Rabu, 11 Maret 2015

Kusie Bendi Kanai Ota

OLEH Wisran Hadi
Saroman urang tasapo, Mas Sam kata-katai bacurito saroman indak ka putuih-putuih. Muncak si kusie bendi nan terkenal sebagai tukang ota tu tapaso hanok sajo mandangakan. “Daripado balimpik galombang,” pikie Muncak samo surang.
“Jadi Muncak,” lanjuik Mas Sam. “Sejak itu selera makan Abunawas dari hari ke hari semakin meningkat. Tak peduli apakah cocok untuk asupan gizi dan kalorinya atau tidak, yang penting makan. Bagi Abunawas makan adalah kewajiban. Makan adalah perjuangan. Makan adalah amanah.”

“Lamak lo curita Abunawas tu mah. Taruih. Haisy..haisy!” kato Muncak sambia mahalau kudonyo. Mas Sam malanjuik an curito.
“Belum habis dimakannya roti yang berada dalam genggaman, dia sudah minta roti yang lebih besar. Bahkan dia tidak segan-segan merebut roti yang belum dimakannya untuk bisa dimakannya. Untuk mendapatkan roti demikian, Abunawas melakukan apa saja.
Sesungguhnya, tabiat makan seperti ini, melanggar tatacara dan kebiasaan. Hanya anak-anak yang tidak mendapat pendidikan tatatertib dan kesusilaan yang suka berperilaku demikian. Tapi bagi Abunawas, peduli apa. Toh tidak ada yang dirugikan dengan cara makan seperti itu. Dan memang, tidak seorangpun pejabat tinggi yang berani menegur kelakuan demikian,” kata Mas Sam.
“Iko curito Abu Nawas atau curito manyindia pejabat nagari awak?” tanyo Muncak.
Mas Sam indak paduli jo tanyo Muncak. Inyo sadang damam nak bacurito. Inyo taruih sajo bacurito.
“Akhirnya, kerakusan demikian menjadi perilaku seluruh pegawai. Mereka yang terang-terangan baru beberapa bulan menduduki jabatan walikota, dengan berbagai alasan mereka ikut pula dalam pemilihan gubernur. Begitu juga dengan beberapa orang wakil rakyat, yang baru saja beberapa minggu dilantik. Mereka saling bersiap untuk merebut korsi yang terhormat itu.  Mereka saling sikut, saling fitnah, saling jual tampang, saling jual kecap, agar mereka bisa dipilih.”
“Ko, curito pemilu dulu? Bialah. Ha, tu baa lai?” tanyo Muncak. Mas Sam taruih tancap gas.
“Melihat kenyataan demikian, seorang warga kota yang baru dilepaskan dari penjara karena dituduh sepihak telah menghina pribadi Abunawas, semakin merasa cemas. Jika rakus sudah menjadi sesuatu yang legal, tentulah selera makan setiap pejabat tidak dapat dibendung. Mereka nantinya tentu akan makan apa saja. Makan siapa saja. Makan di mana saja. Kecemasan ini dijawab oleh Abunawas dengan terkekeh-kekeh. “Peraturanya memang demikian, ya ikuti saja.”
“Jadi, apo paralunyo Mas Mas mancuritoan curito Abu Nawas nan cangok tu ka kusie bendi?” tanyo Muncak.

“Untuk membuktikan bahwa nan pandai maota tu indak hanya kusir, tetapi penumpang juga lebih lihai maota dari pado kusie,” jawab Mas Sam sambia galak tabarai-barai.*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...