarah yang terjadi pada masa Orde Baru adalah
realitas kekuasaan yang menindas sehingga melalui novelnya Kuntowijoyo mengajak
kita untuk keluar dari belenggu penindasan itu. Begitulah model berpikir
kreatif Kuntowijoyo yang dapat diteladani ketika kita menghadapi realitas
sejarah yang sama.
Model berpikir Seno Gumira Adjidarma
agaknya sejalan dengan model berpikir Kuntowijoyo. Melalui kumpulan cerpennya Saksi
Mata (1994), Seno juga mengajak kita (pembaca) untuk melihat bagaimana
kekejaman Orde Baru terhadap rakyat Timor Timur. Ketika terjadi insiden Dilli,
sebagai wartawan Seno berusaha melawan kekejaman penguasa itu dengan cara mengungkapkan
kebenaran melalui reportase jurnalistiknya.
Akan tetapi, ketika laporan jurnalistik
itu dimuat di majalah Jakarta-Jakarta, apa yang diungkap di dalamnya
dianggap mengganggu stabilitas oleh penguasa (Adjidarma, 1997) sehingga ia
(sempat) dipecat dari posisinya sebagai wartawan. Namun, sebagai sastrawan ia
berpikir dan bertindak dengan cara lain. Itulah sebabnya, ia kemudian
"melawan" dengan cara menulis cerita sehingga lahirlah sejumlah
cerpen yang kemudian dimuat dalam buku Saksi Mata.
Menurut pengakuannya, dengan dan
melalui cerita, Seno dapat dengan leluasa mengungkapkan kebenaran tanpa harus
berurusan dengan pihak penguasa. Ia berpikir bahwa dengan dan melalui cerita ia
telah berusaha mengatakan kebenaran dan kejujuran, walaupun dengan jujur pula
ia mengatakan bahwa kita (sebagai pembaca) memiliki hak penuh --secara bebas
dan demokratis-- untuk memberikan penilaian atas apa yang dikatakannya sebagai
kebenaran.
Demikian konsep berpikir kreatif,
inovatif, dan demokratis Seno yang tampak dalam tindakan dan karya-karyanya.
Konsep demikian tentu saja dapat sama dan dapat pula berbeda dengan konsep
pengarang lain karena pada dasarnya setiap orang, termasuk pengarang, memiliki
cara, pola, atau sudut pandang sendiri-sendiri walaupun mungkin objek atau
peristiwa yang dihadapi sama.
Katakanlah, misalnya, ketika sama-sama
melihat, mengungkap, dan berpikir tentang penjajahan (Belanda) beserta
dampak-dampaknya, Suparto Brata melalui trilogi novelnya Gadis Tangsi (2004,
2006, 2007) berbeda dengan Pramoedya Ananta Toer melalui tetralogi novelnya Bumi
Manusia (1980, 1985, 1987).
Kalau Suparto Brata dalam Gadis
Tangsi lebih lunak menyikapi bagaimana sepak terjang Belanda di Indonesia,
Pramoedya Ananta Toer lewat Bumi Manusia tampak lebih keras dan tegas.
Demikian juga dengan sikap Ahmad Tohari ketika memperlakukan dunia wayang dalam
trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982, 1985, 1986) berbeda dengan sikap
Seno Gumira Adjidarma dalam novel Kitab Omong Kosong (2004).
Kalau oleh Ahmad Tohari dunia wayang
digunakan sebagai pegangan atau pakem sebuah perjalanan hidup manusia, oleh
Seno Gumira dunia wayang justru digunakan untuk melakukan dekonstruksi terhadap
kemapanan.
Kendati demikian, yang terpenting dalam
konteks ini bukanlah persamaan atau perbedaan di antara mereka, melainkan
bagaimana melalui imajinasinya mereka berpikir secara kreatif dan bertindak
secara inovatif dan demokratis. Pikiran dan tindakan mereka yang tertuang di
dalam karya (sastra) itulah yang penting dan perlu dicerna oleh kita sebagai
pembaca karena semua itu dapat menjadi pemicu bagi pikiran dan tindakan yang
sama. Hanya persoalannya, apakah perilaku yang terbangun di dalam dan di
sekitar sastra itu telah menjadi sumber ilham bagi anak-anak dan generasi muda
untuk berperilaku yang sama di tengah situasi budaya yang dikuasai oleh pola
yang serba instan dan matematis ini?
/3/
Meskipun hanya sekilas, paparan di atas
memperlihatkan kepada kita betapa di dalam dan di sekitar keberadaan (karya)
sastra telah muncul dan terjadi beragam proses. Proses itu mulai dari bagaimana
hebatnya pengaruh imajinasi dalam sastra bagi pembaca, bagaimana peran
kreativitas dan tindakan inovatif pengarang ketika menulis karya (sastra),
sampai pada bagaimana kebebasan itu terbangun secara demokratis di dalam dan di
sekitar kehadiran sastra.
Beragam proses yang terjadi dan muncul
di dalam dan di sekitar sastra inilah yang --kalau hal itu boleh dianggap
sebagai sebuah cermin-- dapat menjadi sarana untuk berkaca bagi siapa pun yang
berkeinginan agar kita (bangsa kita) lebih kreatif, inovatif, dan demokratis.
Pernyataan tersebut barangkali dapat
dipandang berlebihan, bahkan bombas, tetapi kenyataan yang tidak dapat
dipungkiri ialah bahwa sampai hari ini Indonesia masih tidak menghargai sastra;
padahal diyakini bahwa sastra memberikan gambaran kehidupan (alternatif) yang
lengkap dan mampu menyentuh kesadaran kemanusiaan kita.
Seandainya sejak awal Indonesia memberi
peluang yang luas, setidaknya cukup, bagi kehadiran sastra di setiap sudut
ruang kelas, barangkali kegaduhan di jalan-jalan kota tidak akan terjadi
seperti sekarang. Demikian juga, seandainya bangsa ini sejak awal telah diberi
keleluasaan untuk mengembangkan kejujuran dan kemerdekaan kreatif seperti yang
terbangun di dalam sastra, agaknya kursi-kursi kekuasaan tidak akan diduduki
oleh orang-orang yang gila kekuasaan (dan kekayaan).
Hanya saja, sayangnya, sampai sekarang
kita belum sadar akan hal tersebut. Sebagai model berpikir kreatif, inovatif,
dan demokratis tampak sastra belum menjadi pilihan (dan pegangan) hidup. Kenyataan
demikian terkadang dapat dipahami karena sastra hingga dewasa ini belum mampu
menjadikan dirinya sebagai sesuatu yang dapat memberi jaminan hidup secara
ekonomis. Padahal, sejak awal pikiran dan pilihan hidup (bangsa) kita sudah
terlanjur dibingkai oleh segala sesuatu yang bersifat ekonomis sehingga
terjebak hanya pada penampilan, bentuk, dan eksistensi, bukan pada isi dan
esensi. ***
DAFTAR
PUSTAKA
Adjidarma, Seno
Gumira. 1994. Saksi Mata. Yogyakarta: Bentang Budaya.
----------.
1997. Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Yogyakarta:
Bentang Budaya.
----------.
2004. Kitab Omong Kosong. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Ariadinata,
Joni. 2007. "Senang Mengarang (Catatan Kebudayaan)." Dalam Horison,
Maret 2007.
Brata, Suparto.
2004. Gadis Tangsi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
----------.
2006. Kerajaan Raminem. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
----------.
2007. Mahligai di Ufuk Timur. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Danarto. 1988.
"Paris Nostradamus". Dimuat dalam Setangkai Melati di Sayap Jibril
(2001). Yogyakarta: Bentang Budaya.
----------.
1995. "Jakarta 2020 Atawa Holobot". Dimuat dalam Setangkai Melati
di Sayap Jibril (2001). Yogyakarta: Bentang Budaya.
Darma, Budi.
1980. Orang-Orang Bloomington. Jakarta: Sinar Harapan.
----------.
1983. Olenka. Jakarta: Balai Pustaka.
Diponegoro,
Mohammad. 1983. Iblis. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Eneste, Pamusuk.
1982. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: Gramedia.
Kayam, Umar .
1992. Para Priyayi. Jakarta: Grafiti.
Kuntowijoyo.
2000. Mantra Pejinak Ular. Jakarta: Penerbit Kompas.
Miller, J.
Hillis. 2002. On Literature. London: Routledge.
Navis, A.A.
1956. Robohnya Surau Kami. Jakarta-Bukittinggi: Nusantara.
----------.
1967. Kemarau. Jakarta-Bukittinggi:
Nusantara.
Sudarminta.
1991. Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred North
Whitehead. Yogyakarta: Kanisius.
Sundah, James F.
2013. "Diplomasi Kebudayaan." Makalah Kongres Kebudayaan Indonesia
2013.
Todorov,
Tzvetan. 1984. Mikhail Bakhtin: The Dialogical Principle. Translated by
Wlad Godzich. Manchester: Manchester University Press.
Toer, Pramoedya
Ananta. 1980. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.
----------.
1980. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra.
----------.
1985. Jejak Langkah. Jakarta: Hasta Mitra.
----------.
1987. Rumah Kaca. Jakarta: Hasta Mitra.
Tohari, Ahmad.
1982. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia.
----------.
1985. Lintang Kemukus Dini Hari. Jakarta: Gramedia.
----------. 1986. Jantera Bianglala. Jakarta:
Gramedia.
Tulisan
ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya,
28—31 Oktober 2013 di Jakarta, yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar