Minggu, 15 Februari 2015

WAWANCARA DENGAN AJIP ROSIDI: Desain Pendidikan Indonesia Hanya Menciptakan Kelas Pekerja

Ajip Rosidi
Permendikbud No 49 tentang pembatasan masa kuliah s1maksimal 5 tahun, banyak orang melihat sebagai keputusan yang baik dari sudut efisiensi anggaran. Namun pada sisi lain, banyak yang melihat kebijakan ini merupakan sebuah desain untuk menciptakan kelas pekerja semata. Pendapat terakhir ini punya alasan yang lebih visible dan masuk akal secara etika.

Ajip Rosidi, misalnya, sastrawan dan budayawan besar Indonesia yang masih dimiliki Indonesia saat ini, mengatakan bahwa sistem pendidikan kita sudah salah sejak awal. Kesalahan itu berlangsung langgeng tanpa ada koreksi yang mendasar. Ali Murtopo, misalnya, salah satu murid Peter Beek yang mendirikan CSIS (Centre for Stratergic and International Studies), mengibiri tradisi pendidikan pesantren di Indonesia dengan penyeragaman sistem pendidikan yang akhirnya justru mereduksi daya hidup dan kreativitas mereka. Semua lembaga pendidikan itu alat untuk mewariskan kebudayaan. Namun kita melanjutkan sistem pendidikan yang hanya diarahkan menjadi kelas pekerja, demikian Ajip Rosidi berpendapat.
Berikut adalah hasil perbincangan yang dikutip dari  koranopini.com, Ranang Aji SP dan Suci Wulandari dengan salah satu tokoh pendiri Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Ajip Rosidi.
Menurut Anda, sudah tepatkah, Permen No 49 tentang pembatasan kuliah s1 hanya 5 tahun?
Sejak awal sejak pemerintah republik Indonesia didirikan kita itu sudah salah memilih sistem sekolah. Pada masa sebelum perang di Indonesia itu ada dua macam sekolah. Satu, sekolah dengan pengantar berbahasa Belanda untuk orang Belanda, kalau orang-orang pribumi yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Yang kedua sekolah pribumi, ha.. di sekolah berpengantar bahasa Belanda ini murid- murid di ajar tentang sumber kebudayaan Belanda dan kebudayaan Belanda termasuk kebudayaan yang sejajar dengan Belanda seperti Inggris, Perancis, Jerman. Dari sejak di HIS mereka sudah tahu tentang kekayaan budaya yunani, latin.
Di AMS itu diajarkan bahasa latin. Bahasa latin itu bahasa keilmuan yang digunakan pada saat masa-masa tertentu di Eropa. Sehingga ketika tamat AMS, SMAnya, HBS anak-anak ini sudah matang sebagai ahli waris budaya Barat walaupun tidak melanjutkan ke universitas. Orang-orang seperti Natsir, Akhdiat Kartamiharja, Arminj Pane itu tidak masuk universitas tapi mereka ini (Chairil malah…) dan yang lain-lain itu mereka malah sudah menguasai kebudayaan Barat.
Nah, sedangkan sekolah pribumi ini didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu untuk mencari tenaga murah untuk melaksanaan teknis lah. Mengukur tanah, seperti itu. Yang diajarkan hanya membaca, menulis, berhitung. Mereka tidak dihubungkan dengan kebudayaan baik kebudayaan Barat maupun kebudayaannya sendiri. Orang Jawa tidak dihubungkan dengan budaya Jawa, Sunda juga begitu, sehingga ya..orang Jawa yang tidak bersekolah itu ya tidak tahu  kebudayaan Jawa.
Nah...waktu kita merdeka yang kita ambil sekolah pribumi yang tidak menghubungkan anak didik dengan kebudayaan akibatnya sekarang anak Jawa tidak bisa menghargai lagi wayang walaupun wayang diakui oleh UNESCO sekarang sebagai budaya internasional, tapi diJawa sendiri mana ada wayang sekarang? Dulu kan wayang itu hidup di seluruh masyarakat karena masyarakat kalau mau mengawinkan mau menyunati anaknya menanggap wayang kan.
Saya sendiri misalnya belajar nonton wayang belajar nonton tari topeng karena sering nonton pertunjukan di tetangga-tetangga. Itu tempat untuk pembelajaran apresiasi terhadap pertunjukan-pertunjukan kesenian tradisional kita. Nah sekarang, orang-orang ini tidak lagi menanggap wayang, tidak lagi menanggap topeng tidak menganggap reog atau  lain-lain, anak-anak tidak mendapat kesempatan untuk bertemu dengan wayang di televisi, di radio yang ada justru model-model musik Barat dan yang lain. Jadi mereka tidak diberi kesempatan mengapresiasi kebudayaan tradisional kita.
Ya sekarang ya.. dikatakan tidak ada gunanya yang tradisional itu pokoknya dah lampau kadang mereka sendiri mengapresiasi.
Apakah ini juga akibat kesalahan kita membuat kurikulum yang berubah-ubah?
Sistemnya sendiri salah.  Sistemnya itu mendidik anak-anak untuk cari kerja. Dulu kan anak-anak itu di sekolah pribumi itu setelah selesai diangkat jadi juru tulis, diangkat jadi apa namanya paling tinggi kan sekolah pribumi ini hanya sampai sekolah guru.
Jadi termasuk pembatasan 5 tahun untuk kuliah ini, orientasinya pasti hanya ijazah, kerja?
Orientasinya pasti kesana
Jadi hanya mekanik ya..
Waktu Wardiman jadi menteri dia mengatakan menyesuaikan kurikulum ini dengan kebutuhan kerja di lapangan. Jadi seakan-akan belajar itu hanya untuk jadi budak orang perusahaan.
Bisa di bilang, semua ini hanya untuk memenuhi kebutuhan kapitalisme?
Nah, memang..ke sana itunya. Jadi memang sejak awal pendidikan kita sudah salah dan ternyata bukan hanya soal pendidikan kita salah itu. Nah, yang melihat hal ini bukan saya. Kalau sudah ada berkali- kali dibentuk apa namanya komisi pendidikan segala macam, tapi belum ada yang melihat ini seperti yang saya lihat itu, nah yang siapa si.. profesor Danlef (?) orang Amerika ya, melihat bahwa sistem hukum yang diambil oleh orang Indonesia salah.
Pada masa sebelum perang ada 3 macam hukum. Hukum untuk orang Belanda atau yang setingkat dengan Belanda, orang Jepang misalnya setingkat dengan Belanda. Ada hukum untuk orang timur asing (untuk China, India, dll ),  yang ke tiga untuk pribumi. Hukum pribumi ini hukum orang jajahan, bangsa  yang dijajah.
Waktu kita merdeka, kita ambil ini sebagai bangsa yang dijajah. Kita merdeka hukumnya bangsa dijajah, karena itu masalah HAM baru muncul 15 tahun terakhir kan. Padahal HAM itu kalau kita mengambil hukum Belanda bangsa yang merdeka yang menjajah orang itu HAM ada di situ. Itu Danlef yang menunjukan. Jadi dua masalah pokok dalam kehidupan bangsa Indonesia, masalah hukum, masalah pendidikan, salah ambil sistem. Ya akibatnya seperti sekarang ini
Artinya sistem itu tetap salah meskipun ..
Ya mau diubah-ubah kurikulumnya, diubah, tapi sitemnya itu sendiri tetap.
Jadi kalau misalnya membandingkan dengan lesson study yang apa istilah Jepangnya, apakah bisa memberikan manfaat?
Yah, di mana-mana juga lembaga pendidikan itu merupakan alat untuk mewariskan kebudayaan,  jadi sistem hukum Jepang sistem pendidikan di Jepang, China, di Perancis di sana juga itu menurunkan mewariskan kebudayaan, sedangkan kita diputus dengan kebudayaannya
Diarahkan menjadi mekanik, ..
Sekarang banyak orang itu membicarakan kepentingan kebudayaan, baru diomongkan belum dilaksanakan.
Orientasinya masih hanya untuk kebutuhan turis?
Iya..masih tetap saja sistem yang lama. Orang Amerika itu kan sampai pertengahan abad ke-19 atau awal akhir abad ke-19 itu mereka juga masih mempersoalkan sumber kebudayaan itu apa. Baru menjelang akhir ke-19 mereka menetapkan sumber kebudayaan mereka Eropa-Yunani. Sebelumnya juga agak kacau Amerika. Kalau kita sampai sekarang belum jelas apa sumber kebudayaan bisa dikatakan ya dari kebudayaan tradisional yang bernilai kita ambil yang jelek kita buang. Tapi pada prakteknya kan yang diambil kebanyakan yang jelek kan, tradisi pesta-pesta, tradisi mengadakan slametan yang dibesar-besarkan kan yang itu.
Ada beberapa pendapat dari para akademisi, menanggapi tentang peraturan pemerintah tentang pendidikan yang membatasi 5 tahun , justru baik katanya karena itu akan mengurangi angka pembelanjaan orangtua terhadan anaknya.
Iya tapi setelah lulus 5 tahun itu ngapain, kebanyakan kan cari kerja kalau gak dapet kerja kan nganggur. Lulus SD nganggur, lulus SMP ngaggur, lulus SMA  nganggur, lulus dari universitas nganggur. Sekarang banyak sekali sarjana yang nganggur kan  karena orientasi pendidikannya orientasi mencari kerja
Jadi karyawan ya...
Jadi karyawan. Sekarang mulai si menteri perempuan yang tadi disebut China tuh yang ikutan kreatif. Nah itu harusnya kan diarahkan ke sana, pendidikan itu kan harusnya membina bakat yang diberikan Tuhan pada setiap orang. Sekolah itu harusnya memberi kesempatan kepada setiap orang ini mengembangkan bakat yang dipunyainya masing-masing.
Kita kan semua diharuskan disamakan, kan memang pendidikan itu mengharuskan semua orang jadi sama. Kurikulumnya disamakan. Kalau dulu  pesantren misalnya, pesantren itu kan lembaga pendidikan yang berkembang bersama masyarakat kita, tidak pernah ada lulusan pesantren yang menganggur, walaupun hidupnya hanya jadi tukang tikar misalnya, tapi dihadirkan di pengajian misalnya. Nah, jaman Ali Murtopo, ini pesantren-pesantren ini mau dinegarakan, sehingga kurikulumnya harus disamakan.
Kalau pesantren dulu itu tidak sama. Ada pesantren yang tersohor dalam bidang ilmu falak karena kyainya ahli ilmu falak, atau tersohor karena ahli hadist. Banyak pesantren itu mempunyai ciri-ciri sendiri. Dan dulu orang itu belajar di pesantren itu bagaimana kesempatannya. Dia sudah belajar selama setahun maka dia berpikir mau mempelajari ilmu yang lain pergi ke pesantren yang lain. Nah sekarang tidak, disamakan dengan sekolah-sekolah. Keluar dari pesantren dapat ijazah, cari kerja. Gitu jadi sekarang kan?
Jadi ada reproduksi...
Iya...produksinya produksi pegawai. Nah sekarang akibatnya kan misalnya karena, kalau dulu, misalnya dari Gontor sekolah 6 tahun mau menyamakan sendiri supaya punya ijazah SMP-SMA karena Gontor sendiri kan tidak mau mengeluarkan ijazah yang sama kan. Jadi ikut ujian boleh mula-mula. Ikut ujian persamaan istilahnya. Ujian persamaan ini dibatasi, sehingga hanya orang yang pernah duduk sekian tahun  di sekolah itu yang bisa ikut ujian di situ. Ya akhirnya kan pesantren-pesantren membentuik SMP, SMA masing-masing.
Jadi idealnya seperti apa pendidikan kita ?
Pendidikan itu harus disesuaikan dengan kebudayaan setempat. Jadi serahkan saja ke itu masing-masing. Pendidikan misalnya tidak bisa disamakan supaya orang tahu semua tentang membuat tahu, kan gak semua orang bikin tahu kan. Sekarang cenderungnya kesana kan. Sekarang ada pelajaran hal-hal soal perikanan misalnya, padahal di pegunungan, harusnya kan dilaut itu kan soal perikanan. Ya disesuaikan keadaan setempat.  Dan orang setempat itu yang tahu betul apa yang dibutuhkan, diperlukan.
Apa ini ada kaitan dengan tradisi poitik sentralistik kita ?
Ya ini tradisisnya sudah diorak-orak sendiri oleh pemerintah. Jadi tradisi juga sudah banyak yang hilang.
Misalnya?
Sudah 69 tahun ya tidak dipedulikan, semakin hilang. Dulu itu Nusantara terkenal dengan orang-orangnya yang pandai membuat kapal. Yang bisa dipakai itu. Mana-mana. Sekarang tradisi pembuatat kapal ada dimana?  Dulu kan di Sulawesi, di Jawa juga kan, pembuatan-pembuatan kapal yang sampai  ke Makkah, kemana. Banyak  tradisi kita yang dulu dicari orang, dikagumi oleh orang sekarang hilang karena kita sendiri tidak mengaggap penting.
Menurut Anda sebenarnya  kita memulai pendidikan itu dengan basis pengetahuan atau kebudayaan?
Kebudayaan. Pendidikan itu alat lembaga untuk mewariskan kebudayaan. Jadi basisnya kebudayaan. Ya.. baik kebudayaan maupun pengetahuan tidak tetap tapi berkembang. Nah ini pengetahuan kita bertambah karena ambil dari mana-mana namun kebudayaan kita dipencet terus. Jadi tidak seimbang.
Sekarang kan seniman-seniman yang bisa memainkan kebudayaan setempat kan makin kurang, karena apa, karena misalnya mereka menjadi dalang kalau tidak ada yang menanggap kan buat apa jadi dalang. Jadi minat untuk menjadi dalang, jadi penari topeng makin berkurang, karena apresiasinya berkurang.
Kalau apresiasi masyarakat berkembang ini tentu mereka juga berkembang. Sekarang apresiasi di Cirebon itu dulu rombongan topeng itu ada kebiasaan, kalau musim paceklik kan tidak ada yang nanggap. Penari-penari topeng dari Cirebon itu jalan sampai ke Bandung sampai ke Banten. Jadi tari topeng di Sumedang, Garut, Betawi mulanya asalnya dari Cirebon.
Dalam kesempatan itu anak-anaknya yang masih kecil itu ikut jalan. Begitu dalam kesempatan itu, anak-anak itu ikut belajar menari belajar menghadapi publik kemudian dia menjadi pewaris dari ayahnya atau ibunya. Pada tahun 1970 itu ada kepala di P&K Cirebon yang menganggap bahwa kebiasaan berjalan ngamen itu merendahkan derajat bangsa jadi dilarang. Sejak itu tidak ada lagi, akibatnya apa, tahun 90-an apalagi tahun sekarang tidak adalagi penari Cirebon, sehingga yang dikirimkan ke Amerika itu kan banyak penari yang sudah 70 tahun, karena penari yang muda tidak ada. Ini dulu di lahirkannya melalui ngamen itu.
Karena dianggap seperti pengamen biasa itu? Padahal sekarang pengamen banyak sekali.
Kalau dulu ada istilahnya itu apa ya, pergi keliling sambil ngamen apa namanya ada istilahnya di Cirebon itu. Jadi pejabat-pejabat kita itu yang tidak tahu sering memberikan keputusan-keputusan, peraturan-peraturan yang tidak langsung membunuh tidak menghidupkan.
Itu salah satu sebab matinya kesenian kita?
Iya, sekarang ini di Cirebon sendiri, saya tempo hari bukan tempo hari beberapa tahun yang lalu menanggap wayang Cirebon di Jatiwangi, banyak penontonnya makin malam penontonnya minta supaya lagunya dipindahkan menjadi dangdut . Saya bilang gak boleh, pada pulang mereka.  Mereka bukan mau nonton tapi mau dangdutan. Mau menari-nari gitu. Jadi di masyarakat asalnya sendiri kesenian itu sudah tidak hidup.
Ini efek dari pendidikan yang salah itu tadi?
Pendidikan yang salah, ya.. hanya bolak-balik pada pemerintah kita itu sejak didirikan tidak pernah menaruh perhatian pada kebudayaan.
Jadi kalau konteksnya dengan pembatasan masa kuliah S1 5 tahun itu Anda tidak setuju ya?

Iya, karena tidak diuji. Ngaco aja ini melanjutkan yang ngaco ya sudahlah. Pada dasarnya sudah ngaco, maka kebijakan yang selanjutnya akan ngaco. Kan mereka sekarang bolak balik memperbaiki ini itu. Mereka bolak-balik memperbaiki kebijakan yang salah. Saya tidak tahu bagaimana memperbaiki pendidikan di Indonesia. Bagaimana mulainya. Kebudayaan daerah itu sebenernya kan modal awal kita yang luar biasa. Nah sekarang  orang sudah mulai sadar bahwa kebudayaan itu modal penting. 

Sumber: http://koranopini.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...