OLEH Kamardi
Rais Dt P Simulie
Adam Malik menanyakan Rivai Marlaut kepada penulis |
Seorang wartawan tua telah pergi. Pergi untuk
selamanya. Dia adalah Bapak Rivai Marlaut, mantan Pemimpin Redaksi Harian Haluan
Padang.
Keluarga besar pers Sumatera Barat khususnya, dan Indonesia
umumnya, berkabung. Berdukacita atas kepergiannya. Pergi untuk tidak kembali
lagi. Seperti diibaratkan oleh mamang orang-orang tua kita. Bagi Pak Rivai, “Cupak
sudah penuh, gantang sudah melimpah.”
Siapa Rivai sebenarnya?
Ia dilahirkan di Koto Baru, Solok, pada tahun 1912. Ia
sempat mengenyam pendidikan HIS, kemudian ke sekolah Ambacht (Sekolah
Teknik) dan berlanjut ke MULO.
Pada suatu kali Pak Rivai bercerita kepada penulis, bahwa
orangtuanya bercita-cita agar Rivai menjadi seorang insinyur, ahli teknik.
Karena itu ia dimasukkan ke sekolah Ambacht bagian besi, tetapi sejak
usia mudanya Rivai sudah tertarik dengan dunia jurnalistik.
Dalam usia 16 sampai 20-an Rivai berlangganan dengan Pewarta
Deli Medan yang dipimpin oleh Adinegoro dan surat kabar Sinar Soematera Padang
yang dipimpin oleh Burhanuddin Ananda.
Karena minatnya yang besar untuk jadi wartawan, maka putra
Solok itu meninggalkan kampung halamannya dan segera menyeberang ke Jawa. Dalam
usia 23 tahun ia sudah jadi wartawan surat kabar Pemandangan di Betawi.
Kala itu Harian Pemandangan dipimpin oleh Saeroen.
Saeroen minta Rivai supaya mencoba menulis berita luar
negeri. Pada mulanya ia merasa kalang-kabut juga. Terasa susah dari mana
dimulai, apa inti masalahnya, dan yang paling rumit lagi bagaimana
menyelesaikannya. Artinya, menyudahinya atau membuat karangan itu supaya
pendek. Namun karena tekunnya ia belajar dari kupasan dan analisis yang dibuat
oleh Djamaloeddin Adinegoro di Pewarta Deli, akhirnya Rivai Marlaut
berhasil juga.
Saeroen jadi yakin kepadanya, sehingga ia ditempatkan pada
“Desk Luar Negeri”. Pada suatu kali Mr. Soemanang yang kemudian dikenal sebagai
Ketua PWI pertama, dalam suasana Perang Pasifik itu menepuk bahunya.
“Eh, Rivai! Kau dapat dari mana referensi menulis analisis
luar negerimu?” tanya Soemanang.
“Dari sini saja,” jawab Rivai sembari memperlihatkan sebuah
buku tulis bergaris, isinya 18 lembar yang digabungkan Rivai dari tiga buah
buku tulis sehingga menjadi buku harian tebal. Isinya tidak lain dari
peristiwa-peristiwa dunia yang dicatat Rivai setiap hari.
Setelah Rivai benar-benar jadi wartawan, ia tidak bergaul
sama wartawan saja. Pergaulannya semakin luas. Terutama dengan kaum politisi.
Ia berkenalan dengan Bung Sjahrir yang terkenal sebagai The Atomic Prime
Minister atau Perdana Menteri Atom. Ia terkenal dengan Moh. Natsir, dengan
Ali Sastroamidjojo, dengan Assaat, bahkan dengan Bung Karno, Bung Hatta, dan
tokoh legendaris Tan Malaka.
Rivai Marlaut sebenarnya ikut mendirikan Kementerian
Penerangan (Deppen RI). Karena itu atas kepergian Rivai Marlaut sebenarnya
pihak Deppen se-Indonesia turut berduka cita, bahwa salah seorang investaris
pendiri Deppen yang masih tersisa, kini sudah tutup usia dengan umur yang telah
lanjut 82 tahun.
Pada waktu Wapres RI Adam Malik berkunjung ke Sumatera Barat
tahun 1982, ada suatu peristiwa yang cukup mengharukan saya. Di bawah
pengawalan yang ketat oleh aparat keamanan, Wapres Adam Malik serta merta
“balik kanan gerak”, hanya dua tiga langkah dari tangga pesawat yang akan
membawanya kembali ke Jakarta.
What happened? Apa yang terjadi?
Adam Malik berbisik dengan Gubernur Azwar Anas. Dalam posisi
membelakang pada pesawat yang akan mengangkutnya, Bung Adam menunjuk ke arah
barisan para penjabat yang mengantarnya di Bandara Tabing.
“Tolong Pak Anas! Ketua PWI Padang tadi, mana?”
Sudah jelas sasarannya adalah saya sendiri yang waktu itu
jadi Ketua PWI Cabang Sumatera Barat. Saya keluar dari barisan para pengantar
yang terdiri dari para Kakanwil/Kepala Dinas dan ketua organisasi setelah
dijemput Pak Azwar Anas dan Pak Karseno.
Saya kini menuju Bung Adam yang sedang menunggu dekat tangga
pesawat.
Apa katanya?
“Eh, Ketua! Saya lupa. Mana itu Rivai Marlaut? Sombong kali
dia. Saya dengar dia Pimpinan Redaksi Harian Haluan, ya?”
Sambil menjabat tangan Wapres itu sekali lagi, lalu saya jawab,
“Sebenarnya kemarin Pak Rivai Marlaut bersama saya ikut menyambut Bung di sini.
Dia ada berjabat tangan dengan Bung. Mungkin Bung sudah lupa pada dia!”
“Mana pula saya yang lupa. Waktu berjabat tangan itu dia
tidak bilang apa-apa. Saya kangen sekali sama dia. Tolong beri tahu dia. Kirim
surat pada saya. nanti saya balas. Atau kalau ke Jakarta, suruh dia mampir ke
rumah saya,” ujar Adam Malik, yang oleh Pak Rivai Marlaut jika menulis tentang
Adam Malik selalu menambahkan embel-embel di depan nama Adam Malik dengan “Si
Kancil Adam Malik”.
Setelah Pak Adam Malik naik pesawat dan take off meninggalkan
Padang, saya terus ke rumah Pak Rivai Marlaut di Wisma Warta menyampaikan pesan
Pak Adam tersebut.
Tapi saya tidak tahu, apakah Pak Rivai sempat menulis surat
kepada Adam Malik atau tidak. Atau mungkin Pak Rivai singgah ke rumah orang
nomor dua di Indonesia itu? Yang jelas tidak lama setelah itu Pak Adam sakit
dan kemudian wafat.
Demikianlah secuil kenangan saya kepada Pak Rivai Marlaut
pada tahun lima puluhan jadi Pemimpin Redaksi Harian Haluan Padang dan
amat terkenal dengan cerbungnya Raesa, Lena Mariatun, Dokter Haslinda,
dan lain-lain.
Setelah berhenti dari Haluan, Rivai berkelana ke
Medan, Jakarta dan Bandung. Setelah terakhir di Medan jadi Redaktur Harian
Bukit Barisan, Rivai kembali ke Padang dan kembali jadi Pemimpin
Redaksi Harian Haluan pada tahun
70-an.
Pimpinan Pusat PWI telah menganugerahkan kepadanya Piagam
Penghargaan 70 Tahun yang diserahkan di Yogyakarta. Sebelumnya PWI Cabang
Sumatera Barat juga telah menyerahkan Piagam Penghargaan PWI tepat pada Hari
Pers Nasional tahun 1986.
Sekarang Pak Rivai Marlaut sudah tiada. Rabu, 20 April 1994
ia wafat. Namun jasa dan pengabdiannya dalam bidang pers dan perjuangan
kemerdekaan akan tetap dikenang selamanya.
Jika orang berkata, The old soldier never die,
prajurit tua tak pernah mati, maka bagi kita, “wartawan tua tak pernah mati…The
old journalist never die!
Andaipun
ia telah tutup usia, namun jasa dan teladannya akan hidup selamanya. Innalillahi
wa inna ilaihi roji’un.*
Diambil dari buku Mesin Ketik Tua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar