OLEH Deddy Arsya
Sastrawan
Kuburan H Miskin di Pandai Sikek |
Haji
Miskin telah lama mati, tetapi namanya di sini seperti abadi.
Saya
mengunjungi kuburnya di Pandai Sikek—sebuah nagari dingin di pinggang Gunung
Singgalang di Kabupaten Tanah Datar. Makam itu terletak tidak jauh dari jalan
utama nagari. Dari jalan utama itu menuju ke makam dihubungkan jalan setapak
licin dengan tangga-tangga dari beton. Di ujung tangga-tangga itu, masa silam
menyumbulkan diri: sebuah makam dari abad ke-19 kokoh berdiri.
Panjang
makam hampir lima meter, yang sekelilingnya dipagari pagar besi. Makam itu
diteduhi sebuah bangunan bergonjong empat—lambang dari arsitektur tradisional
Minangkabau. Batu-batu kecil tertata apik di tengah-tengah badan makam. Di
pinggiran badan makam telah dibeton dengan rapi sekalipun belum dihaluskan.
Nisan
makam itu, sebuah batu pipih setinggi hampir satu meter dengan lebar
tigapuluhan senti dan sebuah pokok pohon dengan diameter hampir sama tetapi
memiliki tinggi dua kali itu. Tidak ada nama, keterangan kematian, atau
informasi apa pun pada kedua nisan itu. Tetapi, sebuah plang di pinggir makam
tertulis: Situs Cagar Budaya Makam Haji Miskin.
Haji
Miskin lahir di Batutaba, Agam. Tidak jelas, siapa nama kecilnya. ‘Kecil
bernama, besar bergelar’, nama kecil tentu sudah biasa dilupakan ketika seseorang
telah besar. Sebelum pergi ke Mekkah, dia pernah terlibat gerakan kebangkitan
lokal yang lebih moderat bersama Tuanku nan Tuo, seorang guru tarikat terkenal
di daratan tinggi Minangkabau. Tidak diketahui dengan pasti pada umur berapa Haji
Miskin naik haji. Yang jelas, tidak seperti namanya, dia tentu berasal dari
keluarga makmur daratan tinggi—sebab hanya dari kalangan itulah perjalanan haji
yang mahal akan mungkin dilakukan.
Di
Makkah, di jantung dunia Islam, Haji Miskin menyaksikan sebuah gerakan
pemurnian Islam yang sedang naik pamor. Gerakan yang menganjurkan dengan keras
penghancuran atas penyimpangan-penyimpangan ajaran Muhammad; seruan gerakan ini
adalah ‘kembali ke kemurnian’. Konon, padri kita ini takjub pada orang-orang
berkuda dan berpedang, ksatria tanah Arab itu, yang ‘berjihad’ menghancurkan
makam-makam para orang shaleh yang dijadikan tempat berdoa, membakar
rumah-rumah para darwis-tarikat yang dianggap sebagai sarang bid’ah, dan
menghalau paksa orang-orang untuk datang ke masjid setiap waktu shalat tiba.
Haji
Miskin kemudian pulang ke Minangkabau, membawa api yang sama yang diambil dari
tangan pengikut Muhamad Abdul Wahab yang telah membakar sekujur jazirah Arab
dalam waktu singkat itu. Api yang kelak juga akan membakar hampir sekujur
daratan tinggi Minangkabau. Api yang baru akan padam hingga tiga dasawarsa
setelah pertama kali disulut. Api yang bermula menyala, di antaranya, di Pandai
Sikek, nagari agrokultur, sentra pertanian penghasil sayur itu. Kenapa di
Pandai Sikek? Mungkin karena Haji Miskin tidak begitu didengarkan di kampungnya
di Batutaba, mungkin juga karena dia tidak punya cukup pengikut di situ. Christine
Dobbin, sejarawan Prancis, mencatat bahwa, empat tahun Haji Miskin
“menganjurkan pertobatan” di kampungnya sendiri, di Batutaba, tetapi tampaknya
hasilnya tidak menggembirakannya.
Pada
akhirnya, dia menyeberang, ke Pandai Sikek, karena seorang penghulu daerah itu,
Datuk Batuah (bedakan dengan Datuak Batuah penganjur komunis dari Koto Laweh),
telah bersedia menjalin sekutu dengannya untuk “membersihkan pasar” dan menata
hukum baru “untuk ketertiban negeri yang sedang makmur” itu—makmur akibat
majunya perdagangan kopi dan akasia.
Haji
Miskin bersama sekutunya, dengan api itu, menurut sumber lisan setempat, membakar
hampir seluruh rumah adat di Pagu-pagu, sebuah daerah kecil di Pandai Sikek.
Konon yang tersisa hanya satu rumah adat, yang sampai kini masih tegak tetapi
telah dalam keadaan rusak parah. Sumber lisan setempat lain juga mengungkapkan,
Haji Miskin juga membakar habis satu-satunya pasar di Pandai Sikek, pasar yang
konon merupakan sarang candu, pusat lapak-lapak madat dan gelanggang adu jago
ketika itu.
Sementara
sumber tertulis menyebutkan, sebagaimana dicatatkan Muhammad Radjab, Haji
Miskin hanya membakar sebuah balai adat yang baru saja dibangun di
sana—kebanggaan orang senegeri, lambang kejayaan tempat para penghulu berapat.
Pada awalnya, Sang Haji berkhotbah sekuat tenaga untuk memperbaiki negeri itu.
Tetapi pasar tetap berantakan, kata Dobbin pula, uang mengalir masuk ke
masyarakat dan langsung dihamburkan dalam gelanggang adu jago di dekat pasar,
minum tuak, atau untuk menghisap candu.
Perkelahian
mudah meletus, perampokan sering terjadi, dan pembunuhan tidak kalah sering
akibat mabuk candu. Sementara hukum tak tegak, para penghulu kehilangan
pamornya, catat Jalaluddin Faqih Saghir dalam naskahnya yang banyak dikutip.
Haji Miskin tak henti-hentinya berkhotbah, tetapi keadaan terlalu gawat untuk
diubah dengan cara itu, kata Dobbin lagi. Untuk menunjukkan keseriusan gerakannya, maka,
dia membakar balai adat, dan mungkin juga telah mengobrak-abrik pasar.
Di masa
sekarang, padri itu, Haji Miskin, akan dikenang sebagai seorang puritan Islam. Cara
dia keras, radikal, lagi fanatik. Tetapi di zaman dia hidup, bagi pengikutnya, dia
jelas pembaharu, pendobrak kekolotan rezim adat, ketidakbecusan elit penguasa
mengemban amanat. Tidakkah telah juga disebutkan kalau rezim adat masa itu penuh
korup, penghulu-penghulu tamak, datuk-datuk dibuai candu madat dan tuak dan
dilalaikan oleh gelanggang judi adu jago.
Christine
Dobbin tentang ini mencatat, tidak sebatas
pecandu, penghulu-penghulu tertentu bahkan dihubungkan dengan perdagangan madat,
mereka adalah pelindung mata rantai perdagangan itu. Akibatnya etos masyarakat,
terutama penguasanya, menjadi buruk. Haji Miskin menghancurkan etos buruk kaum
penguasa adat itu. Menghancurkan, mula-mula, simbol tertinggi tradisi mereka:
balai adat. Penghancuran atas simbol-simbol tradisi itu memang menyulut perang
berkepanjangan. Apa yang kita kenal dalam sejarah negeri ini sebagai gerakan
padri, perang antara kaum adat dan kaum agama.
Perang antara
para padri dan kaum penghulu? Tetapi tidakkah sekutu Haji Miskin yang mula-mula
adalah seorang datuk? Penghancuran simbol-simbol adat? Tetapi ... lihatlah
makam Haji Miskin itu sekarang, diteduhi sebuah bangunan bergonjong empat, yang
justru lambang dari arsitektur tradisional Minangkabau yang dulu hendak
dihabiskan pengikut padri.
Paradigma
tentu bisa berubah, suatu zaman tentu punya caranya sendiri dalam memaknai
zaman lain. Dan di Pandai Sikek, entah kenapa di Pandai Sikek, kenapa tidak di Batutaba
(di negeri kelahirannya), orang-orang mengenang Haji Miskin dengan takjub. ‘Makam
itu makam ulama besar’, kata seorang peladang yang saya temui. ‘Makam itu makam
pembela Islam dan penentang Belanda’, kata seorang lainnya.
Orang-orang
di situ mengenangnya sebagai ulama pemberani, tegas pendirian, oleh sebab itu
patut menjadi panutan sekalian alam. Namun, walaupun demikian, bagi masyarakat
setempat makam itu tak lebih dari sebagai penanda, penanda bagi ingatan akan
ketokohan Haji Miskin belaka. Tidak ada pengagungan yang bersifat ‘mistis’ atas
makam itu misalnya—tetapi bukankah Haji Miskin juga hendak menghancurkan kebiasaan-kebiasaan
semacam itu dua abad yang silam?
Sebagai penghormatan
atas ketokohannya itu pula, di Pandai Sikek sekarang, nama Haji Miskin
diabadikan dalam banyak pemakaian. Namanya hendak dijadikan pengingat bagi
sebuah nilai perjuangan yang baik. Tidak saja menjadikan makamnya sebagai situs
cagar budaya yang dilindungi undang-undang.
Tetapi
juga, misalnya, ada sebuah pondok pesantren yang cukup besar yang menggunakan
namanya di Koto Tinggi (juga daerah Pandai Sikek), ‘Pondok Pesantren Haji
Miskin’. Sekolah yang sudah berumur hampir duapuluh tahun. Di daerah Pandai
Sikek lain, berdiri Bank Pembiayaan Rakyat berbasiskan syariah Islam yang juga
mengabadikan nama padri tua itu, BPRS Haji Miskin.
Bank itu
berdiri di Baruah, tidak jauh dari Pagu-pagu, daerah Pandai Sikek yang dua abad
silam telah dibumihanguskan Haji Miskin dan pengikut-pengikutnya. Cabangnya ada
di Koto Tinggi, juga di Pandai Sikek, tempat Haji Miskin melancarkan gerakan
pemurniannya yang lebih keras. Sementara tidak begitu jauh dari situ, sebuah masjid
juga berdiri kokoh, dengan nama Masjid Haji Miskin, tidak jauh dari pasar yang
dua abad silam ‘diratakan’ pengikut Miskin.
Pada
akhirnya, hanya dapat dikatakan, bahwa seorang tokoh ‘mati’ ketika napasnya
berhenti. Tetapi di sisi lain, ‘sosok’ sang tokoh bisa hidup terus dalam
ingatan kolektif masyarakat sekalipun jasadnya telah hancur binasa dalam
kuburnya yang membatu. Pun pemaknaan atas diri dan pikiran sang tokoh itu dalam
ingatan kolektif masyarakat juga bertransformasi; sebab setiap zaman punya caranya
masing-masing dalam menilainya.
Apakah
sesuai dengan diri sang tokoh adanya dalam realitas sejarah atau telah
mengalami pemaknaan lain—siapa pula yang bisa jadi ‘polisi tafsir’ atas itu? Sejarah
toh memang tidak satu dimensi: di satu sisi sebagai dirinya yang faktual, di
sisi lain sebagai sebuah konstruk pikiran. Dan di Pandai Sikek, Haji Miskin
telah coba direduksi dengan cara zaman ini mereduksi; ia dengan kata lain telah
jadi konstruk pikiran. Hasilnya, jelas, tidak satu.
Haji Miskin
bisa dimaknai sebagai seorang moderat, misalnya terepresentasi pada makamnya
yang diteduhi tingkap berarsitektur tradisional Minangkabau, pun juga masjid
yang memakai namanya yang pada beberapa sisi bangunannya terdapat gonjong; pada
sisi lain, Haji Miskin juga dimaknai sebagai seorang modernis (namanya
dilekatkan pada nama Bank—sistem ekonomi perbankan yang jelas berasal dari
khasanah dunia modern); ataupun Haji Miskin dianggap sebagai seorang puritan
(untuk contoh ini, namanya dilekatkan pada sebuah pesantren yang cukup ortodoks).
Bagaimanapun,
ingatan ternyata butuh penanda (sign).
Di sinilah nilai penting memelihara situs cagar budaya sebagai sebuah penanda. Di
Pandai Sikek terbukti bahwa sebuah penanda, sebuah situs cagar budaya, akan
berbiak melahirkan penanda-penanda lainnya. ‘Penanda’ yang akan menjadi
‘lorong’ untuk membawa ingatan kita ke masa silam.
Padang, 26 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar