OLEH Nasrul Azwar
Sekjen Aliansi Komunitas
Seni Indonesia
Pada
2013—saya lupa mencatat tanggalnya—tapi seingat saya, saat itu dirayakan secara
sederhana ulang tahun ke-77 sastrawan Rusli Marzuki Saria di Galeri Taman
Budaya Sumatera Barat. Pemrakarsa hajatan ini adalah Muhammad Ibrahim Ilyas.
Bram, begitu panggilan akrabnya, mengundang seniman dan budayawan Sumatera
Barat, lewat SMS dan Facebook, untuk hadir di acara itu. Memang banyak yang
hadir. Saya termasuk di dalamnya.
Saya
bukan sedang membicarakan proses dan latar belakang acara itu, tapi saya
mencoba mengilas balik apa yang dihasilkan dari peristiwa itu. Pertemuan yang
seolah-olah merayakan ulang tahun penyair Papa Rusli itu, tapi seolah-olah pula
sebagai “laporan” pertanggungjawaban pengurus Dewan Kesenian Sumatera Barat
(DKSB) periode 2007-2010, melahirkan tim (15 orang) yang diberi “amanah”
menggelar musyawarah seniman-budayawan untuk membentuk kepengurusan DKSB yang
baru.
Tim
15 inilah yang selanjutnya akan menjelaskan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera
Barat tentang keberadaan dan tugas mereka terkait dengan muyawarah seniman
tersebut. Akhirnya, setelah Tim 15 ini menemui Gubernur Sumatera Barat,
dilegalisasikan eksistensinya dengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat,
tapi jumlahnya menyusut jadi 9 orang dan selanjutnya ditulis: Tim 9. Dari informasi yang saya peroleh, yang masuk
dalam Tim 9 ini antara lain, Sutan Zaili Asril,
Abdullah Khusairi, Asnam Rasyid, Yulizal Yunus, dan Esha Tegar Putra.
Dalam
SK Gubernur Sumatera Barat itu, tentu tugas utama Tim 9 ini adalah melaksanakan
musyawarah seniman-budayawan yang pembiayaannya dialokasikan dalam APBD
Sumatera Barat, tentu dengan mengajukan proposal terlebih dahulu. Musyawarah
seniman harus menghasilkan pengurus baru DKSB.
Setelah
SK Gubernur itu keluar, perjalanan Tim 9 ini tak terdengar lagi. Tak ada
gerakan yang penting dan seolah tim ini hilang begitu saja. Dalam perbincangan
di kalangan seniman, Tim 9 inipun tak santer lagi. Selain sepi, Tim 9 pun tak
pernah berinisiatif membincangkan tugas dan tanggung jawab mereka kepada
seniman-budayawan secara terbuka. Amanah yang dipercayakan sebelumnya,
dilupakan begitu saja.
Dua
tahun telah berlalu, dan hampir habis pula masa jabatan Irwan Prayitno sebagai
Gubernur Sumatera Barat, kerja dan tugas Tim 9 ini semakin tak jelas saja.
Musyawarah seniman Sumatera Barat yang menjadi tugas utama Tim 9 ini, tak
pernah terwujud. Akibatnya, sampai saat ini, 5 tahun sudah DKSB mengalami
kevakuman.
Jikapun
Tim 9 memberi alasan, tak ada alokasi anggaran di APBD Provinsi Sumatera Barat
untuk melakukan musyawarah itu, bagi saya ini apologi yang dicari-cari dan
konyol. Kita tahu, orang-orang yang duduk di dalam Tim 9 itu, bukan orang yang
kemarin sore memahami prosedur pengajuan anggaran ke Pemprov Sumbar agar bisa
masuk ke RAPBD. Tentu jadi sangat aneh jika alasan tak ada anggaran di APBD
untuk musyawarah itu, kecuali memang Tim 9 ini tak pernah sama sekali
mengajukan anggaran ke Pemprov Sumbar.
Saya
bukan ingin mengatakan, bahwa keberadaan dewan kesenian itu masih perlu atau
sebaliknya tapi bagi saya ini soal tanggung jawab moral dari amanah yang pernah
diberikan oleh seniman-budayawan kepada orang yang mereka nilai akan bisa
memberi arti dan mampu menjalankan tugasnya.
Jika
kita baca perjalanan DKSB, hal serupa ini pernah terjadi saat kepemimpinan AA
Navis berakhir. Terjadi pula kevakuman DKSB lebih kurang 5 tahun. Saat itu,
beberapa seniman dan budayawan di-SK-kan Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar
untuk membentuk pengurus baru DKSB. Tugas dan tanggung jawab mereka tuntas dan
sukses mengatarkan hadirnya pengurus DKSB periode 2000-2003 sebagai hasil
musyawarah.
Selanjutnya,
pengurus periode ini mengantarkan pula dengan baik pengurus DKSB periode
2004-2007, dan menghasilkan pengurus DKSB periode 2008-2011, tapi pengurus DKSB
periode ini gagal membentuk pengurus DKSB selanjutnya. Dan memang di sinilah sengkarut itu dimulai.
Ketika
para beberapa orang seniman sibuk menemui Gubernur Sumatera Barat Irwan
Prayitno untuk membentuk yayasan yang berkaitan dengan kesenian dan kebudayaan,
keberadaan Tim 9 ini semakin terkubur jauh. Para seniman dan budayawan
berlomba-lomba mengenalkan dirinya pada Gubernur sekaligus tentu berkisah kasih
atas perbuatannya selama ini.
Gubernur
sendiri pun mungkin sudah lupa, bahwa ia pernah mengeluarkan SK kepada Tim 9 agar
membentuk pengurus DKSB yang baru. Padahal, sebagian besar seniman dan
budayawan yang menghadap dirinya itu adalah juga orang-orang yang tercantum
namanya dalam Tim 9. Tapi, tampaknya ia tak pernah menyinggung itu. Dan seniman
yang menemuinya itu juga tak pernah menyampaikan hal itu ke Gubernur. Mungkin pertemuan
itu bukan konteknya. Makanya, tak layak
disampaikan.
Namun,
pada Senin, 15 Desember 2014, saat pertemuan beberapa seniman dan budayawan
dengan Syamsu Rizal, Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat di kantornya,
dengan agenda pembentukan Yayasan Kesenian Sumatera Barat, soal Tim 9 mencuat
dan dibicarakan kembali. Seniman yang hadir dalam pertemuan itu adalah Muhammad
Ibrahim Ilyas, Darman Moenir, Asnam Rasyid, Yulizal Yunus, Rizal Tanjung,
Hermawan, Khairul Jasmi, Jupriani, dan Akhyar Sikumbang.
Perlu
dijelaskan, awalnya pertemuan dengan kepala dinas itu tidak mengagendakan
masalah Tim 9 dan DKSB tapi rapat pematangan sebagai kelanjutan dari pertemuan
sebelumnya dengan Gubernur Sumbar Irwan Prayitno pada 10 November 2014 dan 19
November 2014 untuk membentuk Yayasan Kesenian Sumatera Barat.
Munculnya
soal Tim 9 dan DKSB dalam perbincangan pada rapat tersebut menarik perhatian
Syamsu Rizal. Saat itu, karena sebagian seniman yang hadir masuk dalam Tim 9
(Asnam Rasyid dan Yulizal Yunus), ia meminta agar Tim 9 segera menggelar rapat
dan memastikan jadwal musyawarah seniman untuk membentuk pengurus DKSB yang
baru.
“Soal
anggarannya, nanti bisa diusahakan. Yang
penting ajukan dulu. Saya harap Tim 9 segera melakukan rapat,” kata
Syamsu Rizal saat itu.
Sepekan
setelah itu, Tim 9 menggelar rapat di Taman Budaya Sumatera Barat, tapi
hasilnya tak jelas. Informasi yang diperoleh, tak semua Tim 9 yang hadir. Hingga
kini, setelah rapat itu, tak ada kabar lagi tentang Tim 9 ini.
Lalu
ada pertanyaan mendasar yang perlu jawaban: Apakah betul seniman (baca:
Sumatera Barat) membutuhkan lembaga yang didirikan semasa Orde Baru ini?
Tim 9 Harus Bertanggung
Jawab
Beberapa
waktu lalu, saya pernah menulis sekaligus menjawab pertanyaan di atas itu. Saya
masih meyakini, seniman-seniman Sumatera Barat masih membutuhkan eksistensi
dewan-dewan kesenian. Demikian juga sebaliknya, pemerintah tak bisa menafikan
keberadaan lembaga yang memang kehadirannya diatur dalam instruksi Mendagri.
Memang,
terkadang sedihnya itu pada bagian ini. Ada “ketidakharmonisan” hubungan antara
seniman dengan pemerintah, termasuk soal pengelolaan iven-iven budaya yang
dilaksanakan SKPD, semisal dinas pariwisata. Hubungan tak sedap itu, tentu
menjadikan suasana yang tak kondusif.
Salah
satu contoh yang kerap jadi pemicu adalah pelaksanaan Pekan Budaya selama ini,
yang mungkin tahun ini sudah tak ada lagi.
Selama
ini, seniman dan budayawan menilai, satu sisi pemerintah dalam melaksanakan
iven budaya terkesan asal jadi tanpa kuratorial yang jelas. Sisi lain, seniman
menginginkan adanya karya kreatif yang jelas nilai estetisnya. Bukan semata
menampilkan karya-karya asal jadi demi hanya memenuhi agenda acara. Kasarnya,
iven budaya yang dilaksanakan pemerintah bak proyek gotong-royong yang tak
memiliki standar yang jelas, termasuk yang dilaksanakan UPTD Taman Budaya Sumatera Barat selama ini.
Selain
itu, keterlibatan seniman dan budayawan pada gelaran-gelaran kesenian yang
dibuat pemerintah, baik itu Provinsi Sumbar maupun kota dan kabupaten lainnya,
tak terkecuali Padang, selama ini boleh dikatakan tak ada sama sekali. Sehingga
puluhan iven dan festival budaya yang digelar setiap tahunnya di Sumatera Barat
tak “dianggap” sama sekali. Banyak festival budaya, tapi tak mutu. Parahnya,
setiap iven budaya digelar, yang paling banyak hadir itu PNS. Padahal, satu
iven dan festival yang digelar, menelan ratusan juta rupiah uang dari APBD.
Festival
budaya yang seyogyanya menjadi pertaruhan karya kreatif seniman, tak bisa diharap
banyak. Maka, tak heran, hingga kini Provinsi Sumatera Barat tak punya iven
seni yang bergengsi, berkualitas, dan representatif, kecuali tentu saja SIMFest
(Sawahlunto International Music Festival (SIMFest) yang digelar Pemerintah Kota
Sawahlunto dan Payakumbuh World Music Festival gawe Pemerintah Kota Payakumbuh.
Dua iven seni pertunjukan ini melibatkan seniman dan jelas kuratorialnya. Namun,
pada tingkat provinsi, kita tak punya iven budaya yang berkualitas.
Peran
demikian itu sebenarnya yang harus diisi dewan kesenian. Menyambungkan dan
mengomunikasikan berbagai persoalan antara pemerintan dengan seniman dan
budayawan.
Untuk
mengharmoniskan hubungan itu, perlu dilakukan dialog antara seniman dan
pemerintah daerah, tentu saja disertakan dengan langlah-langkah konkret berupa
program dan diikuti dengan komitmen pemerintah untuk sungguh memberi perhatian
serius terkait anggaran dewan kesenian.
Satu
hal yang harus disadari betul, khusus bagi pemerintah daerah, posisi dewan
kesenian sebagai mitranya. Sebagai mitra inilah yang selama ini terabaikan.
Selain itu, dewan kesenian merupakan yang lembaga kesenian yang otonom dan
independen. Jika posisi dan pemahaman masing-masing telah berjalan dengan baik,
maka tinggal melakukan sinergitas saja.
Terkait
dengan Tim 9, saya kira tim ini harus mempertanggungjawabkan amanah yang telah
diberikan para seniman dan budayawan untuk menggelar musyawarah dan memilih
pengurus baru. Amanah ini kini seolah diabaikan saja. Soal nanti apakah anggota
tim sembilan ini berminat atau terpilih sebagai pengurus DKSB, itu soal lain.
Kehadiran
DKSB, walau bagaimanapun, secara “psikogis” dan “kultural”, memberi spirit
positif bagi dewan-dewan kesenian kabupaten dan kota untuk “bergerak” pula.
Lembaga
dewan kesenian didirikan berdasarkan Instruksi Mendagri No 5.A tahun 1993 itu,
kendati sudah berusia 20 tahun lebih tapi hingga kini masih berlaku. Instruksi
itu menekankan agar pemerintah daerah lewat gubernur, bupati, dan walikotanya,
mengalokasikan dana yang layak untuk dewan kesenian. Tapi, dari kenyataan yang
terpapar, instruksi Mendagri itu sudah
banyak dilupakan kepala daerah, termasuk DPRD. Nyaris semua
dewan-dewan kesenian di Tanah Air tiarap
karena tak ada dana yang dialokasikan.
Kita
mengetahui, dengan segala kemampuan dan keterbatasannya, tugas dan fungsi dewan
kesenian adalah membina, mengembangkan, menghidupkan, dan memajukan kesenian,
baik tradisi maupun modern, dan sekaligus membangun peradaban serta kebudayaan.
Dewan kesenian yang ada selama ini dikelola masyarakat kesenian di tempat
masing-masing.
Legalitas
formal dewan kesenian, diatur dengan surat keputusan kepala daerah setelah
masyarakat (seniman) mengamanahkan kepada perwakilannya yang duduk di
kepengurusan dewan kesenian. Pengurus terpilih inilah yang dikukuhkan dengan SK
kepala daerah dengan konsekuensi pengalokasian dana di dalam anggaran
pendapatan daerah. Pemerintah daerah tak boleh berkelit lagi untuk tidak
merespons kebutuhan hadirnya dewan kesenian di wilayah masing-masing.
Kendati
mendapatkan alokasi anggaran dalam APBD, bukan berarti dewan kesenian berada di
bawah kendali pemerintah daerah bersangkutan. Fungsi utama dewan kesenian
adalah memberikan pertimbangan khusus kepada pemerintah terkait dengan
kebijakan-kebijakan yang akan diambil menyangkut kesenian dan kebudayaan.
Sepintas terlihat, peran ini sangat penting dan strategis. Namun begitu, apakah
selama ini, fungsinya berjalan dengan baik? Saya kira, kita pasti akan
menjawab: tidak!
Tantangan
bagi dewan kesenian, memang tak sama dengan masa sepuluh tahun lalu, dan
mungkin saat ini, tantangannya lebih berat dan cukup besar, terutama terkait
dengan kesenian lokal itu sendiri, termasuk di Sumatera Barat.
Maka,
jika Tim 9 merasa tak sanggup melaksanakan tanggung jawab dan tugasnya,
serahkan secara resmi SK itu kepada Gubernur Sumbar, dan jelaskan semua masalah
kepada seniman dan budayawan Sumatera Barat. Ini soal tanggung jawab moral dan
sosial. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar