OLEH Dr.
Yoseph Yapi Taum, M.Hum
Dosen Fakultas Sastra Universitas
Sanata Dharma posel: yoseph1612@yahoo.com
Indonesia sangat kaya akan berbagai warisan budaya leluhur dari seluruh pelosok nusantara. Warisan budaya itu memiliki banyak nilai kreativitas yang melibatkan berbagai aspek seperti art, beauty, design, play, story, humor, symphony, caring, empathy dan meaning (bdk. Pink, 2006). Keragaman budaya Indonesia didukung oleh keragaman etnis.
Dari perspektif ini, jelaslah bahwa
Indonesia memiliki berbagai modal sosial-budaya yang berdaya guna dalam
melakukan pengembangan ekonomi kreatif. Makalah ini membahas dua persoalan
pokok. Pertama, mengungkap gagasan-gagasan teoretis tentang hubungan antara
kekayaan sastra lisan nusantara dengan pengembangan ekonomi kreatif. Tema
pengembangan ekonomi kreatif telah disambut dan ditanggapi serius oleh dunia
pendidikan tinggi (lihat Taum, 2013), yang menegaskan bahwa pembangunan ekonomi
nasional akan berbasiskan ilmu pengetahuan.
Persoalannya bagaimana perguruan tinggi
terlibat dalam membangun peradaban dan kesadaran baru (new consciousness) karena
perguruan tinggi yang ingin berhasil (survive) perlu mentransformasikan
diri dan kebudayaannya (Toffler, 1980). Singkatnya, bagaimana mentransformasi
budaya perguruan tinggi untuk terlibat dalam pengembangan ekonomi kreatif.
Kedua, mengaplikasikan gagasan teoretis itu dengan mengajukan kasus Legenda
Peni dan Nogo dari masyarakat Lamaholot di Kabupaten Lembata, Propinsi NTT.
Legenda lisan ini telah ditransformasikan ke dalam teks tertulis.
Makalah ini membahas kemungkinan yang
terbuka ke depan agar legenda ini ditransformasikan ke dalam bentuk budaya
populer, baik sebagai video game atapun sebagai sinetron. Dengan membahas kedua
aspek ini secara mendalam (intensif) dan meluas (ekstensif), diharapkan
terbangun sebuah model bagi pengembangan industri kreatif berbasis sastra lisan
di Indonesia. Kata Kunci: sastra
lisan, ekonomi kreatif, perguruan tinggi, model pengengembangan. 1. Pendahuluan
Sastra lisan adalah kreasi estetik dari
imaginasi manusia. Para penutur sastra lisan itu tak ubahnya dengan
novelis-novelis atau penyair-penyair yang menyusun cerita panjang dengan
imaginasi dan sensitivitas khusus yang kompleks, yang muncul dari ‟rangsangan yang hebat
antara permainan kekuatan alam dan manusia‟.
Sastra lisan itu memiliki makna-makna semantis yang diaforik (phora ‟gerak‟ dia ‟melalui‟) (Whellwright dalam
Taum, 2011).
Elemen-elemen sastra lisan itu memiliki
petunjuk yang tinggi dan memiliki kecocokan emotif dengan adat suku-suku yang
terumuskan dalam tradisi suku-suku tersebut. Pengalaman estetis itu merupakan
sesuatu yang khas manusiawi, sehingga penelitian mengenai pengalaman itu dapat
berguna untuk mengenal manusia dan komunitasnya secara lebih baik dan mendalam.
Dalam berbagai kebudayaan di Indonesia, sastra lisan masih tetap diciptakan dan
dihayati sebagai sarana komunikasi yang memainkan peranan penting di dalam
situasi masa kini.
Sastra lisan penting dipahami karena
seringkali berfungsi sebagai wadah hikmat tradisional yang mengandung konvensi,
sistem nilai, adat-istiadat dan berbagai norma yang berlaku dalam masyarakat
itu. Sastra lisan merupakan proyeksi emosi manusia yang paling jujur
manifestasinya. Seperti yang diungkapkan Vansina (1965), sastra lisan ibarat
kata-kata mutiara yang menjadi kunci memahami filosofi kerja, cinta, dan
penderitaan leluhur kita di masa lampau serta menjadi sumber pengetahuan kita
akan masa lampau.
Setelah cukup lama terabaikan dalam
dunia akademis maupun dalam kebijakan publik, studi sastra lisan kini
mendapatkan sebuah momentum berharga yang dapat memicu perkembangannya.
Momentum itu adalah dikeluarkannya kebijakan pemerintah berupa cetak biru
“Ekonomi Kreatif Indonesia” (lihat Paeni, 2008).
Pemerintah tampaknya sangat serius
dengan gagasan ekonomi kreatif ini, sehingga dibentuklah sebuah kementrian yang
dinamakan Kementrian Departemen Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dapat dikatakan
bahwa cetak biru “Ekonomi Kreatif Indonesia” menghubungkan masa lampau dengan
masa depan, membantu kita menilai keadaan yang ada sekarang, dan membantu kita
memberikan penafsiran ulang terhadap pengalaman-pengalaman dalam konteks tantangan-tantangan
baru yang dilahirkan oleh kehidupan modern ini.
Dengan adanya cetak biru itu, setiap
etnik harus menjenguk ke dalam dirinya masing-masing dan mencari kearifan
lokal, nilai, dan sumber-sumber kekuatan yang ada dalam dirinya. Dengan menggali
sumber-sumber kekuatan yang tertanam dalam tradisi dan mengembangkannya secara
kreatif menjadi sebuah sumber pendapat ekonomis, pembangunan kita akan
memperkuat identitas diri dan harga diri dan bukan melenyapkannya.
Dalam konteks inilah sastra lisan Nusantara
memperoleh momentum bagi perkembangannya. Persoalannya adalah tidak semua
tradisi lisan meninggalkan jejaknya, baik dalam bentuk dokumen maupun monumen.
Tidak terhitung banyaknya sastra lisan yang musnah terbawa ke liang lahat
karena tidak tercatat atau tidak berbekas.
Bagi saya, kebijakan ini mampu
menghidupkan kembali kegairahan akan studi sastra lisan dan lebih-lebih mampu
merevitalisasi berbagai tradisi lisan itu secara keseluruhan. Untuk mencapai
perkembangan yang optimal, momentum tersebut perlu dipahami dan didiskusikan
secara lebih intensif dan ekstensif. Tulisan ini bermaksud membahas persoalan
tersebut.
Perguruan Tinggi dan Perubahan
Paradigmanya
Para pengamat kebudayaan menegaskan
perlunya memahami gerak perubahan mendasar yang melanda dunia agar kita dapat
melakukan adaptasi dan ikut perpatisipasi di dalamnya. Alfin Toffler dalam
bukunya The Third Wave menggunakan istilah “gelombang” (wave) untuk
melukiskan perubahan-perubahan jaman.2 Alvin Toffler membagi sejarah peradaban
manusia dalam tiga gelombang yaitu era pertanian, era industri dan era
informasi. Dalam era pertanian faktor yang menonjol adalah muscle (otot)
karena pada saat itu produktivitas ditentukan oleh otot. Pada era industri,
faktor yang menonjol adalah machine (mesin), dan pada era informasi
faktor yang menonjol adalah mind (pikiran, pengetahuan).
Pengetahuan sebagai modal mempunyai
pengaruh yang sangat besar dalam menentukan kemajuan suatu negara. Dalam
lingkungan yang sangat cepat berubah, pengetahuan akan tertinggal jika tidak
terus menerus diperbarui melalui proses belajar.
Dalam perspektif Toffler, saat ini kita
memasuki fase perkembangan keempat di mana budaya menjadi komoditas
utamanya. Dalam fase keempat ini, fenomena peradaban umat manusia ditandai
dengan apa yang disebut “ekonomi kreatif”. Istilah „ekonomi kreatif
tampaknya menjadi istilah yang lazim dalam masyarakat kita sekarang. Istilah
lain yang juga sering digunakan antara lain creative industries dan culture
industry (lihat Paeni, 2008).
Dalam upaya menanggapi arus deras
gelombang ekonomi keempat ini, Pemerintah RI telah meluncurkan cetak biru
Ekonomi Kreatif Indonesia (lihat Paeni, 2008), yakni konsep ekonomi baru yang
berorientasi pada kreativitas, budaya, serta warisan budaya dan lingkungan.
Cetak biru tersebut akan memberi acuan
bagi tercapainya visi dan misi industri kreatif Indonesia sampai tahun 2030.
Landasan utama industri kreatif adalah sumber daya manusia Indonesia, yang akan
dikembangkan sehingga mempunyai peran sentral dibanding faktor-faktor produksi
lainnya. Penggerak industri kreatif dikenal sebagai sistem triple helix, yakni
cendekiawan (intellectual), dunia usaha (business), dan
pemerintah (government).
Perguruan tinggi adalah institusi yang
penting dalam mengantisipasi dan melakukan perubahan. Menurut Toffler,
perguruan tinggi yang sukses adalah lembaga yang terlibat dalam membangun
peradaban dan kesadaran baru (new consciousness) karena mereka yang
ingin berhasil (survive) perlu mentransformasikan diri dan kebudayaannya
(Toffler, 1980).
Perguruan tinggi di Indonesia menyadari
perlunya membangun peradaban baru ini. Dalam perumusan Higher Education Long
Term Strategy (HETLS) 2003-2010, pemerintah melalui Dirjen Pendidikan
Tinggi merumuskan paradigma baru pengembangan pendidikan tinggi jangka panjang
yang difokuskan pada masalah “relevansi” ilmu dengan pengembangan daerah maupun
pembangunan nasional. Dikatakan bahwa pembangunan perekonomian nasional di masa
depan akan berbasis Ilmu Pengetahuan (lihat Pedoman Program Hibah Kompetisi
A-3, Depdikbud, 2007).
Perguruan tinggi tidak bisa lagi
menutup diri dalam „menara gading‟,
tetapi perlu didorong untuk keluar dan melakukan kerjasama dengan dunia
industri dan pemerintah.3 Untuk dapat menjalin kerjasama dengan dunia industri,
diharapkan agar perguruan tinggi meningkatkan transferable skills dan soft
skill lulusannya. Bidang-bidang ilmu humaniora mengalami kemerosotan perkembangannya,
termasuk di Amerika dan Eropa Barat (Rahmanto, 2008). Terpinggirkannya fungsi
dan kedudukan ilmu-ilmu humaniora terutama disebabkan karena tidak adanya
kebutuhan pasar akan lulusan ilmu-ilmu tersebut.
Jika hal ini dibiarkan, tidak dapat
diharapkan adanya sumbangan yang dapat diperoleh dari ilmu-ilmu humaniora
umumnya dan kajian sastra khususnya bagi masa depan kemanusiaan. Karena itu,
untuk dapat survive dalam persaingan pasar yang semakin ketat, tidak ada
pilihan lain bagi ilmu-ilmu humaniora, termasuk ilmu sastra untuk memasuki
bidang „ekonomi kreatif‟
(Taum, 2013). Pemerintah melalui Dirjen Dikti juga secara eksplisit telah
menekankan „relevansi‟
ilmu dengan pembangunan perekonomian nasional, terutama dengan dunia industri.
Apa sumbangan ilmu humaniora dalam pertumbuhan
„ekonomi kreatif‟
itu? Dalam cetak biru Ekonomi Kreatif Indonesia tersebut dicatat 14 cakupan
bidang ekonomi kreatif yakni 1) jasa periklanan, 2) arsitektur, 3) seni rupa,
4) kerajinan, 5) desain, 6) mode (fashion), 7) film, 8) musik, 9) seni
pertunjukan, 10) penerbitan, 11) riset dan pengembangan 12) software,
13) TV dan radio, dan 14) video game. Sangat disadari bahwa Ekonomi
Kreatif atau Industri Budaya memerlukan keahlian khusus untuk mengolahnya.
Memerlukan profesionalitas dan skill
yang tepat untuk mengerjakanya dan juga diperlukan moralitas yang tinggi
sebagai landasannya. Ekonomi Kreatif adalah sebuah karya yang betul-betul harus
menjadi karya dunia, tanpa Landing, bermutu dan bernas, serta lahir dari imajinasi
kreatif yang cemerlang, karena itu setiap kelahirannya ia harus segera
dilindungi kaidah-kaidah hukum yang berlaku secara internasional.
Perkembangan studi sastra lisan dalam
satu dekade terakhir menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan (Taum, 2011:
12). Studi sastra lisan telah memasuki arus utama kebudayaan akademik dan
populer. Lulusan yang menguasai kajian sastra lisan sesungguhnya dapat lebih
berperan bagi masa depan kemanusiaan di Indonesia, jika dia dipersiapkan secara
lebih sengaja dan sistematis dengan memperhatikan aspek-aspek ekonomi kreatif.
