OLEH Muhammad Al-Fayyadl
Saut Situmorang |
Andai
Saut Situmorang dipenjara, hanya karena ulah kecilnya mengatakan “bajingan!”
dalam polemik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, maka kita akan
kehilangan seorang kritikus yang kreatif memainkan “politik performatif” dalam
pergaulan sastra Indonesia kontemporer.
“Politik
performatif”, seperti dianalisis Judith Butler dalam Excitable Speech, adalah
suatu politik yang mempermainkan bahasa untuk bereaksi atas perilaku orang
lain, dan menjadikan bahasa suatu tindakan politik itu sendiri.
Dalam
hal ini, Saut melakukan apa yang tidak pernah dilakukan dalam praktik kritik
sastra di Indonesia: meleburkan batas antara kritik sebagai “bahasa tinggi” –
yang otoritasnya selama ini dijaga oleh para penunggu akademi sastra – dan
sumpah-serapah “bahasa rendah”, antara bahasa teori dan bahasa percakapan,
antara bahasa diskursif dan bahasa vulgar keseharian.
Pembedaan
J.L. Austin, dalam teorinya tentang “tindak-bicara” (speech-act), antara
“tindak-bicara ilokusioner” dan “tindak-bicara perlokusioner”, yang ditarik
Butler ke dalam rumusannya sendiri tentang politik performatif, dapat memberi
gambaran tentang apa yang selama ini terjadi dalam praktik kritik sastra kita,
dengan dan tanpa Saut. Tindak-bicara perlokusioner adalah tindak-bicara yang
melahirkan efek tindakan, setelah sebuah kata, ungkapan, atau ujaran
dilontarkan.
Ia
adalah suatu tindakan yang melahirkan efek, walaupun efek itu bisa muncul lama
sesudah kata itu dilontarkan (atau dituliskan). Sementara, tindak-bicara
ilokusioner adalah tindak-bicara di mana lontaran kata-kata adalah tindakan, di
mana kata adalah perbuatan, dan perbuatan tersebut adalah efek itu sendiri.
Praktik
kritik sastra yang berlangsung di dalam sastra Indonesia, terlepas dari isinya,
secara formal hampir selalu merupakan suatu tindak-bicara perlokusioner yang
memisahkan efek dari pembicaraan dan memisahkan, sebagai akibatnya, tindakan
dari wacana. Kritik sastra berbicara tentang suatu karya sastra atau
kecenderungan sastra tertentu, tetapi belum tentu menciptakan efek yang langsung
dirasakan oleh pembacanya.
Kritik
sastra bertugas menciptakan wacana tentang suatu objek sastrawi, tetapi wacana
itu belum tentu berpretensi untuk menggiring pembaca bereaksi terhadap objek
yang dikajinya. Pembicaraan yang dilancarkan oleh kritik sastra diniatkan untuk
membincang objek yang dipilihnya, agar tercipta situasi diskursif di mana
pembaca dapat memiliki gambaran, atau setidak-tidaknya bias penilaian, tentang
objek itu. Tetapi apakah kemudian pembaca tertarik membaca karya itu dan
menelaahnya dengan pikiran sendiri, ataukah pudar ketertarikannya dan urung
membaca karya itu, bukan urusan kritik sastra.
Kritik
sastra hanya mengudar kemungkinan-kemungkinan penilaian tentang suatu karya,
seturut bias subjektif kritikus, tanpa peduli apakah kritik itu pada gilirannya
berhasil membangun persepsi yang sama di pikiran pembacanya.
Dari
bentuknya yang teknikalis (membincang satuan-satuan teknis-filologis dari
karya) hingga sublim-filosofis (membincang Gagasan dan kesan-kesan Gagasan dari
karya), dari bentuknya yang objektivistik (mempreteli karya hingga unsur-unsur
internalnya secara dingin dan berjarak) hingga subjektivistik-impresionistik,
kritik-kritik sastra tersebut, karena terikat oleh keharusan menciptakan
wacana, masih terbelenggu oleh apa yang pernah diistilahkan Iwan Simatupang
sebagai “Kekuatan Abstrak untuk Berkata Tidak”. Kritik itu, dengan kata lain,
belum berani mengatakan “tidak”. Kritik itu belum berani menjadi tindakan pada
dirinya.
Keterpisahan
antara efek dari pembicaraan dan antara wacana dari tindakan itulah yang
diretas oleh Saut dengan sarkasmenya terhadap sastra Indonesia dan praktik
kritik sastra Indonesia. Sarkasmenya – kita perlu garis bawahi bahwa “konsep”
ini juga belum tentu pas untuk menyebut yang dilakukan Saut – menyatukan efek
dan tindakan ke dalam kata-kata itu sendiri, menjadikan kritiknya tindakan
untuk bereaksi dan memancing reaksi dari pembaca/pendengarnya. Dan inilah
“politik performatif” itu: kritik itu diungkapkan dengan lontaran eksplosif
yang menyentuh langsung titik afektif pembaca/pendengarnya.
Dalam
buku kumpulan esainya, “Politik Sastra”, Saut mengerjakan politik performatif
itu melalui kritiknya yang tanpa basa-basi dan tedeng aling-aling terhadap
nama-nama dalam pergaulan kesusastraan Indonesia: Korrie Layun Rampan, Nirwan Dewanto, Budiarto
Danujaya, Binhad Nurrohmat, Sapardi Djoko Damono, Arief Budiman, Umar Junus,
dan para sastrawan Teater Utan Kayu (TUK).
Buku
esai itu ditutup oleh sebuah rilis penolakan dirinya atas Khatulistiwa Literary
Award (KLA) sebagai representasi “sayembara sastra” yang tipikal dari
“dekadensi kondisi Sastra Indonesia Kontemporer”.
Nama-nama
itu telah sebagian besar atau seluruhnya cukup dikenal dalam pergaulan sastra
Indonesia dewasa ini. Tetapi, kritik atas nama-nama itu dikerjakan oleh Saut
bukan dalam rangka membangun suatu dialog atau kesepahaman, tetapi membuka
suatu titik polemik yang dialektis, sehingga pandangan-pandangan yang
dilontarkan oleh nama-nama itu dapat diuji, dibuktikan keliru (falsifikasi),
dan pada gilirannya dibongkar asumsi-asumsi politisnya dan
kepentingan-kepentingan di baliknya.
Sebelum
Saut, mungkin kita tidak sepenuhnya menyadari betapa “berbahayanya” seorang
Nirwan Dewanto, karena sosok Nirwan yang tercitrakan kharismatik, bagai “Paus”
baru dalam kritik sastra Indonesia pasca-Jassin, dengan ulasan-ulasannya yang
terdengar berwibawa dan penilaiannya yang tampak “otoritatif”. Tetapi, berkat
Saut, suatu analisis atas komentar Nirwan terhadap buku cerpen pilihan Kompas 1993, telah memperlihatkan problem
mendasar dari “kritik” Nirwan Dewanto: kecenderungan hiperboliknya yang tanpa
pertanggungjawaban, klaim-klaimnya yang melambung tanpa data yang kuat dan
detail, serta kecenderungannya pada mitologisasi lembaga sastra tertentu (baca:
Kompas dan media-media besar
ibukota). Tanpa ketiganya, sebuah ulasan Nirwan Dewanto tidak memiliki apa-apa
layaknya sebuah ulasan yang kurus-kering, dan secara eksplisit Saut
mempertunjukkan aspek institusional lain yang juga penting diperhitungkan,
yaitu posisi status quo Nirwan dalam hubungannya dengan media (Kompas), lembaga/komunitas sastra (TUK),
dan pertemanannya dengan sesama sastrawan yang ia angkat namanya dari
lembaga/komunitas sastra tersebut (misalnya, Ayu Utami).
Dalam
hal ini, Saut melangkah lebih jauh daripada tipe kritik sastra sosiologis yang
menjadi paradigma kritik sastra era 1980-an dan ternyata masih tetap dipakai
sebagai paradigma kritik sastra di Indonesia abad ke-21, seperti dilakukan oleh
Ignas Kleden, atau Ariel Heryanto pada tahun 1980-an (sebelum Ariel berkonversi
dan mengadopsi pendekatan pascastrukturalis pada dekade-dekade sesudahnya).
Ignas Kleden adalah contoh tipikal dari kritik ini. Dalam Sastra Indonesia
dalam Enam Pertanyaan, Ignas masih berkutat pada pertanyaan-pertanyaan klasik,
seperti apakah kritik sastra merupakan kegiatan ilmiah atau suatu kegiatan
seni, apakah kritik sastra merupakan suatu kegiatan analitik atau suatu
aktivitas artistik. Ketika Ignas masih berputar-putar pada perdebatan tentang
mungkin-tidaknya menerapkan suatu analisis “ilmiah” atas karya sastra, Saut
telah melangkah jauh dengan mengungkap basis “politis” dari analisis ilmiah
itu, dan menunjukkan bahwa seilmiah apapun klaim kritis atas sebuah karya, ia
politis, lebih-lebih bila klaim itu pseudo-ilmiah belaka.
Keilmiahan
suatu kritik, bagi Saut, merupakan suatu konstruksi politis dan ideologis, dan
terletak di dalam suatu milieu politis tertentu, tetapi persis pada titik itu,
seorang sosiolog yang konon menimba inspirasinya dari Teori Kritis (Mazhab
Frankfurt), menjadi tidak kritis atau naif, karena mengabaikan konstruksi dan
relasi pengetahuan-kuasa yang membentuk suatu kerja kritik.
Kita
bisa membandingkan antara cara-baca keduanya dalam mengomentari cerpen-cerpen Kompas: sementara Ignas berbicara
tentang perlunya memahami secara hermeneutis cerpen-cerpen Kompas, Saut mengajak pembacanya untuk membongkar terlebih dulu
alasan mengapa harus cerpen pilihan Kompas
yang dibaca, dan bukan yang lain. Apakah pemilihan cerpen Kompas sebagai objek pembacaan/kritik murni arbitrer, atau
dikonstruksi? Dalam arti apa cerpen Kompas,
dan pembacaan atasnya, membentuk suatu objek bagi kritik sastra?, dan
seterusnya.
Bisa
dibilang, bahwa kritik sastra Saut bergerak pada suatu ranah yang baru, dan
belum sepenuhnya digumuli oleh para kritikus sastra sebelumnya, yaitu pada
level “meta-kritik” (kritik atas kritik). Saut bekerja pada titik di mana
kritikus sastra tidak menyadari konsekuensi dari kritiknya, tetapi justru pada
titik itu, kritik sastra menjadi tidak kritis lagi — diperalat oleh
kekuatan-kekuatan besar di luarnya (modal dan kekuasaan). Seperti Freud, Saut
membongkar aspek “nirsadar” dari praktik kritik sastra yang membuat sastra
Indonesia mereproduksi wacana-wacana ideologis dan narsistik tentang
“eksistensi” dirinya. Dalam hal ini, Saut bekerja pada dua ranah sekaligus:
kritik atas politik sastra, sekaligus kritik atas politik kritik sastra.
Andai
Saut dipenjara, kita bisa melihat kekuatan apa saja yang “diuntungkan” oleh
absennya suara yang konsisten menyoroti politik sastra dan politik kritik
sastra itu: rezim kuasa-pengetahuan-modal yang meresapi praktik keseharian
dunia sastra Indonesia hari ini, melalui berbagai legitimasinya yang tampak
maupun terselubung. Bukan hal yang ganjil, dilihat dari sudut ini, apabila
sebuah kritik Ignas Kleden lebih dapat diterima oleh rezim ini daripada kritik
Saut Situmorang (Ignas mendapat ganjaran Bakrie Award pada 2003 oleh Freedom
Institute atas jasanya di bidang pemikiran sosial dan budaya), karena di dalam
kritik Ignas tidak tergambar persinggungan antara kritik sastra yang
dilakukannya dengan konteks ideologis-politis di mana kritik itu dibangun,
sementara sebaliknya, kritik Saut selalu sadar dan auto-refleksif atas posisi
ideologis-politisnya sendiri.
Pembacaan
yang lahir pun menjadi berbeda: dalam menangani teks-teks “politis”, seperti
roman-roman Pramoedya Ananta Toer, Ignas menghadirkan pembacaan yang
non-politis, atau sedapat mungkin, meredam potensi politis dari teks (lihat
esainya “Cerita-cerita Pulau Buru: Sejarah dan Nyanyi Burung Kedasih”).
Sedangkan di tangan Saut, sebuah teks yang apolitis dan kelihatan netral,
seperti esai-esai ringan dan remeh-temeh Ayu Utami dalam Parasit Lajang, dapat
menjadi teks yang politis.
Suara
disiden dalam kritik sastra Indonesia, kritik-kritik Saut memiliki gaya yang
khas, norak dan anarkistis; nada tulisannya lantang dan terus-terang tanpa
pleonasme, pasemon, atau eufemisme. Namun kita akan keliru bila hanya karena
gaya itu kita menuduh dan menempatkan Saut sebagai seorang penebar wicara
kebencian (hate speech), atau seorang provokator yang menggunakan argumen ad
hominem untuk menjatuhkan lawan-lawannya.
Gaya
itu memang mengelabuhi; di balik gaya itu kritik-kritik Saut sebenarnya
merupakan ekspresi dari moralisme sederhana yang keluar dari kejengahan atas
praktik kotor (dan tak jujur) dalam kehidupan sastra Indonesia kontemporer —
suatu moralisme yang berangkat dari kesetiaan akan cita-cita sastra yang
terlibat. Di atas kesetiaan itu kita bisa melihat sederet persoalan besar dalam
sastra Indonesia — sastra yang belum bebas dari perselingkuhan kuasa dan modal,
paternalisme dan patronase, seksisme, mistifikasi sejarah, dan sindrom
pascakolonial sebagai bangsa terjajah di hadapan segala yang berbau “asing” dan
“internasional”.[]
Diambil
dari https://www.facebook.com/notes/10152686095442601/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar