(Malam Kesenian Tempo Doeloe di Galangan VOC, Penjaringan, Jakut, Minggu 2
Desember 2012)
OLEH Siti Gomo
Attas
tigo_attas@yahoo.co.id
08179139960
Staf
Pengajar Universitas Negeri Jakarta
Abstrak
Mengusung “Cerita Rakyat Topeng Betawi Menuju Pertunjukan Dunia”.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui bentuk pertunjukan cerita
Topeng Betawi sebagai tradisi lisan Betawi yang dipertunjukan pada Malam Pementasan Jakarta Tempo Duloe di
Gedung Galangan Kapal VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) Pluit Jakarta
Utara, Minggu 2 Desember 2012. Para tamu asing yang turut menghadiri
undangan Bapak Wali Kota Jakarta Utara malam itu, terdapat 14 negara sahabat,
antara lain, negara India, Jepang, China, Amerika, Singafura, Korea Selatan
Afrika Selatan, dan
lain-lain.
Tujuan tulisan ini untuk melaporkan isi pertunjukan kesenian Betawi
secara estetis dengan konteks penonton dunia. Pertunjukan cerita Topeng Betawi,
dipakai untuk mengemas struktur isi pertunjukan yang dinikmati oleh penonton
dari berbagai negara. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan metode
deskriftif. Pertunjukan ini mendapat standing applause dari penonton karena
kemampuan menyuguhkan historis kultural Indonesia ,terutama dari cerita yang
disampaikan oleh pembawa acara bahwa pertunjukan itu adalah penggambaran cerita
Topeng Betawi pada abad ke-19 di Batavia, ketika kolonialisme Belanda
berlangsung.
Peranan estetis panggung juga sangat berperan sebagai media untuk
mengusung cerita rakyat Betawi dengan peralatan musik, pencahayaan, panggung,
dan kostum pemain tambah membuat pertunjukan ini semakin menarik. Sutradara
pertunjukan dengan kepiyawaiannya telah mampu mengemas pertunjukan malam itu
dengan model pesta taman di depan Gedung VOC. Ada tiga hal yang membuat
pertunjukan ini menarik, yaitu (1) peran pembawa acara dalam menerjemahkan isi
cerita Topeng Betawi ke dalam bahasa Inggris dengan baik, (2) nilai eksotik
sejarah yang sama sebagai negara-negara yang pernah dijajah, dan (3) kepiyawaian
sutradara menata pertunjukan dengan menarik, telah memukau penonton asing
menyaksikan pertunjukan malam itu.
Kata Kunci: Pertunjukan, cerita rakyat Topeng
Betawi, Galangan VOC, pembawa acara, nilai eksotik, dan sutradara
Pengantar
Pemerintah Kota
Administrasi Jakarta Utara , khususnya Wali Kota Jakarta Utara menggelar
Kesenian Tempo Tempo Doeloe di Galangan VOC, Penjaringan, Jakarta Utara, Minggu
2 Desember 2012. Tema acara itu “Memaknai kebudayaaan masa lalu untuk meraih
asah yang akan datang”. Selain itu, untuk melestarikan budaya warisan sejarah
bangsa Indonesia, pagelaran itu juga untuk menunjukkan kesenian Jakarta di
sekitar Galangan VOC tempo dulu.
Pertunjukan itu
menggelar komedi Jakarta dengan mengetengahkan cerita topeng yang diantar oleh
dua perancag Betawi, yaitu Firman (32 Tahun) dan Jafar (38 Tahun). Pagelaran
komedi ini menurut Bapak Wali Kota Jakarta Utara, Bambang Sugiono (2/12/2012)
adalah untuk lebih mengangkat keberadaan wisata kota tua kepada masyarakat
Jakarta dan Dunia Internasional sejarah Galangan kapal VOC, serta kesenian yang
sering menghibur para pekerja pribumi dan kolonial Belanda tempo dulu di kota
tua, khususnya sejarah dan budaya masyarakat Jakarta di tengah pluralistas
masyarakatrnya yang berasal dari melting pot.
Pegelaran acara itu
juga dihadari oleh pihak perwakilan negara asing , yaitu para duta besar dari
14 negara sahabat. Negara-negara itu, antara lain Belanda, Jepang, China ,
Perancis, Inggris, Amerika, Australia, Singafura, Malaiysia, Afrika Selatan, india,
malaysia, Portugis, Nepal, dan lain-lain.
Negara-negara ini
terkait dengan Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung khususnya
dalam sejarah dan keberadaan kesenian dan kebudayaan Indonesia. Mereka sebagai
perwakilan negara-negara, yang tentu saja, ingin mengetahui dan mengenang
sejarah Galangan VOC dan budaya di sekitar Bandar Jakarta. Juga tidak terlepas
dari keingintahuan mereka untuk melihat secara langsung bangunan unik itu
dengan pameran dan penjualan hasil industri kreatif berupa kerajian miniatur
kapal pribumi dan VOC, mata uang kuno yang berlaku sekitar abad ke-17-19 dan
berbagai kerajinan dan foto-foto sejarah kolonialisme di Galangan Kapal VOC di
masa lalu.
Antusiasme para
perwakilan negar asing tersebut, yaitu keingintahuan mereka itu di picu oleh
keinginan untuk menyaksikan peristiwa yang ada hubungannya dengan sejarah
Galangan kapal melalui pertunjukan yang akan mereka saksikan melalui
pertunjukan yang mengangkat cerita nasib Topeng Betawi di sekitar
bangunan kuno itu. Keterkaitan emosi secara tak langsung pada sejarah
kolonialisme bangsa asing di Indonesia di masa lalu. Persamaan kultur sebagai
bekas kolonial bagi negara-negara asing itu juga turut membuat mereka peduli
untuk mau menghadari pegelaran Kesenian Jakarta tempo dulu malam itu.
Pegelaran ini penting
bagi Indonesia, terutama Jakarta sebagai pintu gerbang Indonesia, juga sebagai
Ibu kota, tentuy harus siap dengan informasi-informasi sejarah dan budaya yang
dikemas sebagai hasil kesenian masyarakat Jakarta Tempo Dulu. Untuk itu, peran
serta pemerintah dan masyarakatnya harus mampu mengusung sebuah pertunjukan
yang dapat memperkenalkan wisata Jakarta tempo dulu sebagai salah satu tujuan
wisata di Indonesia di kancah nasional dan Internasional.
Pagelaran keesenian
Jakarta dengan budaya Jakartanya yang lebih dikenal dengan budaya Betawinya,
sangat pantas di angkat dalam pergelaran malam itu. Namun bagaimana mengemas
kesenian pertunjukan yang bisa disukai oleh tamu-tamu negara asing malam itu
tentu membutuhkan persispan pertunjukan yang menarik. Pertunjukan yang menarik
harus memperhatikan beberapa hal, antara lain pengantar acara dengan bahasa
yang dapat dipahami oleh audiens, nilai eksotik sejarah harus mampu digambarkan
dalam pertunjukan, dan peran sutradara untuk bisa mengemaskannya dalam
pertunjukan yang menarik.
Hal ini sesuai dengan
pernyataan Budi Darma (2008:2), bahwa sekarang tibalah saatnya Indonesia
sebagai bagian dari kebudayaan Timur memberi andil dalam memperkenalkan
kebudayaan mereka kepada negara Barat, yang kini seperti kehilangan darah
segar, kemunduran Barat menurutnya merupakan kemunduran negara-negara bekas
penjajah/Barat. Kebudayaan Barat bagaikan hidup di tanah gersang (wasteland),
orang-orang tampak gagah tapi kosong (the hollow men) dan para pelakunya
hanyalah orang-orang dari generasi yang hilang (the lost generation).
Inilah tanda-tanda, bahwa Barat pada hakikatnya telah kehilangan darah segar.
Maka peluang ini harus ditangkap oleh Indonesia sebagai perwakilan budaya Timur
untuk mengemas hasil kesenian yang dihubungkan dengan sejarah kolonialisme di
Indonesia.
Selanjutnya Budi
Darma menyatakan, bahwa di satu pihak kebudayaan Barat kehabisan darah segar,
di pihak lain ekonomi mereka melaju dengan cepat. Mengutip pendapat Arthur
Miller dalam drama All My Sons, dengan mengorbankan moral. Inilah sisi
kebudayaannya, industri suku cadang pesawat tempur Amerika justru maju. Kendati
ekonomi Barat mengalami masa-masa pasang surut, secara keseluruhan amat bagus,
dan karena itu terciptalah istilah affluent sosciety, masyarakat yang
kemakmurannya berlebih-lebihan. Sesuai dengan pidato D. Rosevelt setelah Perang
Dunia I, banyak individu yang menjadi kaya, seperti yang tergambar dalam novel
Hemingway, The Sun Also Rises. Kendati banyak orang kaya mendadak, namun
mereka kehilangan landasan spirutual, mereka hanya mampu menghamburkan uangnya
semata untuk kesenangan duniawi yang dikenal dengan “The lost generation” yang
berarti generasi yang hilang. Di satu sisi menunjukkan, bahwa kondisi
negara-negara Barat, khususnya Amerika, menjadi negara-negara affluent setelah
perang dunia II justru mengalami kemerosotan budaya, mereka mengalami
kemunduran pada bidang budaya dan spiritual.
Seiring dengan
kemajuan teknologi di Barat dengan dampak kemerosotan spiritual dan budayanya,
maka Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan Timur. sudah selayaknya segera
bertindak. Bertindak di sini adalah berusaha memperkenalkan budaya kita dengan
mengemasnya dalam berbagai kegiatan kesenian, terutama pertunjukan tradisi yang
mendunia, misalnya saja Pertunjukan I La Galigo, cerita dari budaya Bugis Kuno
yang diangkat dalam sebuah pertunjukan spektakuler oleh Sutradara terkenal
Robert Wilson dari Amerika Serikat.
Pertunjukan itu telah
berkeliling dunia dengan tiket yang cukup mahal. Pertunjukan La Galigo salah
satu pertunjukan yang telah membuktikan bahwa Indonesia sebagai perwakilan
budaya Timur, melalui kebudayaan lokalnya mampu diapresiasi dunia
internasional. Pertunjukan tradisi lokal La Galigo yang telah menduania ini
sebagai wujud dan tindakan nyata dari aset Indonesia dari bidang Kebudayaan
yang harus terus digali dan diwujudkan dalam pertunjukan-pertunjukan yang mampu
bersaing di kancah Internasional.
Permasalahannya
bagaimana tindakan kita dapat terwujud dalam memeperkenalkan budaya sekaligus
mengemas pertunjukan dengan konten lokal dalam pertunjukan dunia, seperti La
Galigo, sementara keterpurukan ekonomi Indonesia belum sepenuhnya membaik,
sejak 1998 lalu sampai sekarang, Kondisi ini seharusnya dapat memicu darah
segar seniman-seniman Indonesia untuk terus berkreatifitas, agar mampu
menyuguhkan sebuah pertunjukan dari lokal yang dikemas dalam pertunjukan modern
yang tidak melepaskan sejarah karakter kelokalannya.
Belajar dari
pemikiran pertunjukan yang telah mendunia, ada beberapa faktor yang harus
diwujudkan dalam pertunjukan Malam Kesenian Jakarta Tempo Dulu di mata
penontonnya, antara lain: (1) peran pembawa acara dalam menerjemahkan pagelaran
itu, (2) Nilai eksotik sejarah dari sebuah pertunjukan, dan (3) kemampuan
sutradara mengemas sebuah pertunjukan. Untuk mengetahui isi pertunjukan malam
itu, penulis perlu menguraikannya sebagai beriku.
Isi
Pertunjukan
Untuk membahas
pertunjukan Jakarta tempo dulu di Bandar Jakarta, terlebih dulu dipaparkan isi
pertunjukan malam itu. Pertunjukan dibuka dengan pengatar oleh pembawa acara
dengan dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahsa Inggris. Selanjutnya acara
dilanjutkan dengan penampilan Keroncong Tugu, membawakan lagu-lagu nostalgia
Bandar Jakarta, lagu-lagu yang dibawakan malam itu tidak hanya lagu dalam
bahasa Indonesia, namun lagu bahsa portugis dan Inggris, hal ini dilatari
sejarah Bandar Jakarta, tidak terlepas dari sejarah kolonilisme bangsa Portugis
dan Inggris di Indonesia, sebelum datang Belanda. Kehadiran kelompok Keroncong
Tugu di tengah acara pertunjukan Jakarta Tempo Dulu, tidak lepas dari sejarah
terbentuknya kelompok Keroncong Tugu. Setelah beberapa lagu dibawakan acara
dilanjutkan dengan Tarian Selamat datang oleh penari-penari belia dengan
konteks tarian modern Jakarta, namun melepaskan karakter tarian Betawi yang
masih kental. Selanjutnya acara dilanjutkan dengan masuknya pertunjukan rancag
sebagai narator cerita yang diangkat, yaitu lakon Topeng Betawi tempo
dulu oleh perancag Firman (32 tahun) dan Jafar (38 tahun). Setelah penampilan
rancag, mengantar cerita, selanjutnya para pemain memainkan peran mereka sesuai
alur cerita.
Cerita dimulai dengan
penggambaran suasana Galangan Kapal VOC, diringi musik, Adegan cerita dimulai,
diceritakan ketika para kuli pribumi yang bekerja di sekitar Galangan Kapal
VOC, mereka mengeluhkan tentang gajih mereka yang tidak cukup memenuhi
kebutuhan rumah. Banyolan pun sampai kepada cara bagaimana beristri lebih dari
satu, jika gajih tidak cukup dan banyolan sekitar mandor Belanda yang mereka tirukan
dalam menekan mereka.
Dialog cerita yang
dimaikan adalah cerita keseharian para kuli di sekitar Ggalangan Kapal VOC yang
sehari-hari bekerja keras namun keadilan tidak mereka peroleh. Tidak berapa
lama mandor Belanda datang dengan gaya bahasa Belanda yang cadel, bahwa mereka
akan dipotong gajinya jika tidak bekerja dengan baik. Selanjutnya pimpinan
mandor Belanda datang dari atas kantor Galangan Kapal VOC, penonton di bawa
pada suasana sejarah kolonialisme VOC ke masa lalu ketika kekuasaan VOC masih berlangsung.
Digambarkan Kepala
Partai Dagang VOC, masa itu bahwa untuk meredam gejolak para kuli yang bekerja
untuk kemajuan Negeri Kerajaan Belanda di bawa payung VOC, memerintahkan
bawahannya untuk mencari rombongan kesenian di kampung untuk menghibur para
pekerja di galangan kapal itu. Tidak berapa lama datanglah pimpinnan rombongan
kesenian Topeng Betawi, dan menjelaskan bahwa ada kesenian Betawi yang bagus.
Kesenian ini dapat
menghibur para kuli dan Mandor Belanda. Selanjutnya pimpinan rombongan dipersilakan
oleh kepala mandor Belanda untuk memulai acara topengnya. Acara dimulai dengan
ritual menyalakan obor pertanda tari topeng akan dimulai. Musik topeng pun
mengiringi pertunjukan itu, dengan suasana yang magis karena acara topeng akan
dimulai.
Selanjutnya kembang
topeng pun masuk dan menari seperti orang kerasukan, dengan memakai topengnya
penari meliuk-liuk di arena pertunjukan. Cerita kembang topeng sebenarnya tidak
bisa dilepaskan dari dua cerita riwayat yaitu Jaka Pertaka dan Sukma Jaya.
Kedua cerita tersebut
mempengaruhi tindakan religi, yaitu (1) peran kembang topeng dalam ketupat
lepas, (2) kembang topeng tidak menikah dengan pemain musik dan pimpinan
topeng, dan (3) nyanyian Alloy oleh kembang topeng tidak boleh diwakili oleh
orang lain.
Tindakan religi itu
memiliki makna bahwa pertunjukan topeng dapat menolak bala atau musibah yang
menanggap kelompok topeng dalam menolak bala itu, apakah bala itu sudah terjadi
atau akan terjadi.
Musibah yang dapat
ditolak, yaitu (1) berupa menolak adanya keluarga yang sakit, (2) menolak
bahaya dari meninggalnya anak kandung yang terus menerus, dan (3) menolak
musibah lainnya. Musibah itu dapat ditolak dengan adanya nazar jika sembuh atau
menjaga musibah datang, diharuskan menanggap kelompok topeng.
Oleh karena itu orang
Betawi sebagian mempercayai, bahwa perkumpulan Topeng Betawi dapat
menghindarkan musibah dan menghindarkan kekuatan magis, “menghidupkan” dan
“kematian” yang dapat ditolak dengan nazar dengan pertunjukan kelompok Topeng
Betawi dengan upacara ketupat lepas, untuk memenuhi nazar yang sembuh dari
sakit atau upacara menyalakan obor atau lilin untuk menjaga keselamatan dan
keberkahan pada si penanggap topeng.
Gambaran cerita
topeng yang selalu mengamen di sekitar Bandar Jakarta, atau kota tua tempo dulu
bukan tidak beralasan, dengan kekuatan magis yang dipercayai oleh masyarakat
Betawi, turut mendatangkan rezeki dari kelompok topeng ini, selain sebagai
penolak bala jika seseorang memiliki nazar.
Pertunjukan cerita
topeng dalam bentuk tarian dan nyanyian Alloy, adalah sebuah mithosyang
dipercayai oleh orang Betawi mengapa mereka menaggap kelompok topeng.
Selanjutnya setelah acara pertunjukan topeng acara di tutup dengan rancag bahwa
demikianlah nasib kelompok topeng di sekitar Galangan Kapal VOC, selain ingin
mencari nafkah juga menyebarkan kebaikan untuk menolong sesama untuk mengatasi
persoalan hidup yang semakin sulit di masa itu, termasuk nasib para kuli
Galangan Kapal VOC, yang tentu ingin melepaskan kepenatan selama bekerja, tentu
memerlukan hiburan, selain fungsinya untuk menjaga keluarga mereka agar
terhindar dari marabahaya seperti mithos kelompok topeng yang dipercayai oleh
mereka. Setelah itu pertunjukkkan dilanjutkan dengan rancag penutup bahwa
demikianlah isi cerita Topeng Betawi seperti yang telah disaksikan.
Penutup acara semua
pemain dan pimpinan pertunjukkkan menaiki panggu dengan menyanyikan lagu
perpisahan diringi musik Betawi dan alunan suara pembawa acara menutup
pertunjukan cerita topeng tempo dulu.
Pembahasan
1. Pembawa
Acara sebagai Pemandu Acara dengan Dua Bahasa
Peran pembawa acara
sebagai pemandu dengan keahlian dua bahasa dalam mengkomunikasikan pertunjukan
kepada penonton tidak dapat dihindari peran pentingnya dalam membawa acara.
Fungsi bahasa sebagai ujung tombak media komunikasi untuk pemaparan isi
pertunjukan kepada penonton, peram pembawa acara terutama pengusaan bahasa
pengantar, yaitu bahasa Internasional, bahasa Inggris. Pada pertunjukan,
Minggu, 2 Desember 2012, pukul 18.30. WITA, pembawa acara tampil prima
dihadapan penonton, para undangan dari perwakilan kedutaan.
Selain pengusaan
bahsa inggris yang bagus, pembawa acara harus ditunjang kemampuan wawasan
terhadap sejarah pertunjukan yang akan disuguhkan. Pembawa acara harus mampu
menyampaikan Pesan moral dari pertunjukan kepada penontonnya.
Pembawa acara harus
mampu menjelaskan keingintahuan penonton, mengenai acara yang akan disuguhkan
kepada penonton sehubungan dengan keunikan pertunjukan sangatlah penting.
Kendati kita tahu penguasaan bahasa bagi pembawa acara juga sangat penting,
pada hakikatnya bahasa hanyalah alat belaka untuk menyampaikan gagasan. Banyak
faktor lain yang harus dimiliki oleh pembawa acara sehingga pertunjukan itu
menarik bagi penonton asing.
Selain penguasaan
bahasa dan wawasan bagi seorang pembawa acara, poin penting yang tak kalah
penting adalah penampilannnya. Penampilan sebagai bagian penting untuk merepresentasikan
pesan dan gagagsan dari isi pertunjukan mampu disampaikan dengan penampilan
yang menarik.
Kelenturan tubuh dan
penguasaan panggung pertunjukan juga sangat penting dikuasai oleh seorang
pembawa acara, tanpa keluwesan berdiri di atas panggung dalam memandu acara,
tentu akan terlihat kaku dan berpengaruh terhadap penampilannya sebagai pemberi
informasi di hadapan penonton.
Ilmu public
speaking amatlah penting dikuasai oleh pembawa acara agar tetap prima meski
si pembawa acara sedang kalut dengan persoalan lain di luar acara.
Selanjutnya
penguasaan global sangatlah penting bagi seorang pembawa acara agar penonton
merasa segar dalam menerima informasi setiap acara berganti dari pertunjukan
itu. Misalnya malam itu pembawa acara menguraikan sedikit sejarah mengenai
Galangan Kapal VOC, sebagai tempat pertunjukan, sangat menarik. Informasi itu
tentu menambah pengetahuan mereka sebab suasana yang digambarkan pembawa acara
hadir di hadapan mereka.
Pembawa acara mampu
menjelaskan keterkaitan suasana dengan sejarah Galangan Kapal VOC dengan
sejarah kolonialisme asing di Indonesia . Penjelasan pembawa acara, bahwa
meskipun kedudukan kantor Galangan Kapal VOC itu sudah tidak berfungsi, namun
konsep bangunan dipertahankan guna dijadikan sebagai cagar budaya Indonesia,
yang fungsinya kini telah berubah menjadi restoran milik pribadi seorang
pengusaha restoran keturunan China.
Penguasaan sejarah
oleh seorang pembawa acara itu menarik. Selain sebagai pemberi informasi, namun
isi informasi global itu juga akan mengaitkan pada ikatan emosional penonton
terutama dengan sistem kolonialisme di galangan Kapal VOC itu berlangsung di
temapat pertunjukkkan itu.
2. Nilai
Eksotik Sejarah dalam Pertunjukan
Kendati eksotisme
bisa menjadi daya tarik terpenting dalam pertunjukan yang disaksikan oleh
penonton asing, namun tidak semua eksotisme menarik untuk pertunjukan, terlebih
lagi pertunjukan itu dihadiri oleh penonton yang memiliki wawasan keilmuan yang
cukup tinggi seperti tamu undangan perwakilan dari kedutaan asing di Indonesia,
seperti pada malam itu (Minggu,2/12/2012).
Mungkin saja gagasan
sebuah pertunjukan tradisi itu dapat disampaikan oleh pembawa acara dengan
bahasa Inggris yang fasih, namun masalah utama yang tak kalah penting, apakah
gagasan pertunjukan itu „in tune”, yaitu sejalan dengan penontonnya dan harapan
penontonnya.
Pertunjukan dengan
label tradisi yang kental dengan lokalitas bukan sekedar „in tune” juga harus
bisa menunjukkan adanya ikatan emosional penonton, misalnya dibutuhkan
pengalaman budaya penonton tentang isi pertunjukan yang disaksikan dari segi
sejarah melalui pertunjukan kesenian..
Ketika para undangan
memasuki tempat pertunjukan yang bernuansa abad ke-17 dengan pemandangan taman
yang dikelilingi tembok pagar bagunan Galangan Kapal VOC, mereka diberi liflet
oleh panitia pertunjukan, berupa susunan acara dan narasi pertunjukan yang
mereka akan saksikan. Di dalam liflet tersebut dideskipsikan acara pertunjukan Topeng
Betawi yang memiliki fungsi magis bagi penangggap kelompok topeng dan
penontonnya, terutama Topeng Betawi tempo dulu yang ngamen di sekitar
Galangan VOC, sebagai latar pertunjukan malam itu. Kaitan kekuatan magis
pertunjukan dengan suasana Galangan VOC sebagai salah satu wujud eksotik dari
pertunjukan malam itu.
Masalah eksotisme pertunjukkan,
juga dikaitkan dengan ikatan emosional antara penonton dengan isi pertunjukan,
misalnya situasi dan kondisi kolonialisme di Indonesia, seharusnya telah
terekam oleh memori penonton sebelumnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Ikatan emosional secara langsung, misalnya ketika kolonilaisme
berlangsung sejak abad ke-16 di Indonesia, sebuah memori kolektif antara
penjajah dengan terjajah.
Ada keinginan untuk
mengetahui sistem kolonialisme di Indonesia dan hubungannya dengan negera mereka,
seperti penonton dari Belanda, Portugis, Inggris, dan Jepang. Memori kolektif
mereka harus mampu merekam kejadian masa lalu itu, artinya ada ikatan
emosioanal dengan Indonesia. Bagaimana sistem kolonialisme di Indonesia
berlangsung dan hubungannya dengan pertunjukan yang akan mereka saksikan malam
itu.
Jika kita hubungkan
dengan sistem kolonialisme di Indonesia, terutama negeri Belanda tentu ikatan
emosional itu sangatlah kuat, bahwa Galangan Kapal VOC adalah simbol kebesaran
politik dagang Belanda saat itu. Ketika kawasan Pelabuhan Sunda Kelapa,
Galangan Kapal VOC, yang dulu terletak di Batavia berdiri sekitar tiga ratus
tahun lalu.
Dijelaskan dalam
sejarah, bahwa kawasan ini diberi nama Pasar Ikan menjadi pusat perdagangan
utama di Asia saat itu. Bahkan ada yang menyebutkan hampir selama dua abad
wilayah ini merupakan urat nadi suatu jaringan niaga, yang terentang dari Pulau
Dessirma di Nagasaki (Jepang) sampai Cape Town (Afrika Selatan) dan dari
Ternate sampai Bandar Surat di pantai Teluk Arab.
Nilai eksotik
Galangan Kapal VOC sebagai tempat pertunjukan, juga dihubungkan dengan sejarah
Galangan VOC ini, yang menjelaskan bahwa keberadaan Galangan Kapal VOC amat
penting bagi jaringan niaga sedunia, yang berlangsung dengan memakai
kapal-kapal layar.
Kapal-kapal berukuran
besar kecil ini bongkar muat di galangan itu, dan berlayar mengarungi lautan
fasifik , Hindia serta Atlantik dan singgah di berbagai pelabuhan antara
Amsterdam dan Nagasaki, antara Hormuz (Pesia) dan Pulau Banda. Menurut salah
seorang pengelolah Galangan VOC, kepada penulis (Minggu, 2/12/2012), bahwa
diperkirakan Galangan VOC berdiri tahun 1628 yang semula fungsinya sebagai
kantor dan tempat dagang VOC. Luas areal Galangan VOC sekarang ini 2.000 meter
persegi, Usia galangan VOC ini diperkirakan lebih tua dari Musium Bahari, yang
juga sebagai salah satu tujuan wisata Kota Tua.
3.
Sutradara Pertunjukan
Dalam unsur
pertunjukan tradisi seperti, pertunjukan Jakarta Tempo Dulu Minggu, 2 Desember
2012 itu, peran sutradara sangat penting. Jika kita mengingat pertunjukan I La
Galigo yang sempat berkeliling dunia,juga tidak lepas dari peran sutradara
Robert Wilson, seorang sutradara berpengalaman dari Amerika Serikat.
Menunjukkan Kemampuannya bersenergi dengan para pendukung pertunjukan, menjadikan
pertunjukan ini mampu diterima dalam pertunjukan ajang internasional, samapai
berkeliling Dunia.
Begitu pun dengan
pimpinan pertunjukan Malam Kesenian Tempo Dulu, pimpian Bapak Abas dalam
menampilkan pertunjukan malam itu, lebih awal telah melakukan gladi bersih acara
pertunjukan sejak siang hari sampai sore hari menjelang final pertunjukan.
Bapak Abas dengan pengalamannya telah mempersiapkan panggung pertunjukan,
pengaturan musik pertunjukan, pemain, pengeras suara, pengatur suara (sound
system), dan media pertunjukan lain yang harus dipersiapkan sebelum final
acara. Tujuan Sutradara tidak lain adalah hasil pertunjukan yang berkualitas.
Unsur pertunjukan
yang di kolaborasikan antara pertunjukan tari modern Betawi, dengan lagu-lagu
nostalgia Kelompok keroncong Tugu, termasuk para pemusik kelompok kesenian Kota
Tua dengan Kelompok Musik Gali Putra Pimpinan Firman Jali Jalut.
Isi pertunjukan harus
diterjemahkan dalam bahasa Inggris yang sesekali dibacakan oleh pembawa acara
di dalam memimpin acara juga tidak lepas dari pengaturan Sang Sutradara Abas.
Kesiapan itulah yang membuat pertunjukan malam itu begitu meriah di suasana
Galangan VOC malam itu.
Untuk itulah
Sutradara pertunjukan Kesenian Tempo Dulu di Galangan VOC, Penjaringan, Jakarta
Utara, pada Minggu (2/12/2012), secara umum membuat penonton kagum atas
keseluruhan pertunjukan malam itu. Sutradara Abas dari Dinas Pariwisata DKI
ingin menyuguhkan pertunjukan yang memiliki nilai eksotik kultural dengan
memotret sejarah kolonialisme tempo dulu di sekitar Bandar Jakarta. Sutradara
Abas mengemas pertunjukan ini dilhami oleh cerita Topeng Betawi, Gambaran nasib
penari topeng pada masa kolonialisme sangat memprihatinkan. Berikut adalah
kutipan contoh pertunjukan penari topeng Kartini mendapat sambutan meriah
penonton dari berbagai negara malam itu:
“Seorang penari
topeng bernama Kartini memasuki panggung pertunjukan. Di hadapannya adalah para
pria dan wanita berpakaian necis yang duduk manis di tempat empuk dengan
suasana taman Galangan VOC, Penjaringan Jakarta Utara. Mereka adalah para
penonton “Para Duta Besar dari 14 Negara” untuk menyaksikan pertunjukan “Malam
Kesenian Tempo Dulu” Sejurus kemudian, dia membalikkan badan, membelakangi
penonton sambil tak henti menggoyangkan punggung.
Diambilnya topeng berwarna
putih, sementara iringan rebab, kecrek, kulanter, ketuk, gendang, goong, bende
terus terdengar. Setelah beberapa saat menimang-nimang dengan tangan kirinya,
dikenakannya topeng itu. Topeng Panji yang melambangkan kelembutan,
dibawakannya lewat tarian yang lemah lembut untuk menyambut penonton.
Usai mengenakan
topeng Panji, Kartini kembali berbalik membelakangi penonton. Ditaruhnya topeng
tersebut dan dikenakannya topeng berwarna merah muda (topeng Sanggah).
Gerakannya terlihat lebih atraktif dan agresif. Tempo musik pengiring yang
dimainkan para nayaga pun makin dinamis, seiring dengan digantinya topeng
berwarna merah menyala (topeng jingga) bermotif raksasa.
Gerakan tangan lentik
berubah mengepal diacungkan ke atas, sementara gerakan kakinya terbuka memasang
kuda-kuda, hingga musik kembali mengalun dan berhenti. Tepuk tangan penonton
pun bergemuruh, dan Kartini, sebagai kembang Topeng tersenyum (Kutipan,
pertunjukan embang Topeng Kartini, (2/12/2012).
Gambaran pertunjukan
di atas adalah pertunjukan Kartini ketika mempertunjukan tari di atas panggung.
Penari Kembag Topeng yang begitu atraktif dalam pertunjukan. Di dalam konteks
ini ia sebagai Kembang Topeng yang mencoba mengekspresikan cerita dalam sebuah
tarian. Bahwa kini Kembang Topeng sudah hidup kembali oleh kekuatan yang telah
ditiupkan dewa (dalam mitos Jaka Pertaka dan Sukma Jaya) kepada Kembang Topeng.
Dalam sejarah Topeng
tempo dulu Kelompok Topeng mengamen di sekitar Bandar Jakarta, yang tentu penuh
hiruk pikuk mobilitas perdagangan, terutama oleh organisasi dagang Belanda VOC.
Sebagai organisasi perdagangan yang kuat tentu memiliki modal kekuasaan, baik
secara politik maupun secara modal kapital yang dimiliki VOC pada saat itu
tidak sulit untuk bisa menghadirkan Kelompok Topeng atau menanggap kelompok
kesenian Topeng Betawi sebagai kesenian kampung (istilah pelabelan saat
itu) dengan bayaran sesuai kemauan mereka. Undangan itulah yang dipotret oleh
sutradara Abas, bagaimana hubungan kepala VOC Belanda menghadirkan grup
kesenian ini untuk menghibur menghibur mereka dan para kuli pribumi yang dipekerjakan
oleh VOC Belanda, termasuk para mandor Belanda yang ingin berleha-leha menari
dengan para penari Topeng. Gambaran itu cukup masuk akal karena bangsa Belanda
saat itu bisa berpoya-poya di negeri jajahannya dengan berbagai hiburan
pribumi.
Kesuksesan sutradara
dalam menampilkan pertunjukan malam itu juga ditunjang oleh kolaborasi berbagai
bentuk kesenian yang dapat berkolaborasi. Menurut Jenifer Linsdsay seorang
penulis pertunjukan La Galigo (2007), bahwa keberhasilan seorang sutradara
dalam mengembangkan kualitas pertunjukan, jika sutradara dapat merancag
pertunjukan dengan tata cahaya, yaitu sebagai unsur dominan pementasan.
Oleh karena itu
menurutnya sutradara juga harus memperhatikan musik tradisional dengan musik
modern, kolaborasi musik ini juga harus dipadukan agar kenikmatan musik tetap
mepertahankan karakter lokal, namun tidak terlalu asing di telinga penonton,
yang telah terbiasa musik modern. Pada Pertunjukan itu, sang sutradara Abas
mampu mengkolaborasikan musik topeng dengan musik gambanag kromong dengan tetap
menyentuhnya dengan sedikit musik modern.
Kolaborasi tari juga
turut dipertunjukan dalam pertunjukan malam itu, tari tradisi Topeng Betawi dikolaborasikan
dengan baik dengan tarian koreografi modern, unsur ketradisiannya tidak
menghilangkan karakter tari Betawi. Sutradara juga menggunakan kemampuan unsur
kata yang sesekali meramaikan pertunjukan, spontanitas sebagai inprovisasi yang
diucapkan oleh pemusik dengan tujuan ekspresi pemusik agar selalu bersemangat
dalam mengiringi pemain lakon.
Nyanyian sendu
kembang topeng dalam pertunjukan juga sebagai bentuk penggambara suasana
cerita, nasib kembang topeng terdengar melalui irama lagu Alloy, sebagai
penjelas kesedihan dan kemagisan cerita topeng.
C.
Kesimpulan
Sebagai sebuah
apresiasi budaya oleh anak bangsa, dengan kemampuan menggelar pertunjukan
tradisi lisan Betawi berupa cerita rakyat Topeng tempo dulu yang
dikolaborasikan dengan beberapa pertunjukan kesenian yang berlatar Galangan
Kapal VOC tentu sangat memuaskan penonton sebagai tamu perwakilan kedutaan yang
diundang oleh Walikota Jakarta utara, Bambang Sugiono (Minggu, 2/12/2012).
Usaha ini adalah
sebagai peran strategis Pemerintah DKI, khusus Wali Kota Jakarta Utara untuk memperkenalkan
wisata kota tua kepada dunia internasional. Tentu saja tindakan ini sangat
bagus, karena hanya melalui pertunjukan kesenian tempo dulu dapat menghadirkan
keingintahuan penonton asing mau menonton sebuah pertunjukan.
Ujung tombang pertunjukan
kesenian tempo dulu di Galangan VOC, tentu tidak lepas dari peran pembawa
acara. Dalam pengusaan bahasa asing yang dimiliki oleh pembawa acara pada malam
itu sangat penting untuk bisa menarasikan isi pertunjukan, guna membantu
penonton asing dalam menikmati dan memaknai isi pertunjukan.
Selain itu, tidak
hanya peran pembawa acara dalam penguasaan bahasa asing, karena bahasa hanya
sebagai alat untuk mengkomunikasikan isi pertunjukan melalui bahasa, namun hal
penting yang perlu juga dikuasai oleh pembawa acara dalam mengantar acara
pertunjukan harus ditunjang penampilan.
Bentuk penampilan
yang prima dengan kostum yang disesuaikan dengan tema pertunjukan jelas sangat
membantu penampilan pembawa acara dalam membawakan acara pertunjukan di depan
para penonton. Selanjutnya wawasan pembawa acara juga dibutuhkan, khususnya
wawasan sejarah wista kota tua, termasuk sejarah Galangan kapal VOC sebagai
tempat pertunjukan, harus mampu mengaitkan dengan acara yang akan
dipertunjukan.
Selanjutnya masalah
eksotisme pertunjukan juga perlu menjadi perhatian dalam pelaksanaan
pertunjukan malam itu. Tidak semua eksotisme menarik diangkat dalam sebuah
pertunjukan. Maka eksotisme seperti apa yang menarik, yaitu eksotisme yang
dapat menciptakan ikatan emosional antara isi pertunjukan dengan penonton.
Tempat pertunjukan sebagai latar pertunjukan malam itu adalah Galangan Kapal
VOC, penetapan tempat acara itu, sebagai upaya panitia untuk menghadirkan
eksotisme bangsa Indonesia dengan sejarah kolonialisme Belanda, karena di sekitar
Galangan VOC inilah, dahulu kuli-kuli pribumi bekerja dengan keras untuk
memenuhi target armada dagang Belanda yang sangat kuat pada masa abad ke- 16-17
M. Para kuli pribumi disiksa dan dipaksa untuk bekerja demi keuntungan armada
dagang Belanda VOC saat itu. Adanya ikatan emosional yang kuat antara Belanda
dengan Indonesia adalah sebagai bentuk eksotiasme yang menarik untuk diangkat
dalam pertunjukan kesenian sebagai titik balik sejarah keberadaan para kuli
pribumi dengan pasukan armada dagang VOC. Selain itu sebagai negara
kolonialisme yang mampu diangkat sebagai tema kesenian yang eksotis, yaitu
kesenian cerita Topeng Betawi yang memiliki mitos untuk menolak bala,
juga dapat dijadikan sebagai pertunjukan yang mendatangkan eksotisme tersendiri
terhadap sebuah kehidupan magis dari seorang kembang topeng yang dercayai di
masyarakat Betawi.
Lepas dari masalah
ikatan emosional antara penjajah dan terjajah, bangsa Indonesia dengan Belanda
sebagai bentuk eksotisme, termasuk pertunjukan topeng tempo dulu, tentunya
harus dikaitkan dengan tindakan ritual, sebagai bentuk eksotime dengan
kepercayaan magis masyarakat Betawi terhadap rombongan topeng sebagai syarat
sebuah pertunjukan yang dapat disukai oleh penonton asing.
Peranan sutradara
dalam mengemas bentuk eksotisme pertunjukan juga di barengi oleh kepekeaan
sutrdara dalam mengkolaborasikan bernbagai kesenian dalam satu pertunjukan yang
utuh. Mulai dari kolaborasi tari, yaitu tari tardisional dengan tari modern
dengan koreografi yang unik dan indah, kolaborasi musik antara musik
tradisional topeng dan gambang kromong dipadukan dengan musik modern,
kolaborasi lagu modern dengan lagu magis Alloy, yang dinyanyikan oleh kembang
topeng, termasuk isi cerita topeng yang dikolaborasikan dengan lakon lenong
sebagai teather tradisi, dengan ditunjang oleh perlengkapan suara yang modern,
termasuk sistem pencahayaan sebagai wujud pertunjukan yang berkualitas acara
pertunjukan itu mampu memberi suguhan pertunjukan yang disukai oleh penonton
dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Saputra, Yahyah dkk.
2009. Profil Seni Budaya Betawi. Jakarta: Jakarta City Government
Tourism & Culture Office.
Ali, Rahmat.1993. Cerita
Rakyat Betawi. Jakarta:PT Gramedia.
Bascom, William R. 1965.”Four
Functions of Folklore”. Dalam Alan Dundes (ed). The Study of Folklore.
Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall Inc.
Chaer. Abdul. 2012.
Folklor Betawi: Kebudayaan Kehidupan Orang Betawi . Jakarta: Masup Jakarta.
Danandjaja, James. 1972. Folklor
Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta: Pustaka Umum
Graffiti.
Darma, Budi.
2008. Sastra Indonesia dan Sastra Dunia . Dalam Kongres IX Bahasa
Indonesia,
Jakarta 28
Oktober – 1 November 2008.
Kleden-Probonegoro, Ninuk.
1987. “Topeng Betawi Sebagai Teks dan Maknanya: Suatu Tafsiran
Antropologi” Disertasi Universitas Indonesia.
Koesasi, Basuki.1992. Lenong
dan Si Pitung. Australisa: Centre of Southeat-Studies Australia National
University.
Kiftiawati. 9 Maret 2011.
“Bertahan dalam Teriknya Zaman Nyi Meh, Kembang
Topeng Betawi”. http://langgambudaya.ui.ac.id/betawi/artikel/detail/14/bertahan-dalam-teriknya-zaman/.
(5 Maret 2013).
Lindsay, Jennifer. 2007. Harapan-Harapan
Intercultural I La Galigo Singafura: The Darma Review Vol. 5 November 2 (T
194) , Summer 2002.
Ong. Walter J. 1989. Orality
and Literacy: The Technologizing of the Word. London: Methuen.
Pudentia dan Roger Tol.
1995. “Tradisi Lisan Nusantara: Oral Tradistions from the Indonesian
Archipilago a Three–Directional Approach”, dalam Warta ATL Edisi
Perdana (Maret).
Rusyana, Yus. 1978. Sastra
Lisan Sunda Cerita Karuhun Kejajaden dan Dedemit. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Ruchiat, dkk. 2003. Ikhtisar
Kesenian Betawi. Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permusiuman Provinsi DKI
Jakarta.
Sopandi, Atik dkk. (1992).
Gambang Rancag. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
Shahab, Y.Z. 1994. The
Creation of Ethnic Tradition Betawi of Jakarta. Disertasi S3 Tidak di
Publikasikan. London: School of Oriental and African Studies, University of
London.
Sedyawati, Edi, 2001 . Pertumbuhan
Seni Pertunjukan . Jakarta: Sinar Harapan.
Shahab, Y.Z. 2004. Identitas
dan Otoritas: Rekonstruksi Tradisi Betawi. Depok: Laboratorium Antropologi,
FISIP UI.
Teeuw, A. 1982. Khazanah
Sastra Indonesia Beberapa Masalah Penelitian dan Penyebarannya. Jakarta: Balai
Pustaka.
Tourism of Nort Jakarta.
Kenalilah 12 Jalur Destinasi Wisata Pesisir Jakarta Utara.
Lindsay, Jennifer. 2007. Harapan-Harapan
Intercultural I La Galigo Singafura: The Darma Review Vol. 5 November 2 (T
194) , Summer 2002.
Foto
Penari Topeng, Koleksi Siti Gomo Attas (Minggu, 2/12/2012)
Perancag
Firman dan Jafar Koleksi Siti Gomo Attas (Minggu, 2/12/2012)
Tulisan
ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya,
28—31 Oktober 2013 di Jakarta, yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar