Minggu, 01 Maret 2015

Pengarang A. Damhoeri dan Aksara Minang

OLEH H. Kamardi Rais Dt. P. Simulie
Bupati Alis Marajo berziarah ke makan A Damhoeri
Sebuah laporan dari daerah Kabupaten Limapuluh Kota mengatakan bahwa Bupati dr. Alis Marajo Datuk Sori Marajo bersama instansi terkait telah berziarah ke makam pengarang A. Damhoeri (almarhum) di Lurah Bukit, Kenagarian Balai Panjang, Kecamatan Sago Halaban baru-baru ini.

Laporan tersebut tentulah amat menggembirakan karena seorang pimpinan daerah telah menghargai jasa seorang pengarang yang produktif sejak tahun tiga puluhan. Sayangnya penulis laporan tersebut, wartawan Jonres Marianto kembali menulis keliru dalam menuliskan nama pengarang A. Damhoeri jadi A. Damanhoeri. (lihat Padang Ekspres, Sabtu, 1 Nopember 2003, halaman 14/kaki). Yang benar adalah A. Damhoeri, bukan A. Damanhoeri.
Pengarang A. Damhoeri memang banyak menulis buku-buku roman antara lain Depok Anak Pagai, Terompah Usang Yang Tak Sudah Dijahit, dan lain-lain. Pada masa tuanya menjadi penulis tetap di Harian Singgalang, Padang. Kemudian ikut mengedit dan menambah  buku “Tambo Alam Minangkabau”, sebuah buku klasik yang dikarang oleh H. Datoek Toeah, Koto nan Gadang, Payakumbuh yang ditulis pada zaman Belanda.
Aksara Minang
Yang menggembirakan kita lagi dilaporkan bahwa Pemda Kabupaten Limapuluh Kota akan menambah kurikulum muatan lokal kepada murid-murid Sekolah Dasar dengan mengajarkan aksara Minang.
Jika hal ini terlaksana dengan baik, diharapkan pada masa datang jika orang berbicara tentang Minangkabau tidak akan berkata lagi bahwa budaya Minang yang sudah tua dan luhur itu disayangkan tidak punya aksara seperti Aceh, Batak, Rejang, Jawa, Bugis, dan sebagainya. Kenyataannya sekarang Minangkabau juga punya aksara.
Barangkali bolehlah saya bercerita sedikit tentang aksara Minang tersebut. Pada tanggal 1-8 Agustus 1970 telah dilangsungkan Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau di Kota Batusangkar. Sejumlah tokoh-tokoh Minang dan para pakar sejarah dalam dan luar negeri hadir. Antara lain Bung Hatta, Prof. Dr. Hamka, Prof. Dr. Bahder Djohan, Drs. Moh. Radjab, Drg. Yetti Noor, Drs. Asmaniar Idris, Drs. Amrin Imran, Dr. Mochtar Na’im, Tan Seri Samad Idris dengan makalahnya yang menarik perhatian, Prof. Dr. G. Hugdson, dan lain-lain.
Menghadapi seminar yang berlevel nasional itu, LKAAM Sumbar menyikapinya dengan mengadakan Mubes Luar Biasa di Padang. Kebetulan Bapak M. Rasjid Manggis Datuk Rajo Panghulu berdua dengan saya ditunjuk Mubes menyiapkan suatu kertas kerja (paper) tentang sejarah Minangkabau yang akan disajikan dalam seminar tersebut.
Di samping kami berdua kemudian jadi berlima sebagai utusan LKAAM Sumbar yakni : R. M. Datuk Tandiko nan Hitam dari Kumango, Nurhasan Datuk Marajo dari Sikaladi (Tanah Datar) dan Amir Bey Datuk Marajo dari Solok.
Sementara itu Pengarang A. Damhoeri yang pada waktu itu Kepala Kebudayaan Kab. 50 Koto tidak sebagai peserta penuh. Dia datang dari Payakumbuh sewaktu-waktu saja dan minta tolong pada saya mengambil kertas seminar untuk Pak A. Damhoeri. Jadinya saya double mengambilnya setiap hari.
Saya teringat pada hari ketiga seminar yang riuh, tiba-tiba tampil Sutan Mahmud, mantan Camat Pariangan (Tanah Datar) bahwa dia berhasil membawa aksara Minang yang didapatkannya di nagari tertua Minangkabau, Pariangan. Anas Datuk Simarajo nan Kuning (salah seorang Panitia Seminar) menuliskan di papan tulis aksara Minang tersebut yang jumlahnya 15 huruf yakni : a-ba-sa-ta-ga-da-ma-ka-na-wa-ha-pa-la-ra-nga.
Kalau ditambah bulatan kecil di atas dan di bawahnya huruf a tersebut jadi i dan u. kalau bercagak (tanda v) di atas dan di bawahnya jadi e dan o. kalau pakai titik di samping kanannya jadi huruf mati.
Kitab Tambo Datuk Suri Dirajo ditulis dalam aksara Minang tersebut. Pada hari keempat seminar, salinan aksara Minang yang berasal dari Pariangan itu saya serahkan satu lembar buat Pak. A. Damhoeri yang pada hari itu datang agak terlambat. Pak A. Damhoeri bercerita kepada saya bahwa dia sedang mengedit buku Tambo karangan Datuk Toeah, Koto nan Gadang, Payakumbuh dengan izin ahli warisnya Alim Bachtar, guru SMP Negeri Payakumbuh ketika itu.
Saya sarankan agar aksara Minang yang baru ditemukan itu dimasukkan dalam buku tambo Datuk Toeah tersebut. Pak A. Damhoeri sangat setuju sekali dan menanggapinya secara positif.
Usai seminar yang delapan hari itu saya kembali ke Padang, partner saya Pak Rasjid Manggis kembali ke Bukittinggi dan Pak A. Damhoeri kembali ke Payakumbuh. Laporan seminar saya tulis dua macam. Yang pertama untuk public comsumption yang dimuat oleh Harian Semengat Padang berikut tentang Aksara Minang tersebut.
Yang kedua laporan secara organisatoris kepada Pucuk Pimpinan LKAAM Sumbar tentang jalannya seminar, semua paper dan rumusan seminar yang intinya dibacakan oleh Prof. Buya Hamka dalam acara penutupan seminar di lapangan PSBS, Batusangkar pada tanggal 8 Agustus 1970. Ketua  Umum Pucuk Pimpinan LKAAM Sumbar pada waktu itu adalah Baharuddin Dt. Rangkayo Basa.
Ditemukan Pula di Sulit Air
Ketika saya memimpin majalah Adat dan Kebudayaan Minangkabau “Limbago” pada tahun 1987 saya tulis kembali aksara Minang tersebut dengan maksud dapat diketahui umum secara luas terutama di kalangan masyarakat Minang bahwa kita bukan tidak punya aksara. Bapak A. Damhoeri telah menambahkan di dalam buku Tambo Alam Minangkabau karangan Datuk Toeah tentang Aksara Minang tersebut pada tahun 1989.
Tapi pada tahun 1980-an datang kepada saya Drs. Denito Darwas Datuk Rajo Malano yang memimpin sebuah yayasan Minangkabau di Padang. Kebetulan Drs. Darwas tersebut adalah anggota PWI Jaya, sedangkan saya waktu itu adalah Ketua PWI Cabang Sumatera Barat.
Drs. Denito Darwas memberikan kepada saya abjad aksara Minang yang tak sama (berbeda) dengan aksara Minang yang ditemukan di Nagari Pariangan. Aksara Minang yang diserahkan rekan Drs. Denito Darwas ditemukan di Sulit Air berupa sebuah buku tambo yang diberi nama Tambo Ruweh Buku” juga ditulis oleh Datuk Suri Dirajo di Pariangan. Aksara itu terdiri dari 22 huruf, lima huruf vokal dan 17 huruf konsonan. Kemudian dilengkapi lagi dengan tanda baca seperti tanda tanya, tanda seru, tanda tambah, tanda koma, titik dan sterip.
Aksara “Ruweh Buku” tersebut dimiliki oleh Datuk Tumanggung Sulit Air secara turun temurun. Terakhir disimpan oleh Syamsuddin Taim gelar Pakiah Soetan dan dibawanya ke Jakarta.
Saya coba mencari orang tua itu ke Jakarta melalui Saudara Drs. Rainal Rais yang menjadi Ketua Umum Sulit Air Sepakat (SAS) ternyata Bapak Syamsuddin Taim telah meninggal dunia dan dimakamkan di Jakarta. Aksara Minang “Ruweh Buku” itu entah di mana tersimpannya sekarang. Namun, salinan abjad aksara Minang “Ruweh Buku” tersebut masih ada pada saya.
Barangkali perlu suatu penelitian tentang kedua aksara Minang tersebut. Dari dua aksara Minang tersebut, yang mana yang dipakai? Termasuk yang akan diajarkan di Sekolah Dasar di Kabupaten Limapuluh Kota yang dianjurkan oleh Bupati dr. Alis Marajo Datuk Sori Marajo.
Siapa A. Damhoeri?
A. Damhoeri adalah seorang pengarang roman tahun tiga puluhan. Ia dilahirkan di sebuah nagari di pedalaman daerah Limapuluh Kota persisnya di Bagari Batupayung dulunya Kecamatan Luhak, pada tanggal 31 Agustus 1915 dan wafat 6 Oktober 2000 dalam usia 85 tahun.
Almarhum lama jadi guru di Danau Bingkuang, Riau. Kemudian berpindah-pindah ke tempat lain sebagai seorang guru. Terakhir sebagai kepala Jawatan Kebudayaan Kabupaten Limapuluh Kota di Payakumbuh. Di samping jadi guru, A. Damhoeri adalah seorang pengarang roman. Ia ikut dibicarakan oleh Prof. A. Teuw dalam bukunya Pokok dan Tokoh.
Di samping bukunya Depok Anak Pagai, dan lain-lain, A. Damhoeri banyak mengarang cerpen yang tersebar pada berbagai majalah antara lain majalah Terang Bulan terbitan Surabaya tahun 50-an.
Bagi saya Almarhum adalah guru saya dalam menulis sekaligus sebagai teman. Ketika pergolakan daerah (PRRI tahun 1958-1961) bila malam kami sama-sama pergi “ijok” (mengungsi tidur) agar tidak dijarah oleh APRI. Kami mencari tempat ijok di Jorong Lareh dan pada sebuah pondok di tepi batang Sinamar. Saya kenal adik-adiknya seperti guru Hasan Basri, Zanzibar, dan lain-lain. Salah seorang putra Pak. A. Damhoeri adalah Nusyirwan Damhoeri yang dulunya koresponden Singgalang di Bukittinggi dan Tanjung Pinang.
Pada tahun 1947 saya ikut dilatihnya sebagai pemain sandiwara pentas yang berjudul “Dajjal” di Pekan Selasa, Aie Tabik walaupun sebagai pemeran pembantu (figuran). A. Damhoeri yang menulis cerita, dia sutradara (regisur) dan dia pula pemegang peran utama.
Sebuah anekdot bagi pengarang A. Damhoeri, pada tahun 70-an ia mengunjungi negara tetangga, Malaysia, karena buku-bukunya diterbitkan di sana. Dia pulang membawa segepok ringgit dan sebuah mesin tulis baru.
Sebulan setelah ia kembali dari Kuala Lumpur, Almarhum berkata pada saya: “Datuk! katanya. Saya sudah lihat Kota Metropolitan Kuala Lumpur, tapi saya belum lihat ibu kota RI Jakarta. Kapan Datuk membawa saya ke Jakarta?”
Saya jawab dengan tawa yang berderai: “Lucu! Pak Adam. Negeri orang sudah dilihat. Ibu kota RI belum. Tunggulah kapan-kapan.” (Saya dengar belakangan Beliau telah pergi lihat Jakarta)
Pada suatu kali di tahun 70-an dia singgah di Harian Semangat. Diceritakannya bahwa hutan di PLTA Agam terbakar. Katanya dia lihat dengan jelas dari bis Bintang Kejora.
Lalu saya bilang: “Itu berita bagus. Tolong Bapak tulis beritanya.”
Lalu Beliau ambil mesin tulis. Berjam-jam berita pendek itu tak selesai juga. Sembari mengetik ia berciloteh terus tentang api itu. Saya lihat kalimat intro berita itu dimulainya bagaikan menulis roman: “Ketika panas terik membakar daerah Padang Tarok, Agam, saya dan penumpang lainnya sedang berada di oto Bintang Kejora. Sigulambai sedang marak membakar hutan di sekitar Proyek PLTA Batang Agam.” dan orangpun nampak berlarian…
“Ah, Datuk! K.O. saya. Saya tak bisa menulis berita pers dengan bahasa yang lugas dan ekonomi kata. Saya gagal jadi wartawan. Biar saya jadi penulis roman saja,” katanya sambil meremoh kertas ketikannya.
Demikian secuil kenangan saya dengan pengarang A. Damhoeri (almarhum) yang wafat dalam usia 85 tahun.
Semoga Tuhan menerima arwahnya di sisi-Nya dan mengampuni segala dosanya. Amin.  
   
Padang, 3 Nopember 2003

1 komentar:

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...