Dari keempat belas bidang cakupan
ekonomi kreatif di atas, mahasiswa sastra sebenarnya dapat dipersiapkan untuk
terlibat aktif dalam tiga bidang, yaitu: film, seni pertunjukan, TV dan radio,
serta video game. Uraian berikut ini akan difokuskan pada sumbangan
sastra lisan dalam pembuatan sinetron. Tidak banyak sinetron kita yang mampu
mengemas pesan kemanusiaan dalam bentuk yang menarik.
Ada cukup banyak film dan sinetron yang
kurang berbobot di negeri ini. Bisa dihitung dengan jari tayangan-tayangan yang
setidaknya mengandung beberapa hikmah. Begitu pula dengan sinetron keagamaan
yang hanya menonjolkan simbol-simbol fisik agama tanpa menukik ke arah
nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan yang perlu dihidupi.
Kebanyakan pengamat dan kritikus media
memberikan penilaian yang negatif terhadap sinetron di berbagai televisi swasta
di Indonesia. Selain bahasanya yang Betawi oriented, sinetron-sinetron
Indonesia lemah dalam hal tema (apabila tema tertentu sedang diminati
masyarakat, tema itu sajalah yang ditampilkan secara seragam di berbagai
sinetron; biasanya tidak bergeser dari tema-tema percintaan)4; latar (latar
sosial: pada umumnya menyangkut kelas menengah ke atas; latar waktu: sekarang,
jarang mengungkap masa-masa sulit yang lalu –dark-past; latar tempat:
Jakarta, umumnya tidak mencerminkan semangat nasional dan mondial);5 tokoh dan
penokohan (tokoh pipih: hitam-putih dengan acting yang kebanyakan over);
alur (alur yang mudah ditebak, penuh digresi yang dibuat-buat dan tidak
terfokus karena mengikuti selera pasar) (Taum, 2013). Jika kita mengamati
berbagai sinetron produksi luar negeri (termasuk telenovela) yang ditayangkan
di televisi Indonesia, kita menyaksikan betapa banyak nilai-nilai kemanusiaan
yang mereka tawarkan.
Membangun Model Pengembangan Sinetron
Berbasis Sastra Lisan
Jika sastra lisan hendak diangkat
sebagai salah satu sumber kebudayaan bagi pengembangan ekonomi kreatif,
pertanyaan pokok yang belum dijawab adalah bagaimana model pengembangannya?
Bagaimana proses mengangkat tradisi lisan sebagai sumber ekonomi kreatif? Pada
bagian ini akan dipaparkan sebuah model pengembangan industri kreatif berbasis
sastra lisan di Indonesia. Pertama-tama akan diberikan sebuah evaluasi umum
terhadap situasi sinteron kita.
Membangun Model Pengembangan Sinetron
Berbasis Sastra Lisan
Yang dimaksudkan dengan „model‟ adalah representasi
atau formalisasi dari suatu sistem nyata, atau penyederhanaan dari gambaran
sistem nyata. Sistem nyata merupakan sistem yang sedang berlangsung dlm
kehidupan, sistem yg dijadikan titik perhatian permasalahan. Model merupakan
tiruan dari kondisi sebenarnya. Model diperlukan untuk memberikan gambaran (description),
memberikan penjelasan (prescription), dan memberikan perkiraan (prediction)
dari realitas yang direpresentasikan. Pengembangan sebuah model dapat dilakukan
dengan meode „analisis sistem‟.
Analisis sistem dilakukan untuk memahami bagaimana suatu sistem yang diusulkan
dapat beroperasi.
Idealnya, seorang analis bereksperimen
langsung dengan sistem tersebut. Akan tetapi kenyataan yg dilakukan adalah membangun
model sistem tersebut dan menyelidiki perilakunya melalui model tersebut. Hasil
yg diperoleh kemudian ditaksirkan dalam terminologi performasi sistem. Secara
grafis, langkah-langkah konsep formulasi model ditunjukkan pada gambar berikut.
Gambar 1 Model Pengembangan Pembuatan
Sinetron Berbasis Sastra Lisan
Asumsi adalah anggapan dasar berupa
konsep-konsep yang mengikat keseluruhan proses perjalanan sastra lisan dan
transformasinya menjadi film atau sinetron. Ada dua asumsi ideal yang perlu
disepakati. Pertama, pekerjaan ini merupakan bidang kerjasama bidang akademik
dengan bidang industri.
Bidang akademik bertanggungjawab pada
pemilihan objek (teks) dan subjek (narasumber) sastra lisan, pertanggungjawaban
validitas data dan narasumbernya, terjemahan, dan publikasi teks-teks lisan.
Bidang industri bertanggung jawab pada pembiayaan lapangan, sutradara, pemain,
sampai pada pembuatan film dan pemasarannya.
Analisis kebutuhan projek ini adalah
langkah pertama yang dilakukan untuk menentukan apa yang diinginkan setelah
film atau sinetron ini dibuat. Analisis merupakan sebuah proses yang
diasumsikan telah dilalui.
Masalah Sastra Lisan
Yoseph
Yapi Taum MASALAH SASTRA LISAN -Inventarisasi - Dokumentasi -Penerjemahanlah
Asumsi PEMAHAMAN SASTRA LISAN - Klasifikasi - Analisis Data MODEL KONSEPTUAL
Transformasi Lisan ke Tulisan MASALAH SKENARIO - Identifikasi Tokoh dan Setting
- Klasifikasi dan Pembabakan - PEMBUATAN FILM - Pembagian Peran -Editing,
Musik, Suara - Pemasaran Tahap-tahap Formulasi Model Pengembangan Pembuatan
Sinetron Berbasis Sastra Lisan
Setelah mengidentifikasi tujuan-tujuan
pelaksanaan projek, langkah selanjutnya adalah menentukan langkah-langkah yang
dilaksanakan dalam menangani obek dan subjek sastra lisan. Dalam tahap ini,
diperlukan studi lapangan untuk memastikan bahwa teks yang diperoleh memang
merupakan sastra rakyat, diperoleh dari nara sumber yang merupakan pemangku
kepentingan dan dipandang sebagai genius local. Banyak terjadi
terbitan-terbitan teks yang tidak diakui sebagai milik masyarakat setempat.
Langkah yang dilakukan bidang akademis ini adalah adalah menentukan teks dan
narasumber yang tepat. Setelah cerita-cerita lisan diperoleh, perlu dilakukan
klasifikasi (perumusan ulang kronologi maupun gramatika) dan analisis data
(kajian struktur, pembagian adegan dan sekuen cerita). Tahap ini merupakan
sebuah kerja akademis yang dilaksanakan dengan berpatokan pada metode dan
teknik penelitian sastra lisan (lihat misalnya Taum, 2011).
Pemahaman Sastra Lisan
Tahap ini merupakan tahap yang tidak
dikerjakan di lapangan. Analisis terhadap teks sastra lisan berkaitan dengan
klasifikasi dan analisis data. Hal ini dilakukan untuk menemukan dan merumuskan
secara tepat keutamaan-keutamaan dan hikmah-hikmah positif yang akan diberikan
kepada para pembaca (dan penonton film).
Model Konseptual: Transformasi Lisan ke
Tulisan
Pada tahap ini, berbagai perubahan,
adaptasi, atau penyesuaian perlu dilakukan. Diperlukan diskusi mendalam antara
pakar sastra lisan dan pakar multimedia. Masalah Skenario Tahap ketiga, penulisan skenario. Dalam
tahap ini, pengetahuan dasar tentang penulisan skenario sangat diperlukan.
Skript yang baik akan memudahkan pengambilan gambar di lapangan. Tahap keempat,
pengambilan gambar. Tahap ini merupakan puncak dari proses panjang ini. Tahap
icni meliputi dua tugas utama penyutradaraan, yakni persoalan keuangan dan
teknis pengambilan gambar. Di dalamnya tercakup hal-hal seperti pembagian
peran, akomodasi, konsumsi, dan honor pemeran serta crew.
Pembuatan Film
Tahap
terakhir, pembuatan film berkaitan dengan dunia industri. Dalam tahap ini,
berbagai kegiatan lapangan seperti survei lokasi shooting, penyutradaraan,
penentuan pemain, peralatan teknis, termasuk akomodasi dan transportasi menjadi
sebuah tanggungjawab produser dan dunia industri.
Setelah pengambilan gambar di lapangan,
persoalan selanjutnya adalah penggarapannya di studio, berupa editing, musik,
subtitle, dan sebagainya. Proses yang berlangsung di studio akan dilanjutkan
dengan pembuatan kepingan-kepingan film (VCD atau DVD) serta distrusi atau
pemasarannya. Jika proses ini berjalan dengan baik, kerjasama dapat dilanjutkan
untuk produksi film-film berbasis sastra lisan selanjutnya.
Aplikasi Model pada Legenda Peni dan
Nogo
Berdasarkan model yang sudah dibangun
di atas, berikut ini akan diaplikasikan pada Legenda Peni dan Nogo. Tentu
saja tidak semua langkah akan disajikan di sini. Selain karena memang
langkah-langkah tersebut belum dilaksanakan, aplikasi ini bermaksud memberikan
ilustrasi awal pada cerita rakyat yang berasal dari daerah nusantara yang belum
banyak dikenal.
Asumsi: Identifikasi Kelayakan Cerita
Legenda Peni dan Nogo adalah
sebuah cerita rakyat Lamaholot dari daerah Kabupaten Lembata, Propinsi NTT.
Legenda ini telah dibukukan oleh Gerady Tukan (2011). Saya menyebutnya sebagai
sebuah tragedi yang mengharu-biru perasaan pembaca. Penderitaan dan
ketidakadilan yang dialami tokoh Peni menggugah simpati pembaca.
Dalam kelemahan dan
ketidakberdayaannya, nasib mujur akhirnya berpihak padanya. Legenda ini layak
diangkat ke layar kaca ataupun sebagai film layar lebar karena ada begitu
banyak hikmah, nilai, dan keutamaan yang ditawarkannya. Secara keseluruhan,
legenda ini memiliki kemiripan struktur dengan sinetron Jepang Oshin yang
pernah sangat populer di tahun 1980-an di tanah air. Oshin adalah serial
televisi Jepang yang ditayangkan stasiun TV NHK.
TVRI pernah menayangkan serial yang
sangat popular ini dari 4 April 1983 sampai 31 Maret 1984. Sinetron ini
menceritakan perjalanan hidup Shin Tanokura (Tanokura Shin) dalam era Meiji
sampai awal 1980-an. Tokoh yang dipanggil “Oshin” itu harus bekerja keras dan
mengalami banyak penderitaan, sejak kecil sampai dewasanya. Akan tetapi, berkat
usaha dan kerja kerasnya, ia menjadi pemilik waralaba toko swalayan yang kaya.
Sinetron ini terdiri dari 297 episode sepanjang 15 menit.
Oshin telah
ditayangkan di 59 negara, termasuk Indonesia. Pada 1984, seri ini dibuat
menjadi film anime oleh Sanrio. Perjalanan hidup Oshin yang keras sejak
kecil sampai dewasa, bahkan menjadi pembantu rumah tangga sampai akhirnya
menjadi orang sukses, dimaksudkan sebagai gambaran nyata kehidupan sebagai
rakyat Jepang di masa lalu. Nasib yang dialami tokoh Peni dalam Legenda Peni
dan Nogo memiliki struktur dasar yang mirip dengan Oshin dalam Sinetron
Oshin. Lihat perbandingannya dalam Tabel 2 berikut ini. 10
Tabel 2: Analisis Perbandingan Peran Peni dan Oshin
No.
|
Oshin
|
Peni
|
1.
|
Di episode awal Oshin kita saksikan pergulatan keluarga
Oshin menghadapi kemiskinan. Oshin harus rela bermandi peluh untuk menghidupi
keluarga saat orang tuanya mulai sakit-sakitan.
|
Di Episode awal, akan kita saksikan pergulatan seorang ibu
dan kedua putrinya Peni dan Nogo menghadapi tsunami yang menenggelamkan Pulau
Lapan Batang.
|
2.
|
Perjuangan disertai penderitaan Oshin, sejak berumur tujuh
tahun, remaja, dan dewasa. Ia tetap berjuang keras agar keluarganya tak
kelaparan di kampung.
|
Perjuangan ketiga orang ini untuk membangun rumah dan
mendapatkan penghidupan. Persoalan timbul karena cinta segi tiga antara Peni,
Nogo, dan Demon.
|
3.
|
Cinta ibu, cinta Fuji ibu Oshin, yang tiada batas pada
anaknya.
|
Cinta ibu yang tulus kepada kedua putrinya
|
4.
|
Perjuangan Oshin sebagai istri saat Ryuzo sang suami putus
asa setelah gempa bumi Kanto mengguncang Tokyo dan memaksa mereka harus
mengungsi ke kampung halaman suami. Oshin harus tinggal seatap dengan mertua
dan ipar-ipar yang jahat tak terkira. Oshin tetap tabah dan tegar, kendati
harus kehilangan bayi perempuan akibat kerja keras berlebihan.
|
Peni menalani tragedi hidupnya: difitnah dan diusir ke
luar kampung, dibuang ke hutan belantara. Di hutan belantara, dalam sebuah
gubuk kecil di tengah tebing berbatuan, Peni berebut hidup dengan binatang
hutan. Rasa takutnya akan kesendirian dan kegelapan yang mencekam dilawannya
dengan tabah.
|
5.
|
Sepanjang penderitaannya, Oshin tak pernah mengambil
kesempatan untuk membalas dendam
|
Peni tak pernah menaruh dendam pada kakaknya Nogo yang
telah memfitnah dan membuat hidupnya menderita.
|
6.
|
Penderitaan dan perjuangan panjang Oshin akhirnya
membuahkan hasil. Ia menjadi pengusaha kaya dan sukses.
|
Penderitaan hebat yang dijalani Peni pada akhirnya berbuah
kemenangan. Ia menikah dengan kekasihnya dan hidup bahagia selama-lamanya.
|
Dari keenam strukur alur tersebut, terlihat
bahwa legenda Peni dan Nogo tidak kalah dari sinetron Oshin. Legenda Peni dan
Nogo dapat dirumuskan lebih lanjut dalam 20 adegan dengan 57 sekuen cerita
(lihat Gambar 3). Kedua puluh adegan tersebut dapat menjadi menjadi treatment
atau pembabakan dalam teknik penulisan skenarionya.
Masalah Sastra Lisan
Persoalan yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban objek (teks) dan subjek (narasumber) sastra lisan untuk Legenda
Peni Dan Nogo agaknya telah ditangani dengan baik. Teks ini telah diseleksi
dan diterbitkan untuk publik. Pertanggungjawaban teks ini dapat dipercaya,
sebagaimana terlihat pada dua endorsement yang diberikan oleh dua tokoh
lokal. Terbitan ini sama sekali tidak dibagi dalam adegan-adegan dan
sekuen-sekuen penceritaan. Hal ini tentu memberatkan pembacaan dan
pemahamannya. Dalam penulisan scenario, pembagian adegan ini akan disesuaikan
sebagai treatment atau pembabakan. Hasil kajian terhadap Legenda Peni
dan Nogo menunjukkan bahwa legenda itu dapat dibagi ke dalam 20 adegan
(episode) dengan 57 sekuen penceritaan, seperti tanmpak dalam deskripsi berikut
ini.
Adegan 1: Tenggelamnya Pulau Lepan Batang
- 1. Legenda Peni dan Nogo bermula dari kisah tenggelamnya Pulau Lepan Batang akibat tsunami (aru bure) yang melanda.
- 2. Peni dan Nogo termasuk sedikit orang-orang yang selamat dari amukan tsunami itu. Bersama ibunya, kedua anak perempuan itu pun menetap di Pulau Lembata sebagai tempat tinggal mereka yang baru.
Adegan 2: Peni, Nogo, dan Ibunya Membangun Hidup
Baru
- 3. Peni, Nogo, dan Ibunya mencari tempat untuk menetap membangun rumah. Selain menjadi petani, sang Ibu juga mengajari ketrampilan menenun dan menjahit baju kepada kedua putrinya.
- 4. Ketika sang ibu tidak lagi kuat bekerja di kebun, Nogo (si sulung) mengganti peran ibunya. Jika ada pekerjaan yang berat, dia selalu meminta bantuan Demon, pemuda yatim piatu di kampung itu.
Adegan 3: Cinta Segitiga antara Nogo, Peni, dan
Demon
- 5. Karena kedekatan itu, Nogo jatuh cinta pada Demon. Sebaliknya, Demon justru lebih mencintai Peni (sang adik). Demon menyadari cinta Nogo, sementara Peni tidak menyadari bahwa dirinya dicintai Demon. Ia pun menjaga jarak dan tidak banyak meminta bantuan Demon.
- 6. Nogo merasakan perhatian Demon lebih tercurah pada Peni. Nogo berpendapat: Peni telah merampas Demon dari hatinya. Ia pun cemburu, marah, dan dendam bahkan mulai berlaku kasar pada Peni. Begitu banyak cara digunakan Nogo agar Peni menjauhi Demon.
Adegan 4: Siasat Nogo Menjebak Peni sebagai
Hantu
- 7. Suatu ketika, Nogo menjebak Peni agar dituduh sebagai „suanggi‟ (setan yang membahayakan manusia). Ketika mereka mandi di sungai, Nogo menyirami tubuh Peni dengan air dan pada saatnya, Nogo menjatuhkan potongan tulang kambing yang sudah disiapkannya dari rumah. Serentak Nogo berteriak, “Peni adalah suanggi!” dan berlari menjauh menuju ke kampung.
- 8. Setibanya di kampung, dengan sikap penuh ketakutan, Nogo mengabarkan pada ibunya dan seisi kampung bahwa Peni adalah suanggi, pemakan manusia. Nogo mengisahkan bahwa wajah Peni telah berubah menjadi sangat menyeramkan dan bersama dengan teman-teman suanggi lainnya siap mencabik-cabik dan memakan dia. Semua anak disuruh masuk ke dalam rumah dan warga laki-laki menutup dan mengunci pagar kampung dari berbagai arah.
- 9. Peni yang tidak mengerti maksud Nogo mengikuti langkah Nogo menuju kampung. Betapa terkejutnya dia mendapat kampungnya begitu sepi. Ketika mencapai pintu pagar, semuanya terkunci rapat dan ditutupi pohon-pohon berduri. Dia berteriak agar orang membukakan pintu, namun tak ada orang yang mau membukakan baginya.
- 10. Ketika malam menjelang, Peni menangis sekuat-kuatnya sambil meneriakkan nama ibunya agar membukakan pintu namun tidak dibukakan. Dalam malam yang gelap gulita, Peni tertidur dalam ketakutan, lapar, lelah, sedih, kecewa, marah, dan sakit hati. Lolongan anjing tengah malam menambah seram suasananya.
- 11. Dalam gubuknya, Demon gelisah memilikirkan nasib Peni. Tangisan peni yang pilu dan menyayat hati membangkitkan rasa belas kasihannya, tetapi dia tidak bias berbuat apa-apa karena takut akan hukuman yang dapat diterimanya kelak.
Adegan 5: Sidang Kampung
untuk Mengusir Peni dari Kampung
- 12. Sidang kampung pun dilakukan. Para lelaki berkumpul di lapangan, dan Nogo ikut bergabung untuk mengulangi cerita fiktifnya tentang suanggi Peni. Sementara di luar pagar kampung, Peni sia-sia meyakinkan mereka bahwa Nogo telah berbohong.
- 13. Keputusan pun dibuat. Peni akan dibuang hidup-hidup ke Berawang, sebuah gua terjal di tepi pantai yang letaknya sangat jauh dari kampung.
- 14. Dalam keputusasaannya, setelah beberapa hari berada di luar pagang kampung, Peni menyadari bahwa dia tidak diterima di kampung itu.
Adegan 6: Perjalanan Menuju Tempat Pembuangan
Peni
- 15. Peni diikat tangannya ke belakang dan diseret keluar kampung. Teriakan dan tangisannya tidak meluluhkan hati orang-orang yang menyaksikannya.
- 16. Pada puncak bukit pertama, ibu-ibu dan anak-anak disuruh pulang ke kampung. Ibunya menyerahkan „bekal‟ kepada Peni. Orang-orang diminta pulang ke kampung, termasuk Demon.
- 17. Setelah melewati tujuh bukit dan tujuh lembah. Di tempat yang sudah dipilih, di sebuah bukit curam, Peni dibuatkan sebuah pondok darurat di sebuah liang. Ia ditinggalkan oleh pasukan pengantar di dalam pondok itu dengan tangan terikat dan mata tertutup. Tak lupa jalan pulang ke kampung dikacaukan dengan merebahkan secara serampangan agak Peni tak mengenal arah jalan ke kampung.
Adegan 7: Ketakutan dan Penderitaan Peni di
Tempat Buangan
- 18. Setelah siuman, Peni berjuang untuk hidup. Ia berusaha membuka tutupan matanya dan melepaskan ikatan tangannya. Setelah penutup matanya berhasil dilepaskan, Peni memandang tempat pembuangannya: sebuah tebing terjal yang seakan-akan hendak menelan dirinya. Dengan susah-payah dilepaskannya pula ikatan pada kedua tangannya.
- 19. Di kejauhan, tampak dua ekor burung gagak menatapnya dengan lapar. Peni pun didera rasa lapar dan dahaga yang amat besar.
- Adegan 8: Peni Mengenang Perjalan Hidupnya dan Kedua Orangtuanya
- 20. Dalam kerapuhan, ketakutan, dan kegundahannya, peni teringat: betapa mereka pernah berjuang melawan gelombang ganas tsunami untuk mempertahankan hidup. Karena itu, dia pun bersemangat mempertahankan hidupnya.
- 21. Peni pun mengenang kisah cinta kedua orangtuanya. Mereka telah menikah dengan tradisi yang tak lazim, yaitu ayah menculik ibunya. Kenangan itu, bagaimana pun memberinya semangat hidup.
Adegan 9: Kehidupan Peni di Tempat Pembuangannya
- 22. Ular hitam bergaris kuning memasuki pondoknya. Kawanan burung gagak berhamburan terbang menjauh. Burung elang menyambar ular itu. Elang-elang lain menyambar tubuh ular dan merobek-rebeknya di udara. Burung-burung gagak kembali mendatangi pondoknya. Peni memandang berbagai adegan itu dengan gemetar.
- 23. Malam yang pekat membuat Peni tercekam rasa takut yang hebat. Raungan burung-burung dan hewan-hewan malam semakin mencekamnya. Dalam ketakutannya yang luar biasa inilah, dia teringat pada Demon. Air mata berlinang di pipinya.
Adegan 10: Suasana di Kampung Peni
- 24. Di kampung, ketakutan masih juga mencekam. Anak-anak dilarang bermain di luar pagar kampung. Orang-orang tidak berani ke kebun sendirian. Jika malam tiba, semua warga berkumpul di pondoknya masing-masing. Tidak ada lagi orang-orang yang bebas berkeliaran.
- 25. Ibu Peni masih juga bersedih atas kepergian Peni anaknya. Ia juga malu dan bingung, bagaimana mungkin putri tersayangnya menjadi suanggi. Ia tak yakin karena ia mengetahui betul semua aktivitas Peni. Ia hanya bias berdoa memohon perlindungan Tuhan atas Peni.
- 26. Nogo masih melanjutkam sandiwaranya. Semua barang peninggalan Peni dicari, dikumpulkan, dan dibakarnya agar Peni tidak pulang mengambil barang-barangnya. Nogo ingin ke kebun ditemani Demon, tetapi pintu rumah Demon tertutup rapat.
- 27. Sejak kejadian itu, Demon berubah menjadi pemuda yang pendiam dan suka menyendiri. Ia terpukul atas nasib yang dialami Peni. Ia pun menjauhi Nogo. Sebaliknya, Nogo semakin agresif menggoda Demon. Demon justru semakin muak
- 28. dan benci pada Nogo. Ia mencurigai Nogo sebagai dalang terbuangnya Peni ke hutan. Ia lebih banyak tinggal berpindah-pindah di kebun agar tidak dicari Nogo.
- 29. Dalam kegundahan hatinya, timbul niat Demon untuk mencari dan menemukan Peni.
Adegan 11: Peni Membangun Persahabatan dengan
Binatang Hutan
- 30. Peni mulai berdamai dengan dirinya, dengan lingkungannya, dengan binatang-binatang di hutan itu. Ia pun mengeksplorasi lingkungan hutan, mencari makanan dan sumber mata air. Ia berbagi makanan dan air dengan sesama makhluk di hutan. Setiap hari Peni menjalani rutinitas yang sama: mencari air dan sumber makanan hutan.
- 31. Peni semakin akrab dengan makhluk hutan. Setiap kali Peni berjalan, ia selalu diikuti makhluk-makluk hutan: babi, rusa, dan burung-burung. Peni pun selalu memberi mereka makanan dan minumannya.
Adegan 12: Berburu Babi Hutan
- 32. Kaum laki-laki di kampung berniat berburu untuk upacara „makan jagung‟ kepala kampung. (Setiap laki-laki di Lembata pantang makan jagung muda sebelum hasil panen dipetik dan disimpan di gudang).
- 33. Kaum laki-laki pun berangkatlah berburu, termasuk Demon. Mereka membawa serta anjing-anjing untuk berburu. Demon ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk mencari Peni.
- 34. Ketika suasana riuh rendah, Demon memanjat pohon asam untuk mencari tubuh Peni. Demon seolah-olah mendengar sebuah suara yang dikenalnya, datang jauh sekali dari sebuah tempat yang juga dikenalnya. Ia ingin mendatangi tempat itu suatu ketika.
- 35. Ketika kaum laki-laki yang berburu pulang ke kampungnya dengan membawa hasil buruannya sambil bercanda riang, Demon diam saja. Ia menyusun rencana untuk mencari Peni tanpa diketahui orang kampung.
Adegan 13: Misteri Makanan di Pondok Peni
- 36. Ketika suatu hari Peni tidak mendapatkan makanan sama sekali, tiba-tiba di pondoknya ditemukannya makanan berupa ubi bakar dan air di dalam bamboo. Ia tidak tahu siapa yang dating menaruhnya di pondoknya.
- Adegan 14: Penyesalan dan Pengkhianatan Nogo
- 37. Sikap Nogo semakin buruk terutama karena Demon semakin menjauhinya. Nogo pun marah pada sang Ibu, bahkan menuduh ibunya sebagai suanggi. Ibu menasihati Nogo untuk membayangkan apa yang dirasakan Peni. Ibu bangga memiliki dua orang putri, tetapi menjadi sangat malu ketika Peni dituduh sebagai suanggi. Nogo menangis menyesali perbuatannya, namun ia tak mampu mengakuinya di hadapan sang ibu.
- 38. Penyesalan Nogo hanya bertahan beberapa hari saja. Sifat egois dan munafik Nogo tetap bertahan, bahkan semakin meningkat. Hal ini membuat ibunya sakit keras selama tujuh hari. Nogo tidak merawat ibunya. Ia tetap berusaha menaklukkan hati Demon. Nogo tidak peduli dengan semua pantangan dan adat kampung. Ketika Demon membabat kebun baru, Nogo mencari-cari alasan untuk mendekati Demon, sesuatu yang pantang menurut adat.
- 39. Ketika di kampung sang ibu sangat membutuhkan perawatan, Nogo malah asyik menggoda Demon di kebun. Ibu pun meninggal karena lapar dan haus.
- Adegan 15: Terkuaknya Penolong Mistis
- 40. Peni ditolong kedua kalinya oleh tokoh misterius: mendapatkan air dan makanan tergantung di pondoknya. Kali ini Peni coba menangkap basah siapa penolongnya. Ternyata dia adalah seorang nenek yang sudah tua. Ketika Peni mendesak asal-usul nenek itu, sang Nenek kembali ke wujud aslinya, yaitu: sepotong ubi yang diberikan sang ibu sebagai bekalnya pada waktu dia diusir dari kampung.
- 41. Oleh karena sudah ketahuan asal-usulnya, ubi itu pun berubah menjadi sebongkah batu berbentuk nenk-tua. (Sampai sekarang batu itu masih ada).
Adegan 16: Demon Mencari Peni
- 42. Demon berketetapan hati mencari Peni di hutan. Ia pun menelusuri jalanan yang sudah dikenalnya. Setelah berjuang berhari-hari lamanya, Demon bertemu dengan Peni di dasar sebuah jurang. Peni begitu kurus dan kotor dengan balutan kain sarung dan sobek dan berlubang-lubang. Ia pun bertekat membawa Peni kembali ke kampung dan meyakinkan orang-orang kampung bahwa Peni bukan suanggi.
- 43. Dalam perjalanan pulang ke kampung, Demon menyatakan rasa cintanya yang terpendam selama ini.
- 44. Demon berusaha agar orang-orang kampung tidak mengetahui kehadiran Peni. Peni pun dibawanya ke pondok di kebun milik Demon. Keesokan harinya, ketika orang-orang mulai menggarap kebun, Demon mengungsikan Peni ke hutan dan berjanji menjemputnya pada sore harinya.
Adegan 17: Taktik Licik Nogo Menjerat Demon
sebagai Suaminya
- 45. Ketika sedang bekerja seperti biasanya, tiba-tiba Nogo muncul di hadapan Demon. Ia meminta bantuan Demon memperbaiki atap rumahnya yang bocor.
- 46. Demon pun pergi ke kampung memperbaiki atap rumah yang bocor. Menjelang sore, Demon mencicipi makanan yang disajikan Nogo. Ternyata makanan itu beracun, yang membuat Demon mabuk dan tertidur sangat pulas.
- 47. Pada malam harinya, Nogo melapor pada kepala kampung bahwa Demon tidur di rumahnya, sesuatu yang melanggar adat. Kepala kampung pun mengumpulkan warganya di lapangan. Demon dimintai pertanggungjawaban untuk mengambil Nogo sebagai istrinya. Dalam tekanan massa, Demon pun setuju. Malam itu juga warga kampung meresmikan Demon dan Nogo sebagai suami-istri.
Adegan 18: Peni Menunggu Demon dengan Setia di
Tengah Hutan
- 48. Sampai malam menjelang, Peni tidak juga dijemput Demon seperti yang dijanjikannya.
- 49. Demon yang yakin tak pernah menyentuh tubuh Nogo meninggalkan gubuk Nogo malam itu juga. Demon menjumpai Peni di tengah hutan, menemaninya tidur di hutan sampai pagi tiba. Demon tak menceritakan „tragedi‟ yang dialaminya bersama Nogo. Juga tentang kematian ibu mereka.
- 50. Ketika pagi menjelasng, Demon pamit pada Peni untuk menyiapkan makanan di kebun dan membawakannya untuk Peni.
Adegan 19: Kegelisahan dan Upaya Nogo
- 51. Nogo mencari Demon ke rumah dan kebun milik Demon. Ketika ia tak menjumpainya, ia pun melapor ke rumah kepala kampung bahwa Demon menghilang. Hal ini membuat kepala kampung sangat marah karena Demon melawan keputusannya, merendahkan wibawanya. Ia pun segera mengumpulkan warga di lapangan dan membentuk pasukan yang harus mencari Demon.
- 52. Demon dikejutkan oleh pasukan yang mencarinya ke kebun. Ia pun bergegas masuk kembali ke hutan ke tempat Peni bersembunyi. Merasa tidak aman, keduanya menjauh, menjauh, dan menjauh, sampai keduanya tiba di tempat pembuangan Peni.
Adegan 20: Kembali ke Kampung dan Merayakan
Kemenangan
- 53. Setelah beberapa tahun hidup di tengah hutan belantara, Peni dan Demon bertekat untuk kembali ke kampung dan menyatakan secara tegas dan jujur tentang keseriusan mereka sebagai suami-istri, tentang Peni yang bukan suanggi, dan tentang Nogo yang belum pernah disentuh oleh Demon.
- 54. Dari atas tebing yang tinggi, tanpa ragu-ragu Demon berteriak memberikan pengumuman kepada warga kampungnya. Pertama, Demom membawa Peni kembali ke kampung. Kedua, Peni bukan suanggi. Ketiga, Peni adalah calon istrinya.
- 55. Dengan langkah tegap dan berani, Demon menggandeng Peni memasuki kampung. Perempuan-perempuan kampung menangis histeris mendapati kenyataan bahwa Peni masih hidup, bahwa Peni adalah manusia biasa. Bahkan beberapa laki-laki di sana pun menangis dan menyesal telah memperlakukan Peni secara buruk dan brutal. Kepala kampung yang sudah mulai tua pun menyerbu dan memeluk Peni sambil menangis.
- 56. Ketika mengetahui bahwa ibunya sudah meninggal, meledaklah tangisan Peni dan dia pun jatuh pingsan.
- 57. Nogo, yang menyadari cibiran dan hukuman massa, menyelusup menuju ke tebing jurang di batas kampung. Sambil mengucapkan permintaan maaf, ia pun melonpat ke dalam jurang terjal itu. Tubuhnya membentur batu-batu padas. Matanya tertutup untuk selama-lamanya.
- 58. Demon dan Peni hidup berbahagia di kampung halamannya sendiri. Demon kemudian diangkat sebagai kepala kampung yang tegas dan bijaksana. Peni menjadi pendampingnya yang setia.
Tahap selanjutnya, yakni transformasi lisan ke
tulisan, tahap penulisan skenario, dan tahap pembuatan film menjadi lebih
dipermudah dengan adanya langkah-langkah di atas. Ada tiga tahap lagi yang
harus dilewati, yaitu: penyusunan treatment, yaitu pembabakan yang
disesuaikan dengan konvensi pembuatan film. Tahap kedua, pembuatan outline
scene yang akan mempermudah penyusunan skenario. Tahap ketiga, penulisan
skenario. Pelaksanaan kegiatan pengambilan gambar di lokasi membutuhkan biaya
yang tidak sedikit. Di sinilah diperlukan kerjasama yang erat dengan dunia industri.
Penutup
Perubahan dalam masyarakat global saat ini telah
membawa sebuah kesadaran baru kepada arti pentingnya kebudayaan dan keragaman,
sebagai pemberontakan terhadap standardisasi dan monolitiknya kultur dunia.
Kebudayaan kini menjadi salah satu sumber penting bagi pengembangan ekonomi
kreatif dunia. Pemerintah Indonesia sendiri pun telah merumuskan secara lebih
tegas dan operasinal adanya cetak biru Ekonomi Kreatif.
Sementara itu, paradigm perguruan tinggi pun
telah membuka peluang untuk menjalin kerjasama dengan dunia industri. Sumbangan
terpenting dari ilmu-ilmu humaniora pada umumnya dan ilmu sastra khususnya
terhadap pengembangan ekonomi kreatif adalah menggali, menemukan, dan
merumuskan berbagai keutamaan, nilai dan hikmah yang termuat dalam berbagai
khazanah sastra lisan yang begitu kaya hidup dalam masyarakat nusantara.
Melalui penggalian yang intens dan sistematis,
pada akhirnya dapat dirumuskan identitas budaya Indonesia. Tulisan ini telah
mencoba membangun sebuah model pengembangan ekonomi kreatif berbasis sastra
lisan. Pola dan model pengembangan ini dapat disempurnakan dan diaplikasikan
pada projek-projek ekonomi kreatif berbasis sastra lisan lainnya dari berbagai
wilayah nusantara.
Daftar Pustaka
Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. (Fourth
Edition). New York: Holt, Renehart and Winston. Paeni, Mukhlis, 2008. “Tradisi
Lisan: Deposit Ekonomi Kreatif” Makalah Seminar Internasional dan Festival
Tradisi Lisan. Wakatobi, 1 – 3 Desember 2008. Pink, Daniel H. 2006. A
Whole New Mind: Why Right-Brainers Will Rule the Future. New York:
Riverhead Trade. Rahmanto, B. 2008. Revitalisasi Humaniora dalam Rangka
Pembangunan Moral Bangsa: Sebuah Refleksi Sastrawi. Pidato Dies Natalis
ke-53 Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata
Dharma.
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra: Ekspresivisme,
Strukturalisme, Pascastrukturalisme, Sosiologi, Resepsi. Ende: Nusa Indah.
Taum, Yoseph Yapi. 2007. “Semiotika Riffaterre dalam Bulan
Ruwah Subagyo Sastrowardoyo” dalam Jurnal Ilmiah Kebudayaan Sintesis Vol.
5 No. 1, Maret 2007.
Taum, Yoseph Yapi. 2008. “Pemaknaan Belenggu dengan Teori
dan Metode Semiotik” dalam Jurnal Ilmiah Kebudayaan Sintesis Vol. 6 No.
2, Oktober 2007.
Taum, Yoseph Yapi. 2011.Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori,
Metode dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera.
Taum, Yoseph Yapu. 2013. “Paradigma Kajian Sastra dan Masa Depan
Kemanusiaan” dalam Sastra Paddhati: Marajut Ilmu Humaniora. Yogyakarta:
Penerbit Sanata Dharma.
Toffler, Alvin, 1980. The Third Wave. Black Rose.
Tukan, Gerady, 2011. Peni dan Nogo: Sebuah Legenda Rakyat
Lamatuka, Lembata. Kupang: Penerbit Lembata G-Tukan Media.
Vansina, Jan. 1965. Oral Tradition as
History. Madison: The University of Wisconsin Press.
Tulisan
ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya,
28—31 Oktober 2013 yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar