Jim Supangkat |
Dalam kesempatan wawancara ini, Jim Supangkat memberikan
pandangan-pandanganya seputar isu pasar seni rupa dan eksistensi seni rupa
Indonesia dalam kontestasi kebudayaan dunia. Berikut kutipan wawancara reporter
KoranOpini.com dengan Jim Supangkat.
Kami mendengar dari
beberapa seniman, pasar seni rupa sejak booming 2007-2008 terasa sepi. Apakah
itu lebih sebagai sesuatu yang subyektif atau memang reprensentatif ?
Ya, betul. Terlihat pada menurunnya secara drastis aktivitas
pameran di galeri-galeri swasta, khususnya di Jakarta. Pameran-pameran ini kan
yang tercatat meramaikan pasar seni rupa.
Adakah indikator atau apa
yang menjadi parameternya?
Indikatornya ya menurunnya jumlah pameran yang saya
kemukakan tadi. Dampaknya, penjualan karya otomatis turun juga dan pasar jadi
sepi.
Menurut Heri Pemad, pasar
tidak sepi. Tapi yang sepi karya yang benar-benar bagus? Anda sepakat?
Kalau yang dimaksud Pemad kegiatan seni rupa tidak sepi saya
setuju. Aktivitas seniman di Yogya dan di Bandung tidak menyurut. Berbagai art
space masih aktif. Aktivitas ini tidak selalu berhubungan dengan pasar. Kalau
pasar dalam arti aktivitas jual-beli ya sepi, menurut saya kenyataan ini tidak
bisa disangkal.
Tapi mungkin maksud
Pemad, para pembeli (kolektor) sebenarnya
masih punya dorongan membeli, jadi pasar sebenarnya masih punya
kemungkinan menjadi ramai, tapi para kolektor merasa tidak ada karya yang
bagus. Nah kalau ini memang yang dimaksud Pemad, saya setuju. Masuk akal kan
kalau boom karya seni memunculkan seniman-seniman yang berorientasi pada pasar.
Kita tau kayak apa lah karya-karya mereka dan para kolektor lama-lama sadar
mereka ketipu, kemudian jadi takut ketipu karena sangat sulit menemukan
kejujuran di pasar seni rupa sekarang ini.
Boom tentu peristiwa yang
luar biasa. Menurut Anda apakah peristiwa ini hanya semacam eforia kelas
kolektor tertentu ? Atau ada sebuah desain tertentu dengan tujuan tertentu yang
disengaja ?
Boom karya seni rupa, yang didahului boom lukisan pada
1980an adalah gejala tidak wajar. Rush pembelian karya itu seperti cornering di
bursa saham. Para pembeli yang panik, tertipu. Sepengetahuan saya boom karya
seni rupa di Indonesia terjadi bukan hasil rekayasa seseorang atau sekelompok
orang. Boom,yang beberapa kali terjadi menurut saya karena ignorance atau para
kolektor salah membaca pasar seni dunia.
Boom terakhir 2008
menyisakan kisah-kisah indah dan juga pilu. Beberapa perisitiwa menjadi hikmah
dalam konteks tata kelola diri. Tetapi di sisi lain membawa sebagian seniman muda berorientasi ke
pasar. Anda melihat seperti apa seniman kita saat ini?
Boom karya seni nggak ada indahnya buat saya karena terlalu
dominan urusan bisnisnya dan selalu diikuti dorongan spekulasi. Saya tidak
pernah tertarik pada seniman yang sepenuhnya berorientasi ke pasar. Saya tidak
terlalu peduli, apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka pelajari.
Dari dulu sampai sekarang seniman yang betul-betul membuat
karya seni selalu ada, dan biasanya saya berurusan dengan mereka, walau jumlah
seniman yang berorientasi ke pasar barangkali lebih banyak. Jadi kita tidak
bisa mengeneralisasikan pada sesuatu masa semua seniman tiba-tiba berorientasi
ke pasar. Sekarang masih banyak seniman yang sungguh-sungguh membuat karya,
mereka terus berkarya dan setahu saya tidak ngomel apa pasar jadi sepi atau
tidak.
Senirupa merupakan tradisi
borjuasi dan aristokrat di Eropa pada masa lalu. Nilai ekonominya tidak
sebanding dengan nilai guna. Untuk menjadi nilai lebih itu St. Sunardi,
misalnya, mengatakan dibutuhkan demistifikasi karya seni agar menjadi nilai
tinggi. Artinya dibutuhkan banyak aspek agar sampai pada nilai itu selain
takdir. Menurut Anda apakah berarti di sini prosesnya menjadi seperti produk
barang yang dikemas dalam sebuah rekayasa iklan agar diterima pasar?
Soal tradisi mengoleksi, ceritanya panjang, Gimana kalau
Anda riset sedikit dan cari tulisan saya di berbagai media yang membahas
munculnya komodifikasi karya seni rupa di Amerika pada 1980-an. Sesudah
perkembangan ini pasar seni rupa di mana pun di dunia memang membawa
tanda-tanda negatif bila diukur dari nilai-nilai budaya.
Saya setuju pada gagasan demistifikasi St. Sunardi. Di
Indonesia, image bahwa karya seni rupa adalah barang mahal benar-benar sebuah
mitos. Jadi perlu demistifikasi.
Di Indonesia menentukan apakah sesuatu karya betul-betul
bernilai sangat sulit karena masih kaburnya patolakan-patokan, walau bukannya
tidak bisa. Nah yang perlu diluruskan adalah kepercayaan bahwa nilai karya seni
rupa paralel dengan nilai nominalnya di pasar dan ditentukan oleh mekanisme
pasar yang bisa direkayasa. Ini bukan mitos lagi, ini sudah omong kosong.
Bisa Anda jelaskan
bagaimana sebenarnya kedudukan senirupa kita dalam kebudayaan masyarakat dunia
saat ini?
Kalau yang Anda maksudkan ada kemajuan pada seni rupa
Indonesia sehingga sekarang sudah mendapat pengakuan dunia, saya tidak melihat
tanda-tanda ini. Belum ada karya-karya yang mendapat pengakuan dunia.
Karya-karya yang beredar di pasar seni dunia, ya banyak.
Benar, aktivitas seni rupa kita sekarang ini dekat dengan
aktivitas seni rupa dunia. Ini terjadi karena dunia sekarang ini berada pada
era globalisasi, dan pada era ini terjadi banyak perubahan. Terlalu banyak
kalau harus saya uraikan semuanya pada wawancara ini. Tapi beberapa hal bisa
disebutkan.
Di bidang ekonomi negara-negara Barat tidak lagi dominan
pada era globalisasi, selain itu prospek ekonomi di Asia menarik perhatian pada
era ini. Gejala ini berpengaruh dalam hal memperhatikan berbagai perkembangan
di Asia, tidak terkecuali di Indonesia. Yang dulu tidak kelihatan, sekarang
kelihatan. Pasar seni rupa dunia mencerminkan perkembangan ini juga.
Sejak 1990 seniman-seniman Indonesia merasakan dampak
globalisasi dan berbagai perubahannya itu. Ini pintu masuknya seniman-seniman
Indonesia ke forum global. Namun di forum ini ada persaingan ketat. Dalam
pengamatan saya posisi kita belum terlalu baik menghadapi persaingan ini.
Saya berpendapat,
Abstrak-Ekspresionisme, misalnya, (Jackson Pollock) itu diposisikan sebagai
panglima politik dalam medan perang kebudayaan oleh pemerintah Amerika Serikat
di masa itu (1950-an). Pertanyaannya, apakah kita seharusnya berpikir seperti
itu, menjadikan produk senirupa kita
panglima dalam perang kebudayaan global? Kalau iya, apakah kita siap?
Ya cerita itu sudah beredar luas, dan menjadi aib Amerika
Serikat sampai sekarang. Harus dicatat ini bukan politik resmi. Ini politik
gelap yang terungkap karena masyarakat membongkar kebusukan dinas rahasia (CIA
dan FBI). Sampai 60-an dinas rahasia ini berkuasa. Dengan merekayasa phobia
komunisme dan phobia perang dingin mereka memasuki ranah politik, ranah
soisial, dan ranah budaya. Kebetulan CIA, FBI berstatus sama dengan Endownment
for The Arts yang lembaga federal juga.
Kita jelas-jelas harus menghindari politik seperti itu yang
lebih buruk dari korupsi. Anda tahu kan paranoia di mana-mana selalu
memunculkan gagasan-gagasan tolol yang celakanya bisa dilaksanakan dengan
menyalah-gunakan kekuasaan. Yang kita perlukan politik resmi yang tidak
pat-gulipat.
Perlu kita catat bukan cuma kapasitas seniman dan kemajuan
karya-karya mereka yang harus kita andalkan. Perlu diperhitungkan kondisi di
mana karya-karya ini muncul. Karya seni berkaitan dengan nilai-nilai dan bukan
dengan kehebatan senimannya. Nilai-nilai ini seharusnya terungkap melalui art discourses yang melibatkan pembacaan
dan akhirnya pengakuan masyarakat. Proses ini memerlukan infrastruktur budaya.
Infrastruktur itu menurut saya tidak tertalu abstrak. Prakarsa
harus diambil pemerintah. Pemerintah, seperti pemerintahan di mana pun (di
negara maju) harus menyusun National Cultural Policy (disusun para ahli dan
bukan pejabat pemerintah atau DPR) untuk menjalankan lembaga-lembaga kebudayaan
negara (museum nasional, galeri nasional, perpustakaan nasional, pusat-pusat
arkheologi dan sejarah, taman-taman budaya di berbagai daerah dan
sebagainya).Jelas kan, bagaimana mau menjalankan lembaga-lembaga kebudayaan
negara kalau tidak punya policy.
Melalui program lembaga-lembaga itu—dilaksanakan pamong
budaya, jangan asal pegawai negeri—bisa tumbuh infraktruktur yang percaturannya
akan melibatkan lembaga lembaga kesenian swasta (perkumpulan seni,
galeri-galeri seni rupa), media massa dan masyarakat. Kondisi ini akan membantu
seniman membuat karya yang “baik dan benar.” Dengan karya-karya ini berikut art discourses yang menopangnya kita
bisa mencoba bermain di forum dunia.
Sampai sekarang pemerintah kita tidak pernah punya National
Cultural Policy. Depdikbud di semua pemerintahan tidak berani menyusunnya
karena ditakut-takuti seniman, budayawan, dan, orang-orang sok pinter yang
khawatir National Cultural Policy akan menjadi politik seperti politik di
negara komunis yang menyusun definisi kebudayaan, kesenian dan mengharuskan
semua seniman dan masyarakat mengikutinya. Orang-orang ini tidak sadar bahwa
National Cultural Policy ini bukan cuma hak, tapi kewajiban pemerintah.
Yang sampai sekarang terjadi Depdikbud pada pemerintahan
mana pun menyerahkan tugas dan kewajibannya itu pada seniman dan budayawan
melalui Kongres Kebudayaan yang diselenggarakan reguler. Hasilnya kan kita
tahu. Rekomendasi kongres sebagai hasil diskusi amatiran karena terlalu banyak
kepala, tidak pernah jelas bahkan tidak masuk akal.
Sejauh ini, bagaimana
perkembangan seni rupa kita? Adakah sesuatu yang muncul sebagai representasi, ini lho karya seni
Indonesia ?
Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini akan panjang banget
untuk sesi wawacancara seperti ini dan akan menjadi terlalu teknis. Pada
dasarnya saya optimistis representasi yang Anda bayangkan bisa ditegaskan suatu
kali. Optimisme ini ditunjang kenyataan, tidak semua seniman berorientasi ke pasar.
Sumber: http://koranopini.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar