Faruk Tripoli |
Prof Dr Faruk Tripoli, SU menyebutkan, dalam
kesempatan yang terbatas berkenan wawancara dengan KoranOpini.com, Winda Efanur
FS di UGM. Perbincangan ini berkisar
pada isu dan pandangannya tentang kemelut perdebatan terbitnya buku '33 Tokoh
Sastra Indonesia Paling Berpengaruh' yang melahirkan babak baru, yaitu
dipolisikannya sastrawan Saut Situmorang dan Iwan Soekri oleh sastrawan lain
Fatin Hamama.
Menurut Guru Besar Ilmu Budaya UGM ini, masalah
perdebatan tentang buku itu sudah mulai padam sendiri dan sasaran petisi
dianggap gagal, tetapi berhasil dalam menguak fakta-fakta lain yang tak terduga
seperti pengakuan sastrawan Ahmadun Herfanda, Remy Sylado. Sementara, soal
proses hukum yang menjerat Saut Situmorang dan Iwan Soekri, ia siap menjadi
saksi ahli bila diminta. Berikut laporan lengkapnya.
Anda sejak
awal adalah salah satu tokoh yang menolak buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling
Berpengaruh. Menurut Anda, apakah kasus yang meninmpa Iwan Sukri dan Saut
Situmorang, memang sebuah perkara pengalihan yang disengaja, atau sebuah kasus
dalam kasus itu sendiri?
Itu tafsir, kalau tafsir dihubungkan itu
boleh saja. Harus ada bukti berhubungan. Sementara aku gak berani mengatakan
itu berhubungan apa tidak. Tetapi tetap bahwa kasus itu tidak bisa dilepaskan
dari konteks diskusi pada waktu itu. Jadi tuduhan pada Saut telah mengucapkan hal yang dianggap
melecehkan. Itu muncul di dalam konteks diskusi 33 tokoh, jadi harus dilihat
dari konteksi itu.
Itu bukan menghubungkan Fatin dengan 33
tokoh, tetapi diskusi itu muncul dalam konteks itu. Kalau kita melihat urutan
secara selintas. kalau pernyataan Iwan jelas muncul sesudah Ahmadun. Ketika
Ahmadun misalnya marah-marah sama Fatin. Iwan anggap saja dalam tanda petik
hanya merespon Ahmadun. Jadi, pernyataan Iwan tidak bisa dilepaskan dari
pernyataan Ahmadun. pernyataan Ahmadun tidak bisa lepaskan dari 33. Dari 33
muncul lalu banyak yang buka rahasia tentang penulisan essay. Termasuk Ahmadun
yang paling keras. Biarpun itu perkara tersendiri. Artinya perkara pelecehan
bisa dilepaskan. tetapi konteksnya tetap dilihat dari konteks itu. Jadi
misalnya kata-kata Iwan tidak bisa dilepaskan dari kata-kata Ahmadun. Jadi
Ahmadun misalnya menyebut : saya sudah melacurkan diri. Jadi kalau mucikari
artinya hubungannya dengan pernyataan Ahmadun.
Gak bisa kata mucikari dilepaskan dari
konteks apa yang dikatakan oleh Ahmadun misalnya kayak gitu. Karena tidak ada
urusan perlontean di dalam konteks diskusi itu, kan gak ada pelacur yang
terlibat atau siapa yang terlibat tiba-tiba ada kata itu kan gak ada hubungannya dengan kata-kata
terendah.
Memang bisa dilihat terutama dianggap
oleh Fatin sebagai kasus tersendiri, tetapi kasus tersendiri dari segi perkara
polisinya. Tetapi dari segi konteks diskusinya tidak bisa dilepaskan . kan
perkaranya bukan 33 tokoh, tapi perkara nama baik atau ucapan yang membuat rasa
sakit hati. Tapi ucapannya muncul dimana dilihat dalam konteks apa. Karena
maknanya akan berubah, akan berbeda maknanya. Kalau kita sudah lihat
konteksnya.
Jika
memang ini adalah upaya pengalihan, lalu apa yang akan Anda lakukan bersama
teman-teman lain?
Nah, itu gak bisa ditentukan pengalihan
atau tidak itu menyangkut motivasi orang. Kita gak tahu apakah dia bermaksud
mengalihkan atau tidak, kita gak tahu. Yang jelas bila masalahnya beralih,
diskusinya menjadi beralih. Tapi tindakan yang sengaja mengalihkan kita gak
tahu.
Ada upaya
gak?
Kita gak tahu, upaya apa. Yang jelas ada
pengaduan soal ini. gara-gara pengaduan soal ini lalu diskusinya berubah, jadi diskusi itu.
bisa saja ini efek yang langsung atau gak langsung dari pengaduan itu. Tapi apa
itu pengalihan itu menyangkut niat.
Dengan
kondisi saat ini bisa dibaca sebagai upaya pengalihan?
Masalahnya itu sendiri itu sudah… masalah
33 tokoh itu sudah mulai padam. Padamnya bukan karena pengaduan karena hilang
sendiri. Kalian ikuti diskusi 33 itu makin lama maikn sepi. Sebelum pengaduan
itu sudah terjadi. Jadi 33 tokoh itu memang apa namanya hasil maksimalnya
memang tidak tercapai, tapi terbuka beberapa hal kebenaran-kebenran yang
sebelumnya tidak ada orang yang tahu. Misalnya pengakuan Ahmadun, pengunduran
Remi Silado, sudah hasil cukup bagus.
Sebenarnya statement dalam petisi itu
bukan penolakan tapi tuntutan diskusi. Tetapi apabila terbukti, baru penolakan
bisa sampai pada pelarangan, itu kondisional.
Bila terbukti melanggar hukum akan dilanjutka prosesnya. Jadi tuntutan
pertama diskusi dulu.
Diskusi di lembaga yang dianggap netral,
diminta di Diknas untuk menentukan apakah ada kecurangan dalam proses dan hasil
penulisan buku itu. Itu tidak dipenuhi, karena Diknas tidak merespons.
Tuntutan utamanya gak tercapai. Tuntutan
utamanya diskusi, nanti bisa dibuat keputusan
menolak atau tidak menolak. Yang jelas memang ada indikasi tidak masuk
akal. Tetapi harus dibuktikan lewat diskusi.
Indikasinya
ini misalnya apa?
Indikasinya orang-orang melihat ada
banyak pengarang yang tidak masuk yang dianggap penting. Na, Denny JA kok bisa
masuk alasannya-alasannya apa, ini kan kecurigaan awal, tapi tidak langsung
menuduh. Tapi mengajak diskusi. Itu saja sebenarnya. Masalah yang di petisi
sederhana. Karena ada indikasi kayak gitu. Dan ternyata sebagian kecurigaan itu
benar, dalam arti banyak yang melakukan pengakuan. Aku menerima sekian, akau
menerima sekian. Dari itu muncul persolan Si Iwan sama si anu itu, dari pengakuan
yang muncul yang menjadi dari efek 33 tokoh itu. Gitu aja. Itu sederhana.
Kalo Bang Saut kan terang-terangan menyebut Denny
JA, menurut Anda?
Aku gak tahu persis Saut, aku kan selalu
melarang jangan berbicara di luar petisi. Di luar tuntutan petisi aku gak mau
ikut bertanggung jawab, jadi aku terbatas apa yang dituntut oleh petisi. Kan
dipetisi ada ttdnya sekitar 1000.
Saat ini
Bang Saut dan Iwan dipolisikan, ini teman-teman cukup respect, lalu, upaya apa
untuk melindungi mereka?
Jadi begini, ada prosedur yang tidak
normal. Saya kan pernah membuat sakit hati orang, dia lapor ke FB minta
dihapus. Nah prosedur itu dilewati. Kalau prosedur itu ada, seharusnya itu dulu
dimanfaatkan. Seperti pernyataanku tentang media yang salah paham tadi malam
itu. Jangan sampai berkepanjangan. Sebelum meluas, kita segera ditutup, kalau
itu merugikan kita. Menutup dengan meminta FB menghapus. Ada aturan main juga
di FB. Artinya apa bisa diduga dengan dari caranya melewati FB itu, ada
yang yang tidak fair. Kalau Ada teman
yang korban tidak fair kita berusaha juga membantu
Aku misalnya membuat status, mana yang
lebih menyakitkan dajjal atu mucikari, kenapa yang dituntut mucikari? Yang
menganggapnya dajjal tidak dituntut. Padahal dajjal lebih jahat dari mucikari.
Tu kan ada keganjilan yang membuat kita menduga ada kemungkinan ketidak adilan
di sana.
Jadi kalau aku pribadi membela Iwan
maupun itu, karena aku menduga ada yang tidak fair, kalau itu benar-benar
pelanggaran dan proses pengaduan dianggap fair, seharusnya mereka memang
berbuat jahat dengan sengaja dan sebagainya. aku juga tidak mau mendukung orang
jahat.
Jadi ini
dukungannya sebatas ikuti jalur hukumnya?
Artinya kalau aku diminta jadi saksi ahli
aku bersedia, ditanya arti ini secara linguistik, aku ya bersedia membantu.
Deny JA,
bisa jadi tidak akan menganggap ini adalah persoalannya. Sebenarnya apa sih
tuntututan anda bersama teman-teman lain terhadap Denny JA?
Kalau gak bisa dibuktikan ya tidak usah
dikatakan. Kalau Denny ja gak terbukti terlibat. Kalau itu urusan Fatin ya
sudah. Nanti kan pengadilan yang
mengungkap atau kalau berusaha mencari keterlibatan Denny JA di sana, ya dicari
bukti-buktinya. Kalau sebelum menemukan bukti, kita gak usah mengatakan itu.
Bang Saut
bilang Denny JA curang. Kalau Anda sendiri?
Curang dalam kasus apa, mungkin dia punya
bukti. Kalau aku gak punya bukti, aku gak berani. Kalau aku gak berani membuat
statement seperti itu. Jadi kayak tadi malam kalau Saut punya bukti kalau
Arismunandar ngawur itu misalnya ya
sudah tuntut saja.
Jadi aku masalahnya petisi, itu pun sudah
saya anggap macet tidak tercapai. Walaupun efeknya lumayan bahwa ada pengakuan
semua orang jadi tahu, itu dibayar sekian itu kan efek dari petisi. Walaupun
tujuannya tidak tecapai Itu sudah efek yang bagus. Seperti si Maman
mengembalikan uang. Meskipun tujuannya tidak tercapai yaitu diskusi, akhirnya
pulik jadi mengerti, ternyata penyair yang menulis itu di bayar.
Memang
kira-kira dibayar berapa?
Kalau gak salah maman Mahayana
mengembalikan 25 juta untuk 1 atau 2 artikel
untuk karya yang 33 itu. Kalau yang Ahmdun karya yang puisi essay apa
gitu.
Jadi bisa
dikatakan dalam hal ini biarkan hukum yang berjalan?
Sementara aku menanggap biarkan hukum
berjalan, yang harus dilakukan teman-teman mengumpulkan bukti-bukti bahwa dia
tidak bersalah. Tapi aku gak bisa mengatur orang. Iya mengingatkan sedikit.
Kok Bapak
bisa terlibat, awalnya simpatik?
Memang membikin petisi, aku dikirimi,
lalu tak ralat-ralat. aku mau terlibat tapi ini harus diganti, ini dibuang.
Jangan sampai petisi itu menanggung resiko sebagai fitnah. Makanya tuntutan
diskusi bukan menolak, juga bukan melarang.
Jadi melarang itu sebagai catatan bila terbukti ada pelanggaran hukum di
dalamnya. Diikuti aja lagi dokumennya masih utuh.
Ini
kasusnya sudah berbelok banyak dari polemic 33 tokoh jadi pelecehan, jadi peran
bapak pada jalan hukum?
Aku hanya membantu sejauh aku bisa
membantu.
Masalahnya
apa sudah sedemikian runyam?
Ga runyam kelihatannya rame, sebenarnya
persoalnnya simple. Yang aku heran gak segera diproses. Kenapa gak segera
diproses saja, jadi berkepanjangan lalu menimbulkan masalah baru jadinya, lalu
Iwan Pangka jadi kena, jadi tambah rumit.. Kenapa gak diproses saja biar jelas.
Kalau kata
Mba Affiah, Fatin ke Komnas Perempuan karena dari polisi lambat ?
Nah, sebenarnya aku pengen ngerti kenapa
Komnas Perempuan membuat keputusan berpihak, itu sesudah mereka melapor lalu
setuju atau bagaimana kenapa Komnas Perempuan tidak menanyakan pada pihak yang
tertuduh. Kenapa keputusannya tidak berimbang.
Kata
Komnas Perempuan hanya menampung kasus itu, karena ada fakta, pelecehan secara
verbal.
Ya udah kalau cara kerja seperti itu. Ya
itu memang aturan main di sana. Masalah orang berpresepsi kurang baik itu juga
karena faktanya seperti itu. Kalau digali secara akademik, apa yang disebut
fakta. Faktanya adalah makna, ya kan. Kalau makna bagaimana, makna kan
macam-macam. Untuk mengerti makna itu harus melihat konteks. Jadi gak simple
aja, mengatakan ini fakta pelecehan, gak simple gitu, karena fakta itu bukan
fakta itu makna. Melecehkan tidak melecehkan itu soal makna.
Makna itu setiap kata itu banyak. Untuk
menentukan artian yang sebenarnya itu harus melihat konteksnya. Misalnya orang
Jawa Timur bilang asu, ‘hei, Su, kesini!’ Apakah itu pelecehan? Kan harus lihat
konteksnya. Kan ga bisa, ga sederhana.
Gak bisa gak sederhana. Di kamus saja ada beberapa arti, ga pernah kamus
itu satu arti, pasti satu, dua, tiga, lalu contoh kalimatnya.
Wajar ya
berarti kata bajingan?
Ya bisa saja, misal bajingan rene! Kata
kalau dilepas dari konteks itu maknanya macam-macam. Misal rumah ini pakai cctv
sama dengan itu memberi tahu atau memperingatkan. Kalau mengancam bisa kena
delik mengancam. Jadi gak mudah itu memutuskan fakta atau tidak fakta itu
menyangkut makna. Sama halnya dengan kata mucikari misal diucapkan di kalangan
seniman, diucapkan di Jawa Timur atau di tempat lain itu bisa berbeda-beda.
Harapan Anda?
Segera selesai, sudah pasti siapa yang
salah siapa yang benar. kalau masih ragu yang benar ya naik banding.
Sumber: http://koranopini.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar