Rabu, 11 Maret 2015

Peranan Laki-laki dalam Sistem Matrilineal

OLEH Puti Reno Raudha Thaib
Ketua Umum Bundo Kanduang Sumatera Barat

Pusako adalah milik kaum yang tampak nyata; sawah, ladang, rumah gadang, pandam pakuburan. Pusako dimanfaatkan oleh perempuan. Lelaki berhak mengatur pemakaiannya tetapi tidak berhak untuk memiliki. Dalam pengaturan pewarisan, semua harta yang akan diwariskan harus ditentukan dulu kedudukannya. Kedudukan harta pusaka; 1. Pusako tinggi dan 2. Pusako randah.

Pusako tinggi diwariskan menurut garis matrilineal, sedangkan pusako randah diwariskan menurut hukum faraidh. Pusako tinggi hanya boleh digadai (tidak dijual) apabila terjadi sesuatu yang sulit dapat diatasi; 1. Gadih gadang indak balaki, 2. Maik tabujua tangah rumah, 3. Rumah gadang katirisan.  Dalam ketiga hal ini terjadi berbagai penafsiran yang menyebabkan timbulkan berbagai kegoncangan di dalam suatu kaum.
Laki-laki di dalam kaumnya, mempunyai peranan secara bertingkat; pertama,  sebagai kemenakan. Seorang laki-laki bermula sebagai kemenakan. Dalam menentukan status mereka sebagai pewaris sako dan pusako, kemenakan dikelompokkan dalam tiga tingkatan,  kemenakan di bawah daguak (saparuik).  kemenakan di bawah pusek (saniniak) dan kemenakan di bawah lutuik (nan inggok). Umumnya, kemenakan di bawah lutuik tidak diikutkan di dalam pewarisan sako jo pusako, karena dia datang kemudian.  
Selanjutnya laki-laki tersebut berperan sebagai mamak. Setelah dewasa (berumah tangga) si kemenakan menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Dia akan memegang kendali kaum sebagai penghulu bergelar datuk. Prinsip mempertahankan pusaka adalah; kalau indak bisa manambah, jan mangurangi
Secara keseluruhan peranan laki-laki di dalam kaumnya adalah; tagak badunsanak, mamaga dunsanak, tagak basuku, mamaga suku, tagak ba kampuang mamaga kampuang.
Di luar kaum, laki-laki menjadi sumando atau tamu dalam kaum pihak istrinya. Laki-laki sebagai “duta” kaumnya di dalam wilayah kaum isterinya, begitu sebaliknya. Berdasarkan tabiat dan perilaku, seorang sumando dijuluki dengan berbagai ungkapan; sumando ninik mamak, dsbnya. Rancak rumah dek sumando, elok hukum dek mamaknyo.
Kaum dan Pesukuan. Orang Minangkabau yang berasal dari satu keturunan dalam garis matrilineal merupakan anggota kaum.  Di dalam sebuah kaum Unit terkecil disebut samande, unit yang lebih luas disebut saparuik, selanjutnya disebut; saniniak,  sakaum,  sasuku.
Pada mulanya, sebuah nagari dihuni oleh empat suku; Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Dalam perkembangannya - Koto dan Piliang berkembang menjadi beberapa suku;
Tanjuang, Sikumbang, Kutianyir, Guci, Payobada, Jambak, Salo, Banuhampu, Damo, Tobo, Galumpang, Dalimo, Pisang, Pagacancang, Patapang, Malayu, Bendang, Kampai, Panai, Sikujo, Mandahiliang dan lainnya. Sedangkan Bodi  dan Caniago  berkembang pula menjadi beberapa suku; Sungai Napa, Singkuang, Supayang, Lubuk Batang, Panyalai, Mandaliko, Sumagek dan lainnya.
Di dalam majlis peradatan keempat-empat suku disebut urang nan ampek suku. Ada juga nagari yang memasukkan suku Melayu disebut urang nan limo suku. Suku-suku yang punya kaitan keturunan dan sejarah disebut sapayuang. Beberapa payuang yang juga berasal dari keturunan dan sejarah yang sama disebut sahindu.
Sebuah kaum mempunyai keterkaitan dengan suku-suku lain, biasanya disebabkan oleh perkawinan. Oleh sebab itu, setiap kaum mempunyai struktur ke dalam dan ke luar.

Di dalam kaum: a. Penghulu. b. Tungganai (pangulu salingka sasak). c. Mamak dan d. Kamanakan. Dan dalam kaitannya dengan suku lain: a. Induk bako, anak pisang, b. Andan pasumandan, c. Sumando manyumando ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...