OLEH Yusriwal
Tandikek merupakan kenagarian yang terletak di ujung utara Kabupaten Padang
Pariaman atau lebih tepatnya di Kecamatan Patamuan. Selain kenagarian Tandikek,
di Kecamatan Patamuan terdapat kenagarian lain, yaitu Kenagarian Sungai Durian
yang terletak sebelah selatan Tandikek. Secara geografis, Tandikek sebelah
utara berbatas dengan Kabupaten Agam dan Gunung Tandikek, sebelah barat
berbatas dengan Kecamatan V Koto, sebelah selatan berbatas dengan Kenagairan
Sungai Durian dan Kecamaatan Padang Sago, dan sebelah timur berbatas dengan
Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung dan Bukit Barisan.
Sistem
perekonomian dan mata pencaharian masyarakat Tandikek ditentukan oleh keadaan
alam yang melingkupinya. Sektor pertanian dan perkebunan mendominasi terutama
padi sawah. Hal itu dapat dilihat pada luasnya areal tanaman padi dibanding
dengan areal tanaman lainnya. Namun, sektor perkebunan tidak kalah penting.
Hasil perkebunan terutama durian, manggis, kulit manis (kasivera), dan kelapa.
Perkebunan terutama ditemukan di perbukitan, lereng Gunung Tandikek, dan kaki
Gunung Singgalang. Perkebunan kelapa lebih banyak terdapat di daerah yang lebih
rendah.
Sebagai
daerah yang terletak di perbatasan, Tandikek memiliki kebudayaan yang spesifik.
Pengaruh darek (daerah asal
Minangkabau, yaitu Tanah Data, Agam, dan Limo Puluah Koto) sangat terasa bila
dibanding dengan daerah rantau
lainnya. Dalam pembagian daerah di Minangkabau, Tandikek termasuk ke dalam
wilayah rantau. Oleh sebab itu,
Tandikek biasa disebut dengan daerah ikue
darek kapalo rantau (ekor darek kepala rantau) yang artinya serba di ujung, tidak sepenuh menjalankan adat
darek atau rantau. Tandikek adalah kombinasi dari keduanya. Keberagaman
kesenian itu dapat dilihat pada keseniannya. Kesenian yang hidup di Tandikek
seperti ulu ambek, dikia, dan indang merupakan kesenian khas daerah rantau, sedangkan salawat
dulang dan randai (di Tandikek
kesenian ini dikenal dengan simarantang)
merupakan kesenian yang berasal dari daerah darek.
Kesenian-kesenian
tersebut ada yang khusus dipertunjukkan di arena (galanggang) seperti ulu ambek, simarantang, dan indang
yang biasanya ditampilkan pada acara alek
nagari (pesta anak nagari) dan pengangkatan penghulu (datuk). Kesenian dikia
hanya ditampilkan pada acara keagaman di masjid atau di surau. Sementara
kesenian salawat dulang bisa
ditampilkan di arena terbuka dan bisa juga di masjid atau surau.
Pelaksanaan
pementasan kesenian yang berkaitan dengan acara keagamaan dimulai dengan
prosesi ibu-ibu (berumur antara 25-40 tahun) yang membawa jamba (hidangan) yang diletakkan di sebuah nampan ditutup tudung
saji. Perempuan-perempuan tersebut memakai baju kurung dan setelah mengantarkan
jamba, mereka kembali pulang
menyiapkan diri untuk dapat menonton penampilan tersebut pada malam harinya.
Kesenian
salawat dulang merupakan kesenian
yang memperlihatkan ketangguhan dua grup salawat, seperti yang dipertunjukkan
pada malam 17 Februari 2003 di Dusun Lubuak Aro, Pasa Tandikek, Kecamatan
Patamuan, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Kedua
grup yang tampil pada malam itu adalah Arjuna Minang dari daerah Padang Panjang
dan Galodo Topan dari daerah Balah Aie, Padang Pariaman. Kedua grup ini cukup
terkenal di kalangan pecandu salawat
dulang di Sumatera Barat. Grup Arjuna Minang misalnya, sudah masuk dapur
rekaman dan VCD-nya pun telah beredar di Sumatera Barat.
Beberapa
hari sebelum pertunjukan, masyarakat sekitar telah membahas ketangguhan dari
kedua grup. Mereka telah membuat prediksi bahwa kedua grup akan bertanding
mati-matian dalam mempertahankan nama baik grup. Di satu sisi, grup Arjuna
Minang memiliki penyanyi dengan suara bagus dan Galodo Topan memiliki
kekompakan yang nyaris sempurna. Memang, untuk menjatuhkan pilihan pada kedua
grup ini, panitia pelaksana harus menguras energi dengan mempertimbangkan
kelebihan dan kekurangan kedua grup tersebut. Bagi mereka, pertandingan yang
alot merupakan tontonan yang sangat diharapkan dan ini merupakan sebuah
tuntutan. Seandainya pertandingan tidak seimbang, maka penonton tidak akan
antusias menontonnya.
Sebelum
penampil naik ke panggung, janang
(protokol acara) mengatur duduk kedua grup berdasarkan kesepakatan yang telah
dibuat sebelumnya. Setelah kedua grup naik pentas dan menduduki tempat yang
ditentukan, salah seorang pemuka masyarakat naik ke pentas untuk bermusyawarah
dengan kedua grup yang intinya adalah penyerahan waktu pertunjukan. Setelah itu,
salawat dulang dimulai. Penampilan
pertama diberikan kepada grup Galodo Topan karena dianggap sebagai grup tuan
rumah. Kira-kira satu jam penampilan grup Galodo Topan berhenti digantikan oleh
grup Arjuna Minang. Setelah Arjuna Minang tampil lagi grup Galodo Topan. Mereka
akan tampil giliran seperti itu sampai kira-kira pukul 01.00. Istirahat dan
makan pada jam tersebut, kemudian acara berlanjut sampai kira-kira pukul 04
pagi.
Tepatnya
penampilan dimulai pada pukul 21.00. Penampilan awal tersebut biasanya
diramaikan oleh penonton remaja. Mereka akan bertahan sampai kira-kira pukul 24.00.
Lewat jam tersebut penonton hadir adalah penonton yang sudah agak berusia dan
pemuka masyarakat atau penonton muda yang benar-benar berminat pada salawat dulang.
Genre
yang Besar
Dalam
kazanah sastra lisan Minangkabau, salawat
dulang merupakan genre yang ‘besar’. Genre ini ditemukan di setiap daerah
di Minangkabau.
Salawat dulang atau disebut juga basalawat adalah mendendangkan teks yang
bertema ajaran Islam. Teks didendangkan dengan iringan tabuhan dulang (nampan kuningan berbentuk bundar
dengan diameter sekitar 65 cm). Karena itu pula pertunjukan ini disebut salawat dulang.
Pertunjukan salawat dulang harus
dilakukan oleh dua klub atau lebih. Berlangsung dari pukul 21.00 dan berakhir
sekitar pukul 04.00 atau sebelum salat Subuh. Pada beberapa pentunjukan sering
pula dilanjutkan paginya sampai petang. Satu klub terdiri atas dua orang, namun
di daerah Payakumbuh satu klub terdiri atas tiga orang. Tiap klub mempunyai
nama, seperti Jet Mustang, Peluru Kendali, Apollo 11, Pancar Gas, Gas Beracun.
Nama-nama itu mengisyaratkan nuansa kegesitan, dahsyat, dan agresif.
Satu kali penampilan oleh satu klub menyampaikan satu teks. Satu teks
penampilan terdiri atas katubah
(khotbah, pembukaan), batang (isi),
dan panutuik (penutup). Dalam suatu
pertunjukan satu klub tampil lebih dari satu kali. Pada penampilan pertama dari
satu klub, kutubah akan berisi
perkenalan dan pujian-pujian terhadap Nabi Muhammad, batang akan berisi ajaran Islam, dan panutuik akan berisi persilahan kepada klub berikutnya. Pada
penampilan selanjutnya terdapat sedikit perubahan: kutubah akan berisi pujian, sindir menyindir, atau cemooh untuk
klub lain: batang akan berisi jawaban
pertanyaan dari klub sebelumnya dan melontarkan pertanyaan baru, panutuik akan berisi permintaan menjawab
pertanyaan dan pantun filosofis atau pantun jenaka.
Salawat dulang dipertunjukan untuk
memperingati hari besar Islam seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, atau peresmian
masjid atau surau, dan menaiki rumah (upacara menempati rumah baru), namun
tidak pula tertutup kemungkinannya salawat
dulang ditampilkan untuk maksud pengumpulan dana (misalnya pengumpulan dana
untuk pembangunan masjid dan sarana sosial lainnya). Dalam pertunjukan dengan
maksud pengumpulan dana, di antara penampilan satu klub diselingi dengan lelang
kue atau ayam bakar.
Tempat pertunjukan salawat dulang
biasanya di surau atau masjid untuk memperingati hari besar Islam. Namun, untuk
maksud lain bisa dipertunjukan di rumah atau dibuatkan pentas di lapangan
terbuka. Jika di surau atau masjid klub salawat
dulang ditempatkan di tempat yang dianggap terhormat, misalnya, di depan di
dekat mirab dan jika di rumah biasanya di ujung rumah sebelah kiri pintu masuk
karena tempat itu merupakan tempat terhormat menurut adat Minangkabau. Tukang
salawat akan duduk di tempat yang telah ditentukan dengan rileks di atas tilam
(kasur).
Berawal dari Jamuan
Makan
Salawat dulang diperkenalkan
pertama kali oleh Syeh Burhanuddin Ulakan, salah seorang pekembang Islam di
Minangkabau. Sekembalinya belajar dari Aceh, Syeh Burhanuddin menetap di
Pariaman. Dalam sebuah jamuan makan, Syeh Burhanuddin masih melihat
makanan-makanan yang tidak dibolehkan oleh Islam, namun dia bingung untuk
menyampaikan bahwa makanan tersebut tidak dibolehkan. Ingat pengalaman di Aceh
ada kesenian yang disebut Tim Rebana yang digunakan untuk menyampaikan dakwah karena
waktu itu tidak ada rebana, maka Syeh Burhanuddin mengambil dulang—nampan yang digunakan untuk
menghidangkan makanan, menabuhnya sambil menyampaikan ajaran-ajaran Islam.
Pendendangan seperti itu kemudian populer dengan sebutan salawat dulang.
Dari Pariaman, salawat dulang
dibawa oleh Tuan Khatib Marajo ke Malalo. Semasa hidup Tuan Khatib Marajo,
daerah Malalo menjadi pusat tempat belajar salawat
dulang. Dari Malalo inilah salawat
dulang menyebar ke seluruh daerah di Minangkabau. Dan pada masa ini pulalah
salawat dulang menjadi seni
pertunjukan. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar