OLEH Hoeda Manis
“Saut
bukan kriminal, ia adalah pengkritik yang ingin
melindungi
sastra Indonesia dari manipulasi uang dan
kepentingan
lain yang mencemarkan sastra Indonesia.”
—Irwan Bajang kepada
Merdeka.Com
Saut
Situmorang (seorang lelaki) menyebut kata “bajingan” di Facebook, yang ditujukan
untuk Fatin Hamama (seorang perempuan), dan dia dipolisikan. Atas laporan
Fatin, tempo hari Saut dijemput polisi untuk—sesuai istilah mereka—diperiksa
sebagai saksi. Penjemputan (atau penangkapan) Saut tersebut dilakukan karena
Saut dinilai telah mencemarkan nama baik atau melecehkan Fatin secara verbal.
Sekilas,
kasus itu sangat mudah terlihat, bahkan mudah disimpulkan. Orang yang tidak
tahu duduk persoalannya pasti akan langsung menyalahkan Saut. Bagaimana bisa
seorang lelaki memaki bajingan kepada seorang wanita? Tentu wajar kalau si wanita
tidak terima, kemudian melaporkannya kepada polisi. Sangat mudah terlihat,
bahkan mudah disimpulkan—dan itulah bahayanya.
Meski
Saut baru berurusan dengan polisi untuk kasus tersebut pada 26 Maret 2015 kemarin,
namun sebenarnya kasus itu telah dimulai jauhjauh hari, setidaknya sejak satu
tahun yang lalu. Akar masalahnya adalah buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang diluncurkan di
Jakarta, 3 Januari 2014.
Buku
itu, sebagaimana judulnya, memuat profil 33 orang yang dinilai memiliki peran
penting dan berpengaruh dalam sastra Indonesia, yang salah satunya adalah Denny
JA. Keberadaan Denny JA dalam buku itu menyulut kontroversi—khususnya di
kalangan sastrawan dan pegiat sastra—dan Saut termasuk yang paling galak dalam
menentang penerbitan buku tersebut karena dinilai manipulatif. Saut bahkan
aktif “mengamuk” di laman Facebook yang dinamai “Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh
Sastra Indonesia Paling Berpengaruh,” dan di laman itulah sebutan “bajingan”
tadi muncul.
Bagi
yang belum tahu masalah ini, mungkin bertanyatanya, “Kenapa keberadaan Denny
JA dalam daftar itu harus dipersoalkan?” Izinkan saya menjelaskannya, sesuai
dengan banyak artikel yang pernah saya baca mengenai hal ini.
Denny
JA adalah pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), dan sebelumnya sama sekali
tidak memiliki keterkaitan apa pun dengan dunia sastra Indonesia— setidaknya
khalayak umum tidak tahu. Kemudian, suatu hari, Denny JA membuat cukup banyak
puisi yang ia sebut “puisiesai”. Dia mengklaim bahwa itu merupakan genre baru
dalam dunia perpuisian Indonesia.
Untuk
mempopulerkan “puisiesai” karyanya, Denny JA membuat web khusus yang membahas
puisipuisinya, bahkan mengadakan lomba menulis “puisiesai” dengan hadiah
menggiurkan, seiring meminta beberapa pihak untuk membuat resensi atau ulasan
bagi puisinya. Denny JA juga meminta orangorang yang terkenal sebagai penyair—salah
satunya Ahmadun Yosi Herfanda—untuk membuat “puisiesai” seperti yang ia tulis.
Masih
belum cukup, dia juga mengundang tokohtokoh sastra Indonesia untuk membacakan
puisipuisi karyanya, diiringi koreografi dan direkam video yang dipublikasikan
di webnya. Salah satu orang yang ikut membacakan puisi karya Denny JA adalah
Sutardji Calzoum Bachri.
Setelah
semua ingarbingar itu, terbitlah buku 33
Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, yang di dalamnya terdapat nama
Denny JA sebagai salah satu tokoh sastra. Dia dianggap sejajar Chairil Anwar,
Pramoedya Ananta Toer, dan WS Rendra. Keberadaan nama Denny JA dalam buku itu
karena dinilai mempopulerkan genre baru yang disebut “puisiesai”, bahkan
dianggap berpengaruh karena banyak orang ikut membuat “puisiesai” seperti
dirinya. Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia
disusun oleh sekelompok orang yang menyebut diri Tim 8, yang salah satunya
adalah Maman S. Mahayana.
Yang
kemudian memantik kontroversi dan penentangan banyak orang terhadap buku tersebut
bukan hanya karena masuknya Denny JA ke dalam daftar itu, melainkan juga karena
semua aktivitas yang berhubungan dengan “puisiesai”
Denny
JA disinyalir berkaitan dengan pendanaan yang dikeluarkan oleh Denny JA. Dengan
kata lain, Denny JA sengaja membiayai semua aktivitas dan upaya mempopulerkan
puisinya, demi tujuan menempatkan dirinya sendiri ke dalam daftar yang disebut
“tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh”.
Kenyataannya,
belakangan terungkap bahwa semua proyek yang terkait dengan “puisiesai” memang
melibatkan uang—yang disinyalir dari—Denny JA. Ahmadun Yosi Herfanda, salah
satu orang yang ikut menulis “puisiesai” ala Denny JA, mengaku dibayar Rp10
juta untuk menulis puisi tersebut. Dia kemudian menyesali keputusannya, dan
mengembalikan bayaran yang telah ia terima. Berikut ini pengakuan Ahmadun, yang
saya kutip dari Merdeka.Com:
Saya
sangat malu dan menyesal ikut menuruti “pesanan” Denny JA lewat Fatin Hamama
untuk menulis puisi esai. Sebab, menulis puisi esai bukanlah pilihan hati nurani
saya sebagai penyair, tapi lebih karena pesanan dan godaan honor yang besar.
Saya menyesal, karena telah menulis puisi esai hanya demi uang; suatu orientasi
penciptaan atau motivasi yang rendah dalam bersastra.
Semula
sebenarnya saya sempat menolak keras ketika diminta Dennya JA lewat Fatin
Hamama untuk menulis puisi esai, karena sudah mencium bakal adanya politisasi
sastra dengan gelagat yang kurang sehat. Selain itu, dengan memenuhi pesanan
puisi jenis WOT (wrote on demand) ditulis berdasarkan pesanan—itu sama saja
dengan “melacurkan diri” dalam sastra.
Ternyara
dugaan saya benar. Denny JA kini mulai mempolitisasi puisi esai karya 23
penyair Indonesia penerima pesanan itu yang akan segera diterbitkan (termasuk karya
saya, Isbedy Stiawan ZS, Agus Nur, Sujiwo Tejo, Zawawi Imron, Kurnia Ef endi,
Fatin Hamama, Sihar Ramses Simatupang, Dad Murniah, dan Chavcay Syaifullah).
Ada
kesan kuat, bahwa Denny ingin menempatkan kami sebagai para pengikutnya dalam
mazhab puisi esai yang diklaim sebagai idenya untuk memperkuat politik sastra
Tim 8 yang menempatkan Denny sebagai salah satu dari 33 tokoh sastra Indonesia
yang paling berpengaruh dan mengundang kontroversi.
(Selengkapnya, bisa dibaca di sini)
Chavcay
Saifullah dan Sihar Ramses Simatupang, penyair lain yang juga diminta menulis
“puisiesai”, juga mengaku dibayar, dan Sihar belakangan mengembalikan bayarannya
akibat menyesal. Sementara Maman S. Mahayana, sastrawan yang ikut menyusun buku
33 Tokoh Sastra Indonesia, juga mengakui bahwa ia dibayar untuk keterlibatannya
dalam proyek penyusunan buku tersebut. Dia bahkan secara terangterangan
menyatakan buku itu merupakan proyek pesanan Denny JA. Maman dibayar Rp25 juta
untuk penulisan 5 artikel dalam buku tersebut, dan menyatakan akan
mengembalikan uang yang telah ia terima.
Pengakuanpengakuan itu mengerucut pada simpulan, bahwa penerbitan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia adalah proyek yang didanai Denny JA. Menggunakan bahasa yang lugas, buku 33 Tokoh Sastra Indonesia adalah buku yang cenderung manipulatif dan berpotensi berbahaya, khususnya bagi masa depan sastra Indonesia. Karena latar belakang pemikiran seperti itulah para sastrawan Indonesia, termasuk Saut Situmorang, memprotes penerbitan buku tersebut.
Lalu
apa kaitan semua itu dengan Fatin Hamama? Berdasarkan banyak artikel dan berita
yang saya baca, Fatin bertindak sebagai “perantara” antara Denny JA dan orangorang
yang terlibat dalam proyek itu. Fatinlah yang menghubungi orangorang yang
kemudian diminta untuk ikut “berpartisipasi” dalam proyek “puisiesai”. Bahkan,
ketika Ahmadun Yosi Herfanda mengembalikan uang (bayaran) yang telah
diterimanya, dia mengembalikan uang itu lewat Fatin. Jadi, ketika Saut
Situmorang menyebut kata “bajingan” di Facebook, umpatan itu sebenarnya tidak
ditujukan kepada Fatin secara personal, melainkan lebih tertuju kepada proyek
buku 33 Tokoh Sastra Indonesia yang kebetulan melibatkan Fatin—meski Fatin
beberapa kali menyatakan dirinya tak terlibat. Dengan kata lain, sasaran
kemarahan Saut sebenarnya bukan Fatin sebagai pribadi, melainkan proyek buku 33
Tokoh Sastra Indonesia yang dinilai memanipulasi sejarah sastra Indonesia.
Lebih
dari itu, Saut juga sudah lama terkenal dengan ucapan atau ungkapan kasar dan
blakblakan, khususnya untuk soalsoal yang tidak ia setujui. Artinya, terlepas
orang yang terlibat dalam polemik itu Fatin Hamama atau orang lain, Saut akan tetap
menyatakan umpatan itu. Jadi sebenarnya bisa dibilang tidak ada persoalan gender
di sini—sehingga tuduhan pelecehan terhadap wanita tidak perlu
dibesarbesarkan—karena kasus Saut murni urusan polemik sastra.
Bahkan,
sebenarnya, yang lebih penting untuk diurus dalam “kasus bajingan” ini bukan
umpatan Saut Situmorang, melainkan kredibilitas dan keabsahan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia yang telanjur
terbit dan beredar. Bagaimana pun, buku itu memiliki potensi mengkhawatirkan di
masa depan—karena cenderung manipulatif—sebagaimana yang dikhawatirkan banyak
orang. Saut sudah lama meminta adanya diskusi dan klarifikasi atas penerbitan
buku itu, tapi permintaannya tak pernah ditanggapi.
Katrin
Bandel, kritikus sastra dan istri Saut Situmorang, menyatakan pikirannya secara
objektif menyangkut hal itu:
Kelewat
lugu sekali kalau pendanaan tidak dipersoalkan, dan kalau kita tidak mempertanyakan
asal usul perayaan terhadap “pengaruh” Denny JA yang demikian tibatiba. Bukankah
tampak sekali betapa “pengaruh” itu diciptakan dengan sengaja lewat lomba
berhadiah menggiurkan, dan dengan menawarkan honor dalam jumlah yang cukup
tinggi untuk ukuran dunia sastra di Indonesia pada sejumlah sastrawan ternama
agar mereka menulis “puisi esai”? Dengan kata lain, cukup jelas bahwa rangkaian
peristiwa itu tidak terjadi “kebetulan” begitu saja, tapi ada skenarionya.
(Selengkapnya, bisa dibaca di sini)
Akhirnya,
yang dikhawatirkan banyak orang atas kasus Saut barubaru ini adalah upaya
pengalihan isu dari polemik sastra menjadi urusan personal. Dengan dipolisikannya
Saut, fokus banyak orang akan tertuju pada kasusnya, dan melupakan kasus
sebenarnya, yaitu polemik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia.
Padahal,
kasus Saut tidak akan muncul, kalau saja tidak ada kasus buku itu sebelumnya. Karena
itulah, seperti yang saya nyatakan di awal catatan ini, kasus pemolisian Saut
sangat jelas dan mudah disimpulkan, khususnya bagi orang yang tidak tahu akar
persoalannya. Karena itu pula, melihat masalah ini tidak bisa per kasus.
Untuk
dapat bersikap adil dan objektif terhadap Saut, kita harus melihat dan mempelajari
keseluruhan masalahnya. Kita tidak bisa menghakimi Saut semata atas teks yang
dinyatakannya, tanpa memahami keseluruhan konteks yang melatarbelakanginya.
In
the end, saya menulis catatan ini tidak dengan maksud apa pun, selain hanya menyampaikan
kegelisahan. Omongomong, saya bukan teman Saut Situmorang— kami bahkan tidak
saling kenal. Karenanya, siapa pun tidak bisa menuduh saya sedang “membela
teman”.
© Copyright 2014
Hoeda Manis Theme by Site5.com. All Rights Reserved.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar