Senin, 30 Maret 2015

Lima Tahun Kekosongan Pengurus DKSB, Menagih Tanggung Jawab Tim 9

OLEH Nasrul Azwar
Sekjen Aliansi Komunitas Seni Indonesia

Pada 2013—saya lupa mencatat tanggalnya—tapi seingat saya, saat itu dirayakan secara sederhana ulang tahun ke-77 sastrawan Rusli Marzuki Saria di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat. Pemrakarsa hajatan ini adalah Muhammad Ibrahim Ilyas. Bram, begitu panggilan akrabnya, mengundang seniman dan budayawan Sumatera Barat, lewat SMS dan Facebook, untuk hadir di acara itu. Memang banyak yang hadir. Saya termasuk di dalamnya.

Saya bukan sedang membicarakan proses dan latar belakang acara itu, tapi saya mencoba mengilas balik apa yang dihasilkan dari peristiwa itu. Pertemuan yang seolah-olah merayakan ulang tahun penyair Papa Rusli itu, tapi seolah-olah pula sebagai “laporan” pertanggungjawaban pengurus Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB) periode 2007-2010, melahirkan tim (15 orang) yang diberi “amanah” menggelar musyawarah seniman-budayawan untuk membentuk kepengurusan DKSB yang baru.

Tim 15 inilah yang selanjutnya akan menjelaskan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat tentang keberadaan dan tugas mereka terkait dengan muyawarah seniman tersebut. Akhirnya, setelah Tim 15 ini menemui Gubernur Sumatera Barat, dilegalisasikan eksistensinya dengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat, tapi jumlahnya menyusut jadi 9 orang dan selanjutnya ditulis: Tim 9.  Dari informasi yang saya peroleh, yang masuk dalam Tim 9 ini antara lain, Sutan Zaili Asril,  Abdullah Khusairi, Asnam Rasyid, Yulizal Yunus, dan Esha Tegar Putra.

Dalam SK Gubernur Sumatera Barat itu, tentu tugas utama Tim 9 ini adalah melaksanakan musyawarah seniman-budayawan yang pembiayaannya dialokasikan dalam APBD Sumatera Barat, tentu dengan mengajukan proposal terlebih dahulu. Musyawarah seniman harus menghasilkan pengurus baru DKSB.

Setelah SK Gubernur itu keluar, perjalanan Tim 9 ini tak terdengar lagi. Tak ada gerakan yang penting dan seolah tim ini hilang begitu saja. Dalam perbincangan di kalangan seniman, Tim 9 inipun tak santer lagi. Selain sepi, Tim 9 pun tak pernah berinisiatif membincangkan tugas dan tanggung jawab mereka kepada seniman-budayawan secara terbuka. Amanah yang dipercayakan sebelumnya, dilupakan begitu saja.

Dua tahun telah berlalu, dan hampir habis pula masa jabatan Irwan Prayitno sebagai Gubernur Sumatera Barat, kerja dan tugas Tim 9 ini semakin tak jelas saja. Musyawarah seniman Sumatera Barat yang menjadi tugas utama Tim 9 ini, tak pernah terwujud. Akibatnya, sampai saat ini, 5 tahun sudah DKSB mengalami kevakuman.

Jikapun Tim 9 memberi alasan, tak ada alokasi anggaran di APBD Provinsi Sumatera Barat untuk melakukan musyawarah itu, bagi saya ini apologi yang dicari-cari dan konyol. Kita tahu, orang-orang yang duduk di dalam Tim 9 itu, bukan orang yang kemarin sore memahami prosedur pengajuan anggaran ke Pemprov Sumbar agar bisa masuk ke RAPBD. Tentu jadi sangat aneh jika alasan tak ada anggaran di APBD untuk musyawarah itu, kecuali memang Tim 9 ini tak pernah sama sekali mengajukan anggaran ke Pemprov Sumbar. 

Saya bukan ingin mengatakan, bahwa keberadaan dewan kesenian itu masih perlu atau sebaliknya tapi bagi saya ini soal tanggung jawab moral dari amanah yang pernah diberikan oleh seniman-budayawan kepada orang yang mereka nilai akan bisa memberi arti dan mampu menjalankan tugasnya.

Jika kita baca perjalanan DKSB, hal serupa ini pernah terjadi saat kepemimpinan AA Navis berakhir. Terjadi pula kevakuman DKSB lebih kurang 5 tahun. Saat itu, beberapa seniman dan budayawan di-SK-kan Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar untuk membentuk pengurus baru DKSB. Tugas dan tanggung jawab mereka tuntas dan sukses mengatarkan hadirnya pengurus DKSB periode 2000-2003 sebagai hasil musyawarah.

Selanjutnya, pengurus periode ini mengantarkan pula dengan baik pengurus DKSB periode 2004-2007, dan menghasilkan pengurus DKSB periode 2008-2011, tapi pengurus DKSB periode ini gagal membentuk pengurus DKSB selanjutnya.  Dan memang di sinilah sengkarut itu dimulai.

Ketika para beberapa orang seniman sibuk menemui Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno untuk membentuk yayasan yang berkaitan dengan kesenian dan kebudayaan, keberadaan Tim 9 ini semakin terkubur jauh. Para seniman dan budayawan berlomba-lomba mengenalkan dirinya pada Gubernur sekaligus tentu berkisah kasih atas perbuatannya selama ini. 

Gubernur sendiri pun mungkin sudah lupa, bahwa ia pernah mengeluarkan SK kepada Tim 9 agar membentuk pengurus DKSB yang baru. Padahal, sebagian besar seniman dan budayawan yang menghadap dirinya itu adalah juga orang-orang yang tercantum namanya dalam Tim 9. Tapi, tampaknya ia tak pernah menyinggung itu. Dan seniman yang menemuinya itu juga tak pernah menyampaikan hal itu ke Gubernur. Mungkin pertemuan itu bukan konteknya.  Makanya, tak layak disampaikan.

Namun, pada Senin, 15 Desember 2014, saat pertemuan beberapa seniman dan budayawan dengan Syamsu Rizal, Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat di kantornya, dengan agenda pembentukan Yayasan Kesenian Sumatera Barat, soal Tim 9 mencuat dan dibicarakan kembali. Seniman yang hadir dalam pertemuan itu adalah Muhammad Ibrahim Ilyas, Darman Moenir, Asnam Rasyid, Yulizal Yunus, Rizal Tanjung, Hermawan, Khairul Jasmi, Jupriani, dan Akhyar Sikumbang.    

Perlu dijelaskan, awalnya pertemuan dengan kepala dinas itu tidak mengagendakan masalah Tim 9 dan DKSB tapi rapat pematangan sebagai kelanjutan dari pertemuan sebelumnya dengan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno pada 10 November 2014 dan 19 November 2014 untuk membentuk Yayasan Kesenian Sumatera Barat.

Munculnya soal Tim 9 dan DKSB dalam perbincangan pada rapat tersebut menarik perhatian Syamsu Rizal. Saat itu, karena sebagian seniman yang hadir masuk dalam Tim 9 (Asnam Rasyid dan Yulizal Yunus), ia meminta agar Tim 9 segera menggelar rapat dan memastikan jadwal musyawarah seniman untuk membentuk pengurus DKSB yang baru.

“Soal anggarannya, nanti bisa diusahakan. Yang  penting ajukan dulu. Saya harap Tim 9 segera melakukan rapat,” kata Syamsu Rizal saat itu.

Sepekan setelah itu, Tim 9 menggelar rapat di Taman Budaya Sumatera Barat, tapi hasilnya tak jelas. Informasi yang diperoleh, tak semua Tim 9 yang hadir. Hingga kini, setelah rapat itu, tak ada kabar lagi tentang Tim 9 ini.

Lalu ada pertanyaan mendasar yang perlu jawaban: Apakah betul seniman (baca: Sumatera Barat) membutuhkan lembaga yang didirikan semasa Orde Baru ini?

Tim 9 Harus Bertanggung Jawab

Beberapa waktu lalu, saya pernah menulis sekaligus menjawab pertanyaan di atas itu. Saya masih meyakini, seniman-seniman Sumatera Barat masih membutuhkan eksistensi dewan-dewan kesenian. Demikian juga sebaliknya, pemerintah tak bisa menafikan keberadaan lembaga yang memang kehadirannya diatur dalam instruksi Mendagri.  

Memang, terkadang sedihnya itu pada bagian ini. Ada “ketidakharmonisan” hubungan antara seniman dengan pemerintah, termasuk soal pengelolaan iven-iven budaya yang dilaksanakan SKPD, semisal dinas pariwisata. Hubungan tak sedap itu, tentu menjadikan suasana yang tak kondusif.

Salah satu contoh yang kerap jadi pemicu adalah pelaksanaan Pekan Budaya selama ini, yang mungkin tahun ini sudah tak ada lagi.

Selama ini, seniman dan budayawan menilai, satu sisi pemerintah dalam melaksanakan iven budaya terkesan asal jadi tanpa kuratorial yang jelas. Sisi lain, seniman menginginkan adanya karya kreatif yang jelas nilai estetisnya. Bukan semata menampilkan karya-karya asal jadi demi hanya memenuhi agenda acara. Kasarnya, iven budaya yang dilaksanakan pemerintah bak proyek gotong-royong yang tak memiliki standar yang jelas, termasuk yang dilaksanakan UPTD Taman Budaya Sumatera  Barat selama ini.

Selain itu, keterlibatan seniman dan budayawan pada gelaran-gelaran kesenian yang dibuat pemerintah, baik itu Provinsi Sumbar maupun kota dan kabupaten lainnya, tak terkecuali Padang, selama ini boleh dikatakan tak ada sama sekali. Sehingga puluhan iven dan festival budaya yang digelar setiap tahunnya di Sumatera Barat tak “dianggap” sama sekali. Banyak festival budaya, tapi tak mutu. Parahnya, setiap iven budaya digelar, yang paling banyak hadir itu PNS. Padahal, satu iven dan festival yang digelar, menelan ratusan juta rupiah uang dari APBD.

Festival budaya yang seyogyanya menjadi pertaruhan karya kreatif seniman, tak bisa diharap banyak. Maka, tak heran, hingga kini Provinsi Sumatera Barat tak punya iven seni yang bergengsi, berkualitas, dan representatif, kecuali tentu saja SIMFest (Sawahlunto International Music Festival (SIMFest) yang digelar Pemerintah Kota Sawahlunto dan Payakumbuh World Music Festival gawe Pemerintah Kota Payakumbuh. Dua iven seni pertunjukan ini melibatkan seniman dan jelas kuratorialnya. Namun, pada tingkat provinsi, kita tak punya iven budaya yang berkualitas.

Peran demikian itu sebenarnya yang harus diisi dewan kesenian. Menyambungkan dan mengomunikasikan berbagai persoalan antara pemerintan dengan seniman dan budayawan.

Untuk mengharmoniskan hubungan itu, perlu dilakukan dialog antara seniman dan pemerintah daerah, tentu saja disertakan dengan langlah-langkah konkret berupa program dan diikuti dengan komitmen pemerintah untuk sungguh memberi perhatian serius terkait anggaran dewan kesenian.

Satu hal yang harus disadari betul, khusus bagi pemerintah daerah, posisi dewan kesenian sebagai mitranya. Sebagai mitra inilah yang selama ini terabaikan. Selain itu, dewan kesenian merupakan yang lembaga kesenian yang otonom dan independen. Jika posisi dan pemahaman masing-masing telah berjalan dengan baik, maka tinggal melakukan sinergitas saja.

Terkait dengan Tim 9, saya kira tim ini harus mempertanggungjawabkan amanah yang telah diberikan para seniman dan budayawan untuk menggelar musyawarah dan memilih pengurus baru. Amanah ini kini seolah diabaikan saja. Soal nanti apakah anggota tim sembilan ini berminat atau terpilih sebagai pengurus DKSB, itu soal lain.

Kehadiran DKSB, walau bagaimanapun, secara “psikogis” dan “kultural”, memberi spirit positif bagi dewan-dewan kesenian kabupaten dan kota untuk “bergerak” pula.

Lembaga dewan kesenian didirikan berdasarkan Instruksi Mendagri No 5.A tahun 1993 itu, kendati sudah berusia 20 tahun lebih tapi hingga kini masih berlaku. Instruksi itu menekankan agar pemerintah daerah lewat gubernur, bupati, dan walikotanya, mengalokasikan dana yang layak untuk dewan kesenian. Tapi, dari kenyataan yang terpapar, instruksi Mendagri itu sudah  banyak dilupakan kepala daerah, termasuk DPRD. Nyaris semua dewan-dewan  kesenian di Tanah Air tiarap karena tak ada dana yang dialokasikan.

Kita mengetahui, dengan segala kemampuan dan keterbatasannya, tugas dan fungsi dewan kesenian adalah membina, mengembangkan, menghidupkan, dan memajukan kesenian, baik tradisi maupun modern, dan sekaligus membangun peradaban serta kebudayaan. Dewan kesenian yang ada selama ini dikelola masyarakat kesenian di tempat masing-masing.

Legalitas formal dewan kesenian, diatur dengan surat keputusan kepala daerah setelah masyarakat (seniman) mengamanahkan kepada perwakilannya yang duduk di kepengurusan dewan kesenian. Pengurus terpilih inilah yang dikukuhkan dengan SK kepala daerah dengan konsekuensi pengalokasian dana di dalam anggaran pendapatan daerah. Pemerintah daerah tak boleh berkelit lagi untuk tidak merespons kebutuhan hadirnya dewan kesenian di wilayah masing-masing.

Kendati mendapatkan alokasi anggaran dalam APBD, bukan berarti dewan kesenian berada di bawah kendali pemerintah daerah bersangkutan. Fungsi utama dewan kesenian adalah memberikan pertimbangan khusus kepada pemerintah terkait dengan kebijakan-kebijakan yang akan diambil menyangkut kesenian dan kebudayaan. Sepintas terlihat, peran ini sangat penting dan strategis. Namun begitu, apakah selama ini, fungsinya berjalan dengan baik? Saya kira, kita pasti akan menjawab: tidak!

Tantangan bagi dewan kesenian, memang tak sama dengan masa sepuluh tahun lalu, dan mungkin saat ini, tantangannya lebih berat dan cukup besar, terutama terkait dengan kesenian lokal itu sendiri, termasuk di Sumatera Barat.

Maka, jika Tim 9 merasa tak sanggup melaksanakan tanggung jawab dan tugasnya, serahkan secara resmi SK itu kepada Gubernur Sumbar, dan jelaskan semua masalah kepada seniman dan budayawan Sumatera Barat. Ini soal tanggung jawab moral dan sosial. *** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...