Ajip Rosidi |
Permendikbud No 49 tentang pembatasan
masa kuliah s1maksimal 5 tahun, banyak orang melihat sebagai keputusan yang
baik dari sudut efisiensi anggaran. Namun pada sisi lain, banyak yang melihat
kebijakan ini merupakan sebuah desain untuk menciptakan kelas pekerja semata.
Pendapat terakhir ini punya alasan yang lebih visible dan masuk akal secara
etika.
Ajip Rosidi, misalnya, sastrawan dan
budayawan besar Indonesia yang masih dimiliki Indonesia saat ini, mengatakan
bahwa sistem pendidikan kita sudah salah sejak awal. Kesalahan itu berlangsung
langgeng tanpa ada koreksi yang mendasar. Ali Murtopo, misalnya, salah satu
murid Peter Beek yang mendirikan CSIS (Centre for Stratergic and International
Studies), mengibiri tradisi pendidikan pesantren di Indonesia dengan
penyeragaman sistem pendidikan yang akhirnya justru mereduksi daya hidup dan
kreativitas mereka. Semua lembaga pendidikan itu alat untuk mewariskan
kebudayaan. Namun kita melanjutkan sistem pendidikan yang hanya diarahkan
menjadi kelas pekerja, demikian Ajip Rosidi berpendapat.
Berikut adalah hasil perbincangan yang dikutip
dari koranopini.com, Ranang Aji SP dan
Suci Wulandari dengan salah satu tokoh pendiri Institut Kesenian Jakarta (IKJ)
Ajip Rosidi.
Menurut Anda,
sudah tepatkah, Permen No 49 tentang pembatasan kuliah s1 hanya 5 tahun?
Sejak awal sejak pemerintah republik
Indonesia didirikan kita itu sudah salah memilih sistem sekolah. Pada masa
sebelum perang di Indonesia itu ada dua macam sekolah. Satu, sekolah dengan
pengantar berbahasa Belanda untuk orang Belanda, kalau orang-orang pribumi yang
memenuhi syarat-syarat tertentu.
Yang kedua sekolah pribumi, ha.. di sekolah
berpengantar bahasa Belanda ini murid- murid di ajar tentang sumber kebudayaan Belanda
dan kebudayaan Belanda termasuk kebudayaan yang sejajar dengan Belanda seperti
Inggris, Perancis, Jerman. Dari sejak di HIS mereka sudah tahu tentang kekayaan
budaya yunani, latin.
Di AMS itu diajarkan bahasa latin. Bahasa
latin itu bahasa keilmuan yang digunakan pada saat masa-masa tertentu di Eropa.
Sehingga ketika tamat AMS, SMAnya, HBS anak-anak ini sudah matang sebagai ahli
waris budaya Barat walaupun tidak melanjutkan ke universitas. Orang-orang
seperti Natsir, Akhdiat Kartamiharja, Arminj Pane itu tidak masuk universitas
tapi mereka ini (Chairil malah…) dan yang lain-lain itu mereka malah sudah
menguasai kebudayaan Barat.
Nah, sedangkan sekolah pribumi ini
didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu untuk mencari tenaga
murah untuk melaksanaan teknis lah. Mengukur tanah, seperti itu. Yang diajarkan
hanya membaca, menulis, berhitung. Mereka tidak dihubungkan dengan kebudayaan
baik kebudayaan Barat maupun kebudayaannya sendiri. Orang Jawa tidak
dihubungkan dengan budaya Jawa, Sunda juga begitu, sehingga ya..orang Jawa yang
tidak bersekolah itu ya tidak tahu
kebudayaan Jawa.
Nah...waktu kita merdeka yang kita ambil
sekolah pribumi yang tidak menghubungkan anak didik dengan kebudayaan akibatnya
sekarang anak Jawa tidak bisa menghargai lagi wayang walaupun wayang diakui
oleh UNESCO sekarang sebagai budaya internasional, tapi diJawa sendiri mana ada
wayang sekarang? Dulu kan wayang itu hidup di seluruh masyarakat karena
masyarakat kalau mau mengawinkan mau menyunati anaknya menanggap wayang kan.
Saya sendiri misalnya belajar nonton
wayang belajar nonton tari topeng karena sering nonton pertunjukan di tetangga-tetangga.
Itu tempat untuk pembelajaran apresiasi terhadap pertunjukan-pertunjukan
kesenian tradisional kita. Nah sekarang, orang-orang ini tidak lagi menanggap
wayang, tidak lagi menanggap topeng tidak menganggap reog atau lain-lain, anak-anak tidak mendapat
kesempatan untuk bertemu dengan wayang di televisi, di radio yang ada justru
model-model musik Barat dan yang lain. Jadi mereka tidak diberi kesempatan
mengapresiasi kebudayaan tradisional kita.
Ya sekarang ya.. dikatakan tidak ada
gunanya yang tradisional itu pokoknya dah lampau kadang mereka sendiri
mengapresiasi.
Apakah ini
juga akibat kesalahan kita membuat kurikulum yang berubah-ubah?
Sistemnya sendiri salah. Sistemnya itu mendidik anak-anak untuk cari
kerja. Dulu kan anak-anak itu di sekolah pribumi itu setelah selesai diangkat
jadi juru tulis, diangkat jadi apa namanya paling tinggi kan sekolah pribumi
ini hanya sampai sekolah guru.
Jadi
termasuk pembatasan 5 tahun untuk kuliah ini, orientasinya pasti hanya ijazah,
kerja?
Orientasinya pasti kesana
Jadi hanya
mekanik ya..
Waktu Wardiman jadi menteri dia
mengatakan menyesuaikan kurikulum ini dengan kebutuhan kerja di lapangan. Jadi
seakan-akan belajar itu hanya untuk jadi budak orang perusahaan.
Bisa di bilang,
semua ini hanya untuk memenuhi kebutuhan kapitalisme?
Nah, memang..ke sana itunya. Jadi memang
sejak awal pendidikan kita sudah salah dan ternyata bukan hanya soal pendidikan
kita salah itu. Nah, yang melihat hal ini bukan saya. Kalau sudah ada berkali-
kali dibentuk apa namanya komisi pendidikan segala macam, tapi belum ada yang
melihat ini seperti yang saya lihat itu, nah yang siapa si.. profesor Danlef
(?) orang Amerika ya, melihat bahwa sistem hukum yang diambil oleh orang
Indonesia salah.
Pada masa sebelum perang ada 3 macam
hukum. Hukum untuk orang Belanda atau yang setingkat dengan Belanda, orang
Jepang misalnya setingkat dengan Belanda. Ada hukum untuk orang timur asing
(untuk China, India, dll ), yang ke tiga
untuk pribumi. Hukum pribumi ini hukum orang jajahan, bangsa yang dijajah.
Waktu kita merdeka, kita ambil ini
sebagai bangsa yang dijajah. Kita merdeka hukumnya bangsa dijajah, karena itu
masalah HAM baru muncul 15 tahun terakhir kan. Padahal HAM itu kalau kita
mengambil hukum Belanda bangsa yang merdeka yang menjajah orang itu HAM ada di situ.
Itu Danlef yang menunjukan. Jadi dua masalah pokok dalam kehidupan bangsa
Indonesia, masalah hukum, masalah pendidikan, salah ambil sistem. Ya akibatnya
seperti sekarang ini
Artinya
sistem itu tetap salah meskipun ..
Ya mau diubah-ubah kurikulumnya, diubah,
tapi sitemnya itu sendiri tetap.
Jadi kalau
misalnya membandingkan dengan lesson study yang apa istilah Jepangnya, apakah
bisa memberikan manfaat?
Yah, di mana-mana juga lembaga pendidikan
itu merupakan alat untuk mewariskan kebudayaan,
jadi sistem hukum Jepang sistem pendidikan di Jepang, China, di Perancis
di sana juga itu menurunkan mewariskan kebudayaan, sedangkan kita diputus
dengan kebudayaannya
Diarahkan
menjadi mekanik, ..
Sekarang banyak orang itu membicarakan
kepentingan kebudayaan, baru diomongkan belum dilaksanakan.
Orientasinya
masih hanya untuk kebutuhan turis?
Iya..masih tetap saja sistem yang lama.
Orang Amerika itu kan sampai pertengahan abad ke-19 atau awal akhir abad ke-19
itu mereka juga masih mempersoalkan sumber kebudayaan itu apa. Baru menjelang
akhir ke-19 mereka menetapkan sumber kebudayaan mereka Eropa-Yunani. Sebelumnya
juga agak kacau Amerika. Kalau kita sampai sekarang belum jelas apa sumber
kebudayaan bisa dikatakan ya dari kebudayaan tradisional yang bernilai kita
ambil yang jelek kita buang. Tapi pada prakteknya kan yang diambil kebanyakan
yang jelek kan, tradisi pesta-pesta, tradisi mengadakan slametan yang dibesar-besarkan
kan yang itu.
Ada
beberapa pendapat dari para akademisi, menanggapi tentang peraturan pemerintah
tentang pendidikan yang membatasi 5 tahun , justru baik katanya karena itu akan
mengurangi angka pembelanjaan orangtua terhadan anaknya.
Iya tapi setelah lulus 5 tahun itu
ngapain, kebanyakan kan cari kerja kalau gak dapet kerja kan nganggur. Lulus SD
nganggur, lulus SMP ngaggur, lulus SMA
nganggur, lulus dari universitas nganggur. Sekarang banyak sekali
sarjana yang nganggur kan karena
orientasi pendidikannya orientasi mencari kerja
Jadi
karyawan ya...
Jadi karyawan. Sekarang mulai si menteri
perempuan yang tadi disebut China tuh yang ikutan kreatif. Nah itu harusnya kan
diarahkan ke sana, pendidikan itu kan harusnya membina bakat yang diberikan Tuhan
pada setiap orang. Sekolah itu harusnya memberi kesempatan kepada setiap orang
ini mengembangkan bakat yang dipunyainya masing-masing.
Kita kan semua diharuskan disamakan, kan
memang pendidikan itu mengharuskan semua orang jadi sama. Kurikulumnya
disamakan. Kalau dulu pesantren
misalnya, pesantren itu kan lembaga pendidikan yang berkembang bersama
masyarakat kita, tidak pernah ada lulusan pesantren yang menganggur, walaupun
hidupnya hanya jadi tukang tikar misalnya, tapi dihadirkan di pengajian
misalnya. Nah, jaman Ali Murtopo, ini pesantren-pesantren ini mau dinegarakan,
sehingga kurikulumnya harus disamakan.
Kalau pesantren dulu itu tidak sama. Ada
pesantren yang tersohor dalam bidang ilmu falak karena kyainya ahli ilmu falak,
atau tersohor karena ahli hadist. Banyak pesantren itu mempunyai ciri-ciri
sendiri. Dan dulu orang itu belajar di pesantren itu bagaimana kesempatannya.
Dia sudah belajar selama setahun maka dia berpikir mau mempelajari ilmu yang
lain pergi ke pesantren yang lain. Nah sekarang tidak, disamakan dengan sekolah-sekolah.
Keluar dari pesantren dapat ijazah, cari kerja. Gitu jadi sekarang kan?
Jadi ada
reproduksi...
Iya...produksinya produksi pegawai. Nah
sekarang akibatnya kan misalnya karena, kalau dulu, misalnya dari Gontor
sekolah 6 tahun mau menyamakan sendiri supaya punya ijazah SMP-SMA karena
Gontor sendiri kan tidak mau mengeluarkan ijazah yang sama kan. Jadi ikut ujian
boleh mula-mula. Ikut ujian persamaan istilahnya. Ujian persamaan ini dibatasi,
sehingga hanya orang yang pernah duduk sekian tahun di sekolah itu yang bisa ikut ujian di situ.
Ya akhirnya kan pesantren-pesantren membentuik SMP, SMA masing-masing.
Jadi
idealnya seperti apa pendidikan kita ?
Pendidikan itu harus disesuaikan dengan
kebudayaan setempat. Jadi serahkan saja ke itu masing-masing. Pendidikan
misalnya tidak bisa disamakan supaya orang tahu semua tentang membuat tahu, kan
gak semua orang bikin tahu kan. Sekarang cenderungnya kesana kan. Sekarang ada
pelajaran hal-hal soal perikanan misalnya, padahal di pegunungan, harusnya kan
dilaut itu kan soal perikanan. Ya disesuaikan keadaan setempat. Dan orang setempat itu yang tahu betul apa
yang dibutuhkan, diperlukan.
Apa ini
ada kaitan dengan tradisi poitik sentralistik kita ?
Ya ini tradisisnya sudah diorak-orak
sendiri oleh pemerintah. Jadi tradisi juga sudah banyak yang hilang.
Misalnya?
Sudah 69 tahun ya tidak dipedulikan,
semakin hilang. Dulu itu Nusantara terkenal dengan orang-orangnya yang pandai
membuat kapal. Yang bisa dipakai itu. Mana-mana. Sekarang tradisi pembuatat
kapal ada dimana? Dulu kan di Sulawesi, di
Jawa juga kan, pembuatan-pembuatan kapal yang sampai ke Makkah, kemana. Banyak tradisi kita yang dulu dicari orang, dikagumi
oleh orang sekarang hilang karena kita sendiri tidak mengaggap penting.
Menurut Anda
sebenarnya kita memulai pendidikan itu
dengan basis pengetahuan atau kebudayaan?
Kebudayaan. Pendidikan itu alat lembaga
untuk mewariskan kebudayaan. Jadi basisnya kebudayaan. Ya.. baik kebudayaan
maupun pengetahuan tidak tetap tapi berkembang. Nah ini pengetahuan kita
bertambah karena ambil dari mana-mana namun kebudayaan kita dipencet terus.
Jadi tidak seimbang.
Sekarang kan seniman-seniman yang bisa
memainkan kebudayaan setempat kan makin kurang, karena apa, karena misalnya
mereka menjadi dalang kalau tidak ada yang menanggap kan buat apa jadi dalang.
Jadi minat untuk menjadi dalang, jadi penari topeng makin berkurang, karena
apresiasinya berkurang.
Kalau apresiasi masyarakat berkembang ini
tentu mereka juga berkembang. Sekarang apresiasi di Cirebon itu dulu rombongan
topeng itu ada kebiasaan, kalau musim paceklik kan tidak ada yang nanggap.
Penari-penari topeng dari Cirebon itu jalan sampai ke Bandung sampai ke Banten.
Jadi tari topeng di Sumedang, Garut, Betawi mulanya asalnya dari Cirebon.
Dalam kesempatan itu anak-anaknya yang
masih kecil itu ikut jalan. Begitu dalam kesempatan itu, anak-anak itu ikut
belajar menari belajar menghadapi publik kemudian dia menjadi pewaris dari
ayahnya atau ibunya. Pada tahun 1970 itu ada kepala di P&K Cirebon yang
menganggap bahwa kebiasaan berjalan ngamen itu merendahkan derajat bangsa jadi
dilarang. Sejak itu tidak ada lagi, akibatnya apa, tahun 90-an apalagi tahun
sekarang tidak adalagi penari Cirebon, sehingga yang dikirimkan ke Amerika itu
kan banyak penari yang sudah 70 tahun, karena penari yang muda tidak ada. Ini
dulu di lahirkannya melalui ngamen itu.
Karena
dianggap seperti pengamen biasa itu? Padahal sekarang pengamen banyak sekali.
Kalau dulu ada istilahnya itu apa ya,
pergi keliling sambil ngamen apa namanya ada istilahnya di Cirebon itu. Jadi
pejabat-pejabat kita itu yang tidak tahu sering memberikan keputusan-keputusan,
peraturan-peraturan yang tidak langsung membunuh tidak menghidupkan.
Itu salah
satu sebab matinya kesenian kita?
Iya, sekarang ini di Cirebon sendiri,
saya tempo hari bukan tempo hari beberapa tahun yang lalu menanggap wayang
Cirebon di Jatiwangi, banyak penontonnya makin malam penontonnya minta supaya
lagunya dipindahkan menjadi dangdut . Saya bilang gak boleh, pada pulang
mereka. Mereka bukan mau nonton tapi mau
dangdutan. Mau menari-nari gitu. Jadi di masyarakat asalnya sendiri kesenian
itu sudah tidak hidup.
Ini efek
dari pendidikan yang salah itu tadi?
Pendidikan yang salah, ya.. hanya bolak-balik
pada pemerintah kita itu sejak didirikan tidak pernah menaruh perhatian pada
kebudayaan.
Jadi kalau
konteksnya dengan pembatasan masa kuliah S1 5 tahun itu Anda tidak setuju ya?
Iya, karena tidak diuji. Ngaco aja ini
melanjutkan yang ngaco ya sudahlah. Pada dasarnya sudah ngaco, maka kebijakan
yang selanjutnya akan ngaco. Kan mereka sekarang bolak balik memperbaiki ini itu.
Mereka bolak-balik memperbaiki kebijakan yang salah. Saya tidak tahu bagaimana
memperbaiki pendidikan di Indonesia. Bagaimana mulainya. Kebudayaan daerah itu
sebenernya kan modal awal kita yang luar biasa. Nah sekarang orang sudah mulai sadar bahwa kebudayaan itu
modal penting.
Sumber: http://koranopini.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar