OLEH Deddy Arsya
Sastrawan
Tahun 1950, sebuah buku terbit. Semasa Ketjil di Kampung (1913-1928).
Penulisnya, seorang Minangkabau bernama Muhamad Radjab. Buku itu, sebut Radjab,
adalah sebuah autobiografi. Autogiografi
seorang anak Minangkabau, begitu sub-judulnya.
Kita bisa saja meragukannya. Buku itu
lebih seperti novel ketimbang sebuah karya sejarah. Penggambaran latarnya
detil, penokohanya hampir jelas, imajinasi mendapat perayaan. Narasinya, selain
yang terdapat pada judul, nyaris terlepas dari angka-angka tahun. Tetapi tidakkah sebuah biografi atau
autobiografi bisa saja berdiri tegak di antara prosa dan sejarah.
Muhamad Radjab, anak seorang ulama kaum
tua. Tetapi pikirannya tampak lebih dekat pada pikiran kaum modernis. Di
pedalaman Minangkabau, pada masa kanak-kanak Radjab, orang-orang memang
disibukkah oleh perbedaan paham keagaaman antara yang memegang prinsip beragama
tradisional di satu sisi dan mereka yang mulai meraba-raba untuk mendekatkan
Islam pada dunia modern di sisi yang lain. Dan Radjab yang kecil berada di
pusaran arus (meminjam Hedler) ‘sengketa tiada putus’ itu.
Dia memang lebih sering melawan kekolotan
ulama lama. Bahkan Radjab, di beberapa tempat, agak sinis memandang ‘kalangan
ayahnya sendiri’: sorban-sorban mereka yang besar dan kebiasan mereka beristri
banyak—merebut gadis-gadis pujaan hati dari tangan pemuda yang mencintainya. Radjab
‘melemparkan’ kitab-kitab ulama abad pertengahan Islam yang dianggap menjadi
acuan ‘suci’ bagi ulama-ulama kaum tua yang sudah tidak kontektual dengan zaman
di mana dia hidup. Untuk apa mempelajari bab ‘tayamum’ berlama-lama, demikian
Radjab menulis, padahal di negeri kita air berlimpah di mana-mana.
Dia juga ‘menertawakan’ pengetahuan yang
berkembang di tataran ulama kaum tua mengenai bumi yang tidak bulat, tetapi
terhampar bagai lapangan bola. Dia memprotes sistem pembelajaran di surau-surau
kaum tua yang hanya menghafal seperti lebah dan membunuh-mati pikiran kreatif.
Radjab, yang ketika itu telah membaca roman-roman picisan yang dilahirkan dunia
modern, yang telah mengecap pelajaran di sekolah-sekolah pemerintah, tidak
terima. Bagaimana mungkin bumi terhampar sementara di buku-buku sekolah yang
dibacanya bumi bulat seperti bola. Bagaimana mungkin kita tidak boleh terlalu
menggunakan akal dalam membaca kitab-kitab lama sementara di sekolah diajarkan
memberdayakan akal.
Pada 12 Juli 1986, Goenawan Mohamad
menulis sebuah tulisan tentang buku itu. “Pemberontakan Radjab”, begitu judulnya.
Radjab barangkali memang memberontak. Dia lebih memilih melanjutkan sekolah di
sekolah-sekolah pemerintah ketimbang di sekolah agama, lebih suka belajar
bahasa Belanda ketimbang mendaras gramatika bahasa Arab, lebih suka membaca
roman-roman picisan dari dunia modern (yang memang banyak berlahiran pada saat
itu) ketimbang membuka kitab-kitab gundul ulama pertengahan Arab. Memberontak
pada harapan ayahnya yang menginginkan dia jadi ulama besar pewaris nabi.
Memberontak pada keinginan ayahnya yang melarang dia merantau, yang
mempertahankannya untuk tetap di kampung demi dipersiapkan menjadi pewaris
surau menggantikan ayahnya.
Tetapi, pada sisi yang lain, tidakkah Radjab
sesungguhnya juga manut. Menyerah kalah pada paradigma kalayak pada masanya:
seorang bujang tidak layak menjadi penghuni kampung! Tidakkah pepatah umum
mengatakan ‘di rumah berguna belum’?
‘Berguna’, ya, yang pada suatu kurun
waktu, lebih bermakna: ‘wang’.
Radjab mengisahkah hal yang seratus tahun
yang lalu, yang lebih-kurang tidak banyak berubah kini: Perantau-perantau
pulang di hari-hari lebaran memamerkan keberhasilan. “Pada hari pasar,
kawan-kawan jang kembali dari rantau itu duduk-duduk dibangku pandjang
distasiun, bertjakap-tjakap dan bersenda gurau sesama mereka. Pakaian mereka
bagus-bagus,” demikian tulis Radjab. Mereka itu, yang kebanyakan adalah
pedagang di tanah rantau, “melagaklah,
mundar-mandir didjalan kampung, dalam sehari empat kali berganti pakaian,
supaya diketahui orang semua jang tersimpan didalam kopornja. Ada jang memakai
sepatu dangsa didjalan jang banjak batu dan tadjam-tadjam kerikilnja, ada jang
memakai djas hudjan dipanas terik ... jang berarlodji emas, antara sepuluh
menit mengeluarkan arlodji dari kantongnja ... hendak memperagakan arlodjinya.
Setengah ada jang bergigi emas, sebentar-sebentar tertawa.”
Sementara Radjab sendiri, pemuda kampung
yang belum merantau, yang belum punya ‘wang’ sendiri, disepelakan, dianggap
belum ada. “Mereka seperti orang besar ... Bila kami dekati, dan kami bertanja
apa-apa sedikit, djawabannja selalu ringkas, dan tidak dengan ramah dan
perhatian sepenuhnja. Mungkin disangkanja kami akan meminta wangnja”.
Radjab seperti menyimpan dendam pada
pemuda-pemuda rantau. Dia pernah menyukai dua gadis kampungnya yang cantik.
Tetapi kedua-duanya kemudian direbut pemuda-pemuda kaya yang berhasil di rantau. Dan sekarang, dia menyukai gadis
yang lain. Namun kekhawatiran gadis yang dicintainya akan direbut perantau kaya
menghantuinya terus: “... tetapi saja jakin,” tulis Radjab, “dia tentu akan
direbut pedagang pula, selama saja masih tinggal dikampung. Sebab itu, djika
betul-betul hendak mempunjainja, saja harus merantau dulu dua atau tiga tahun.”
Radjab merasa, dari tulisannya kita baca,
tidak ada jalan lain: Selama dia masih tetap di kampung, hidupnya akan buntu.
Hanya perantauanlah yang akan menyelamatkannya. Menyelamatkannya dari perasaan
malu sebagai laki-laki, perasaan tidak berdaya sebagai bujang. Perasaan yang
tidak hanya diderita Radjab seorang, tetapi juga, perasaan yang umum belaka,
milik kalayak.
“Perasaan malulah yang mendorong mereka
meninggalkan kampung. Bila mereka terus-menerus dikampung, biarpun segala
tjukup, ibu-bapa gadis-gadis tidak akan lekas mentjeputnya. Ini bukan sadja
memalukan ibu, bapa, dan mamaknja. Jang bertiga ini malu sekali bila bila
pemuda jang sebaja dengannja telah kawin dan anaknja belum. Anaknja seolah-olah
tidak laku ... berapapun ramainja ilmu agama didalam kepalanja, selama mereka
tinggal dikampung, ibu-bapa gadis-gadis lebih suka mendjemput pemuda jang
berdagang dirantau,” begitu tulis Radjab.
Jika kita teruskan membaca Radjab, kesan
menjengkelkan akan kita dapatkan dari mentalitas masyarakat Minangkabau yang
diceritakannya. Mentalitas masyarakat macam apa itu yang hidupnya hanya untuk
mempersunting gadis-gadis cantik, yang ingin kaya semata, yang cita-citanya
hanya jadi pedagang berharta banyak, yang larut dalam pamer kesuksesan
setelahnya, dan menilai manusia dari benda-benda. Manusia materialistis!
Tetapi, sebuah zaman, toh tidak bisa
disalahkan. Dia punya gelagatnya sendiri. Orang Jerman menyebutnya ‘zeitgeist’,
punya jiwanya yang khas. Di Sumatera Barat ketika Radjab kecil, apa mau dikata,
ekonomi uang memang sedang naik. Dalam pusaran serupa itu, pedagang kaya lebih
punya arti ketimbang para santri yang di kepalanya mengepul ayat-ayat menuju
surga, lebih punya nilai ketimbang haji yang baru pulang dari Makkah—sepertinya
zaman kaum agama sudah lewat.
Dan Radjab, mengamini kepatutan umum itu.
Dia tidak memberontak, ternyata. Tidak tahan merasa terus-menerus direndahkan
sebagai pemuda kampung yang miskin dan tak mandiri, suatu kali dia menguatkan
hati, menemui ayahnya, mengutarakan maksud: merantau jugalah dia seperti pemuda
pada umumnya.
Narasi tentang rantau adalah narasi yang
membosankan kini. Siapa pun boleh saja berkata begitu. Tetapi, di dunia kita
sekarang, kata ‘rantau’ tetaplah kata yang berkaca-kaca di mata para bujang.
Pemuda-pemuda kampung yang kesepian ditinggal kawin gadisnya akan memandangnya
penuh harapan. Pemuda-pemuda pengangguran yang putus asa mendapatkan pekerjaan
di kampung memandangnya sebagai jalan menuju kesuksesan di kemudian hari.
Namun, di sisi yang lain, tidakkah dunia juga
telah lama berubah, jarak telah gampang dipepat bagai memepat tunas bonsai?
Rantau, yang juga berarti jarak, tentu sudah tidak lagi mengandung ‘rindu’ bagi
yang pergi dan yang ditinggalkan. Rantau juga tidak lagi mampu mencipta ‘kepongahan’
bagi yang telah berhasil menujunya. Tidakkah rantau, kini, hanya tanah lain
yang (bisa) berjarak sekali klik.
Jika
sudah demikian, apa makna ‘pulang’ kalau begitu dan apa pula makna ‘berangkat’
kini? Apa makna pertemuan di hari-hari raya bagi mereka, sebagaimana dulu yang
dirasakan pemuda-pemuda zaman Radjab? Tidakkah, sekalipun telah di tanah
rantau, keberhasilan kini adalah sesuatu yang semakin sulit didapat?
Sebentar lagi bulan puasa akan berakhir.
Hari raya akan datang. Para perantau toh akan pulang juga berbondong-bondong,
dengan lagak perantauan mereka pula. Truk-truk besar akan diparkir di
jalan-jalan kampung—truk-truk induk semang tempat mereka berkerja mungkin.
Mobil-mobil pribadi akan berseliweran memamerkan nasib si empunyanya di tanah
yang (dulu) jauh—mobil-mobil sewaan barangkali. Cerita-cerita tentang tanah
rantau masih akan memenuhi udara kampung, membubung lagi di langit-langit kedai
kopi, sekalipun tidak semenarik dulu. Apa yang diceritakan biasanya nyaris
seluruhnya hanya tentang keberhasilan. Kegagalan tidak mendapat tempat. Huh, betapa
menakutkan masyarakat yang tidak mentolerir kegagalan. Kegagalan hanya akan
mendapat umpat, atau paling baik dilupakan.
‘Pertemuan’, sebagaimana ‘pulang’ dan ‘berangkat’
tentu akan masih punya makna, setidak-tidaknya bagi ibu-ibu yang ditinggalkan
anaknya, atau bagi lelaki kampung yang belum juga mengikuti kawan-kawannya yang
lain yang telah lebih dulu merantau. Sekalipun tidak sebergetar ketika Radjab
menuliskan: “Kami sedih sekali, kehilangan kawan seorang demi seorang!”
Padang,
Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar