OLEH Puti Reno Raudha
Thaib
Ketua Umum Bundo Kanduang Sumatera Barat
Pusako adalah milik
kaum yang tampak nyata; sawah, ladang, rumah gadang, pandam pakuburan. Pusako
dimanfaatkan oleh perempuan. Lelaki berhak mengatur pemakaiannya tetapi tidak
berhak untuk memiliki. Dalam pengaturan pewarisan, semua harta yang akan
diwariskan harus ditentukan dulu kedudukannya. Kedudukan harta pusaka; 1. Pusako
tinggi dan 2. Pusako
randah.
Pusako tinggi
diwariskan menurut garis matrilineal, sedangkan pusako randah diwariskan menurut
hukum faraidh. Pusako tinggi hanya boleh digadai (tidak dijual) apabila terjadi
sesuatu yang sulit dapat diatasi; 1. Gadih gadang indak balaki, 2. Maik tabujua
tangah rumah, 3. Rumah gadang katirisan.
Dalam ketiga hal ini terjadi
berbagai penafsiran yang menyebabkan timbulkan berbagai kegoncangan di dalam
suatu kaum.
Laki-laki di dalam
kaumnya, mempunyai peranan secara bertingkat; pertama, sebagai kemenakan. Seorang laki-laki bermula
sebagai kemenakan. Dalam menentukan status mereka sebagai pewaris sako dan
pusako, kemenakan dikelompokkan dalam tiga tingkatan, kemenakan di bawah daguak (saparuik). kemenakan di bawah pusek (saniniak) dan kemenakan
di bawah lutuik (nan inggok). Umumnya, kemenakan di bawah lutuik tidak
diikutkan di dalam pewarisan sako jo pusako, karena dia datang kemudian.
Selanjutnya
laki-laki tersebut berperan sebagai mamak. Setelah dewasa (berumah tangga) si
kemenakan menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Dia akan
memegang kendali kaum sebagai penghulu bergelar datuk. Prinsip mempertahankan
pusaka adalah; kalau indak bisa
manambah, jan mangurangi
Secara keseluruhan peranan
laki-laki di dalam kaumnya adalah; tagak
badunsanak, mamaga dunsanak, tagak basuku, mamaga suku, tagak ba kampuang
mamaga kampuang.
Di luar kaum,
laki-laki menjadi sumando atau tamu dalam kaum pihak istrinya. Laki-laki
sebagai “duta” kaumnya di dalam wilayah kaum isterinya, begitu sebaliknya. Berdasarkan
tabiat dan perilaku, seorang sumando dijuluki dengan berbagai ungkapan; sumando
ninik mamak, dsbnya. Rancak rumah dek sumando, elok hukum dek
mamaknyo.
Kaum dan Pesukuan. Orang Minangkabau yang berasal dari satu keturunan
dalam garis matrilineal merupakan anggota kaum. Di dalam sebuah kaum Unit terkecil disebut samande,
unit yang lebih luas
disebut saparuik, selanjutnya
disebut; saniniak, sakaum, sasuku.
Pada mulanya, sebuah
nagari dihuni oleh empat suku; Koto,
Piliang, Bodi dan Caniago. Dalam perkembangannya - Koto dan Piliang berkembang menjadi
beberapa suku;
Tanjuang, Sikumbang,
Kutianyir, Guci, Payobada, Jambak, Salo, Banuhampu, Damo, Tobo, Galumpang, Dalimo,
Pisang, Pagacancang, Patapang, Malayu, Bendang, Kampai, Panai, Sikujo,
Mandahiliang dan lainnya. Sedangkan Bodi
dan Caniago berkembang pula menjadi beberapa suku; Sungai
Napa, Singkuang, Supayang, Lubuk Batang, Panyalai, Mandaliko, Sumagek dan
lainnya.
Di dalam majlis
peradatan keempat-empat suku disebut urang nan ampek suku. Ada juga
nagari yang memasukkan suku Melayu disebut urang nan limo suku. Suku-suku
yang punya kaitan keturunan dan sejarah disebut sapayuang. Beberapa payuang
yang juga berasal dari keturunan dan sejarah yang sama disebut sahindu.
Sebuah kaum
mempunyai keterkaitan dengan suku-suku lain, biasanya disebabkan oleh
perkawinan. Oleh sebab itu, setiap kaum mempunyai struktur ke dalam dan ke
luar.
Di dalam kaum: a.
Penghulu. b. Tungganai (pangulu salingka sasak). c. Mamak dan d. Kamanakan. Dan
dalam kaitannya dengan suku lain: a.
Induk bako, anak pisang, b. Andan pasumandan, c. Sumando manyumando ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar