OLEH H. Kamardi Rais Dt.
P. Simulie
Bupati Alis Marajo berziarah ke makan A Damhoeri |
Sebuah laporan dari
daerah Kabupaten Limapuluh Kota mengatakan bahwa Bupati dr. Alis Marajo Datuk
Sori Marajo bersama instansi terkait telah berziarah ke makam pengarang A.
Damhoeri (almarhum) di Lurah Bukit, Kenagarian Balai Panjang, Kecamatan Sago
Halaban baru-baru ini.
Laporan tersebut tentulah amat menggembirakan karena
seorang pimpinan daerah telah menghargai jasa seorang pengarang yang produktif
sejak tahun tiga puluhan. Sayangnya penulis laporan tersebut, wartawan Jonres
Marianto kembali menulis keliru dalam menuliskan nama pengarang A. Damhoeri
jadi A. Damanhoeri. (lihat Padang Ekspres, Sabtu, 1 Nopember 2003,
halaman 14/kaki). Yang benar adalah A. Damhoeri, bukan A. Damanhoeri.
Pengarang A.
Damhoeri memang banyak menulis buku-buku roman antara lain Depok Anak Pagai, Terompah
Usang Yang Tak Sudah Dijahit, dan lain-lain. Pada masa tuanya menjadi
penulis tetap di Harian Singgalang,
Padang. Kemudian ikut mengedit dan menambah
buku “Tambo Alam Minangkabau”,
sebuah buku klasik yang dikarang oleh H. Datoek Toeah, Koto nan Gadang,
Payakumbuh yang ditulis pada zaman Belanda.
Aksara Minang
Yang menggembirakan
kita lagi dilaporkan bahwa Pemda Kabupaten Limapuluh Kota akan menambah kurikulum
muatan lokal kepada murid-murid Sekolah Dasar dengan mengajarkan aksara Minang.
Jika hal ini terlaksana dengan baik, diharapkan pada masa
datang jika orang berbicara tentang Minangkabau tidak akan berkata lagi bahwa
budaya Minang yang sudah tua dan luhur itu disayangkan tidak punya aksara
seperti Aceh, Batak, Rejang, Jawa, Bugis, dan sebagainya. Kenyataannya sekarang
Minangkabau juga punya aksara.
Barangkali bolehlah saya bercerita sedikit tentang aksara
Minang tersebut. Pada tanggal 1-8 Agustus 1970 telah dilangsungkan Seminar
Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau di Kota Batusangkar. Sejumlah tokoh-tokoh
Minang dan para pakar sejarah dalam dan luar negeri hadir. Antara lain Bung
Hatta, Prof. Dr. Hamka, Prof. Dr. Bahder Djohan, Drs. Moh. Radjab, Drg. Yetti
Noor, Drs. Asmaniar Idris, Drs. Amrin Imran, Dr. Mochtar Na’im, Tan Seri Samad
Idris dengan makalahnya yang menarik perhatian, Prof. Dr. G. Hugdson, dan
lain-lain.
Menghadapi seminar yang berlevel nasional itu, LKAAM
Sumbar menyikapinya dengan mengadakan Mubes Luar Biasa di Padang. Kebetulan
Bapak M. Rasjid Manggis Datuk Rajo Panghulu berdua dengan saya ditunjuk Mubes
menyiapkan suatu kertas kerja (paper) tentang sejarah Minangkabau yang akan
disajikan dalam seminar tersebut.
Di samping kami berdua kemudian jadi berlima sebagai
utusan LKAAM Sumbar yakni : R. M. Datuk Tandiko nan Hitam dari Kumango,
Nurhasan Datuk Marajo dari Sikaladi (Tanah Datar) dan Amir Bey Datuk Marajo
dari Solok.
Sementara itu
Pengarang A. Damhoeri yang pada waktu itu Kepala Kebudayaan Kab. 50 Koto tidak
sebagai peserta penuh. Dia datang dari Payakumbuh sewaktu-waktu saja dan minta
tolong pada saya mengambil kertas seminar untuk Pak A. Damhoeri. Jadinya saya
double mengambilnya setiap hari.
Saya teringat pada hari ketiga seminar yang riuh,
tiba-tiba tampil Sutan Mahmud, mantan Camat Pariangan (Tanah Datar) bahwa dia
berhasil membawa aksara Minang yang didapatkannya di nagari tertua Minangkabau,
Pariangan. Anas Datuk Simarajo nan Kuning (salah seorang Panitia Seminar)
menuliskan di papan tulis aksara Minang tersebut yang jumlahnya 15 huruf yakni
: a-ba-sa-ta-ga-da-ma-ka-na-wa-ha-pa-la-ra-nga.
Kalau ditambah bulatan kecil di atas dan di bawahnya
huruf a tersebut jadi i dan u. kalau
bercagak (tanda v) di atas dan di bawahnya jadi e dan o.
kalau pakai titik di samping kanannya jadi huruf mati.
Kitab Tambo Datuk Suri Dirajo ditulis dalam aksara Minang
tersebut. Pada hari keempat seminar, salinan aksara Minang yang berasal dari
Pariangan itu saya serahkan satu lembar buat Pak. A. Damhoeri yang pada hari
itu datang agak terlambat. Pak A. Damhoeri bercerita kepada saya bahwa dia
sedang mengedit buku Tambo karangan Datuk Toeah, Koto nan Gadang, Payakumbuh
dengan izin ahli warisnya Alim Bachtar, guru SMP Negeri Payakumbuh ketika itu.
Saya sarankan agar aksara Minang yang baru ditemukan itu
dimasukkan dalam buku tambo Datuk Toeah tersebut. Pak A. Damhoeri sangat setuju
sekali dan menanggapinya secara positif.
Usai seminar yang delapan hari itu saya kembali ke
Padang, partner saya Pak Rasjid Manggis kembali ke Bukittinggi dan Pak A.
Damhoeri kembali ke Payakumbuh. Laporan seminar saya tulis dua macam. Yang
pertama untuk public comsumption yang dimuat oleh Harian Semengat Padang berikut tentang Aksara
Minang tersebut.
Yang kedua laporan secara organisatoris kepada Pucuk
Pimpinan LKAAM Sumbar tentang jalannya seminar, semua paper dan rumusan seminar
yang intinya dibacakan oleh Prof. Buya Hamka dalam acara penutupan seminar di
lapangan PSBS, Batusangkar pada tanggal 8 Agustus 1970. Ketua Umum Pucuk Pimpinan LKAAM Sumbar pada waktu
itu adalah Baharuddin Dt. Rangkayo Basa.
Ditemukan Pula di Sulit Air
Ketika saya memimpin majalah Adat dan Kebudayaan
Minangkabau “Limbago” pada tahun 1987 saya tulis kembali aksara Minang tersebut
dengan maksud dapat diketahui umum secara luas terutama di kalangan masyarakat
Minang bahwa kita bukan tidak punya aksara. Bapak A. Damhoeri telah menambahkan
di dalam buku Tambo Alam Minangkabau karangan Datuk Toeah tentang Aksara Minang
tersebut pada tahun 1989.
Tapi pada tahun
1980-an datang kepada saya Drs. Denito Darwas Datuk Rajo Malano yang memimpin
sebuah yayasan Minangkabau di Padang. Kebetulan Drs. Darwas tersebut adalah
anggota PWI Jaya, sedangkan saya waktu itu adalah Ketua PWI Cabang Sumatera
Barat.
Drs. Denito Darwas memberikan kepada saya abjad aksara
Minang yang tak sama (berbeda)
dengan aksara Minang yang ditemukan di Nagari Pariangan. Aksara Minang yang
diserahkan rekan Drs. Denito Darwas ditemukan di Sulit Air berupa sebuah buku
tambo yang diberi nama Tambo Ruweh Buku” juga ditulis oleh Datuk Suri Dirajo di
Pariangan. Aksara itu terdiri dari 22 huruf, lima huruf vokal dan 17 huruf
konsonan. Kemudian dilengkapi lagi dengan tanda baca seperti tanda tanya, tanda
seru, tanda tambah, tanda koma, titik dan sterip.
Aksara “Ruweh Buku” tersebut
dimiliki oleh Datuk Tumanggung Sulit Air secara turun temurun. Terakhir
disimpan oleh Syamsuddin Taim gelar Pakiah Soetan dan dibawanya ke Jakarta.
Saya coba mencari orang tua itu ke Jakarta melalui
Saudara Drs. Rainal Rais yang menjadi Ketua Umum Sulit Air Sepakat (SAS)
ternyata Bapak Syamsuddin Taim telah meninggal dunia dan dimakamkan di Jakarta.
Aksara Minang “Ruweh Buku” itu entah di mana tersimpannya sekarang. Namun,
salinan abjad aksara Minang “Ruweh Buku” tersebut masih ada pada saya.
Barangkali perlu suatu penelitian tentang kedua aksara
Minang tersebut. Dari dua aksara Minang tersebut, yang mana yang dipakai? Termasuk yang akan diajarkan di Sekolah
Dasar di Kabupaten Limapuluh Kota yang dianjurkan oleh Bupati dr. Alis Marajo
Datuk Sori Marajo.
Siapa A. Damhoeri?
A. Damhoeri adalah seorang pengarang roman tahun tiga
puluhan. Ia dilahirkan di sebuah nagari di pedalaman daerah Limapuluh Kota
persisnya di Bagari Batupayung dulunya Kecamatan Luhak, pada tanggal 31 Agustus
1915 dan wafat 6 Oktober 2000 dalam usia 85 tahun.
Almarhum lama jadi
guru di Danau Bingkuang, Riau. Kemudian berpindah-pindah ke tempat lain sebagai
seorang guru. Terakhir sebagai kepala Jawatan Kebudayaan Kabupaten Limapuluh
Kota di Payakumbuh. Di samping jadi guru, A. Damhoeri adalah seorang pengarang
roman. Ia ikut dibicarakan oleh Prof. A. Teuw dalam bukunya Pokok dan Tokoh.
Di samping bukunya Depok Anak Pagai, dan lain-lain,
A. Damhoeri banyak mengarang cerpen yang tersebar pada berbagai majalah antara
lain majalah Terang Bulan terbitan
Surabaya tahun 50-an.
Bagi saya Almarhum adalah guru saya dalam menulis
sekaligus sebagai teman. Ketika pergolakan daerah (PRRI tahun 1958-1961) bila
malam kami sama-sama pergi “ijok”
(mengungsi tidur) agar tidak dijarah oleh APRI. Kami mencari tempat ijok di
Jorong Lareh dan pada sebuah pondok di tepi batang Sinamar. Saya kenal
adik-adiknya seperti guru Hasan Basri, Zanzibar, dan lain-lain. Salah seorang
putra Pak. A. Damhoeri adalah Nusyirwan Damhoeri yang dulunya koresponden Singgalang di Bukittinggi dan Tanjung
Pinang.
Pada tahun 1947 saya
ikut dilatihnya sebagai pemain sandiwara pentas yang berjudul “Dajjal” di Pekan
Selasa, Aie Tabik walaupun sebagai pemeran pembantu (figuran). A. Damhoeri yang
menulis cerita, dia sutradara (regisur) dan dia pula pemegang peran utama.
Sebuah anekdot bagi pengarang A. Damhoeri, pada tahun
70-an ia mengunjungi negara tetangga, Malaysia, karena buku-bukunya diterbitkan
di sana. Dia pulang membawa segepok ringgit dan sebuah mesin tulis baru.
Sebulan setelah ia kembali dari Kuala Lumpur, Almarhum
berkata pada saya: “Datuk! katanya. Saya sudah lihat Kota Metropolitan Kuala
Lumpur, tapi saya belum lihat ibu kota RI Jakarta. Kapan Datuk membawa saya ke
Jakarta?”
Saya jawab dengan tawa yang berderai: “Lucu! Pak Adam.
Negeri orang sudah dilihat. Ibu kota RI belum. Tunggulah kapan-kapan.” (Saya
dengar belakangan Beliau telah pergi lihat Jakarta)
Pada suatu kali di tahun 70-an dia singgah di Harian Semangat.
Diceritakannya bahwa hutan di PLTA Agam terbakar. Katanya dia lihat dengan
jelas dari bis Bintang Kejora.
Lalu saya bilang: “Itu berita bagus. Tolong Bapak tulis
beritanya.”
Lalu Beliau ambil mesin tulis. Berjam-jam berita pendek
itu tak selesai juga. Sembari mengetik ia berciloteh terus tentang api itu. Saya
lihat kalimat intro berita itu dimulainya bagaikan menulis roman: “Ketika panas
terik membakar daerah Padang Tarok, Agam, saya dan penumpang lainnya sedang
berada di oto Bintang Kejora. Sigulambai sedang marak membakar hutan di sekitar
Proyek PLTA Batang Agam.” dan orangpun nampak berlarian…
“Ah, Datuk! K.O. saya. Saya tak bisa menulis berita pers
dengan bahasa yang lugas dan ekonomi kata. Saya gagal jadi wartawan. Biar saya
jadi penulis roman saja,” katanya sambil meremoh kertas ketikannya.
Demikian secuil kenangan saya dengan pengarang A.
Damhoeri (almarhum) yang wafat dalam usia 85 tahun.
Semoga Tuhan menerima arwahnya di sisi-Nya dan mengampuni
segala dosanya. Amin.
Padang, 3 Nopember 2003
Karya-karya akan selalu hidup :)
BalasHapus