OLEH Wisran Hadi
Saroman urang tasapo, Mas Sam kata-katai bacurito saroman
indak ka putuih-putuih. Muncak si kusie bendi nan terkenal sebagai tukang ota
tu tapaso hanok sajo mandangakan. “Daripado balimpik galombang,” pikie Muncak
samo surang.
“Jadi Muncak,” lanjuik Mas Sam. “Sejak itu selera makan
Abunawas dari hari ke hari semakin meningkat. Tak peduli apakah cocok untuk
asupan gizi dan kalorinya atau tidak, yang penting makan. Bagi Abunawas makan
adalah kewajiban. Makan adalah perjuangan. Makan adalah amanah.”
“Lamak lo curita Abunawas tu mah. Taruih. Haisy..haisy!”
kato Muncak sambia mahalau kudonyo. Mas Sam malanjuik an curito.
“Belum habis dimakannya roti yang berada dalam genggaman,
dia sudah minta roti yang lebih besar. Bahkan dia tidak segan-segan merebut
roti yang belum dimakannya untuk bisa dimakannya. Untuk mendapatkan roti
demikian, Abunawas melakukan apa saja.
Sesungguhnya, tabiat makan seperti ini, melanggar
tatacara dan kebiasaan. Hanya anak-anak yang tidak mendapat pendidikan
tatatertib dan kesusilaan yang suka berperilaku demikian. Tapi bagi Abunawas,
peduli apa. Toh tidak ada yang dirugikan dengan cara makan seperti itu. Dan
memang, tidak seorangpun pejabat tinggi yang berani menegur kelakuan demikian,”
kata Mas Sam.
“Iko curito Abu Nawas atau curito manyindia pejabat
nagari awak?” tanyo Muncak.
Mas Sam indak paduli jo tanyo Muncak. Inyo sadang damam
nak bacurito. Inyo taruih sajo bacurito.
“Akhirnya, kerakusan demikian menjadi perilaku seluruh
pegawai. Mereka yang terang-terangan baru beberapa bulan menduduki jabatan
walikota, dengan berbagai alasan mereka ikut pula dalam pemilihan gubernur.
Begitu juga dengan beberapa orang wakil rakyat, yang baru saja beberapa minggu
dilantik. Mereka saling bersiap untuk merebut korsi yang terhormat itu. Mereka saling sikut, saling fitnah, saling
jual tampang, saling jual kecap, agar mereka bisa dipilih.”
“Ko, curito pemilu dulu? Bialah. Ha, tu baa lai?” tanyo
Muncak. Mas Sam taruih tancap gas.
“Melihat kenyataan demikian, seorang warga kota yang baru
dilepaskan dari penjara karena dituduh sepihak telah menghina pribadi Abunawas,
semakin merasa cemas. Jika rakus sudah menjadi sesuatu yang legal, tentulah
selera makan setiap pejabat tidak dapat dibendung. Mereka nantinya tentu akan
makan apa saja. Makan siapa saja. Makan di mana saja. Kecemasan ini dijawab
oleh Abunawas dengan terkekeh-kekeh. “Peraturanya memang demikian, ya ikuti
saja.”
“Jadi, apo paralunyo Mas Mas mancuritoan curito Abu Nawas
nan cangok tu ka kusie bendi?” tanyo Muncak.
“Untuk membuktikan bahwa nan pandai maota tu indak hanya
kusir, tetapi penumpang juga lebih lihai maota dari pado kusie,” jawab Mas Sam sambia
galak tabarai-barai.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar