OLEH Drs
Indra Jaya Nauman, M.Pd.
Pengawas Sekolah Kota Padang, Sumbar
Salah satu tuntutan pendidikan masa
depan adalah pendidikan berbasis lingkungan hidup. Untuk pelaksanaan pendidikan
berbasis lingkungan hidup diperlukan berbagai media. Dalam makalah ini
ditawarkan salah satu media pembelajaran berbasis lingkungan hidup adalah
puisi. Terdapat beberapa keunggulan puisi sebagai media tersebut, yaitu: (1)
Puisi merupakan refleksi masyarakat, (2) Puisi memiliki pilihan kata khusus,
(3) Puisi berkaitan dengan sentuhan perasaan. Terdapat banyak puisi tentang
lingkungan hidup, yang dapat diklasifikasikan atas; (1) puisi yang menjadikan
lingkungan hidup sebagai atribut, (2) puisi yang menjadikan lingkungan hidup
sebagai tema, (3) puisi yang memberikan citra lingkungan hidup yang seimbang,
dan (4) puisi yang memberikan citra lingkungan hidup yang tidak seimbang.
Kata Kunci: puisi, media, pendidikan berbasis lingkungan hidup, komponen biotik,
komponen abiotik, atribut puisi, tema puisi, lingkungan hidup yang seimbang,
lingkungan hidup yang tidak seimbang.
Pendahuluan
Pada suatu kesempatan saya bersama
keluarga melewati salah satu jalan utama di Kota Padang. Di depan saya melaju
sebuah mobil bagus, menurut ukuran saya cukup mewah. Saya tidak mengenali mobil
dan penumpangnya. Namun, saya terkesima ketika melihat dari jendela mobil itu
dilemparkan kulit buah-buahan. (Barangkali itu kulit buah duku karena di Padang
saat itu sedang musim buah duku)
Mulanya saya mengomel. Pada masa
sekarang ini masih ada orang yang membuang sampah sembarangan. Padahal, di
berbagai tempat telah terpajang spanduk berisi ajakan untuk tidak membuang
sampah di sembarang tempat, apalagi di jalan raya seperti di jalan utama.
Alangkah naifnya, kalau itu dilakukan oleh orang-orang terpandang, berduit dan
berpendidikan (seperti penumpang mobil yang melaju di depan saya).
Saya merenung. Mungkin penumpang mobil
yang membuang kulit buah duku di jalan raya itu tidak salah. Bisa saja mereka
berpendidikan tinggi, punya banyak uang sebagai hasil pendidikan dan kerja
keras mereka. Tetapi, mereka belum terdidik menjadi warga yang ”sadar
lingkungan”. Memang, pendidikan pada masa lalu (sebelum tahun 1990-an) belum
menjadikan masalah lingkungan hidup sebagai salah satu isu, apalagi akan
berbasis lingkungan hidup (Green Education).
Membuang sampah di sembarang tempat
hanyalah salah satu unjuk perilaku yang ”tidak sadar lingkungan”. Perilaku
serupa juga banyak kita saksikan. Misalnya, membabat hutan dan pohon
semata-mata untuk kepentingan ekonomi, melakukan penambangan tanpa
memperhitungkan dampak lingkungannya, membangun pabrik, industri tanpa
mempedulikan pembuangan limbahnya, dan banyak contoh lainnya.
Akibat buruk dari perilaku yang ”tidak
sadar lingkungan itu” sudah dirasakan sekarang oleh kita semua, tidak hanya
oleh mereka yang melakukan. Dalam skala internasional masalah lingkungan hidup
adalah (1) pemanasan global, (2) keanekaragaman hayati, (3) lubang ozon. Dalam
skala nasional/regional muncul masalah (1) tercemarnya tanah, air dan udara,
(2) terjadinya erosi, banjir, pendangkalan sungai, dll., (3) berkurangnya
jumlah keanekaragaman hayati, (4) dan lain-lain.
Semua itu adalah ”dosa pendidikan” masa
lalu yang tidak memprediksi akan terjadinya perusakan lingkungan oleh manusia,
sehingga isu lingkungan tidak menjadi perhatian dunia pendidikan. Sekarang,
dunia pendidikan sudah taubat. Masalah lingkungan hidup telah menjadi salah
satu isu utama dalam pendidikan, sehingga dikenal istilah ”Green Education”.
Persepsi sudah sama, sudah sepakat bulat, tidak ada lagi perdebatan tentang
”Green Education”.
Makalah ini juga tidak akan membahas
tentang perlunya “Green Education”, tetapi akan membahas , “Bagaimana
penerapannya di lingkungan pendidikan?” Salah satu pilihan yang akan ditawarkan
adalah dengan memanfaatkan karya sastra, khususnya puisi, sebagai media untuk
penanaman kesadaran lingkungan, atau puisi sebagai media pendidikan berbasis
lingkungan hidup.
Mata
Pelajaran atau Terintegrasi
Kesadaran untuk menanamkan kesadaran
lingkungan melalui pendidikan (pembelajaran tentang lingkungan hidup) sudah
mulai sejak akhir tahun 1990-an. Kementerian Lingkungan Hidup bekerja sama
dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayan meluncurkan program “sadar
lingkungan” ke sekolah. Sekolah yang telah menerapkan pendidikan berbasis
lingkungan diberi penghargaan ”Adiwiyata”.
Penanaman kesadaran lingkungan melalui
pendidikan di sekolah tampil dalam dua format. Pertama dilakukan melalui mata
pelajaran tersendiri. Biasanya ini dalam bentuk kurikulum ”muatan lokal” karena
dalam struktur kurikulum nasional belum ada mata pelajaran lingkungan hidup.
Format kedua, materi lingkungan hidup diintegrasikan dalam mata pelajaran
lain., seperti mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam, Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggeris, Pendidikan Agama, dlll.
Untuk kepentingan yang pertama
(lingkungan sebagai mata pelajaran), Kementerian Lingkungan Hidup melalui Balai
Lingkungan Hidup telah pernah menyusun buku ajar dan buku panduannya bekerja
sama dengan jajaran Dinas Pendidikan Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat dan
Riau. Sedangkan untuk format kedua (materi lingkungan diintegrasikan dengan
mata pelajaran lain) diserahkan langsung kepada guru yang bersangkutan.
Apapun format pembelajaran yang
dipilih, pasti memerlukan bahan dan media pembelajaran. Ada beberapa materi,
bahan, dan media pembelajaran yang dirancang oleh Kementerian Lingkungan Hidup,
seperti modul, alat peraga dan sebagainya. Salah satu media yang layak untuk
dipertimbangkan dan digunakan adalah karya sastra dalam bentuk puisi.
Mengapa
Harus Puisi?
Terdapat beberapa alasan mengapa karya
sastra puisi sangat baik digunakan sebagai media pendidikan, termasuk
pendidikan berbasis lingkungan (Green Education). Alasan-alasan itu antara
lain: (1) Puisi merupakan refleksi masyarakat, (2) Puisi memiliki pilihan kata
khusus, (3) Puisi berkaitan dengan sentuhan perasaan
Menurut Esten (1989) penciptaan karya
sastra, -termasuk puisi, merupakan sintesis dari realitas objektif dengan
realitas imajinatif. Realitas objektif adalah kenyataan berupa peristiwa,
fenomena dalam kehidupan nyata. Realitas objektif itu menjadi sumber inspirasi
bagi seorang penyair untuk mencipta puisi. Realitas objektif itu diolah dengan
daya imajinasi penyair, maka lahirlah puisi sebagai sebuah realitas imajinatif,
Puisi juga merupakan produk budaya.
”Sebagai suatu produk budaya, puisi tentu tidak dapat melepaskan diri Dari
persoalan-persoalan kemanusiaan yang terdapat dalam satu masyarakat.” (Tim:
1994:13) Bahkan, Teeuw (1984:43) menyebut karya sastra sebagai gejala
masyarakat. Pendapat ini juga diakui oleh penyair Hartoyo Andangjaya (1991:4)
yang mengatakan bahwa puisi merupakan refleksi dari masyarakat pada masa
tertentu.
Bertolak dari teori tersebut, maka jika
kita memahami dan membandingkan puisi ”Sawah” karya Sanusi Pane dan ”Sawah”
karya Ali Hasymi dengan puisi ”Membaca Tanda-tanda” karya Taufiq Ismail dan
puisi ”Kesaksian Lingkungan” karya Abdul Rozak Zaidan, maka berarti kita sudah
membandingkan keadaan pada masa penciptaan puisi Sanusi Pane dan Ali Hasymi
(tahun 1920-an) dengan keadaan masa penciptaan puisi Taufiq dan Abdul Rozak (tahun
1980-an).
Pada tahun 1920-an, keadaan alam
Indonesia masih segar, belum tercemar, dan menyenangkan. Lihatlah ungkapan
kedua penyair tersebut.
.......................................................................
Sungai bersinar, menyilau mata
Menyemburkan buih warna pelangi
Anak mandi bersuka hati
Berkejar-kejaran, berseru gempita
Langit lazuardi bersih sungguh
Burung elang melayang-layang
Sebatang kara dalam udara
(“Sawah”: Sanusi Pane)
………………………………………
Keadaan itu sungguh sangat berbeda
dengan keadaan alam pada tahun 1980-an, pada masa penciptaan puisi Taufiq dan
Abdul Rozak. Tidak ada lagi larik yang menyanjung keindahan alam, yang ada
adalah larik-larik yang mengungkapkan kemurkaan alam. Lihatlah puisi “Membaca
Tanda-Tanda” dan “Sejarum Peniti, Sepunggung Gunung” karya Taufiq Ismail,
“Solitude” karya Eka Budianta, dan lain-lain.
Salah satu keistimewaan puisi
dibandingkan dengan karya tulis, bahkan karya sastra lain adalah pada pilihan
kata atau diksinya. Puisi memiliki pilihan kata khusus, indah dan padat.
Bahkan, pada puisi tertentu penyair sengaja memperhitungkan rima dan
persajakannya. Kekhususan pilhan kata yang memperhitungkan persajakan dan perimaan
itu dapat disamakan dengan lapis bunyi (sound stratum) oleh Pradopo (1997).
Lihatlah puisi-puisi Taufiq Ismail.
Puisi-puisinya sangat cermat dalam pemilihan kata. Untuk menggambarkan sesuatu
yang paling kecil, Taufiq tidak menggunakan kata sebesar atom, biji zaraah
(ungkapan yang sudah biasa), tetapi dia menggunakan ungkapan ”sejarum peniti”.
Begitu juga untuk mengungkapkan sesuatu yang sangat besar, dia menggunakan
ungkapan ”sepunggung gunung”. Sehingga lahirlah judul puisinya ”Sejarum Peniti,
Sepunggung Gunung” yang dapat dimaknai ”mulai dari suatu yang paling kecil
sampai kepada sesuatu yang paling besar”.
Marilah kita nikmati ungkapan-ungkapan
khusus Taufiq Ismail dalam puisinya ”Sejarum Peniti, Sepunggung Gunung”!
Bertrilyun daun yang terpasang tepat
dan rimbun pada pohon
Bermilyar pohon yang terpancang rapi
Menguap gaib lewat noktah-noktah
jendela mikroskopis
Angin berganti baju jadi musik gesek
instrumental
Air yang tersedia dalam dalam
berbagai ukuran bejana bumi
Marilah juga kita nikmati
ungkapan-ungkapan khusus Eka Budianta dalam puisinya “Solitude” dan Abdul Rozak
Zaidan dalam puisinya “Kesaksian Lingkungan. !
Kabut gemetar berlarian tak tentu
arah/ Ketika dari moncong-moncong asap raksasa/ debu hitam menyembur ke
angkasa. (Solitude)
Burung-burung menangis sepanjang
hari/melihat hutannya musnah sekaki demi sekaki (Solitude)
Serombongan bangau terbang tanpa
sayap/sebab sayapsayap mereka kini kau punya (Kesaksian Lingkungan)
Air hitam dengan bau yang asing/
menggenang/ keluar dari kelangkang rumah raksasa (Kesaksian Lingkungan).
Puisi
Menyentuh Perasaan
Sebagai sebuah karya sastra, puisi
memiliki keistimewaan, yaitu menyenangkan dan bermanfaat kalau dibaca dan
dipahami. Seperti dikatakan Horatius bahwa karya sastra itu ”dulce et utile”,
menyenangkan dan bermanfaat. Bahkan, Teeuw (1984:5) mengatakan bahwa seniman
atau penyair berfungsi sebagai orang yang bertugas memberi pengajaran sekaligus
kenikmatan.
Mengapa puisi itu menyenangkan dan
bermanfaat? Karena kekhususan pilihan kata yang sengaja dibangun untuk
menggugah emosi, perasaan pembaca. Berbagai perasaan, emosi (marah, sedih,
gembira, dll.) bisa timbul dan bangkit setelah membaca sebuah puisi. Resapilah
betapa perasaan dan emosi pembaca tersentuh dengan puisi Taufiq Ismail ini.
MEMBACA TANDA-TANDA
Oleh: Taufiq Ismail
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
dari tangan
Dan meluncur lewat sela-sela jari kita
Ada sesuatu yang mulanya tak begitu
jelas
Tapi, kini kita telah mulai
merindukannya
Kita saksikan udara abu-abu warnanya
.Kita saksikan air danau yang semakin
surut tampaknya
Burung-burung kecil tak lagi berkicau
di pagi hari
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan
Kita saksikan zat asam didesak asam
arang
Dan karbon dioksida menggilas paru-paru
Kita saksikan gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa banjir
Banjir membawa air
AIR MATA!
Lingkungan
Hidup dalam Puisi-puisi Indonesia
Terdapat banyak puisi Indonesia yang
berkaitan dengan lingkungan hidup. Nauman (2000) mengidentifikasi hampir
seratus lebih puisi yang berkaitan dengan lingkungan hidup. (Itu belum termasuk
puisi lama, seperti pantun dan syair yang pada umumnya mengambil lingkungan
sebagai sampiran.) Juga pada tahun 1994 diterbitkan sebuah antologi puisi
berjudul “Cerita dari Hutan Bakau: Antologi puisi Lingkungan Hidup yang disusun
oleh Ahmad Syuhadak, dkk. diterbitkan oleh Pustaka Sastra Jakarta.
Kata dan istilah lingkungan hidup yang
terdapat dalam puisi-puisi Indonesia sangat beragam, mulai dari kata dan
istilah yang berkaitan dengan keindahan alam, kekayaan alam, kehidupan
tumbuhan, kehidupan hewan, sampai kepada masalah kerusakan alam. Jika dikaitkan
dengan komponen lingkungann hidup, kata dan istilah yang digunakan berkaitan
dengan komponen lingkungan biotik dan komponen lingkungan abiotik.
Jika memanfaatkan puisi sebagai media
pembelajaran berbasis lingkungan hidup, terdapat beberapa hal yang bisa digali,
antara lain: (4.1) fungsi lingkungan hidup dalam puisi, (4.2) citra lingkungan
hidup dalam puisi, (4.3) sikap penyair terhadap lingkungan hidup.
Keberadaan komponen lingkungan hidup,
baik biotik atau abiotik, menempati dua fungsi, yaitu: (4.1.1) sebagai atribut,
dan (4.1.2.) sebagai tema puisi. Keberadaan kata dan istilah lingkungan hidup
sebagai atribut artinya penyair menggunakan kata dan istilah itu sebagai latar,
simbol saja, tidak menjadi unsur utama dalam puisi tersebut. Sebaliknya, jika
penyair menggunakan kata dan istilah lingkungan hidup sebagai unsur utama,
pokok pembicaran, maka disebut kata dan istilah lingkungan hidup berfungsi
sebagai tema puisi.
Terdapat banyak puisi yang menggunakan
kata dan istilah lingkungan hidup sebagai atribut, baik sebagai latar ataupun
sebagai simbol. Puisi-puisi Moh. Yamin merupakan contoh puisi yang menggunakan
kata dan istilah lingkungan hidup sebagai atribut, -latar, terutama puisinya
yang berbentuk soneta. Pada bait-bait awal puisinya Yamin sering menggunakan
kata: Bukit Barisan, Gunung Tanggamus, Gunung Singgalang, hutan, sungai, rimba,
lembah, ngarai, sawah, dan lain-lain. Tetapi, kata-kata itu hanya digunakan
Yamin latar dan alat untuk mengungkapkan cintanya terhadap tanah air,
Indonesia. Lihatlah puisi yang berjudul ”Tanah Air”!
TANAH AIR
Oleh: Muh. Yamin
Pada batasan bukit Barisan
Memandang aku, ke bawah memandang
Tampaklah hutan, rimba dan ngarai
Lagipun sawah, sungai yang permai
Serta gerangan, lihatlah pula 8
Langit
yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk daun kelapa
Itulah tanah, tanah airku
Sumatera namanya, tumpah darahku
Berbeda dengan Yamin, Sutan Takdir
Alisyahbana (STA) dan Khairil Anwar yang juga sering menggunakan kata dan
istilah lingkungan hidup dalam puisinya, tetapi digunakannya sebagai simbol,
bukan atribut. Misalnya, puisi STA ”Menuju ke Laut” dan puisi Khairil Anwar
”Senja di Pelabuhan Kecil”.
MENUJU KE LAUT
Angkatan Baru
Oleh: STA
Kami telah meninggalkan engkau
Tasik yang tenang, tiada berisik
Diteduhi gunung yang rimbun
Dari angin dan topan
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat
”Ombak ria berkejar-kejaran
Di gelanggang biru bertepi langit
Pasir rata berulang dikecup
Tebing curam ditantang diserang
Dalam bergurau bersama angin
Dalam berlomba bersama mega/”
Penggunaan kata dan istilah lingkungan
dalam puisi STA tersebut lebih bersifat simbol. Laut bagi STA adalah simbol
dari visi yang universal. Sedangkan tasik, bagi STA adalah simbol dari visi
kedaerahan yang sempit. Laut sebagai visi yang universal memang penuh dengan
dinamika yang bergelora yang dilambangkan dengan ombak, serta penuh tantangan
yang dilambangkan dengan angin dan topan. Sedangkan tasik tidak memiliki
dinamika, tidak penuh tantangan, melainkan tenang, diteduhi gunung yang rimbun,
lambang kekuasaan yang hanya legenda.
Bagi Khairil Anwar dalam puisinya
“Senja di Pelabuhan Kecil” dan “Cintaku Jauh di Pulau”. Kata dan istilah
lingkungan juga digunakan sebagai simbol. Kata laut, pelabuhan, pulau merupakan
simbol dari harapan yang tidak pasti. Puisi itu sendiri bercerita tentang
keromantisan dan cinta dalam kehidupan. Marilah kita nikmati kutipan dua puisi
tersebut.
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Oleh: Khairil Anwar
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada
cerita
Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada
berlaut
Menghembus dalam mempercayai mau
berpagut
.........................................
CINTAKU JAUH DI PULAU
Oleh: Khairil Anwar
Cintaku jauh di pulau
Gadis manis sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar
Di leher kukalungkan oleh-oleh buat si
pacar
Angin membantu, laut terang. Tapi
terasa
Aku tidak akan sampai padanya.
..........................................................
Lingkungan
Hidup sebagai Tema Puisi
Terdapat banyak puisi Indonesia yang
bertema masalah lingkungan. Hampir semua komponen lingkungan hidup pernah ada
dalam puisi-puisi Indonesia, baik komponen biotik, maupun komponen abiotik.
Koponen lingkungan itu digambarkan dalam kondisi yang seimbang, maupun yang
tidak seimbang.
Terdapat banyak puisi yang bertema
lingkungan hidup secara umum. Misalnya, puisi ”Tanah Kelahiran” karya Ramadhan
KH., yang bertemakan tanah priangan, ”Sakelo, Siberut Utara” karya Rusli
Marzuki Saria, yang berkisah tentang salah satu bagian dari Kepulauan Mentawai
di Sumatera Barat, dan ”Sarangan” karya Abdul Hadi W.M.
Juga terdapat beberapa puisi yang
bertema objek tertentu. Misalnya, ”Sawah” karya Sanusi Pane, ”Sawah” karya Ali
Hasymi, Keduanyan bercerita tentang sawah dengan pengungkapan yang berbeda.
Sanusi Pane mengungkapkan betapa tingginya nilai sawah, setara dengan emas
batangan, logam mulia. Keindahan persawahan diungkapkan Sanusi Pane dengan
cermat. Begitu juga Ali Hasymi yang mengungkapkan keindahan sawah di perbukitan
seperti seorang gadis cantik sedang menggera burung.
Juga terdapat beberapa puisi yang
bercerita tentang hutan. Misalnya, puisi ”Hutan” karya Hermansyah D., yang
bercerita tentang keindahan hutan. Juga puisi ”Rinduku pada Hutan” karya Evelyn
R.A. yang bercerita tentang kerinduannya pada hutan yang sudah mulai berkurang.
Rusli Marzuki Saria mengungkapkan kekagunamanya pada gunung dalam puisinya
”Gunung Rinjani”.
Dunia tumbuhan juga banyak terdapat
dalam puisi Indonesia. Bunga, misalnya, menjadi judul dan tema beberapa puisi
Sapardi Joko Damono ( Bunga 1, Bunga 2, Bunga 3, Sonet: Hei Jangan Kau
Patahkan). Lindung Simatupang juga mengambil bunga sebagai judul puisinya,
yaitu ”Bunga-Bunga”.
Kehidupan binatang juga muncul dalam
perpuisian. Misalnya, puisi yang berjudul ”Di Kebun Binatang” karya Ayatrohaedi
yang mengisahkan kehidupan binatang, mulai dari ular, beruang, serigala, singa,
buaya, banteng, babi hutan, kuda, yang hidup dalam kurungan. Juga ada puisi
yang berjudul ”Anjing di muka pendapa” karya Rusyanto L. Simatupang yang
berkisah tentang kemalangan yang menimpa binatang piaraan tersebut.
Lingkungan perairan juga banyak muncul
dalam puisi. Misalnya, puisi ” Danau Singkarak Tengah Hari” karya Rusli Marzuki
Saria mengungkapkan kekaguman RMS terhadap keindahan Danau Singkarak di
Sumatera Barat. Danau yang terletak di kaki bukit itu kalau disaksikan pada
tengah hari bagaikan seorang gadis cantik (si upik bermata perak). Keindahan
danau juga diungkapkan Toto S. Bachtiar dalam puisinya berjudul ”Danau M.”.
Ayatrohaedi juga mengungkapkan keindahan danau dalam puisinya berjudul ”Situ
Gintung”.
Selain danau, sungai juga menjadi tema
beberapa puisi Indonesia. Misalnya, terdapat dua sungai besar di Indonesia yang
menjadi judul puisi, yaitu ”Sungai Musi” karya Slamet Sukirnanto dan ”Sepanjang
Mahakam” karya Kirjo Mulyo. Dalam puisi ”Sungai Musi” Slamet Sukirnanto
bercerita tentang pengalamnya menyusuri Sungai Musi di tengah malam. Suasana
begitu kelam dilukiskan dengan / bulat bulan tenggelam dalam sekali/. Meskipun
suasana gelap gulita, namun denyut kehidupan masih dirasakan melalui bunyi
perahu tempel dan rakit dan lain-lain. Kirjo Mulyo mengungkapkan kekagumannya
pada Sungai Mahakam yang panjang membelah pulau Kalimantan.
Selain komponen lingkungan, masalah
kerusakan alam juga menjadi tema beberapa puisi Indonesia. Beberapa penyair
yang menciptakan puisi bertema kerusakan lingkungan, antara lain Taufiq Ismail,
Eka Budianta, Jose Rizal Manua, Abdul Rozak Zaidan, dll. Bahkan, Taufiq
merupakan penyair yang paling apik, tajam, dan menyentuh mengungkapkan
kerusakan alam lingkungan. Puisi Taufiq Ismail berjudul ”Sejarum Peniti,
Sepunggung Gunung” merupakan puncak karya sastra tentang lingkungan hidup.
Begitu juga puisi berjudul ”Membaca Tanda-Tanda” karya Taufiq Imail, ”Solitude”
karya Eka Budianta, ”Kesaksian Lingkungan” karya Abdul Rozak Zaidan, ”Allah, Ya
Rabb: Apa Artinya ini?” merupakan puisi-puisi bagus tentang lingkungan hidup.
Citra
Lingkungan Hidup dalam Puisi
Citra lingkungan hidup dalam puisi
merupakan gambaran kondisi lingkungan hidup dalam puisi. Citra lingkungan
lingkungan hidup dalam puisi dapat dibedakan atas: (1) Citra Lingkungan Hidup
yang Seimbang, dan (2) Citra Lingkungan hidup yang tidak Seimbang.
Citra lingkungan hidup yang seimbang
adalah penggambaran lingkungan yang masih asri, belum mengalami kerusakan,
belum mengalami pencemaran. Puisi yang ditulis pada awal tahun 1920-an
merupakan contoh puisi yang memberikan citra lingkungan hidup yang seimbang.
Puisi ”Tanah Air” (Muhammad Yamin) ”Tanah Air” (Roestam Effendi), ”Sawah” (Ali
Hasymi), dan ”Sawah” (Sanusi Pane ) yang ditulis dalam bentuk sonet atau sexted
mengambil pencitraan lingkungan hidup yang seimbang pada bait-bait awal puisi
tersebut.
Citra lingkungan hidup yang seimbang
juga terdapat pada puisi-puisi yang ditulis sampai pada tahun 1960-an dan
1970-an. Puisi ”Tanah Air II” karya Ajip Rosidi, ”Tanah Kelahiran I”, ”Tanah
Kelahiran II” karya Ramadhan K.H.. ”Sarangan” karya Abdul Hadi W.M., ”Cipanas”
karya Slamet Sukirnanto, ”Pangandaran” karya Dodong Djiwapradja, ”Mongan Paola,
Siberut Utara” dan ”Danau Singkarak Tengah Hari” karya Rusli Marzuki Saria
merupakan beberapa contoh puyisi yang memberikan citra lingkungan hidup yang
seimbang.
Ajip Rosidi mengibaratkan tanah airnya
seperti putri cantik jelita yang sedang tidur, berambut panjang berombak.
Ramadhan K.H. sampai menyebut kumpulan puisinya dengan judul ”Priangan si
Jelita”, Abdul Hadi mengibaratkan suasana di Sarangan sebagai selusin dua
sejoli yang mengajak tidur, Dodong Djiwapradja menyamakan Pangandaran dengan
lukisan Nashar, Rusli Marzuki Saria menyebut tanah Mangan Paola sebagai perawan,
dan keindahan danau Singakarak diibaratkannya sebagai si upik bermata perak,
dan masih banyak contoh lainnya.
Citra lingkungan hidup yang tidak
seimbang banyak terdapat dalam puisi Indonesia. Citra demikian ada yang
diungkapkan secara ekplisit oleh penyair, ada yang tidak dinyatakan secara
eksplisit, hanya melalui kecaman, kecemasan, atau sikap kritis lainnya.
Citra lingkungan hidup yang tidak
seimbang ini mulai kelihatan muncul pada dekade 1960-an dan sesudahnya. Puisi
Ayatrohaedi “Di Kebun Binatang” yang ditulis pada tahun 1960-an sudah
menggambarkan kehidupan binatang yang tidak seimbang. Dia menggambarkan
kehidupan binatang di kebun binatang sebagai kelaparan :pisik dan non pisik,
(Mirip dengan peristiwa tragis binatang di kebun binatang Surabaya?:.` Begitu
juga dengan puisi Lindung Simatupang yang berjudul “Anjing di Muka Pendapa”.
Dalam puisi itu digambarkan kehidupan anjing yang selalu ditambatkan, sudah
tua, kelaparan, dan kehilangan kebebasan. Namun, ia tetap tidak berontak karena
sudah tua dan terbiasa patuh kepada majikannya.
Keadaan alam danau yang sudah rusak
diungkapkan Piek Ardiyanto Supriadi dalam puisinya Penghuni Dangau di Tepi
Danau”. Kalau biasanya danau memberikan pemandangan yang indah, ikan yang
banyak, tetapi tidak demikian danau yang dilukiskan Piek. Citra danau yang
diberikan Piek adalah danau yang airnya hampir kering, tidak ada ikan, tanahnya
rengkah-rengkah, sekelilingnya ditumbuhi alang-alang. Meskipun lelaki di tepi
danau itu berusaha mengail ikan, tetapi yang dia dapat hanya “perih luka/ hati
terkait mata kailnya sendiri? Yudistira ANM Massardi menggambarkan kerusakan
alam berupa banjir. Hal itu ditulisnya dalam puisi yang berjudul “Sungai
Menangis”.
Selain menggambarkan citra yang tidak
seimbang, dalam beberapa puisi Indonesia juga diungkapkan bermacam jenis dan
penyebab ketidakseimbangan itu. Pada puisi “Dalam Kemarau Terlalu Panjang”
karya Yunus Mukri Adi digambarkan kerusakan alam yang disebabkan oleh musim
kemarau. Begitu juga dalam puisi karya Damiri Mahmud yang berjjudul
“Burung-burung Terhenti Bernyanyi”.
Pada dekade setelah 1980-an, makin
banyak penyair yang menaruh perhatian kepada masalah lingkungan, terutama
dampak buruk pengelolaan lingkungan yang buruk. Mereka tidak hanya memaparkan
lingkungan yang tidak seimbang, tetapi juga memaparkan penyebab terjadinya
ketidakseimbangan itu. Bahkan, para penyair secara sadar menyampaikan protes,
kritikan terhadap pengelolaan lingkungan tersebut.
F. Rahardi dalam puisinya yang panjang
berjudul ”Matahari, Wereng dan Sol Sepatu” melukiskan kerusakan lingkungan yang
menyebabkan kemiskinan petani. F. Rahardi melukiskan ketidakseimbangan
lingkungan itu dengan ungkapan,” Matahari menggeliat-geliat memancarkan
keringat/Matahari cemberut/Matahari makin tinggi/. Tentang langit diungkapkan,
”/Langit melengkung bagai kubah mesjid/Langit berdebu/Langit sempoyongan mabuk
pestisida/Langit makin sepi/” Penyebab semua itu adalah kerakusan, penindasan
yang dilakukan oleh berbagai pihak, seperti diungkapkan pada bagian penutup
puisi itu, ”/Sepatu pejabat disemir mengkilap/sepatu tentara berderap rapi/
sepatu wartawan kesetanan/ sol-sol sepatu itu menyatu/ menancap di pelipis pak
tani./”
Eka Budianta dalam puisinya ”Solitude”
mengungkapkan hasil renungannya terhadap lingkungan ketika berada di luar
negeri. Dia melukiskan kerusakan lingkungan akibat keserakahan manusia yang
mengeksploitasi alam dengan dalih industri. Dia mengungkapkan, // Aku mendengar
ada yang menjerit/ ketika dinamit itu meledakkan bukit-bukit// Kabut gemetar
berlarian tak tentu arah/ ketika dari moncong – moncong asap raksasa/ debu
hitam menyembur ke angkasa// Burung-burung menangis sepanjang hari/ melihat
hutannya musnah sekaki demi sekaki//.
Berbeda dengan Eka Budianta, Abdul
Rozak Zaidan dalam puisinya ”Kesaksian Lingkungan” lebih tegas dan keras.
Secara eksplisit dia menunjukkan protesnya kepada pemerintah, via Emil Salim
yang waktu itu menjabat menteri lingkungan hidup. Abdul Rozak Zaidan menyoroti
punahnya sejumlah satwa akibat perburuan manusia. Satwa tertentu hanya tinggal
kenangan, dalam lukisan, seperti diungkapkannya, // Serombongan bangau kini
terbang dengan sayap-sayap/ tapi di kanvasmu/ mereka telah tak bernyawa//.
Abdul Rozak juga menyoroti kehidupan petani yang makin susah karena
berkurangnya lahan pertanian. Lahan pertanian disulap jadi komplek rumah mewah,
komplek industri, sehingga sampahnya mengotori lingkungan, sulit mendapatkan
air, dan lain-lain. Dengan sinis dia mengungkapkan, //Kini, di manakah air yang
jernih/ kalau bukan dari kantung kemih//
Taufiq Ismail adalah penyair yang
sangat menaruh perhatian terhadap masalah lingkungan. Banyak puisinya yang
berkaitan dengan lingkungan. Kepedulian Taufiq itu didukung oleh kemampuannya
menuangkan dalam puisi-puisi yang membangkitkan emosi, apalagi kalau puisi itu
dibacakan, seperti puisi ”Membaca Tanda-tanda”. Dalam puisi itu dengan tegas
mengingatkan kita agar menyadari kekeliruan dalam mengelola lingkungan, arif
membaca tanda-tanda kemurkaan Tuhan berupa bencana, Tapi, kadangkala kita tidak
juga mau menyadarinya, seperti diungkapkan Taufiq di awal dan di akhir
puisinya, ”Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan/ dan meluncur lewat
sela-sela jari kita.”
Puncak dari keprihatinan penyair
terhadap kerusakan lingkungan tampaknya terjadi pada tahun 1990-an. Pada tahun
itu diterbitkan sebuah antologi puisi oleh Ahmad Suhadak, dkk. Yang berjudul
”Cerita dari hutan bakau: Antologi puisi lingkungan hidup.” Antologi ini
diterbitkan oleh Pustaka Sastra Jakarta tahun 1994.
Memahami sebuah puisi juga bisa
menangkap konteks penciptaannya. Konteks penciptaan adalah kondisi dan waktu
puisi itu diciptakan. Konteks itu merupakan kondisi objektif yang menginspirasi
penyair untuk menciptakan kenyataan imajinatif berupa puisi. Maka, jika masalah
lingkungan hidup ditempatkan sebagai atribut dalam sebuah puisi, berarti
lingkungan hidup waktu itu bukan merupakan isu utama di masyarakat. Sebaliknya,
ketika lingkungan hidup sudah menjadi tema dalam puisi, berarti pada waktu itu
lingkungan hidup telah menjadi salah satu isu, wacana utama dalam
masyarakatnya. Jika sebuah puisi menggambarkan lingkungan hidup yang masih
seimbang, berarti pada masa itu belum terjadi kerusakan parah lingkungan.
Sebaliknya, jika puisi itu menggambarkan lingkungan hidup yang tidak seimbang,
berarti pada masa itu telah terjadi kerusakan lingkungan.
Puisi-puisi lingkungan hidup yang
ditulis pada tahun 1920-an sampai tahun 1960-an pada umumnya menempatkan
lingkungan hidup sebagai atribut dalam puisi dan menggambarkan lingkungan hidup
yang masih seimbang. Artinya, pada masa itu lingkungan belum merupakan masalah
atau isu penting di masayarakat karena kerusakan lingkungan belum dirasakan
akibatnya, Tetapi, puisi-puisi lingkungan hidup yang ditulis setelah tahun
1960-an telah menempatkan lingkungan hidup sebagai tema puisi dan menggambarkan
lingkungan hidup yang tidak seimbang. Artinya, pada konteks tersebut lingkungan
hidup telah berkembang menjadi salah satu isu penting di masyarakat karena
kerusakan lingkungan telah dirasakan akibatnya.
Penutup
Begitulah, seandainya penumpang mobil
yang melaju di depan saya di jalan utama Padang telah memiliki karakter ”sadar
lingkungan” tentu mereka tidak akan membuang sampah sembarangan. Tetapi, itulah
”dosa pendidikan” masa lalu. Akibatnya, dirasakan saat ini.
Ke depan, agar dosa itu tidak terulang
lagi, maka perlu pendidikan berwawasan lingkungan (Green Education).. Salah
satu media yang dapat dimanfaatkan dalam pendidikan berwawasan lingkungan
adalah puisi. Dan, Nauman, (2002) telah menginventarisasi hampir 90-an puisi
dari berbagai penyair Indonesia yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup.
Juga, sudah tersedia sebuah antologi puisi tentang lingkungan hidup yang
berjudul “Cerita dari Hutan Bakau” yang diterbitkan Pustaka Sastra Jakarta
tahun 1994.
Kita tinggal memilih puisi yang mana
yang dibutuhkan, :
(1) Apakah puisi yang menjadikan
lingkungan hidup sebagai atribut atau puisi yang menjadikan lingkungan hidup
sebagai tema?.
(2) Apakah puisi yang menggambarkan
lingkungan hidup yang masih seimbang, atau puisi yang menggambarkan lingkungan
hidup yang tidak seimbang?
(3) Aapakah kita ingin menggambarkan perkembangan
masalah lingkungan hidup dengan memanfaatkan konteks penciptaan puisi?
DAFTAR PUSTAKA
Efendi, S.
(1987). Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika Alam
Esten, Mursal
(1989). Sepuluh Petunjuk Memahami Puisi. Padang: Angkasa Raya
Ismail, Taufiq.
(1998). Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Jakarta: Yayasan Ananda
Nauman, Indra
Jaya (2002) Citra Lingkungan Hidup dalam Puisi Indonesia Modern. Jogjakarta:
Adicita
Salim, Emil.
(1979) Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Mutiara
Suhadak, Ahmad,
dkk. (1994.) Cerita dari hutan bakau: Antologi puisi lingkungan hidup. Jakarta:
Pustaka Sastra
Tadjoedin, A.
Ramzy (editor). (1992) Membangun tanpa Merusak Lingkungan. Jakarta: Kantor
Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup
Teeuw, A. (1003)
Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia
Waluyo, Herman
J. (1987) Teori dan Apresiasi Puisi, Jakarta: Erlangga
Tulisan
ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya,
28—31 Oktober 2013 yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar