Sabtu, 07 Maret 2015

Sastra sebagai Pilihan Model Berpikir Kreatif. Inovatif, dan Demokratis

OLEH Tirto Suwondo
Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta
/1/
Judul paparan ini menuntut pemahaman terhadap apa yang dimaksud dengan istilah (1) sastra, (2) pilihan model berpikir, dan (3) kreatif, inovatif, dan demokratis. Yang dimaksud dengan "sastra" dalam konteks ini merujuk pada pengertian yang diajukan Miller (2002), yaitu penggunaan secara khusus kata-kata atau tanda-tanda yang ada dalam beberapa bentuk kebudayaan manusia di mana pun dan kapan pun. Dalam kaitan ini sastra merupakan suatu kecerdasan universal mengenai kata-kata atau tanda-tanda lain yang dianggap sastra. Sebagai suatu kecerdasan universal, sastra mengeksploitasi kekuatan kata yang luar biasa untuk memberi tanda pada ketiadaan rujukan apa pun. Di samping itu, sastra bukan semata imitasi kata-kata tentang realitas yang sudah ada, melainkan lebih dari itu, sastra merupakan suatu penciptaan atau penemuan dunia baru (metadunia, hiperrealitas).

Berkaitan dengan pengertian sastra di atas, istilah "pilihan model berpikir" dalam konteks ini mengacu pada asumsi bahwa di dalam sastra terdapat sesuatu (pola) yang fungsional dan dengan akal budi sesuatu itu dapat dipilih dan dijadikan model untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu yang lain. Sementara itu, istilah "kreatif, inovatif, dan demokratis" lebih merujuk pada pengertian yang sudah umum. Dalam filsafat proses sebagaimana diungkapkan oleh Whitehead (Sudarminto, 1991), istilah kreatif (kreativitas) mengandung makna/arti "berdaya cipta" akibat terjadinya perbenturan antar-entitas dalam proses subjektivikasi dan objektivikasi, sedangkan istilah inovatif --yang berkaitan erat dengan istilah kreatif-- mengandung makna "menunjukkan sesuatu yang baru." Sementara, istilah "demokratis" merujuk pada konsep teori alteritas ala Bakhtin (Todorov, 1984) yang berarti dialogis (mengakui, menghargai, dan tidak meniadakan identitas/otoritas pihak lain).
Bertolak dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan, sampailah kini pada pertanyaan mendasar: bagaimanakah sastra --yang di dalam dan di sekitarnya terdapat tatanan, proses, logika, dan atau pola tertentu-- dapat menjadi pilihan model (yang tidak sekadar) berpikir (tetapi juga menjadi pilihan tindakan) kreatif, inovatif, dan demokratis bagi manusia (pembaca, di mana pun di dunia) dalam mengarungi kehidupan yang kian keras ini? Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan diuraikan secara sederhana dalam paparan berikut.
/2/
Sebagian orang masih percaya bahwa sastra tidak perlu dibaca. Sebab, menurut mereka, sastra hanyalah imitasi, bukan realitas, hanyalah bayangan, bukan kenyataan hidup. Barangkali ini dipengaruhi oleh Plato beberapa abad lalu yang menyarankan agar kita tidak perlu membaca puisi (sastra) karena puisi menurutnya hanya tiruan, salinan, dan karena itu berarti kepalsuan.
Namun, berkat pembelaan Aristoteles, suatu pandangan bahwa sastra perlu (dan harus) dibaca semakin kuat karena sastra berada dalam realitas sosial dan ia mengandung fungsi pragmatis dan membumi (dalam kehidupan). Terlebih lagi, karena sifat imajinatif karya sastra ternyata di suatu saat mampu membuktikan dirinya menjadi kenyataan, kian kuatlah keyakinan bahwa sastra benar-benar perlu dibaca.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dalam konteks ini dikatakan bahwa sastra layak menjadi pilihan model berpikir. Sebab, imajinasi dalam sastra mampu membawa pembaca ke arah petualangan yang tak terbatas, dan sifat kreatif sastra cenderung mengajak pembaca untuk selalu bertanya, berdialog, menganalisis, menyimpulkan, dan sejenisnya.
Bahwa imajinasi (dalam karya sastra) sanggup menjadi dorongan kreatif bagi masyarakat (pembaca, penikmat) terbukti pada contoh berikut (Joni Ariadinata, Horison, Maret 2007).
Jauh sebelum ditemukan kapal selam, pesawat terbang, dan pesawat luar angkasa, novelis Inggris bernama Jules Verne telah menulis dan mengimajinasikan temuan baru itu dalam novelnya 20.000 Mil di Bawah Permukaan Laut, Mengelilingi Dunia dalam 80 Hari, dan Perjalanan ke Bulan. Padahal, pada saat awal novel itu beredar, imajinasi Jules Verne yang luar biasa itu dianggap mustahil.
Demikian juga, sebelum teknologi kloning dan bayi tabung pertama dilahirkan (1988), pada 1932 Aldous Huxley, juga novelis Inggris, telah menulis novel Brave New World yang menggambarkan adanya koloni manusia yang tidak "dilahirkan", tetapi "diproduksi" secara massal sesuai dengan kebutuhan jenis kelamin, pekerjaan, postur tubuh, tingkat kecerdasan, dan sejenisnya. Embrio- embrionya dibibitkan dalam tabung di ruang laboratorium, sperma dan ovum dipilih dan diawetkan di suatu pusat pembibitan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa imajinasi (dalam sastra) ternyata mampu memicu kreativitas (pembaca) dan mampu melahirkan imajinasi baru lain untuk kemudian mewujudkannya menjadi suatu kenyataan. Boleh jadi, kelak, imajinasi yang tertuang di dalam beberapa fiksi sains (science fiction) yang inovatif dan sangat spekulatif, misalnya Star Wars, Cyborg, Hulk, beragam manusia super, juga berbagai bentuk penjelajahan ruang angkasa (antartika) lainnya, barangkali juga tidak hanya akan berhenti pada rekayasa animasi saja, tetapi akan benar-benar menjadi kenyataan.
Betapa sangat kreatifnya kelak jika sejak dini anak-anak kita, misalnya, sudah dibiasakan untuk membaca dan mengolah imajinasi yang spektakuler itu karena imajinasi yang demikian niscaya akan menajamkan kepekaan dan kesadaran kreatif dan kritis yang kelak dibutuhkan oleh bidang ilmu apa pun.
Meskipun sampai hari ini belum (tidak) lahir karya-karya fiksi sains yang futuristis seperti di dunia Barat, sebenarnya ada beberapa karya sastra Indonesia yang memiliki kecenderungan ke arah itu.
Bacalah, misalnya, bagaimana Budi Darma dalam cerpen Orang-Orang Bloomington (1980) dan novel Olenka (1983) secara kreatif menciptakan tokoh-tokoh setengah manusia dan setengah robot; bagaimana Danarto dalam cerpen "Paris Nostradamus" (1988) meramalkan suatu saat nanti kota Paris akan ditinggalkan penghuninya dan duplikat kota itu dipindahkan di bawah tanah; dan bagaimana pula Danarto dalam cerpen "Jakarta 2020 atawa Holobot" (1995) memprediksi apa yang akan terjadi di kota Jakarta pada 2020.
Bahkan, kalau kita mencoba menengok karya klasik Jawa, Jayabaya dan Ranggawarsita juga telah meramalkan bahwa kelak akan (dan kini telah) terjadi zaman EDAN. Menurut James F. Sundah (2013), kata EDAN itu identik dengan (E)lektronik, (D)igital, (A)ngka-angka, dan (N)orma Baru. Kita tahu dan percaya bahwa imajinasi kreatif mereka (yang keluar dan masuk ke dalam metadunia, hiperrealitas) itu kini sebagian telah terbukti.
Tanda atau signal ke arah itu sudah bisa dirasakan, bahkan sudah tampak di depan mata, misalnya segala sesuatu (ruang dan waktu) di dunia ini telah berhasil dikemas secara praktis, teknis, dan teknologis dengan ukuran kuantitatif dan efisiensif. Karena itu, pujangga Jawa itu menyarankan, kita harus senantiasa ingat dan waspada.
Tindakan kreatif dan inovatif pengarang (dalam sastra) seperti di atas-lah yang layak dan dapat dijadikan model berpikir kita (pembaca) dalam rangka mengarungi kehidupan ini. Kalau kita melakukan pencermatan bagaimana pengarang mengolah sesuatu (tema, problem kehidupan) ke dalam tatanan struktur (teknik penceritaan, penataan konflik, dan pemecahan masalah), hasilnya tentu akan dapat menuntun kita untuk dapat bertindak secara kreatif, inovatif, dan demokratis (dalam pengertian menjunjung tinggi kebenaran dan menghargai hak dan otoritas pihak lain).
Dalam kaitan dengan problem kehidupan keagamaan, misalnya, imajinasi kreatif A.A. Navis layak menjadi model. Berkat diilhami oleh cerita tentang banyaknya orang Indonesia yang masuk neraka akibat kemalasannya, Navis menulis cerpen "Robohnya Surau Kami" (1955, terbit 1956) dan dilihat dari pola berpikirnya diulang kembali dalam cerpen "Datangnya dan Perginya" (1956).
Dalam dua cerpen ini Navis membangun oposisi biner antara surga dan neraka, antara sikap keagamaan dan sikap kemanusiaan. Melalui oposisi biner ini kita "diminta" untuk memilih, mana yang lebih penting dan harus diambil. Apakah kita harus memilih sikap sesuai dengan hukum agama dengan konsekuensi menghancurkan kebahagiaan manusia, ataukah kita harus berpihak pada sikap kemanusiaan dengan konsekuensi menanggung dosa menurut hukum dan syariat agama? Tampak bahwa di dalam dua cerpen ini Navis lebih memilih "kepentingan dunia (kemanusiaan)" daripada "kewajiban melakukan syariat dan hukum-hukum keagamaan."
Pilihan sikap Navis demikian melahirkan problem tersendiri karena hal itu berarti ada semacam reduksi terhadap hukum-hukum agama, di samping ada penyimpangan yang seolah agama bukan untuk kepentingan manusia. Berkat problem yang demikian, Navis secara kreatif kemudian mencoba mengubah sikap dan cara berpikirnya, dan sikap itu dituangkan ke dalam novel Kemarau (terbit pertama 1963).
Dalam novel yang kelahirannya diilhami oleh film Jepang (Naked Island) tentang sebuah keluarga yang hidup di daerah tandus sehingga untuk memenuhi kebutuhannya mereka harus mengambil air di pulau lain (Eneste, 1982), Navis tidak lagi menyodorkan pilihan opositif yang sama-sama berat. Akan tetapi, secara inovatif bahkan demokratis Navis mengakomodasi keduanya, yaitu berpihak kepada agama tetapi tetap memberikan ruang untuk kebahagiaan manusia di dunia. Memang demikian model berpikir yang dikehendaki oleh horison harapan pembaca sesuai dengan kondisi dan nilai-nilai (etika) budaya yang berlaku dalam masyarakat kita (Indonesia).
Hal senada diungkapkan oleh Mohammad Diponegoro ketika menulis dan kemudian mementaskan lakon (drama) Iblis (1961, terbit 1983) di berbagai kota di Indonesia. Iblis adalah sebuah lakon yang mengaktualisasi peristiwa sejarah Islam yang sampai sekarang diperingati sebagai Idul-Qurban.
Lakon ini mengisahkan ketegaran Ibrahim ketika menerima ujian berat dari Tuhan untuk menyembelih (mengorbankan) Ismail (anaknya sendiri). Akan tetapi, yang lebih penting ialah bahwa melalui lakon ini secara kreatif kisah Ibrahim itu oleh Mohammad Diponegoro disarikan dan dihubungkan dengan kehidupan masa kini untuk merepresentasikan kenyataan bahwa di Indonesia masih banyak manusia yang hatinya dikuasai iblis (penjahat, koruptor, dll.).
Hal tersebut berarti bahwa melalui lakon Iblis pengarang secara inovatif melakukan pengubahan konsep atau arah berpikir --tidak seperti pada lakon-lakon yang ada sebelumnya-- dengan tujuan agar ada hubungan homologis antara imajinasi dan realitas, selain ada korelasi antara sastra dan kehidupan nyata. Bahkan, jika dilihat melalui tatanan organisasi pementasannya, Mohammad Diponegoro juga melakukan pembaharuan secara demokratis karena kehadiran penonton diposisikan ke dalam kedudukan yang sama dengan para tokoh sehingga mereka dapat berdialog secara bebas.
Itulah sebabnya, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pola dan cara berpikir Mohammad Diponegoro layak menjadi model berpikir kreatif, inovatif, dan demokratis bagi kita (pembaca dan atau penonton).
Contoh lain dapat ditunjukkan mengenai bagaimana seharusnya berpikir tentang priayi dan maknanya dalam konteks kehidupan modern sekarang ini. Tentang hal ini kita dapat belajar banyak dari novel Para Priyayi (1992) karya Umar Kayam. Tampak bahwa novel ini lahir dari hasil pengamatan terhadap kenyataan bahwa di sekitar kita terdapat banyak priyayi yang tidak tahu akan kepriyayiannya, priyayi yang jauh dari nilai, jiwa, dan semangat priyayi yang sesungguhnya.
Oleh sebab itu, melalui novel ini Umar Kayam ingin menyadarkan kita (pembaca) bahwa konsep dan makna priyayi sudah berubah. Pada masa lalu, priyayi identik dengan bangsawan, birokrat pemerintahan, yang berdiri di atas dan menjadi pengayom dan sumber nilai bagi rakyat bawah (wong cilik); sedangkan pada masa kini tidak demikian karena wong cilik pun dapat masuk ke jenjang priyayi apabila berhasil melewati proses mobilitas sosial tertentu.
Bertolak dari pandangan itulah kemudian Umar Kayam mencoba membangun imajinasi kreatif dalam novel dengan cara menempatkan tokoh Lantip yang "kontroversial", yang "mestinya tidak bisa menjadi priyayi karena ia hanya seorang anak jadah", ke dalam kedudukan yang justru paling tinggi.
Pengambilan sikap demikian bukan tanpa alasan; alasan utamanya ialah karena orang-orang (tokoh) seperti Harimoerti, Noegroho, Hardoyo, dan Soemini yang seharusnya menempati posisi priyayi karena memiliki garis keturunan (bangsawan) itu ternyata telah memiliki "cacat atau kesalahan besar" terhadap keluarga besar (kepriyayian).
Karena itu, hanya Lantip-lah --walau ia bukan darah biru-- yang pantas menjadi priyayi karena hanya ia yang mampu menjiwai dan mempraktikkan semangat pengabdian (penghambaan) dan nilai-nilai priyayi yang sesungguhnya. Bahkan, penghambaan Lantip yang demikian besar itu digambarkan sebesar penghambaan tiga tokoh (tiga teladan, Tripama) dalam dunia wayang (Sumantri, Kumbakarna, dan Karna).
Hanya saja, terhadap konsep priyayi ini, tampak bahwa Umar Kayam secara demokratis membuka dan menawarkan hal yang mencerahkan. Hal mencerahkan yang dikemukakan ialah bahwa kemungkinan besar di masa-masa yang akan datang sebutan "priyayi" tidak akan lagi bermakna.
Dikatakan demikian karena kelak apa yang disebut "priyayi" tidak akan dilihat sebagai sebuah status, tidak akan dipandang sebagai sebuah golongan sosial tertentu yang menjadi pelindung dan sumber nilai bagi golongan sosial lain (wong cilik), tetapi hanya dilihat sebagai suatu konsep hidup yang eksistensinya diukur dari tatanan, sikap moral, dan etikanya.
Oleh karena itu, secara demokratis Umar Kayam dalam novelnya menyatakan --melalui mulut tokoh Lantip seusai berpidato di depan rapat keluarga besar-- bahwa kata "priyayi" tidaklah perlu dimaknai karena yang terpenting dalam kehidupan modern ini ialah seberapa besar seseorang (manusia) dapat berarti bagi orang (manusia) lain tanpa harus membedakan status, kedudukan, kekayaan, dan sebagainya. Demikian cara atau model berpikir Umar Kayam yang bermanfaat bagi kita dalam upaya mengatasi berbagai problem kehidupan kini dan nanti.
Kalau Umar Kayam melalui novelnya mengajak kita untuk berpikir mengenai priyayi dan berbagai latar belakang serta latar depannya, berbeda halnya dengan Kuntowijoyo melalui novelnya Mantra Pejinak Ular (2000).
Melalui novel ini Kuntowijoyo memandu kita (pembaca) untuk berpikir secara kreatif dalam menyikapi realitas sejarah sosial-politik pada masa Orde Baru. Membaca novel ini ibarat menikmati potret buram tentang apa yang terjadi ketika rezim Orde Baru berkuasa. Kuntowijoyo melihat bahwa di masa itu ketidakadilan sudah ada di mana-mana. Katanya, para penguasa bukan lagi pamong, tetapi maling berdasi, berbintang, dan berpendidikan.
Para penguasa, pengusaha, dan tentara bersekongkol untuk memeras rakyat. Mereka mengaku satria padahal sebenarnya perampok. Hutan dibabat habis, tambang di perut bumi dikuras, tanah di bukit-bukit dikapling, tidak tersisa untuk anak cucu, dan rakyat (wong cilik) digusur tanpa perikemanusiaan.
Fakta sejarah demikian yang kemudian menggugah nurani Kuntowijoyo untuk berpikir bagaimana cara menghentikan kekuasaan yang menindas itu. Namun, karena tidak memiliki posisi dalam birokrasi pemerintahan, ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Dan karena kekuasaan Orde Baru dengan mesin politiknya yang single majority begitu kuat, ia berpikir bahwa sistem otoriter itu tak mungkin bisa dihentikan. Oleh sebab itu, sebagai sastrawan kreatif, ia harus melawan lewat sastra. Ia yakin bahwa sastra yang berjuang untuk kebenaran itu akan mampu melakukan perubahan. Ia juga yakin bahwa sastra (seni) akan memberi air bagi mereka yang kehausan, akan memberi payung bagi mereka yang kehujanan, dan akan memberi tongkat bagi pejalan yang sempoyongan.
Bertolak dari keyakinan itu kemudian Kuntowijoyo menampilkan sosok tokoh dalang (Abu Kasan Sapari) dalam dunia wayang untuk membeberkan bagaimana sepak-terjang Orde Baru dan penyelewengannya atas demokrasi. Mengapa ia mengungkap realitas sejarah itu melalui dunia wayang? Baginya, dunia wayang merupakan medium yang paling pas untuk menjelaskan hubungan raja dan kawula, pemerintah dan rakyat, penguasa dan wong cilik, dan sejenisnya.
Dengan begitu, melalui wayang ia dapat dengan bebas membeberkan esensi demokrasi bagi sebuah pemerintahan. Selain itu, ia juga menggunakan mitos (ular) sebagai aksentuasi simbolik atas novelnya. Hanya saja, unsur mitos itu tidak dilihat bagaimana cara berpikirnya, tetapi dilihat fungsinya, yaitu sebagai kekuatan untuk mengutuhkan pengalaman manusia tentang realitas. Dan realitas sejarah yang terjadi pada masa Orde Baru adalah realitas kekuasaan yang menindas sehingga melalui novelnya Kuntowijoyo mengajak kita untuk keluar dari belenggu penindasan itu. Begitulah model berpikir kreatif Kuntowijoyo yang dapat diteladani ketika kita menghadapi realitas sejarah yang sama.
Model berpikir Seno Gumira Adjidarma agaknya sejalan dengan model berpikir Kuntowijoyo. Melalui kumpulan cerpennya Saksi Mata (1994), Seno juga mengajak kita (pembaca) untuk melihat bagaimana kekejaman Orde Baru terhadap rakyat Timor Timur. Ketika terjadi insiden Dilli, sebagai wartawan Seno berusaha melawan kekejaman penguasa itu dengan cara mengungkapkan kebenaran melalui reportase jurnalistiknya.
Akan tetapi, ketika laporan jurnalistik itu dimuat di majalah Jakarta-Jakarta, apa yang diungkap di dalamnya dianggap mengganggu stabilitas oleh penguasa (Adjidarma, 1997) sehingga ia (sempat) dipecat dari posisinya sebagai wartawan. Namun, sebagai sastrawan ia berpikir dan bertindak dengan cara lain. Itulah sebabnya, ia kemudian "melawan" dengan cara menulis cerita sehingga lahirlah sejumlah cerpen yang kemudian dimuat dalam buku Saksi Mata.
Menurut pengakuannya, dengan dan melalui cerita, Seno dapat dengan leluasa mengungkapkan kebenaran tanpa harus berurusan dengan pihak penguasa. Ia berpikir bahwa dengan dan melalui cerita ia telah berusaha mengatakan kebenaran dan kejujuran, walaupun dengan jujur pula ia mengatakan bahwa kita (sebagai pembaca) memiliki hak penuh --secara bebas dan demokratis-- untuk memberikan penilaian atas apa yang dikatakannya sebagai kebenaran.
Demikian konsep berpikir kreatif, inovatif, dan demokratis Seno yang tampak dalam tindakan dan karya-karyanya. Konsep demikian tentu saja dapat sama dan dapat pula berbeda dengan konsep pengarang lain karena pada dasarnya setiap orang, termasuk pengarang, memiliki cara, pola, atau sudut pandang sendiri-sendiri walaupun mungkin objek atau peristiwa yang dihadapi sama.
Katakanlah, misalnya, ketika sama-sama melihat, mengungkap, dan berpikir tentang penjajahan (Belanda) beserta dampak-dampaknya, Suparto Brata melalui trilogi novelnya Gadis Tangsi (2004, 2006, 2007) berbeda dengan Pramoedya Ananta Toer melalui tetralogi novelnya Bumi Manusia (1980, 1985, 1987).
Kalau Suparto Brata dalam Gadis Tangsi lebih lunak menyikapi bagaimana sepak terjang Belanda di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer lewat Bumi Manusia tampak lebih keras dan tegas. Demikian juga dengan sikap Ahmad Tohari ketika memperlakukan dunia wayang dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (1982, 1985, 1986) berbeda dengan sikap Seno Gumira Adjidarma dalam novel Kitab Omong Kosong (2004).
Kalau oleh Ahmad Tohari dunia wayang digunakan sebagai pegangan atau pakem sebuah perjalanan hidup manusia, oleh Seno Gumira dunia wayang justru digunakan untuk melakukan dekonstruksi terhadap kemapanan.
Kendati demikian, yang terpenting dalam konteks ini bukanlah persamaan atau perbedaan di antara mereka, melainkan bagaimana melalui imajinasinya mereka berpikir secara kreatif dan bertindak secara inovatif dan demokratis. Pikiran dan tindakan mereka yang tertuang di dalam karya (sastra) itulah yang penting dan perlu dicerna oleh kita sebagai pembaca karena semua itu dapat menjadi pemicu bagi pikiran dan tindakan yang sama. Hanya persoalannya, apakah perilaku yang terbangun di dalam dan di sekitar sastra itu telah menjadi sumber ilham bagi anak-anak dan generasi muda untuk berperilaku yang sama di tengah situasi budaya yang dikuasai oleh pola yang serba instan dan matematis ini?
/3/
Meskipun hanya sekilas, paparan di atas memperlihatkan kepada kita betapa di dalam dan di sekitar keberadaan (karya) sastra telah muncul dan terjadi beragam proses. Proses itu mulai dari bagaimana hebatnya pengaruh imajinasi dalam sastra bagi pembaca, bagaimana peran kreativitas dan tindakan inovatif pengarang ketika menulis karya (sastra), sampai pada bagaimana kebebasan itu terbangun secara demokratis di dalam dan di sekitar kehadiran sastra.
Beragam proses yang terjadi dan muncul di dalam dan di sekitar sastra inilah yang --kalau hal itu boleh dianggap sebagai sebuah cermin-- dapat menjadi sarana untuk berkaca bagi siapa pun yang berkeinginan agar kita (bangsa kita) lebih kreatif, inovatif, dan demokratis.
Pernyataan tersebut barangkali dapat dipandang berlebihan, bahkan bombas, tetapi kenyataan yang tidak dapat dipungkiri ialah bahwa sampai hari ini Indonesia masih tidak menghargai sastra; padahal diyakini bahwa sastra memberikan gambaran kehidupan (alternatif) yang lengkap dan mampu menyentuh kesadaran kemanusiaan kita.
Seandainya sejak awal Indonesia memberi peluang yang luas, setidaknya cukup, bagi kehadiran sastra di setiap sudut ruang kelas, barangkali kegaduhan di jalan-jalan kota tidak akan terjadi seperti sekarang. Demikian juga, seandainya bangsa ini sejak awal telah diberi keleluasaan untuk mengembangkan kejujuran dan kemerdekaan kreatif seperti yang terbangun di dalam sastra, agaknya kursi-kursi kekuasaan tidak akan diduduki oleh orang-orang yang gila kekuasaan (dan kekayaan).
Hanya saja, sayangnya, sampai sekarang kita belum sadar akan hal tersebut. Sebagai model berpikir kreatif, inovatif, dan demokratis tampak sastra belum menjadi pilihan (dan pegangan) hidup. Kenyataan demikian terkadang dapat dipahami karena sastra hingga dewasa ini belum mampu menjadikan dirinya sebagai sesuatu yang dapat memberi jaminan hidup secara ekonomis. Padahal, sejak awal pikiran dan pilihan hidup (bangsa) kita sudah terlanjur dibingkai oleh segala sesuatu yang bersifat ekonomis sehingga terjebak hanya pada penampilan, bentuk, dan eksistensi, bukan pada isi dan esensi. ***
DAFTAR PUSTAKA
Adjidarma, Seno Gumira. 1994. Saksi Mata. Yogyakarta: Bentang Budaya.
----------. 1997. Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Yogyakarta: Bentang Budaya.
----------. 2004. Kitab Omong Kosong. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Ariadinata, Joni. 2007. "Senang Mengarang (Catatan Kebudayaan)." Dalam Horison, Maret 2007.
Brata, Suparto. 2004. Gadis Tangsi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
----------. 2006. Kerajaan Raminem. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
----------. 2007. Mahligai di Ufuk Timur. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Danarto. 1988. "Paris Nostradamus". Dimuat dalam Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Yogyakarta: Bentang Budaya.
----------. 1995. "Jakarta 2020 Atawa Holobot". Dimuat dalam Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Yogyakarta: Bentang Budaya.
Darma, Budi. 1980. Orang-Orang Bloomington. Jakarta: Sinar Harapan.
----------. 1983. Olenka. Jakarta: Balai Pustaka.
Diponegoro, Mohammad. 1983. Iblis. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Eneste, Pamusuk. 1982. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: Gramedia.
Kayam, Umar . 1992. Para Priyayi. Jakarta: Grafiti.
Kuntowijoyo. 2000. Mantra Pejinak Ular. Jakarta: Penerbit Kompas.
Miller, J. Hillis. 2002. On Literature. London: Routledge.
Navis, A.A. 1956. Robohnya Surau Kami. Jakarta-Bukittinggi: Nusantara.
----------. 1967. Kemarau. Jakarta-Bukittinggi: Nusantara.
Sudarminta. 1991. Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred North Whitehead. Yogyakarta: Kanisius.
Sundah, James F. 2013. "Diplomasi Kebudayaan." Makalah Kongres Kebudayaan Indonesia 2013.
Todorov, Tzvetan. 1984. Mikhail Bakhtin: The Dialogical Principle. Translated by Wlad Godzich. Manchester: Manchester University Press.
Toer, Pramoedya Ananta. 1980. Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra.
----------. 1980. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra.
----------. 1985. Jejak Langkah. Jakarta: Hasta Mitra.
----------. 1987. Rumah Kaca. Jakarta: Hasta Mitra.
Tohari, Ahmad. 1982. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia.
----------. 1985. Lintang Kemukus Dini Hari. Jakarta: Gramedia.
----------. 1986. Jantera Bianglala. Jakarta: Gramedia.

Tulisan ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya, 28—31 Oktober 2013 di Jakarta, yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...