OLEH Azwar,
S.S, M.Si
(Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam
(KPI) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)
Forum
Lingkar Pena (FLP) menarik untuk diteliti dalam pandangan kajian kritis
industri budaya. Organisasi penulis ini lahir dalam kerangka ideologis untuk
memberikan pencerahan terhadap masyarakat, namun dalam perkembangannya FLP
mengalami benturan kekalahan ketika berhadapan dengan industri.
Kesadaran
yang terbentuk pada aktivis FLP bahwa mereka sudah berhasil melakukan
perlawanan terhadap tema fiksi Indonesia, perlawanan terhadap pola distribusi
karya dan perlawanan terhadap ekslusifitas karya fiksi, sebenarnya hanyalah
bentuk lain dari dominasi industri dimana dunia industri telah melakukan
komodifikasi, standarisasi dan massifikasi terhadap FLP.
Penelitian
ini mengungkap bagaimana kesadaran semu yang terbentuk di FLP dan menunjukkan
bahwa yang sebenarnya terjadi adalah dominasi industri terhadap FLP. Hal tersebut
tentunya relevan dengan pendekatan teori kritis Mazhab Frankfurt terutama
merujuk pada pemikiran Theodore W Adorno yang menyatakan bahwa telah terjadi
komodifikasi, standarisasi, dan massifikasi terhadap produk budaya demi
memenuhi kebutuhan pasar.
Hal itu
membuat para penulis tidak lagi independen dalam menyampaikan ide-ide untuk
melakukan pencerahan di tengah-tengah masyarakat. Paradigma yang digunakan
dalam penelitian ini adalah paradigma kritis dengan tipe penelitian kualitatif.
Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa industri fiksi yang dilakoni FLP
telah berubah orientasi dari ideologi menuju industri.
Key word: FLP, Fiksi, Industrialisasi
Pendahuluan
Sebagai bagian penting dari karya
kreatif, buku perlu dibaca dalam konteks media yang membawa pesan dari
kreatornya untuk disampaikan kepada masyarakat. Namun sayangnya hingga saat ini
kajian tentang buku atau industri buku di Indonesia masih sangat sedikit.
Setidaknya menurut Idi Subandi Ibrahim
(2011) hingga kini sejarah tentang industri buku belum pernah ditulis secara
lengkap. Kajian tentang industri buku baru ditulis sebatas kepingan-kepingan
kenangan dari para penerbit yang sayangnya belum menempatkan buku sebagai
produk kecerdasan sebuah bangsa yang tak lepas dari politik, budaya, pengetahuan
dan masyarakatnya.
Mengutip Phillip G. Altbach (dalam
Ibrahim, 2011), sebenarnya buku tetap merupakan produk yang penting, sebagai
sarana sentral untuk saling berbagi pengetahuan dan hiburan. Pada saat yang
bersamaan, sarana memproduksi, mendistribusikan dan bahkan penyuntingan buku
saat ini sedang berubah.
Perekonomian, teknologi dan makin
saling terkaitnya negara-negara di dunia semuanya itu memengaruhi industri
perbukuan dan penerbitan. Atas dasar itu jugalah industri perbukuan tidak dapat
mengelak dari hukum industri dimana produk budaya tidak akan bisa menyampaikan
ide-ide para kreatornya selain tunduk pada hukum industri. Pada dasarnya dunia
industri menjadikan semua produk budaya sebagai komoditas untuk bisa dijual.
Karena komoditas itu harus diciptakan untuk masyarakat banyak maka dibuat
standar-standar agar produk itu bisa diproduksi dengan massal.
Berhubungan dengan industri buku,
sesuatu yang dicemaskan akhirnya harus terjadi dimana buku tidak lagi berperan
sebagai karya budaya untuk mencerdaskan bangsa atau sebagai refleksi dari
suasana politik dan budaya serta gambaran tentang masyarakatnya, akan tetapi
buku menjadi komoditas yang tak ubah seperti permen karet yang diproduksi
secara masal dengan standar-standar tertentu di sebuah pabrik.
Namun sungguh pun demikian, bahwa buku
pada dasarnya sebagai bagian dari industri budaya yang tidak terlepas dari
prinsip ekonomi yang berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dari kegiatan
yang dilakukan, tetap ada komunitas-komunitas yang menjadikan buku sebagai
media perjuangan menyampaikan ide-ide tentang pencerahan. Salah satu komunitas
yang menjadikan buku atau kegiatan tulis menulis sebagai media perjuangan
menyampaikan ide-ide pencerahan adalah Forum Lingkar Pena (FLP).
Fenomena FLP menjadi menarik bila
dibicarakan dalam lingkup industri budaya. Pembicaraan itu menarik karena tidak
banyak orang yang membicarakan FLP dengan cara pandang seperti ini.
Langkanya pembicaraan tentang FLP dan
hubungannya dengan industri karena FLP lahir bukan dalam kerangka industri,
tetapi komunitas penulis ini lahir dalam ranah ideologi. Menurut para pendiri
komunitas ini, FLP lahir sebagai alat resistensi terhadap budaya popular yang
mainstream ketika itu (tahun 1990-an).
Helvy Tiana Rosa salah satu tokoh
organisasi ini (2005) menjelaskan bahwa para pendiri FLP beranggapan anggota
FLP memegang peranan penting sebagai kaum intelektual kontra hegemonik yang di
antara tugas mereka adalah mengorganisir dan mereorganisasi terus menerus
kehidupan sadar dan tak sadar yang dijalani massa popular nasional ketika itu1.
Perjuangan FLP mengarungi industri
fiksi Indonesia, bagi sebagian anggota FLP dipandang sebagai sebuah
keberhasilan perjuangan menyampaikan ide-ide pencerahan untuk masyarakat
melalui karya fiksi. Namun pada dasarnya kesadaran akan keberhasilan yang terbentuk
itu hanyalah kesadaran semu bahwa FLP berhasil menakhlukkan jantung fiksi
Indonesia.
Keadaan yang terjadi sebenarnya adalah
kemenangan industri dalam memanfaatkan FLP sebagai mesin industri untuk
menghasilkan produk budaya. Di balik kesadaran semu itu dengan jelas terjadinya
komodifikasi, standarisasi, dan massifikasi karya fiksi dalam FLP.
Hal ini tidak dapat dielakkan dari
gerakan yang dilakukan FLP karena pada dasarnya menjadikan fiksi sebagai
senjata untuk melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat dan memberikan
pencerahan pada masyarakat salah satu cara paling efektif adalah menerima
industri sebagai diri yang lain untuk menyampaikan ide-ide mereka melalui karya
fiksi.
Kondisi di atas membuat FLP seperti
terjebak dalam lingkaran dunia industri itu, jangankan melakukan pencerahan
terhadap kondisi masyarakat, akhirnya FLP harus tunduk pada kepentingan
industri. Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa ada perbedaan antara
fakta dan harapan kaum intelektual kontra hegemonik ini.
Harapan FLP adalah ingin melakukan
pencerahan terhadap industri fiksi yang terjadi di Indonesia sejak 1990-an.
Ketika FLP sudah berhasil memasuki jantung industri fiksi dengan berbagai
perjuangan FLP justru terlihat tidak berhasil mempertahankan ideologi mereka.
FLP dipaksa mengakui bahwa industri bukanlah lahan yang layak untuk disemai
benih-benih pencerahan.
1 Tesis Helvy Tiana Rosa tentang karya
anggota FLP di Majalah Annida. Tesis itu berjudul “Majalah Remaja Annida;
Konsep, Strategi dan Pola Representasi dalam Delapan Cerpennya Tahun 1990-an”.
Sebagai organisasi yang ingin melakukan
pencerahan terhadap masyarakat melalui media fiksi, FLP menyadari bahwa mereka
sudah berhasil melakukan pencerahan. Keberhasilan itu ditandai dengan adanya
perlawanan terhadap industri fiksi Indonesia itu dalam bentuk perlawanan
terhadap tema-tema karya fiksi Indonesia, perlawanan terhadap pola distribusi
karya dan perlawanan terhadap ekslusifitas karya fiksi.
Dalam pandangan yang berbeda, apa yang
dianggap oleh FLP sebagai sebuah kemenangan dalam perjuangan itu dapat dilihat
sebagai bentuk dominasi industri terhadap FLP. Oleh sebab itu, kesadaran yang
terbangun di dalam komunitas FLP tentang keberhasilan perjuangan melawan
industri fiksi mainstream hanyalah sebuah kesadaran semu. Karena yang terjadi
kemudian adalah pergeseran semua perlawanan itu menjadi dominasi industri
terhadap FLP. Berdasarkan latar belakang di atas, secara umum masalah
penelitian ini bisa dirumuskan menjadi pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana
kesadaran yang terbentuk dalam komunitas FLP, terhadap upaya pencerahan yang
mereka lakukan terhadap pembaca (masyarakat) melalui industri fiksi di
Indonesia?
2. Apakah
sebenarnya yang terjadi di balik keberhasilan FLP menembus industri fiksi Indonesia?
3. Bagaimana
perubahan yang terjadi di FLP dalam hal gerakan mereka menghasilkan karya
fiksi?
Berdasarkan permasalahan yang telah
dirumuskan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:
1. Membongkar
kesadaran palsu yang terbentuk dalam komunitas FLP tentang keberhasilan
melakukan perlawanan terhadap industri fiksi mainstream Indonesia.
2. Menunjukkan
bahwa yang sebenarnya terjadi di balik kesadaran semu FLP itu adalah dominasi
industri terhadap FLP dalam bentuk komodifikasi, standarisasi dan massfisikasi
karya fiksi Indonesia.
3. Menunjukkan
perubahan yang terjadi di FLP dalam menghasilkan karya fiksi.
Agar penelitian ini fokus pada
permasalahan utama yang akan diteliti sebagaimana telah dijelaskan dalam
rumusan masalah, maka penelitian ini akan dibatasi pada hal-hal sebagai
berikut:
1. Sesuai
dengan judulnya, penelitian ini hanya membahas industri buku fiksi dalam
komunitas FLP, tidak industri buku secara keseluruhan. Hal ini perlu dibatasi
karena buku fiksi memiliki perbedaan tersendiri dalam industri buku.
2. Kajian
ini difokuskan pada tataran makro dan meso dalam hal ini akan ditelusuri
bagaimana bentuk produksi, distribusi dan konsumsi fiksi karya FLP, untuk
membongkar kesadaran palsu yang terbentuk dalam komunitas FLP.
3. Penelitian
ini tidak mengkaji tataran mikro yaitu teks-teks fiksi karya anggota FLP secara
spesifik. Kalaupun disinggung hal itu tidak menjadi fokus utama, melainkan
sebagai pendukung penelitian.
Kekuatan suatu kerangka teori dengan
demikian juga ditentukan oleh proposisi-proposisi yang membentuknya. Kualitas
kerangka teori juga ditentukan oleh penilaian apakah unsur-unsur pembentuknya
(kesemua konsep, teori, rujukan empirik hasil penelitian lain yang dijadikan
premis dalam penyusunan kerangka teori mencerminkan state of the art atau
perkembangan mutakhir dalam disiplin ilmu dimana penelitian dilakukan (Hidayat,
2002: 30).
FLP sebagai sebuah komunitas yang telah
menjadi fenomena budaya di Indonesia telah banyak diteliti oleh kalangan
akademis. Di antara sekian banyak penelitian itu di antaranya adalah:
1. Tesis
Helvy Tiana Rosa di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang berjudul Majalah
Remaja Annida; Konsep, Strategi dan Pola Representasi dalam Delapan Cerpennya
Tahun 1990-an. Tesis Helvy Tiana Rosa ini secara khusus tidak membahas
tentang FLP, akan tetapi dia melakukan kajian terhadap karya-karya penulis FLP
yang dimuat di dalam Majalah Annida.
2. Tulisan
Riannawati di Jurnal Nuansa Indonesia Fakultas Sastra dan Seni UNS Volume
XIII/No 1 Februari 2007 yang berjudul Sastra Islami di Tengah Sastra
Kontemporer. Tulisan ini berbicara mengenai sastra Islam di Indonesia yang
hampir selalu mengandung polemik.
3. Tulisan
Najib Kailani dalam Jurnal UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta berjudul Budaya
Populer Islam Di Indonesia: Jaringan Dakwah Forum Lingkar Pena (2009). Kajian
ini mengeksplorasi fenomena pemuda Indonesia kontemporer Muslim yang telah
mengembangkan sebuah gerakan (budaya popular) Islam di Indonesia melalui sebuah
komunitas bernama Forum Lingkar Pena (FLP).
Tesis Helvy Tiana Rosa adalah salah
satu hasil penelitian terhadap karya-karya anggota FLP yang dimuat di Majalah
Annida. Dalam tesis itu terlihat bahwa karya-karya FLP memiliki ciri yang khas
dan salah satu bentuk perjuangan terhadap dominasi negara dan barat (Amerika
dan Yahudi).
Penelitian Riannawati yang
dipublikasikan di Jurnal Nuansa Indonesia sangat membantu melihat komodifikasi
logo FLP dan kondisi sastra Islami di tengah sastra kontemporer. Sementara itu
penelitian Najib Kailani menyatakan bahwa FLP adalah sebuah media untuk
perlawanan kaum-kaum tercerahkan di Indonesia yang muncul sejak tahun 1990-an.
Ketiga penelitian di atas berhubungan
dengan penelitian yang akan penulis lakukan, tetapi memiliki perbedaan yang
mendasar. Helvy hanya melakukan analisis teks terhadap karya FLP, Riannawati
hanya sekilas membicarakan masalah hubungan FLP dengan dunia industri,
sementara itu Najib hanya menunjukkan bahwa FLP adalah sebuah bentuk
perlawanan. Kedua penelitian itu tidak sampai melihat bagaimana terjadinya
proses industrialisasi di FLP seperti komodifikasi, standarisasi dan
massifikasi.
Fiksimorfosis adalah kata yang peneliti
gunakan untuk menggambarkan perubahan corak penulisan fiksi oleh FLP. Perubahan
itu tergambar dari masa-masa awal FLP yang menulis bermotifkan ideologi,
menjadi menulis karena tuntutan perkembangan industri fiksi. Perubahan yang
berlangsung secara perlahan itu disadari atau tidak telah mengubah pola gerakan
FLP itu sendiri yang semula bermaksud untuk melakukan pencerahan kepada pembaca
menjadi gerakan yang seolah-olah untuk mengukuhkan kepentingan industri.
Gerakan literasi FLP yang pada awalnya
dapat dilihat sebagai gerakan perlawanan terhadap karya fiksi mainstream
Indonesia, akhirnya berubah menjadi gerakan untuk melanggengkan dominasi
industri terhadap FLP. Tanpa disadari dominasi industri terhadap komunitas FLP
itu telah membuat gagalnya upaya pencerahan yang ingin dilakukan melalui media
buku fiksi.
Gerakan FLP pada Masa-masa Awal
FLP pada masa awalnya dipandang sebagai
sebuah gerakan yang mampu melakukan perlawanan terhadap industri fiksi arus
utama di Indonesia. Perlawanan itu adalah perlawanan terhadap tema karya fiksi,
perlawanan terhadap pola distribusi buku fiksi dan perlawanan terhadap
eklusifitas karya fiksi.
Salah satu corak karya anggota FLP adalah
karya fiksi yang memiliki tema berbeda dengan fiksi-fiksi yang ada di Indonesia
ketika itu. FLP mengedepankan fiksi sebagai sarana dakwah. Bagi anggota FLP
fiksi adalah sarana untuk mengajak manusia kepada kebaikan. Oleh sebab itu FLP
mengutamakan menyampaikan amanat di atas unsur-unsur lainnya yang biasa
dipertimbangkan dalam etika karya fiksi.
Apa yang dilakukan FLP itu dilakukan
dengan harapan agar pembaca tidak menjadi ragu terhadap kebenaran yang hendak
disampaikan melalui karya fiksi. Dalam hal ini dapat disebut bahwa FLP
melakukan perlawanan melalui tema fiksi yang mereka usung, yaitu fiksi-fiksi
yang bertema berbeda dari yang ada di Indonesia. Kesadaran seperti di atas
merupakan kesadaran umum di kalangan FLP bahwa mereka sedang berjuang untuk mencerahkan
masyarakat salah satunya dengan melakukan perlawanan terhadap tema-tema fiksi
mainstream.
Namun dalam pandangan teori kritis
kesadaran itu hanyalah kesadaran semu, karena sebenarnya yang terjadi adalah
industri tidak mau tahu tentang berbagai tema yang akan diusung oleh penulis.
Dalam pandangan teori strukturasi agen boleh saja membuat gerakan apapun namun
intinya adalah kegiatan atau tema yang diusulkan oleh penulis itu diterima atau
tidak oleh pembaca. Karena tema-tema tak umum yang ditulis FLP itu mendapat
tanggapan positif dari pasar maka tema-tema itu didukung oleh industri untuk
diterbitkan.
Di sini jelas bahwa industri tidak
bermata, dia tidak melihat tema apa mengusung ideologi apa, yang penting bagi
mereka adalah produk yang dihasilkan penulis bisa laku dipasaran dan
menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya untuk kegiatan industri. Argumen
ini menjadi penting untuk menyatakan bahwa industri semata-mata berkepentingan
dengan persoalan untung rugi, industri tidak berkepentingan dengan persoalan
ideologi.
Berkaitan dengan FLP dan kesadaran semu
bahwa mereka dalam perjuangan mencerahkan masyarakat, dalam pandangan industri
hal itu merupakan bagian dari usaha untuk menjangkau hati pembaca. FLP sebagai
sebuah gerakan yang sudah mapan mempunyai massa yang besar, sehingga hal itu
butuh diberi ruang untuk mendapatkan bacaan yang sesuai selera pembaca.
Disinilah industri memanfaatkan FLP untuk memenuhi kebutuhan massa FLP (muslim)
ini untuk menghadirkan bacaan yang sesuai dengan kebutuhan massa FLP itu.
Sebagai sebuah komunitas yang melawan
arus, FLP menyadari bahwa karya fiksi (produk budaya) yang dihasilkan tidak
akan diterima oleh industri fiksi Indonesia. Banyak alasan mengapa karya FLP
pada awalnya ditolak oleh industri fiksi Indonesia, di antaranya adalah
kecemasan pihak industri bahwa karya tersebut tidak akan laku di pasaran
pembaca buku fiksi Indonesia. Hal itu memang bisa diterima secara logika,
industri tentu tidak mau mengambil risiko akan merugi bila terus menerbitkan
karya-karya anggota FLP tersebut.
Oleh sebab itu pada masa-masa awal FLP
(awal 2000-an) distribusi melalui komunitas menjadi andalan FLP. FLP menjual
karya-karya fiksi melalui anggota yang tersebar diseluruh Indonesia. Pada masa
itu anggota FLP sangat bisa diandalkan untuk menyerap karya anggota FLP yang
lainnya.
Dengan demikian pola distribusi karya
anggota FLP itu berbeda dengan pola distribusi industri buku kebanyakan yang
mengandalkan distributor dan toko buku. Kekuatan komunitas inilah yang membuat
kalangan industri (Mizan, Gramedia, dll) tertarik untuk menerbitkan karya
anggota FLP. Ternyata memang benar, dalam beberapa waktu karya anggota FLP yang
diterbitkan oleh penerbit besar berhasil menjadi karya yang laris di pasaran
industri buku.
Keberhasilan melawan pola distribusi
dianggap sebagai prestasi FLP dalam menerobos industri fiksi. Namun sebenarnya
hal itu tidak menjadi masalah besar bagi industri. Karena sesungguhnya bagi
industri yang terpenting adalah buku-buku fiksi yang dihasilkan oleh FLP itu
laku dengan cara distribusi apapun. Tidak penting lewat toko buku (jalur
modern) atau lewat komunitas (jalur tradisional). Malah belakangan jalur
tradisional atau komunitas ini menjadi sasaran empuk penerbit dengan membuat
buku-buku khusus untuk komunitas dan buku-buku bernuansa lokal untuk membidik
pembaca pada etnis tertentu.
Pada awalnya kerja kreatif menulis
sebuah karya sastra adalah milik sekelompok orang saja. Tidak semua orang bisa
menulis karya sastra itu, walaupun sebenarnya semua orang bisa menulis. Namun
untuk diterbitkan di koran atau majalah hanya orang-orang tertentu saja yang
bisa.
Hal inilah yang dilawan oleh FLP. FLP
mengajak semua orang untuk menulis fiksi. Hal itu bukan hanya sekadar mengajak
akan tetapi juga melatih masyarakat untuk menulis karya fiksi melalui
kepengurusan FLP yang ada di seluruh Indonesia.
FLP melawan budaya yang sudah ada bahwa
menulis karya fiksi hanya miliki sekelompok orang saja. FLP melalui berbagai
kegiatan yang diadakan menunjukkan bahwa menulis fiksi tidak ekslusif karena
bisa dilakukan oleh siapa saja. Perlawanan FLP sebagaimana yang telah
ditunjukkan di atas pada satu sisi adalah bukti keberhasilan FLP dalam melakukan
perlawanan terhadap industri budaya media. Namun pada sisi lain hal itu juga
merupakan kekalahan FLP sendiri karena akhirnya organisasi ini terjebak dalam
industri fiksi Indonesia.
Apa yang disebut oleh FLP sebagai
perlawanan terhadap ekslusifitas fiksi itu bagi industri fiksi adalah usaha
untuk menjadikan fiksi sebagai produk budaya massal yang digemari oleh banyak
masyarakat. Jadi kesadaran yang terbentuk mendobrak ekslusifitas fiksi itu
hanyalah kesadaran semu yang menguntungkan untuk dunia industri.
Kondisi sebagaimana di atas, dimana FLP
memasyarakatkan karya fiksi adalah usaha untuk mengampanyekan produk industri
agar dibaca masyarakat luas. Dengan terbangunnya masyarakat yang gemar membaca,
mau tidak mau industri mendapatkan keuntungan karena buku-buku atau produk
budaya yang mereka produksi semakin banyak diserap oleh pasar.
Adapun kesadaran semu yang menyatakan
FLP semakin berhasil mendobrak ekslusifitas karya fiksi, bagi industri hal itu
tidak menjadi masalah utama. Karena yang terpenting bagi mereka bukanlah
pembacanya adalah orang-orang yang ekslusif atau kelas atas, tetapi bagi
industri yang terpenting adalah jumlah. Semakin banyak masyarakat yang membaca
hal itu bisa dipastikan semakin besar uang yang dikeluarkan masyarakat untuk
membeli buku.
FLP Menembus Industri Fiksi Indonesia
Industri fiksi sebagaimana organisasi
industri lainnya melibatkan banyak pihak di dalamnya. Pada intinya semua yang
terlibat adalah orang-orang yang berperan sebagai produsen, distributor dan
konsumen. Mereka yang terlibat sebagai produsen dalam industri fiksi adalah
para penulis, penerbit dengan sumber daya manusia di dalamnya dan perusahaan
percetakan dengan individu-individu yang menjalankannya.
Pada bagian distribusi, industri fiksi
memiliki orang-orang yang berperan sebagai distributor dan juga toko buku
sebagai salah satu ujung tombak terakhir pendistribusian buku. Sedangkan
pembaca berada pada posisi konsumen dalam sebuah industri buku ini.
Penjelasan di atas menjelaskan bahwa
buku (termasuk buku fiksi) yang pada dasarnya adalah media untuk menyampaikan
gagasan kepada masyarakat luas akhirnya menjadi komoditas dari sebuah industri.
Karena ia merupakan bagian dari industri akhirnya semua perlakuan pada
elemen-elemen yang mendukungnya (penulis, penerbit dan pembaca) berjalan dengan
logika industri. Inilah yang kemudian seperti yang disampaikan Adorno dan
didukung oleh Mazhab Franfurt sebagai bentuk dari reifikasi itu.
Reifikasi yang secara sederhana disebut
sebagai kegiatan yang menganggap hubungan manusia hanyalah sebatas hubungan
benda-benda. Persis seperti hal itu ketika masyarakat sudah menganggap bahwa
kegiatan penciptaan fiksi, mendistribusikan dan membacanya sudah dikelola
dengan cara industri.
Dalam hal ini maka hubungan-hubungan
yang terjadi tak obah sebagai hubungan benda-benda yang dianggap komoditas. Tak
heran kalau penulis dianggap mesin yang memproduksi produk dan pembaca dianggap
sebagai pembeli yang membutuhkan produk. Sejalan dengan terjadinya
komodifikasi, dalam hal ini juga terjadi standarisasi karya-karya anggota FLP.
Penerbit akhirnya menjadi pemegang
peran penting dalam memunculkan karya yang mana yang layak terbit atau tidak.
Standarisasi bisa dilihat dari tema cerita dan bahasa karya anggota FLP. Selain
hal di atas yang juga terjadi adalah massifikasi fiksi di Indonesia. Hal ini
tidak hanya oleh penerbit karena motif ekonomi saja, tetapi juga merupakan misi
FLP untuk melahirkan banyak penulis dan menciptakan banyak karya fiksi.
Komodifikasi, standarisasi dan
massifikasi yang terjadi dalam industri fiksi itu merupakan efek dari reifikasi
sebagaimana yang dikhawatirkan Adorno2. Komodifikasi terjadi karena sudah
menganggap penulis dan pembaca tak obah sebagai benda.
Standarisasi yang menganggap produk
budaya yang dihasilkan penulis yaitu karya fiksi tak ubah seperti produk dari
sebuah mesin. Begitu juga dengan massifikasi yang terjadi karena menganggap
perlunya menciptakan banyak barang agar menghasilkan banyak keuntungan. Efek
dari industrialisasi kebudayaan itu telah menimbulkan berbagai fenonema yang
dianggap merugikan kebudayaan itu sendiri.
Komodifikasi Logo FLP
Ketika FLP mengalami masa-masa
kejayaannya, sebagai organisasi massa yang berbasis masyarakat yang selama ini
terpinggirkan dalam sastra Indonesia FLP ingin menunjukkan eksistensi mereka di
hadapan masyarakat Indonesia. Banyak cara yang dilakukan untuk menunjukkan
eksistensi diri organisasi itu. Di antaranya adalah dengan membubuhkan nama
organisasi penulis ketika menulis di koran, majalah atau buku. Contohnya *Penulis
adalah anggota FLP Wilayah Sumatera Barat. Khusus untuk anggota yang
menerbitkan buku secara indie mereka membubuhkan logo FLP di bagian cover buku
mereka.
Seiring perkembangan waktu tren
membubuhkan logo organisasi di cover buku itu memudahkan anggota FLP yang
tersebar diseluruh Indonesia untuk mencari karya fiksi yang ditulis oleh rekan
mereka. Karena gerakan FLP ini semakin membesar terbukti dengan bergabungnya
sekitar 5.000 orang anak muda ke dalam organisasi ini, dengan puluhan ribu
simpatisan, maka penerbit melihat fenomena mencari karya-karya berlogo FLP ini
sebagai celah untuk “menjual” karya anggota FLP. Maka dengan saling memahami
walau tujuan berbeda maka logo FLP akhirnya muncul lebih kurang 2.000 buku di
pasar perbukuan Indonesia.
Dari penjelasan di atas dapat dilihat
bahwa perbedaan pandangan antara FLP dan kalangan industri akhirnya menjadikan
tradisi membubuhkan logo FLP di buku-buku karya anggota FLP. Banyak penerbit
yang berlomba-lomba menerbitkan buku (novel dan kumcer) yang diberi label
Islami pada covernya. Bahkan penerbit besar seperti kelompok penerbit Gramedia
dan kelompok penerbit Mizan pun melakukannya. Menyangkut penamaan
"Islami" dan ukuran yang digunakan dalam buku fiksi itu, Mizan
memandang pencatuman logo FLP pada buku fiksi terbitan penerbit kelompok Mizan
bertujuan untuk memudahkan publik dalam memilih bacaannya.
Komodifikasi Komunitas FLP
Loyalitas massa FLP sebagai pembeli
tetap tidak luput dari bidikan penerbit. Ribuan massa dan puluhan ribu
simpatisan yang sebagian besar adalah anak-anak muda muslim akhirnya menjadi
sasaran tembak penerbit sebagai pangsa pasar yang ideal. Seiiring persaingan
industri buku, dimana proses penjualan tidak bisa diharapkan kepada penerbit
saja, maka penulis pun dilibatkan dalam penjulan buku-buku fiksi karya mereka.
Karena massa FLP sudah terbentuk pada 120 kota di Indonesia dan 9 perwakilan
luar negeri maka hal ini dianggap sesuatu yang ideal untuk menjadi kaki tangan
penerbit memasarkan buku. Oleh sebab itu diadakanlah berbagai acara yang
tujuannya untuk menjual buku seperti bedah buku, talkshow, jumpa penulis dan berbagai
iven lain yang tujuannya untuk menjual buku.
Solidaritas anggota dan militansi anak
muda yang tergabung dalam FLP ini dibuktikan dengan berbagai acara itu.
Penulis-penulis yang umumya berasal dari Jakarta dan kota-kota besar lain di
Pulau Jawa diundang ke sekolah-sekolah, kampus-kampus di berbagai daerah di
Indonesia. Bagi anggota FLP dan pengurus di masing-masing kota kegiatan itu
merupakan bentuk menyemarakkan organisasi, sementara bagi penulis dan penerbit
merupakan ajang untuk menjual produk. Hal di atas tentu belum termasuk
penjualan dari tangan ke tangan yang melibatkan anggota FLP melalui kegiatan
rutin yang dilakukan seperti diskusi mingguan/bulanan dan acara internal lain.
Jaringan atau anggota organisasi adalah
pembeli terloyal FLP yang mau membeli produk-produk FLP atau karya anggota FLP
(berupa buku atau majalah) bukan hanya karena mutu karyanya tetapi juga karena
solidaritas sesama anggota FLP yang merasa memiliki tanggungjawab untuk
membesarkan organisasi. Secara ideologi yang besar FLP memiliki kesamaan misi
untuk membesarkan sastra dakwah. Artinya setiap anggota FLP membeli buku itu
bukan hanya membesarkan organisasi tetapi juga turut serta berpartisipasi dalam
menyampaikan dakwah bil qalam.
Komodifikasi Nilai-nilai Agama
Maraknya nilai-nilai agama dalam karya
anggota FLP bagi penulis adalah bentuk perjuangan. Tetapi bagi penerbit hanya
sebagai pemanis buku. Artinya kesadaran bahwa FLP hadir dalam kondisi yang
tepat di saat masyarakat pembaca menginginkan sesuatu yang berbeda dari
fiksi-fiksi Indonesia yang ada. Hal ini membantu industri menciptakan produk
baru untuk memenuhi keinginan pembaca. Sebagaimana yang telah disinggung
sebelumnya, kerinduan masyarakat muslim akan sesuatu yang bernilai islami,
tidak hanya karya fiksi membuat mereka menanti-nanti kehadiran hal-hal yang
bernilai Islam. Disinilah penerbit melihat pentingnya upaya agen (FLP) dalam
menyokong jalannya dunia industri fiksi itu.
Standarisasi adalah upaya untuk menyeragamkan
produk agar memudahkan industri untuk memproduksinya. Artinya sebuah proses
untuk menyamaratakan produk budaya massa dengan selera industri. Sementara itu
selera industri fiksi sendiri bergantung kepada kondisi pasar. Dalam hal ini
para pekerja industri melihat situasi pasar apa sajakah yang harus dipenuhi
oleh sebuah produk untuk bisa dijual ke pasaran.
Berkaitan dengan industri fiksi
Indonesia, pada dasarnya ada standar-standar teknis yang harus dipenuhi oleh
seorang penulis agar karyanya bisa diterbitkan oleh penerbit atau bisa dimuat
di dalam media massa (koran, majalah dan sejenisnya). Berikut ini akan diuraikan
bagaimana standarisasi yang secara langsung ataupun tidak langsung diterapkan
oleh FLP terhadap anggotanya. Atau penulis sendiri yang membuat stadar untuk
karyanya karena merasa sebagai bagian dari sebuah organisasi yang
memperjuangkan nilai-nilai Islami. Setidaknya ada tiga hal yang dapat dilihat
yaitu Standar Moral dalam Karya Anggota FLP (Moral dalam Karya Anggota FLP),
Standar Tema dan Standar Bahasa.
Moral dalam Karya Anggota FLP
Standarisasi yang terlihat menonjol
dari karya anggota FLP adalah standarisasi moral dalam karya anggota FLP. Sudah
dapat dipastikan karya anggota FLP tidak akan menulis cerita-cerita yang melukiskan
hubungan badan antara manusia, melukiskan ketelanjangan dan pornografi lainnya.
Standarisasi moral ini dalam kacamata berbeda dapat dilihat sebagai proses
standarisasi untuk mencirikan karya tersebut.
Standarisasi karya anggota FLP. Pada
bagian ini dapat dilihat bahwa standarisasi akhirnya terjadi karena tuntutan
dunia industri. Ketika masyarakat sudah mengenal dan akrab dengan sastra karya
anggota FLP mau tidak mau penerbit buku dan juga majalah membutuhkan banyak
karya untuk dipasarkan kepada masyarakat.
Banyaknya karya ini pada masa-masa awal
dapat diidentifikasi dengan jelas bahwa karya-karya FLP pada umumnya bertemakan
perjuangan orang-orang tertindas di berbagai belahan dunia, seperti di Palestina,
Afganistan, Bosnia dan di dalam negeri sendiri seperti tragedi Aceh, Ambon dan
kerusuhan antar agama lain. Selain itu tema-tema yang standar ditemui adalah
tema pertobatan dimana seorang tokoh ingin bertobat atau menemukan hidayahnya
dalam suatu persoalan.
Standarisasi lainnya dalam karya
anggota FLP adalah standar bahasa dalam fiksi karya anggota FLP. Dalam dunia
sastra Indonesia FLP menjadi media transformasi kosakata baru dalam Bahasa
Indonesia. Bahasa komunitas kelompok tabiyah atau harakah (ikhwan, akhwat,
akhi, ukhti, ana, antum dll) menjadi bahasa yang akrab dipakai dalam karya
anggota FLP. FLP menjadi komunitas sastra terbesar yang berhasil memasarkan
bahasa-bahasa tersebut. Walau sebelumnya bahasa-bahasa tersebut sudah dikenal
masyarakat melalui komunitas Arab di Indonesia, namun menjadi lebih besar
ketika diangkat ke dalam buku-buku atau majalah. Hal itulah yang dilakukan oleh
FLP, dia mengangkat bahasa-bahasa komunitas yang sebelumnya dugunakan sangat
terbatas, hanya di kalangan kelompok masyarakat tertentu menjadi umum dalam
pergaulan masyarakat Indonesia.
Massifikasi Fiksi
Dampak industrialisasi yang jelas
terlihat di FLP adalah massifikasi fiksi. FLP sebagai organisasi yang memiliki
misi untuk melahirkan banyak penulis akhirnya juga melahirkan banyak karya
sastra. Dalam hal ini sastra tidak lagi menjadi sesuatu yang ekslusif. Siapa
saja bisa menulis karya sastra, anak-anak, orang dewasa, pekerja domestik,
bahkan orang tua.
Munculnya produk fiksi secara masal
dimungkinkan karena FLP memiliki program kerja yang sejalan dengan hal itu
seperti memunculkan banyak penulis dan melahirkan banyak karya. Massifikasi
karya sastra tidak dapat dielakkan karena pada akhirnya juga bermunculan
hal-hal yang merusak nilai karya sastra itu sendiri, namun menguntungkan untuk
penggerak industri seperti:
Munculnya karya-karya epigon di FLP
Hal ini menunjukkan menurunnya nilai
karya sastra tinggi menjadi sastra popular. Kelahiran sebuah karya yang
fenomenal akan diikuti oleh karya-karya yang menyerupainya, baik berupa judul
maupun isi dan temanya. Munculnya karya-karya epigon itu bukan hanya berasal
dari kalangan penulis, tetapi juga karena penerbit yang mendorong penulis untuk
menulis karya yang mengikuti karya besar itu. Dalam setiap persoalan maka hal
ini bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda.
Bagi penulis, menulis seperti
karya-karya laris barangkali bisa mereka sebut terinspirasi setelah membaca
karya besar itu, tapi bagi penerbit hal itu mereka lihat sebagai peluang bisnis
agar produk yang mereka ciptakan itu laku di pasaran. Larisnya buku-buku epigon
ini tentu dapat dipahami karena untuk mempromosikan buku itu mereka cukup
menunggangi karya besar itu. Artinya tanpa susah payah mempromosikannya, buku
tersebut sudah terkenal di masyarakat.
Koran Tempo pernah menyebut FLP sebagai
pabrik penulis cerita di Indonesia, penulis membahasakannya sebagai Rumah Besar
Penulis Sastra Indonesia. Gerakan pembelajaran, menciptakan penulis-penulis
muda bertalenta. Hal ini tentu saja sesuai dengan misi FLP untuk melahirkan
banyak penulis di Indonesia. Misi itu diwujudkan melalui berbagai hal seperti
pelatihan berkala ataupun pelatihan insidental. Selama bertahun-tahun gerakan
literasi FLP itu membuahkan hasil, terbukti munculnya nama-nama di jagad sastra
Indonesia yang berasal dari kawah candradimuka yang bernama FLP.
Produksi Massal Fiksi oleh FLP
Banyaknya penulis berbanding lurus
dengan kelahiran karya sastra. Dalam hal ini patut diakui bahwa FLP adalah
salah satu organisasi yang berperan menggairahkan sastra Indonesia pada sejak
1990-an akhir. FLP berhasil menjadi lokomotif yang membangkitkan sastra
Indonesia dari kelesuan dan ketidak bergairahannya. FLP menjadi penyedia konten
sastra terbesar bagi penerbit-penerbit di Indonesia bahkan Mizan sejak tahun
2003 memberikan kesempatan kepada FLP untuk mengelola salah satu lini
penerbitan mereka yaitu LPPH (Lingkar Pena Publishing House). Seiiring
perkembangan waktu LPPH pun kemudian membuka lini khusus untuk menerbitkan
karya fiksi terjemahan yang diberi nama Orange Books.
Menciptakan karya fiksi secara masal
ini terjadi karena tuntutan dunia industri. Ketika semakin banyak peminat karya
anggota FLP mau tidak mau penerbit berburu tulisan karya anggota FLP. Bahkan
tuntutan penerbit itu tidak bisa dipenuhi oleh anggota FLP itu.
Di sisi lain ada penulis-penulis yang
memang menggantungkan kehidupan ekonominya dari menulis, maka terjadilah hukum
ekonomi dimana semakin banyak permintaan “produsen” harus menyediakan banyak
barang. Hal ini akhirnya sama dengan apa yang disampaikan Adorno (1991) bahwa
ketika budaya massa memasuki ranah indutri maka akan terjadi penurunan nilai
budaya itu.
Ramalan Adorno itu bisa dipahami juga
terjadi di FLP karena dalam beberapa kasus demi memenuhi tuntutan penerbit
penulis harus berkejaran dengan waktu untuk menghasilkan sebuah karya.
Berdasarkan keterangan salah seorang anggota FLP ada penulis yang menulis novel
100-150 halaman hanya dalam waktu 3 hari sampai satu minggu. Fakta lain adalah
ada karya-karya yang dibuat memang dengan tujuan bisnis, sehingga terjadi
diversifikasi karya.
Dalam penelitian yang peneliti lakukan
ini dapat disimpulkan berapa hal penting. Pertama FLP adalah
sebuah komunitas penulis yang berhasil menembus industri fiksi Indonesia dan
kemudian berperan besar dalam menentukan corak fiksi di tanah air. Dalam
perannya di dunia industri fiksi Indonesia, FLP telah berhasil melakukan
perlawanan terhadap fiksi arus besar Indonesia, (perlawanan terhadap tema,
perlawanan pola distribusi dan perlawanan atas ekslusifitas fiksi). Akan tetapi
seiring perkembangan waktu, FLP bermetamorfosis menjadi instrument industri
yang semakin terdominasi oleh kepentingan industri.
Kedua kesadaran
bahwa FLP telah berhasil melakukan perlawanan dalam industri fiksi akhirnya
sebatas kesadaran semu karena pada kenyataannya FLP terjerat hukum industri itu
sendiri. Hal ini terjadi karena ia merupakan bagian dari industri, akhirnya
semua perlakuan pada elemen-elemen yang mendukungnya (penulis, penerbit dan
pembaca) berjalan dengan logika industri. FLP sebagai agen didominasi oleh
struktur dalam hal ini adalah dunia industri. Inilah yang kemudian seperti yang
disampaikan Adorno bahwa setiap upaya pencerahan yang dilakukan dalam dunia
industri tidak akan berhasil karena pada dasarnya industri akan membuat penulis
tidak independen dalam menyampaikan ide-ide pencerahannya.
Ketiga yang
terjadi di balik kesadaran semu masyarakat bahwa FLP telah berhasil melakukan
perlawanan adalah FLP bermetamorfosis menjadi pendukung industri media. Hal ini
menunjukkan bahwa FLP telah dikomodifikasi, distandarisasi dan dimassifikasi oleh
industri. Hal itu merupakan efek dari reifikasi sebagaimana yang dikhawatirkan
Adorno. Komodifikasi terjadi karena sudah menganggap penulis dan pembaca tak
obah sebagai benda. Begitu juga dengan standarisasi yang menganggap produk
budaya yang dihasilkan penulis yaitu karya fiksi tak ubah seperti produk dari
sebuah mesin. Begitu juga dengan massifikasi yang terjadi karena menganggap
perlunya menciptakan banyak barang agar menghasilkan banyak keuntungan. Efek
dari industrialisasi kebudayaan itu telah menimbulkan berbagai fenonema yang
dianggap merugikan kebudayaan itu sendiri.
Dalam upaya mengadakan pencerahan
terhadap masyarakat melalui media massa memang harus diakui bahwa hal itu tidak
bisa dilepaskan dari proses industrialisasi. Seperti halnya apa yang dilakukan
oleh FLP yang ingin memberikan pencerahan terhadap masyarakat melalui karya
fiksi akhirnya terjebak dalam lingkaran industri itu sendiri.
Dampak-dampak industri terhadap budaya
massa seperti komodifikasi, standarisasi dan massifikasi tidak dapat
dihindarkan. Peneliti menyarankan agar ada alternatif lain yang mendukung upaya
pencerahan melalui karya kreatif selain industri. Misalnya pemerintah,
perorangan yang peduli dunia fiksi, atau lembaga swasta yang tidak mengambil
keuntungan dari dunia kreatif.
Artinya perlu ada alternatif lain dalam
menyampaikan ide-ide pencerahan melalui karya fiksi, tanpa bergantung kepada
industri karena dengan melepaskan diri dari industri komunitas kreatif seperti
FLP bisa menjadi komunitas yang mandiri dalam menyampaikan ide-ide pencerahan
terhadap masyarakat luas. Tanpa kontrol industri ide-ide pencerahan yang
orisinal bisa muncul dari penulis-penulis yang kebanyakan berasal dari
kelompok-kelompok tercerahan atau seperti yang dibahasakan dengan kelompok
intelektual organik.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Adorno, W Theodor. (1991). The
Culture Industry; Selected Essays on Mass Culture, Routledge, London.
Hidayat, Dedy N. (2002). Kumpulan
Makalah Kuliah Metode Penelitian Komunikasi, Program Studi Ilmu Komunikasi,
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
Hidayat, Dedy N. (2005). Jurnal
Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis Volume IV/No.2 Mei-Agustus 2005, “Teori dan
Penelitian dalam Teori-Teori Kritis,” Departemen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Indonesia, Jakarta.
Ibrahim, Idi Subandy (2011). Makajalah
Industri Pengetahuan yang Tidak Berpihak Pada Pemerataan Kecerdasan, Kapitalisme
Penerbit dan Pasang Naik Industri Buku di Indonesia, Universitas Indonesia,
Depok.
Kailani, Najib. (2009) Budaya Popular
Islam di Indonesia; Jaringan Dakwah Forum Lingkar Pena (FLP), dalam Jurnal UIN
Sunan Kalijaga, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Riannawati: Jurnal Nuansa Indonesia.
(2007). “Sastra Islami di Tengah Sastra Kontemporer”, Fakultas Sastra dan Seni
Rupa UNS, Volume XIII/No 1 Februari 2007.
Siskawati, Isna. (2006). Jurnal
Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis Volume V/No.2 Mei-Agustus 2006, “Komodifikasi
Nilai-Nilai Agama dalam Sinetron Televisi,” Departemen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Indonesia, Jakarta.
Tiana Rosa,
Helvy. (2005). Tesis: Majalah Remaja Annida; Konsep, Strategi dan Pola
Representasi dalam Delapan Cerpennya Tahun1990-an, Universitas Indonesia,
Depok.
Tulisan
ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya,
28—31 Oktober 2013 yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar