Minggu, 15 Februari 2015

WAWANCARA DENGAN FARUK TRIPOLI: Kita Kekurangan Ruang Diskusi Kebudayaan yang Mendalam

Faruk Tripoli
Prof Dr Faruk Tripoli, SU menyebutkan, dalam kesempatan yang terbatas berkenan wawancara dengan KoranOpini.com, Winda Efanur FS di UGM. Perbincangan ini  berkisar pada isu dan pandangannya tentang kemelut perdebatan terbitnya buku '33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh' yang melahirkan babak baru, yaitu dipolisikannya sastrawan Saut Situmorang dan Iwan Soekri oleh sastrawan lain Fatin Hamama.
Menurut Guru Besar Ilmu Budaya UGM ini, masalah perdebatan tentang buku itu sudah mulai padam sendiri dan sasaran petisi dianggap gagal, tetapi berhasil dalam menguak fakta-fakta lain yang tak terduga seperti pengakuan sastrawan Ahmadun Herfanda, Remy Sylado. Sementara, soal proses hukum yang menjerat Saut Situmorang dan Iwan Soekri, ia siap menjadi saksi ahli bila diminta. Berikut laporan lengkapnya.

Anda sejak awal adalah salah satu tokoh yang menolak buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Menurut Anda, apakah kasus yang meninmpa Iwan Sukri dan Saut Situmorang, memang sebuah perkara pengalihan yang disengaja, atau sebuah kasus dalam kasus itu sendiri?
Itu tafsir, kalau tafsir dihubungkan itu boleh saja. Harus ada bukti berhubungan. Sementara aku gak berani mengatakan itu berhubungan apa tidak. Tetapi tetap bahwa kasus itu tidak bisa dilepaskan dari konteks diskusi pada waktu itu. Jadi tuduhan pada  Saut telah mengucapkan hal yang dianggap melecehkan. Itu muncul di dalam konteks diskusi 33 tokoh, jadi harus dilihat dari konteksi itu.
Itu bukan menghubungkan Fatin dengan 33 tokoh, tetapi diskusi itu muncul dalam konteks itu. Kalau kita melihat urutan secara selintas. kalau pernyataan Iwan jelas muncul sesudah Ahmadun. Ketika Ahmadun misalnya marah-marah sama Fatin. Iwan anggap saja dalam tanda petik hanya merespon Ahmadun. Jadi, pernyataan Iwan tidak bisa dilepaskan dari pernyataan Ahmadun. pernyataan Ahmadun tidak bisa lepaskan dari 33. Dari 33 muncul lalu banyak yang buka rahasia tentang penulisan essay. Termasuk Ahmadun yang paling keras. Biarpun itu perkara tersendiri. Artinya perkara pelecehan bisa dilepaskan. tetapi konteksnya tetap dilihat dari konteks itu. Jadi misalnya kata-kata Iwan tidak bisa dilepaskan dari kata-kata Ahmadun. Jadi Ahmadun misalnya menyebut : saya sudah melacurkan diri. Jadi kalau mucikari artinya hubungannya dengan pernyataan Ahmadun.
Gak bisa kata mucikari dilepaskan dari konteks apa yang dikatakan oleh Ahmadun misalnya kayak gitu. Karena tidak ada urusan perlontean di dalam konteks diskusi itu, kan gak ada pelacur yang terlibat atau siapa yang terlibat tiba-tiba ada kata itu  kan gak ada hubungannya dengan kata-kata terendah.
Memang bisa dilihat terutama dianggap oleh Fatin sebagai kasus tersendiri, tetapi kasus tersendiri dari segi perkara polisinya. Tetapi dari segi konteks diskusinya tidak bisa dilepaskan . kan perkaranya bukan 33 tokoh, tapi perkara nama baik atau ucapan yang membuat rasa sakit hati. Tapi ucapannya muncul dimana dilihat dalam konteks apa. Karena maknanya akan berubah, akan berbeda maknanya. Kalau kita sudah lihat konteksnya.
Jika memang ini adalah upaya pengalihan, lalu apa yang akan Anda lakukan bersama teman-teman lain?
Nah, itu gak bisa ditentukan pengalihan atau tidak itu menyangkut motivasi orang. Kita gak tahu apakah dia bermaksud mengalihkan atau tidak, kita gak tahu. Yang jelas bila masalahnya beralih, diskusinya menjadi beralih. Tapi tindakan yang sengaja mengalihkan kita gak tahu.
Ada upaya gak?
Kita gak tahu, upaya apa. Yang jelas ada pengaduan soal ini. gara-gara pengaduan soal ini  lalu diskusinya berubah, jadi diskusi itu. bisa saja ini efek yang langsung atau gak langsung dari pengaduan itu. Tapi apa itu pengalihan itu menyangkut niat.
Dengan kondisi saat ini bisa dibaca sebagai upaya pengalihan?
Masalahnya itu sendiri itu sudah… masalah 33 tokoh itu sudah mulai padam. Padamnya bukan karena pengaduan karena hilang sendiri. Kalian ikuti diskusi 33 itu makin lama maikn sepi. Sebelum pengaduan itu sudah terjadi. Jadi 33 tokoh itu memang apa namanya hasil maksimalnya memang tidak tercapai, tapi terbuka beberapa hal kebenaran-kebenran yang sebelumnya tidak ada orang yang tahu. Misalnya pengakuan Ahmadun, pengunduran Remi Silado, sudah hasil cukup bagus.
Sebenarnya statement dalam petisi itu bukan penolakan tapi tuntutan diskusi. Tetapi apabila terbukti, baru penolakan bisa sampai pada pelarangan, itu kondisional.  Bila terbukti melanggar hukum akan dilanjutka prosesnya. Jadi tuntutan pertama diskusi dulu.
Diskusi di lembaga yang dianggap netral, diminta di Diknas untuk menentukan apakah ada kecurangan dalam proses dan hasil penulisan buku itu. Itu tidak dipenuhi, karena Diknas tidak merespons.
Tuntutan utamanya gak tercapai. Tuntutan utamanya diskusi, nanti bisa dibuat keputusan  menolak atau tidak menolak. Yang jelas memang ada indikasi tidak masuk akal. Tetapi harus dibuktikan lewat diskusi.
Indikasinya ini misalnya apa?
Indikasinya orang-orang melihat ada banyak pengarang yang tidak masuk yang dianggap penting. Na, Denny JA kok bisa masuk alasannya-alasannya apa, ini kan kecurigaan awal, tapi tidak langsung menuduh. Tapi mengajak diskusi. Itu saja sebenarnya. Masalah yang di petisi sederhana. Karena ada indikasi kayak gitu. Dan ternyata sebagian kecurigaan itu benar, dalam arti banyak yang melakukan pengakuan. Aku menerima sekian, akau menerima sekian. Dari itu muncul persolan Si Iwan sama si anu itu, dari pengakuan yang muncul yang menjadi dari efek 33 tokoh itu. Gitu aja. Itu sederhana.
Kalo  Bang Saut kan terang-terangan menyebut Denny JA, menurut Anda?
Aku gak tahu persis Saut, aku kan selalu melarang jangan berbicara di luar petisi. Di luar tuntutan petisi aku gak mau ikut bertanggung jawab, jadi aku terbatas apa yang dituntut oleh petisi. Kan dipetisi ada ttdnya sekitar 1000.
Saat ini Bang Saut dan Iwan dipolisikan, ini teman-teman cukup respect, lalu, upaya apa untuk melindungi mereka?
Jadi begini, ada prosedur yang tidak normal. Saya kan pernah membuat sakit hati orang, dia lapor ke FB minta dihapus. Nah prosedur itu dilewati. Kalau prosedur itu ada, seharusnya itu dulu dimanfaatkan. Seperti pernyataanku tentang media yang salah paham tadi malam itu. Jangan sampai berkepanjangan. Sebelum meluas, kita segera ditutup, kalau itu merugikan kita. Menutup dengan meminta FB menghapus. Ada aturan main juga di FB. Artinya apa bisa diduga dengan dari caranya melewati FB itu, ada yang  yang tidak fair. Kalau Ada teman yang korban tidak fair kita berusaha juga membantu
Aku misalnya membuat status, mana yang lebih menyakitkan dajjal atu mucikari, kenapa yang dituntut mucikari? Yang menganggapnya dajjal tidak dituntut. Padahal dajjal lebih jahat dari mucikari. Tu kan ada keganjilan yang membuat kita menduga ada kemungkinan ketidak adilan di sana.
Jadi kalau aku pribadi membela Iwan maupun itu, karena aku menduga ada yang tidak fair, kalau itu benar-benar pelanggaran dan proses pengaduan dianggap fair, seharusnya mereka memang berbuat jahat dengan sengaja dan sebagainya. aku juga tidak mau mendukung orang jahat.
Jadi ini dukungannya sebatas ikuti jalur hukumnya?
Artinya kalau aku diminta jadi saksi ahli aku bersedia, ditanya arti ini secara linguistik, aku ya bersedia membantu.
Deny JA, bisa jadi tidak akan menganggap ini adalah persoalannya. Sebenarnya apa sih tuntututan anda bersama teman-teman lain terhadap Denny JA?
Kalau gak bisa dibuktikan ya tidak usah dikatakan. Kalau Denny ja gak terbukti terlibat. Kalau itu urusan Fatin ya sudah.  Nanti kan pengadilan yang mengungkap atau kalau berusaha mencari keterlibatan Denny JA di sana, ya dicari bukti-buktinya. Kalau sebelum menemukan bukti, kita gak usah mengatakan itu.
Bang Saut bilang Denny JA curang.  Kalau Anda sendiri?
Curang dalam kasus apa, mungkin dia punya bukti. Kalau aku gak punya bukti, aku gak berani. Kalau aku gak berani membuat statement seperti itu. Jadi kayak tadi malam kalau Saut punya bukti kalau Arismunandar  ngawur itu misalnya ya sudah tuntut saja.
Jadi aku masalahnya petisi, itu pun sudah saya anggap macet tidak tercapai. Walaupun efeknya lumayan bahwa ada pengakuan semua orang jadi tahu, itu dibayar sekian itu kan efek dari petisi. Walaupun tujuannya tidak tecapai Itu sudah efek yang bagus. Seperti si Maman mengembalikan uang. Meskipun tujuannya tidak tercapai yaitu diskusi, akhirnya pulik jadi mengerti, ternyata penyair yang menulis itu di bayar.
Memang kira-kira dibayar berapa?
Kalau gak salah maman Mahayana mengembalikan 25 juta untuk 1 atau 2 artikel  untuk karya yang 33 itu. Kalau yang Ahmdun karya yang puisi essay apa gitu.
Jadi bisa dikatakan dalam hal ini biarkan hukum yang berjalan?
Sementara aku menanggap biarkan hukum berjalan, yang harus dilakukan teman-teman mengumpulkan bukti-bukti bahwa dia tidak bersalah. Tapi aku gak bisa mengatur orang. Iya mengingatkan sedikit.
Kok Bapak bisa terlibat, awalnya simpatik?
Memang membikin petisi, aku dikirimi, lalu tak ralat-ralat. aku mau terlibat tapi ini harus diganti, ini dibuang. Jangan sampai petisi itu menanggung resiko sebagai fitnah. Makanya tuntutan diskusi bukan menolak, juga bukan  melarang. Jadi melarang itu sebagai catatan bila terbukti ada pelanggaran hukum di dalamnya. Diikuti aja lagi dokumennya masih utuh.
Ini kasusnya sudah berbelok banyak dari polemic 33 tokoh jadi pelecehan, jadi peran bapak pada jalan hukum?
Aku hanya membantu sejauh aku bisa membantu.
Masalahnya apa sudah sedemikian runyam?
Ga runyam kelihatannya rame, sebenarnya persoalnnya simple. Yang aku heran gak segera diproses. Kenapa gak segera diproses saja, jadi berkepanjangan lalu menimbulkan masalah baru jadinya, lalu Iwan Pangka jadi kena, jadi tambah rumit.. Kenapa gak diproses saja biar jelas.
Kalau kata Mba Affiah, Fatin ke Komnas Perempuan karena dari polisi lambat ?
Nah, sebenarnya aku pengen ngerti kenapa Komnas Perempuan membuat keputusan berpihak, itu sesudah mereka melapor lalu setuju atau bagaimana kenapa Komnas Perempuan tidak menanyakan pada pihak yang tertuduh. Kenapa keputusannya tidak berimbang.
Kata Komnas Perempuan hanya menampung kasus itu, karena ada fakta, pelecehan secara verbal.
Ya udah kalau cara kerja seperti itu. Ya itu memang aturan main di sana. Masalah orang berpresepsi kurang baik itu juga karena faktanya seperti itu. Kalau digali secara akademik, apa yang disebut fakta. Faktanya adalah makna, ya kan. Kalau makna bagaimana, makna kan macam-macam. Untuk mengerti makna itu harus melihat konteks. Jadi gak simple aja, mengatakan ini fakta pelecehan, gak simple gitu, karena fakta itu bukan fakta itu makna. Melecehkan tidak melecehkan itu soal makna.
Makna itu setiap kata itu banyak. Untuk menentukan artian yang sebenarnya itu harus melihat konteksnya. Misalnya orang Jawa Timur bilang asu, ‘hei, Su, kesini!’ Apakah itu pelecehan? Kan harus lihat konteksnya. Kan ga bisa, ga sederhana.  Gak bisa gak sederhana. Di kamus saja ada beberapa arti, ga pernah kamus itu satu arti, pasti satu, dua, tiga, lalu contoh kalimatnya.
Wajar ya berarti kata bajingan?
Ya bisa saja, misal bajingan rene! Kata kalau dilepas dari konteks itu maknanya macam-macam. Misal rumah ini pakai cctv sama dengan itu memberi tahu atau memperingatkan. Kalau mengancam bisa kena delik mengancam. Jadi gak mudah itu memutuskan fakta atau tidak fakta itu menyangkut makna. Sama halnya dengan kata mucikari misal diucapkan di kalangan seniman, diucapkan di Jawa Timur atau di tempat lain itu bisa berbeda-beda.
Harapan Anda?

Segera selesai, sudah pasti siapa yang salah siapa yang benar. kalau masih ragu yang benar ya naik banding.

Sumber: http://koranopini.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...