Selasa, 24 Februari 2015

Perhimpunan dan Festival Sastra Sebuah Upaya Nyata Membawa Sastra Indonesia Menuju Khazanah Sastra Dunia


OLEH Sastri Sunarti

Gerakan membawa sastra Indonesia ke panggung dunia sudah menjadi wacana yang hangat dan lama diperbincangkan di Badan Bahasa sebagai lembaga yang berkepentingan terhadap hal itu. Tema ini sudah mulai disinggung dan dibicarakan sejak Kongres ke IX lima tahun yang lalu di Bidakara Jakarta dan pada Kongres Bahasa dan Sastra ke X tahun ini Badan Bahasa kembali mengangkat tema tersebut sebagai salah satu tema sastra dalam Kongres Bahasa yang akan datang.

Upaya Badan Bahasa mengangkat tema―Membawa Sastra Indonesia ke Panggung Dunia―ini ke dalam Kongres Bahasa dan Sastra tentulah tidak akan berhasil jika tidak dilanjutkan dengan upaya nyata. Untuk itu, perlu dilihat upaya-upaya apa saja yang mampu mengantarkan sastra Indonesia untuk mencapai panggung antar bangsa tersebut.


Berkenaan dengan gagasan itu, kehadiran perhimpunan dan komunitas sastra yang menyelenggarakan diskusi, seminar, festival, penerbitan, dan penerjemahan sastra; baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun kelompok independen seperti Mastra (Majlis Sastra Asia Tenggara), Yayasan Lontar, Ubud’s Writers and Readers Festival, Salihara Biennalle Literary, Bali Emerging Writers Festival, Makassar Writers Festival, dan Persatuan Budaya dan Sastra Serumpun (PSBNS), sangat patut untuk dicermati kiprahnya.

Peran perhimpunan dan komunitas sastra seperti ini dalam memperkenalkan karya sastra ke pentas antar bangsa ternyata penting dan memiliki sumbangan yang tidak kecil bagi promosi hasil kesusasteraan Indonesia. Bagaimana peran perhimpunan sastra dan ajang-ajang festival itu dalam membawa sastra Indonesia ke pentas dunia akan dibahas dalam makalah ini selanjutnya.
Kata Kunci: Perhimpunan, Festival, dan Khazanah Sastra Dunia

Pengantar

Kehadiran perhimpunan sastra di Indonesia dan negeri serantau, seperti Majlis Sastra Asia Tenggara (Mastera), Yayasan Lontar, Ubud’s Writers and Readers Festival, Salihara Biennalle Literary, Bali Emerging Writers Festival, Makassar Writers Festival, dan Persatuan Budaya dan Sastra Negara Serumpun (PSBNS) memiliki peran yang penting dalam membawa sastra Indonesia ke khazanah sastra dunia serta layak untuk dicermati sepak terjangnya.

Pendirian perhimpunan sastra serantau seperti Mastera, Salihara, dan PSBNS misalnya, menunjukan semangat kebersamaan antara penulis dan pengkaji sastra dari wilayah serumpun untuk bekerja- sama memajukan sastra berbahasa Melayu-Indonesia ke wilayah sastra dunia.

Semangat kerja sama sepertini pernah dibahas dalam satu makalah oleh Prof. Emeritus Abdullah Hassan (2008:2) ketika membentangkan kertas kerja di forum Mabbim. Beliau menjelaskan bahwa cara bekerja sebuah perhimpunan sebagai kreasi kelompok seperti ini akan menghasilkan proses sinergi antara kreativitas sekumpulan individu yang berlanjut pada hasil secara berkumpulan.

Bidang penyelidikan kreativitas kelompok seperti ini awalnya didominasi oleh pakar-pakar dari Jepang seperti Isao Kon, Shuji Honjo, Takeshi Oe, Tashio Hattori, Shinici Nakayama, Hideki Yukawa, Masanobu Shintani, Nobusyoshi Umezawa, dan Kanehisa Harashima. Isao Kon mengemukakan sistem yang melihat sesuatu kumpulan individu sebagai sistem yang beroperasi melalui pembagian peranan di kalangan komponennya. Untuk meminimumkan konflik di antara keperluan-keperluan individu dengan keperluan kumpulan, Isao Kon mengusulkan pembentukan subkumpulan, yakni setiap subkumpulan terdiri dari beberapa ahli saja. Perbincangan demi perbincangan dalam tiap-tiap sekumpulan akan menghasilkan persetujuan pendapat dan seia-sekata di peringkat kumpulan besar.
Dengan latar budaya Jepang yang mengamalkan nilai-nilai kolektif tersebut, pakar-pakar kreatif Jepang berhasil menciptakan berbagai kaedah dan teknik berfikir untuk digunakan secara berkumpulan bagi menerbitkan gagasan-gagasan kreatif. Pola bekerja seperti ini kemudian meghasilkan nama-nama korporat Jepang yang mendunia seperti Honda, Toyota, Matshushita, Mitsubishi, dan banyak tokoh lain.
Hal ini berbeda dengan etos dan budaya kerja bangsa Eropa dan Amerika yang mengutamakan serta mengagungkan kerja individual. Masing-masing individu akan didorong di bidang masing-masing sehingga kita mengenal nama-nama besar di berbagai bidang seperti Alexander Bell, Thomas Alfa Edison, Henri Ford, dan Bill Gates yang lahir sebagai produk budaya kerja keras individualistik ala barat. Termasuk juga nama-nama besar penerima hadiah nobel dari berbagai bidang banyak didominasi oleh individu-individu genius dari Amerika dan Eropa ini (Abdullah Hassan, 2008:4).
Etos kerja budaya Melayu sesungguhnya juga mengutamakan kerja kelompok dan memiliki kemiripan dengan etos kerja bangsa Jepang yang mengusung semangat kolektivisme tersebut. Semangat kolektivisme bangsa Melayu itu bahkan terbetik dalam pepatah dan adagium adat orang Melayu yang berbunyi: bulat air di pembetung (bambu), bulat kata dimufakat. Namun, ketika terjadi kolonialisme yang membawa pendidikan, budaya, dan etos kerja Eropa ke dunia Melayu termasuk Indonesia maka etos kerja kolektif mulai tergantikan oleh etos kerja individual sehingga pelan-pelan semangat gotong royong yang dulu kita kenal luas di tengah masyarakat Indonesia mulai luntur kecuali di wilayah pedesaan.
Kini di zaman modern ini ketika batas geografis-politik tidak mampu lagi menyekat persebaran budaya-informasi termasuk karya sastra maka timbul kembali kesadaran dan kebutuhan pada semangat kolektif tersebut. Apalagi jika mengingat bahasa yang digunakan dalam karya sastra serumpun ini berinduk dari bahasa yang sama yakni Melayu.
Atas dasar dan semangat itulah agaknya gagasan pendirian perhimpunan seperti Mastera dan PSBNS diwujudkan. Dengan salah satu tujuan adalah memperkenalkan karya sastra serumpun ke panggung sastera dunia. Bagaimana sepak terjang perhimpunan semacam ini bergerak membawa sastra Indonesia-Melayu menuju khazanah sastra dunia, akan dibahas selanjutnya.
Upaya MASTERA Membawa Sastra Indonesia-Melayu ke Khazanah Sastra Dunia
Majlis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) pertama kali ditubuhkan oleh tiga negara Asia Tenggara yakni Indonesia dengan lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang Badan Bahasa), Malaysia dengan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), dan Brunei Darussallam juga dengan DBP telah menandatangani kesepakatan pendirian Mastera pada tahun 1995 di Kuala Lumpur.
Penandatanganan itu disaksikan oleh empat wakil negara Asean lainnya yakni Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Kini setelah berjalan selama 18 tahun Mastera sudah memiliki 4 negara anggota tetap yakni Brunei, Malaysia, Indonesia, dan Singapura. Negara terakhir yang disebutkan di atas baru secara resmi menjadi anggota tetap pada tahun 2012 yang lalu. Kehadiran Mastera seolah menjawab tantangan dan kekhawatiran seorang peneliti Melayu asal Singapur Azhar Ibrahim Alwee (2008:8) yang menulis dalam satu kertas kerjanya sebagai berikut:
“Lihatlah dalam penelitian dan pembacaan sastera kita di mana jarang kita keluar menjenguk apa yang dibicarakan dalam wacana berlangsung di negeri jiran yang serumpun dengan kita. Tapi kita amat pula tangkas untuk mengajukan dan menukil idea-idea yang dikedepankan dalam wacana ilmiah Euro-Amerika-Asutralia. Lihat saja rujukan bibliografi di kalangan ramai penulis dan sarjana kita. Jarang ada yang menyenarai kupasan-kupasan yang dilakukan oleh para sarjana tempatan dan negara-negara jiran, betapapun mereka telah menulis perkara pokok yang lebih konkrit dan tuntas pemerhatian daripada idea-idea luar yang tentunya darang dari konteks pengalaman budaya dan politik yang berlainan. Kalaupun mereka tahu, tapi mereka merasakan kurang berprestige untuk diperkirakan para penulis/sarjana tempatan tadi dalam notakaki atau bibliografi. Tentunya ini sebahagian daripada ciri minda tertawan.
Kekhawatiran Azhar ini merupakan kebalikan dari peristiwa atau sejarah hubungan antara bangsa-bangsa Melayu (baca Malaysia-Indonesia-Singapur) pada masa lalu. Jika kita merunut kembali pada tahun 1950-an di Malaysia, orientasi sastra modern Melayu-Malaysia masih memandang kepada karya sastra Indonesia dan menganggap sastrawan Indonesia sebagai ‘abang‘ bagi penulis-penulis sastra modern Malaysia.
Ketika itu perbedaan antara bahasa Melayu di Semenanjung dengan bahasa Indonesia belum begitu besar dan banyak sekali karya sastra Indonesia yang diterbit-ulang di Malaysia seperti di Malaka, Kuala Lumpur dan wilayah pantai timur di Kelantan. Karya sastra Indonesia masih menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah Malaysia pada masa itu.
Nama-nama pengarang Indonesia seperti Marah Rusli, Abdoel Moeis, Tulis Sutan Sati, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Sanoesi Pane, Armijn Pane, Hamka, Idrus, Chairil Anwar, hingga Pramoedya Ananta Toer tidak asing bagi khalayak pembaca sastra di Malaysia. Beberapa karya sastra Indonesia modern yang awal tersebut bahkan dicetak ulang hinga 2-3 kali, seperti Tuan Direktur, karya Hamka, Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1961, Apa Dayaku Kerana Aku Perempuan, Nur Sutan Iskandar, Kuala Lumpur: Pustaka Melayu Baru, 1962. Tenggelam-nya Kapal van der Wijck, Hamka, Kuala Lumpu: Pustaka Antara, 1965, Pribadi, Hamka, Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1965, Perburuan, Pramoedya Ananta Toer, Melaka: Abbas Bandong, 1977, dan Keluarga Gerilya, Pramoedya Ananta Toer, Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1977.
Namun, setelah memasuki abad ke 21 ketika ekonomi Malaysia makin meroket meninggalkan Indonesia yang hanya mampu mengirimkan tenaga kerja kasar ke negeri jiran itu, mulai terjadi perubahan sikap dan sudut pandang di kalangan pelajar dan intelektual muda Malaysia terhadap Indonesia. Sastra Indonesia tidak lagi menjadi acuan utama di sekolah-sekolah Malaysia sebagaimana yang dulu terjadi tahun 1950-1970an.
Sebaliknya masyarakat sastra dan intelektual Indonesia yang dari dulu besar kepala dan memandang rendah terhadap karya sastra Malaysia tidak berupaya mengenal karya sastra Malaysia sebagaimana dulu Malaysia berupaya belajar kepada Indonesia dan sekarang mulai memetik hasil dari pelajarannya itu. Publik pembaca sastra Indonesia hampir buta terhadap karya sastra Malaysia meski beberapa nama besar penyair Malaysia memiliki darah Indonesia seperti Arenawati (keturunan Bugis), Buyung Idris, Siti Zainon Ismail (keturunan Minangkabau) bahkan Siti Zainon menamatkan kuliah S-1di ASRI Jogyakarta.
Sementara itu harus kita akui bahwa kemajuan ekonomi suatu bangsa secara paralel juga membawa kemajuan di bidang pendidikan dan kebudayaan termasuk karya sastra. Malaysia, Brunai, dan Singapur yang secara ekonomi relatif lebih makmur dibandingkan dengan Indonesia telah mulai meninggalkan kita terutama dalam bidang pendidikan. Penulis dan penerbitan buku sangat banyak dilakukan di Malaysia dan Singapur jika dibandingkan dengan Indonesia yang penduduknya jauh lebih besar.
Para sastrawan mendapat penghargaan yang tinggi dari pihak kerajaan Malaysia. Bahkan saat ini banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia yang memilih melanjutkan pendidikan tingkat pascasarjana ke negeri jiran Malaysia dengan alasan biaya sekolah lebih murah, ketersediaan buku bagi mahasiswa lebih banyak dan mudah, serta mutu lebih tinggi.
Sementara itu kaum menengah Malaysia dan Singapura justru lebih memilih melanjutkan pendidikan ke Eropa dan Amerika termasuk di bidang ilmu budaya dan kesusasteraan. Sehingga penelitian dan karya sastra mereka adalah negeri Eropa dan Amerika sebagaimana yang disebutkan oleh Azwar Alwee di atas.
Dalam kondisi seperti itulah kehadiran Mastera dipandang tepat dan diharapkan dapat menjadi wadah yang efektif untuk mengurangi jurang saling ketidakpahaman masyarakat penikmat dan sarjana sastra di antara negara serumpun ini. Mastera yang setakat ini sudah berusia 18 tahun diharapkan dapat menjembatani banyak hal dalam bidang kesusasteraan. Bagaimana Mastera menjawab tantangan itu dapat dilihat pada program-program Mastera yang disepakati pada tahun 1995 yang mencakupi hal-hal berikut:
1.       Merancang dan melaksanakan kegiatan sastera dan penyelidikan sastera di negara-negara anggota secara bersepadu
2.      Merancang dan melaksanakan secara bergilir program-program bengkel penulisan karya sastera untuk para sasterawan muda berpotensi di negara-negara anggota.
3.      Mengusahakan peluang penerbitan di setiap negara bagi karya pengarang-pengarang terkemuka di negara-negara anggota agar dapat disebarluaskan kepada khalayak sastera antarbangsa.
4.      Mengusahakan dana dan melaksanakan skim anugerah (yang namanya akan ditentukan) bagi mengikhtiraf para sarjana sastera berkalliber tinggi dalam bahasa utama rantau ini.
5.      Mengusahakan penerbitan majalah atau jurnal yang akan menampung hasil karya pengarang di samping mengusahakan penerbitan risalah sebagai pusat pengumpulan maklumat dan sumber penyebaran maklumat kegiatan kesusasteraan di negara-negara bderkenaan.
6.      Meningkatkan usaha melancarkan urusan lalu lintas pengedaran dan pemasaran penerbitan buku dan majalah di kalangan negara-negara anggota.
7.      Mengadakan kerjasama dengan pusat-pusat Pengajian Kesusasteraan Asia tenggara seluruh dunia untuk mengantarabangsakan hasil kesusasteraan rantau ini.
Berdasarkan keputusan umum sidang Mastera ke 18 tahun 2012 di Kuala Lumpur, perhimpunan ini sudah menjalankan beragam program yang mereka sepakati pada tahun 1995 tersebut. Beberapa program yang sudah rutin dijalankan oleh Mastera antara lain: Sidang Musyawarah Mastera, Seminar Antar bangsa kesusateraan Asia Tenggara (SAKAT), Seri Kuliah Kesusasteraan Bandingan, Program Penulisan (Puisi, Cerpen, dan Drama). Program pelatihan penulisan ini melibatkan pengarang-pengarang muda dari negara anggota. Hasil dari pelatihan ini kemudian diterbitkan dalam beberapa antologi. Penerbitan berkala Jurnal Pangsura dan Majalah Pusat, Penerbitan karya seperti, Antologi Cerpen Empat Negara, (2005), Alang-Alang Bulan: Antologi Puisi Mastera, (2010) dan Matahari di Nusantara: Antologi Cerpen Mastera, (2010). Selain itu juga sudah dilakukan penyusunan seperti; Bibliografi Kesusasteraan Bandingan, Bibliografi Hasil Penerbitan Mastera (1997-2006), (2006—2009), Bibliografi Kajian Kesusasteraan Melayu/Indonesia Klasik (2007), “Leksikon Sastra MASTERA (2013). Program Hasil Penelitian yang sudah dilakukan oleh Mastera adalah: “Kritik Sastera Sebagai Pemahaman Lintas Budaya Antarabangsa Serantau: Novel (2008), Kritik Sastra Sebagai Pemahaman Lintas Budaya Antara Bangsa Serantau:Puisi (2011), Kritik Sastera Sebagai pemahaman Lintas Budaya Antarabangsa Serantau:Drama (2012).
Program berikutnya adalah pemberian penghargaan kepada pengarang dari masing-masing negara berdasarkan dedikasi dan ketokohannya sebagai pengarang di negara masing-masing. Program penerjemahan yang sudah dilakukan oleh Mastera adalah Penerjemahan Karya Sastera Terpilih: Cerpen (2009), Penerjemahan Karya Sastera Terpilih: Puisi (2011), Penerjemahan Karya Sastera Terpilih: Esai (2012), Penerjemahan Karya Sastera Terpilih: Esai (2013). Mastera juga memiliki program pengharagaan yang disebut dengan Hadiah Sastera MASTER (HSM).
Terakhir kali HSM diberikan kepada Pengarang Joni Ariadinata dari Indonesia tahun 2010 atas ketokohannya sebagai cerpenis dan penggiat sastra di Indonesia. Namun, sayang, program-program Mastera yang sangat baik ini hanya diketahui di lingkungan terbatas saja seperti instansi penyelenggara dan negara peserta. Sementara masyarakat sastra di luar Badan Bahasa dan Mastera belum mengetahui secara luas kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh Mastera.
Hal ini berbeda dengan kegiatan dan program-program yang sama di bidang kesusasteraan yang digagas oleh UWRF, Yayasan Lontar, dan Salihara Biennalle Literary yang mengemas setiap program menarik dan beritanya disebarluaskan ke tengah masyarakat pencinta sastra. Selain itu satu langkah strategis yang dilupakan oleh Mastera dalam rangka memperkenalkan karya sastra berbahasa Melayu-Indonesia ke kancah internasional adalah kurangnya publikasi hasil terjemahan Mastera ditampilkan di ajang festival. Baik festival yang diselenggarakan oleh Mastera (jika ada) maupun ajang festival lainnya seperti, Singapore Writers Festival, Ubud Writers and Readers Festival, dan Frankfurt Book Fair di Jerman. Kegiatan penerjemahan karya sastra masing-masing negara anggota ke bahasa asing seperti Inggris, Mandarin, Jepang, Arab, Perancis, dan Jerman akan menjadi kunci masuk bagi karya sastra Indonesia khususnya dan Melayu pada umumnya ke masyarakat pembaca sastra dunia.
Mastera dengan kewenangannya yang sangat luas di bidang sastra sejogyanya menjadi lembaga yang paling otoritatif dalam menentukan nasib sastra di negara masing-masing sebagaimana pernah dilakukan oleh Kantoor voor de Volkslectuur ‗Biro Sastra Rakyat Belanda‘ atau lebih populer dengan nama Balai Poestaka di masa Hindia Belanda yang didirikan tahun 1908.
Balai Poestaka pada masa itu berhasil memperkenalkan beragam karya sastra dunia khususnya Eropa ke dalam bahasa Melayu. Bahkan Balai Poestaka memberikan pelatihan untuk menjadi pengarang sekaligus penerjemah pada masa itu. Hanya sedikit sekali orang pribumi yang menghasilkan penerjemahan secara mandiri. Diantara yang sedikit itu dapat dilihat hasil-hasil terjemahan yang diterbitkan oleh para penerbit Muslim di Medan tahun-tahun 1935. Atau dikenal juga dengan kelompok pengarang Roman Medan (pen.)
Beberapa penerbit swasta Belanda yang melakukan penerjemahan seperti Kolff (Buning) dan Wolters memegang monopoli penerjemahan buku pelajaran di Hindia Belanda, (Doris Jedamski, 2009:173). Pertemuan antara negara anggota Mastera yang rutin diadakan setiap tahun hendaknya jangan hanya menjadi pertemuan para birokrat di masing-masing lembaga. Keterbukaan, keterwakilan antara pengarang, peneliti, dan masyarakat sastra secara luas hendaknya patut dipertimbangkan oleh panitia Mastera dalam program-programnya ke depan. Mastera agaknya perlu mencontoh upaya yang dilakukan oleh Yayasan Lontar yang berhasil memasarkan terjemahan karya sastra Indonesia terpilih ke bursa buku sastra dunia melalui internet dan menerbitkan terjemahan itu berdasarkan permintaan (order by demand). Atau upaya majalah Horison yang secara mandiri gencar menerjemahkan dan menerbitkan puisi penyair senior Taufiq Ismail ke dalam berbagai bahasa seperti bahasa Arab yang diterjemahkan oleh Prof. Dr. Nabila Lubis dan berjudul Turab Faq Turab “Debu di Atas Debu (2013). Terjemahan ke bahasa Rusia dilakukan oleh Victor Pogadaev, dan terjemahan ke bahasa Inggris yang mencakup seluruh karya lengkap Taufiq Ismail yang berjudul Dust on Dust oleh Prof. Emeritus Amin Sweeney yang baru akan terbit pertengahan November nanti. Terjemahan ke dalam bahasa Belanda yang sedang dikerjakan oleh Prof. Dr. Edwin Wieringa dari KÖln University. Terjemahan ke dalam bahasa Perancis sedang dikerjakan oleh Prof. Dr. Etienne Naveau, dan terjemahan ke dalam bahasa Persia.
Upaya Yayasan Lontar Membawa Sastra Indonesia ke Khazanah Sastra Dunia
Yayasan Lontar adalah organisasi independen dan nirlaba yang berkantor di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Tujuan utama Lontar sebagaimana dimuat dalam Wikipedia-Indonesia (diunduh, 18 September 2013, pukul 12.01) adalah mempromosikan sastra dan budaya Indonesia melalui penerjemahan karya-karya sastra Indonesia dengan sasaran sebagai berikut. 1) Membangkitkan pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia agar meningkat secara pesat, 2) Memudahkan karya sastra Indonesia diakses oleh khalayak internasional dan; 3) Mendokumentasikan sastra Indonesia bagi generasi masa depan. Gagasan untuk mendirikan Yayasan Lontar pertama kali disampaikan oleh John Mc Glynn, seorang sarjana sastra Indonesia asal Amerika Serikat yang sudah menetap di Indonesia sejak 30 tahun terakhir.
John Mc.Glynn kemudian bersama-sama dengan sejumlah pengarang dan budayawan Indonesia yakni Goenawan Moehammad, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, dan Subagio Sastro Wardoyo, mendirikan yayasan Lontar pada tahun 1987. Adapun program-program yang sudah dilaksanakan oleh Lontar adalah menerbitkan jurnal Managerie yang bertujuan memperkenalkan karya sastra Indonesia kepada khalayak berbahasa Inggris.
Kemudian Lontar juga memperkenalkan program Modern Library of Indonesia yakni penerjemahan dan penerbitan 9 novel dan 1 antologi cerpen karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Kesepuluh karya sastra itu adalah: 1) Never the Twain (Salah Asuhan, Abdoel Moeis, 1928). 2) Shackles (Belenggu, Armijn Pane, 1940), 3).The Fall and The Heart (Kejatuhan dan Hati, S. Rukiah, 1950), 4) Mirah of Banda (Mirah dari Banda, Hanna Rambe, 1986), 5) Familly Room (Antologi cerpen, Lily Yulianti Farid, 2008—2009), 6) And the War is Over (Dan Perangpun Usai, Ismail Marahimin, 1977), 7) The Pilgrim (Ziarah, Iwan Simatupang, 1969), 8) Sitti Nurbaya (Marah Roesli, 1922), 9) Telegram (Putu Wijaya, 1973), dan 10) Supernova: The Knight, The Princess and the Falling Stars (Dee, 2001).
Selain karya-karya yang terdaftar dalam Modern Library Indonsia di atas, Lontar juga pernah menerbitkan karya Penyair Exile Indonesia (2006) yakni berisi sekumpulan karya puisi penyair Indonesia yang kabur ke luar negeri karena peristiwa G-30 PKI tahun 1965. Tahun ini Lontar juga sudah menerbitkan The Dancer (Rongeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, 1982) yang juga sudah difilmkan baru-baru ini.
Upaya Salihara Membawa Sastra Indonesia ke Khazanah Sastra Dunia
Rasanya hampir setiap insan sastra dan seni di negeri ini pernah mendengar nama Salihara yakni sebuah komunitas dibentuk oleh sejumlah sastrawan, seniman, jurnalis, dan peminat seni. Sejak berdiri pada tanggal 08 Agustus 2008, Komunitas Salihara telah menampilkan berbagai macam acara seni dan diskusi yang melibatkan seniman, sasgtrawan, dan pekerja seni dari berbagai mancanegara serta berkelas dunia. Meski baru berdiri tahun 2008, kegiatan dan program mereka di bidang seni-budaya, dan sastra khususnya sudah dimulai sejak tahun 1994 di Utan kayu Rawamangun sebagaimana dijelaskan dalam situs resmi komunitas ini.
Setahun setelah majalah Tempo diberedel pemerintah Orde Baru pada 1994, Goenawan Moehammad dan kawan-kawan mendirikan Komunitas Utan Kayu di Jalan Utan Kayu 68H, Jakarta Timur, Komunitas Utan Kayu ini terdiri atas Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Galeri Lontar, Teater Utan Kayu (TUK), Kantor Berita Radio 68H, dan Jaringan Islam Liberal. Secara terus-menerus komunitas ini berupaya menumbuhkan dan menyebarkan kekayaan artistik dan intelektual, baik melalui pertunjukan kesenian, pameran seni rupa, ceramah dan diskusi tentang beragam topik, maupun lewat tulisan yang diterbitkan majalah Kalam (sayang sekarang sudah mati).
Komunitas Salihara dapat juga disebut pusat kebudayaan alternatif yang tidak dimiliki oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, ataupun kedutaan asing. Visi Komunitas Salihara adalah memelihara kebebasan berpikir dan berekspresi, menghormati perbedaan dan keragaman, serta menumbuhkan dan menyebarkan kekayaan artistik dan intelektual.
Program Komunitas Salihara
Selama satu tahun, Komunitas Salihara menampilkan sekitar 100 mata acara pentas tari dan teater, konser musik, pembacaan dan diskusi sastra, pameran seni rupa, pemutaran film, dan bengkel kerja tari, sastra, dan musik. Di samping itu, Komunitas Salihara juga menyelenggarakan diskusi dan ceramah, untuk menggiatkan perbincangan publik yang saat ini belum banyak ruangnya; baik tentang isu yang sedang hangat, maupun pemikiran tokoh dari bidang humaniora tertentu. Relatif dirancang secara jangka panjang, seluruh program disusun oleh Dewan Kurator yang beranggotakan sastrawan dan seniman terkemuka Indonesia.
Di samping program seni dan pemikiran yang berlangsung setiap bulan secara reguler, saat ini Komunitas Salihara memiliki beberapa program khusus seperti Festival Salihara (seni pertunjukan), Bienal Sastra, Forum Seniman Perempuan Salihara, dan Forum Teater Salihara.
Bienal Sastra Salihara (Salihara Biennale Literary) diadakan pertama kali pada tahun 2001 setiap 1 kali dua tahun. Festival sastra berskala internasional ini bertujuan memperkenalkan n sastra Indoneia klasik hingga kontemporer dan sastra dunia. Melalui ajang festival, Salihara mencoba menampilkan karya dan sastrawan Indonesia dalam satu panggung bersama dengan sastrawan dunia yang diundang ke acara ini. Sejak 2011 kegiatan festival Sastra Salihara berlangsung selama 1 bulan penuh yang mencakupi program-program seperti: pentas baca sastra, diskusi buku, lokakarya penulisan dan baca sastra, kunjungan ke sekolah/kampus, bahkan menafsirkan puisi atau cerpen ke dalam music yang mereka sebut dengan istilah commission work ‘karya pesanan‘.
Penciptaan komposisi musik atau seni rupa berdasarkan puisi-puisi Indonesia itu dipilih oleh dewan curator dan hasilnya dipentaskan atau dipamerkan selama berlangsungnya Bienal Sastra. Tahun ini Bienal Sastra Salihara bertemakan Sirkus Sastra yang digelar dari tanggal 20 September-27 Oktober 2013.
Berikut saya kutipkan penjelasan mengenai program Bienal Sastra Salihara dari laman resminya yang diunduh pada (www.biennaleliterary. salihara.org. Jumat, 20 September 2013, pukul 11.00).
“KOMUNITAS Salihara kembali menggelar Bienal Sastra, kali ini bertema ―Sirkus Sastra. Serangkaian perayaan sastra digelar lewat beragam acara dengan tidak selalu berkutat pada teks dan naskah sastra. Pentas musik, pameran seni rupa ikut memeriahkan perayaan sastra ini. Termasuk pertunjukkan teater-sirkus kontemporer tanpa hewan disajikan dari Prancis, Jepang, dan Inggris. ―Sirkus di sini adalah ajakan merenungkan kembali fantasi dan perasaan yang dibentuk dari pengalaman menonton pertunjukan itu. Kami menemukan pertanyaan-pertanyaan yang menyumbang kepada refleksi sosial hari ini, kata Ayu Utami, Kurator Sastra Komunitas Salihara, dalam pengantarnya. Menurutnya, pada sirkus termaktub sebuah perenungan tentang keriaan sekaligus keterasingan.
Ayu menyebut bahwa sirkus tentu bukan model ideal kehidupan, tapi ia adalah pengalaman bersama dan darinya renungan kehidupan muncul. Tentang bagaimana sikap terhadap binatang, orang cebol, termasuk mengenai siapa sejatinya sang liyan, yang ditonton atau menonton. Bienal Sastra 2013: Sirkus Sastra digelar mulai 20 September hingga 27 Oktober mendatang dengan melibatkan para sastrawan dan seniman dari dalam maupun luar negeri.
Rangkaian acara Bienal Sastra 2013 sejatinya telah diawali sejak April-Juni lalu dalam Kursus Menulis dan Berpikir Kreatif dengan pengajar utama Ayu Utami. Para peserta lokakarya ini mencipta cerpen yang akan diterbitkan dalam tema astrologi. Pembuka Bienal Sastra 2013 adalah pertunjukan sirkus kontemporer dari Compagnie Non Nova. Kelompok ini akan membawakan dua nomor: Afternoon of a Foehn dan Vortex. Pertunjukan ini yang didukung oleh Institut Français Indonesia bukan sebuah pentas sirkus biasa. Para pemain akan bermain dengan benda-benda biasa seperti kantong plastik.
Selain Compagnie Non Nova, masih ada teater-srikus Gandini Juggling dari Inggris. Pameran seni rupa dan teater-tari oleh Hiroshi Koike Bridge Project dari Jepang ikut menyemarakan Bienal Sastra 2013. Selain Hiroshi, perupa Entang Wiharso akan menampilkan serangkaian karyanya selama berlangsungnya Bienal Sastra. Yang lain adalah pembacaan kartu tarot, juga kursus sulap dan membaca tarot, dan lokakarya sirkus sosial.
Seri kuliah umum tentang Pemikiran Seputar Sastra menjadi bagian lain dari Bienal Sastra 2013.(diunduh Kamis, 19 September 2013 dari www.literarybiennale.salihara.org). Pada tahun 2013 ini Komunitas Salihara berkolaborasi dengan UWRF dalam menjalankan program pelatihan penulisan yang bertajuk ―Women of Letters (Surat-Surat Perempuan).
Upaya UWRF Membawa Sastra Indonesia ke Khazanah Sastra Dunia
Ubud Writers and Readers festival disingkat UWRF diselenggarakan pertama kali pada tahun 2003 oleh Janet DeNeefe, co-founder dari Yayasan yang bernaung di bawah bendera Mudra Swari Saraswati. Pada tahun 2013 ini UWRF sudah memasuki tahun ke 10 peyelenggaraanya sebagaimana termaktub dalam website URWF berikut ini:
“2013 marks a mammoth year for the Ubud Writers & Readers Festival, as Southeast Asia‘s most renowned literary event gets set to celebrate its 10 year anniversary from 11 – 15 October in Ubud, Bali. In 2013, the Festival comes full circle returning to its original theme Through Darkness to Light/ Habis Gelap Terbitlah Terang honouring RA Kartini, Indonesia‘s beloved women‘s rights pioneer. Beyond paying homage to Kartini, the 2013 program will focus on women‘s stories, women‘s rights and education, heroes and visionaries. Writers across all genres will be embraced, including travel writers, songwriters, playwrights, poets, comedians and graphic novelists.”
The Ubud Writers & Readers Festival is the major annual project of the not-for-profit foundation, the Yayasan Mudra Swari Saraswati. It was first conceived of by Janet DeNeefe, co-founder of the Foundation, as a healing project in response to the first Bali bombing. (diunduh www.ubudwritersfestival.com. 16 September, pukul 12.35)
Sebagaimana termaktub dalam kutipan di atas, UWRF tahun ini mengusung tema festival dengan tajuk: “Habis Gelap terbitlah Terang yang terinspirasi dari surat-surat RA. Kartini, tokoh pergerakan perempuan Indonesia yang terkemuka. Sesuai dengan tema tersebut, UWRF mengundang penulis perempuan maupun laki-laki dari berbagai negara untuk membicarakan karya dan surat-surat yang pernah mereka tulis yang berkaitan dengan tema pemberdayaan serta emansipasi perempuan.
UWRF juga memiliki pilihan-pilihan program yang dikemas secara menarik dan atraktif yang dapat kita saksikan dalam laman mereka. Secara umum UWRF memiliki 9 program pada tahun 2013 dan masing-masing memiliki sub-sub program. Kesembilan program tersebut adalah sebagai berikut: Main Programe, Special Events, Film Programe, Workshop, Arts Programe, Books Launches, Youth Programe, Chliderns,s Programe, Taman Baca, Fringe Events, dan Free Events. Adapun beberapa karya sastra Indonesia yang dipilih pada program Book Launches UWRF tahun ini adalah novel Ranah 3 Warna (tahun) karya Ahmad Fuadi, Pulang (tahun), dan The Longest Kiss(tahun) karya Leila S. Chudori), The Question of Red (tahun), merupakan versi Inggris dari Amba: Sebuah Novel (2012) karya Laksmi Pamuntjak.
Selain terdapat juga beberapa karya lain yang berjudul Rendition of My Soul karya Desak Yoni, Bones of The Dark Moon karya Richard Lewis. Novel ini mengisahkan kesedihan, ketakutan, kebahagian, dan pembunuhan massal yang berlatarbelakang peristiwa gestapu tahun 1965-an di Klungkung, Bali. Novel ini adalah hasil pengalaman pengarang yang lahir dan besar di Bali ketika mengikuti ayahnya; seorang misionaris Amerika saat itu. Satu pujian yang sangat tepat diberikan oleh panitia UWRF terhadap Leila S. Chudori dan karyanya yang saya kutip berikut ini dari laman UWRF.
“When Leila S. Chudori published Malam Terakhir in 1989, she was hailed by critics as the golden child of Indonesian literature. Then her work as a journalist interrupted her literary career & she did not publish her next collection of stories, 9 Dari Nadira, until 2009. In 2012, she published the novel Pulang (Coming Home) to much critical acclaim. Pulang has since gone through three print runs. Her stories have recently been published in English under the title The Longest Kiss & her novel is in the process of translation. At the launch there will be readings from Pulang by actress Adinia Wirasti & excerpt from The Longest Kiss by Leila. (Diunduh tanggal 16 September pukul 15.00 dari website UWRF). Ketika Prof.Dr. E.P. Wieringa, Professor für Indonesische Philologie und Islamwissenschaft, Universität zu Köln, Jerman berkunjung ke Jakarta pertengahan September yang lalu, ia menyampaikan pujiannya terhadap novel Pulang karya Leila dan sangat susah berpaling dari sebelum menyelesaikannya.
Menurut Prof. Wieringa, novel tersebut sangat layak untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman sebagai salah satu bakal karya sastra Indonesia modern yang layak dipamerkan pada acara Franfurt Books Fair, tahun 2015 mendatang di Jerman. Penerjemahan ini menurut beliau lebih jauh adalah sebagai salah satu langkah untuk memenuhi syarat keikutsertaan Indonesia pada pameran buku terakbar di dunia karena Indonesia harus memiliki terjemahan karya sastra sebanyak 75% ke dalam bahasa Jerman. Namun, sayang sejauh ini syarat itu masih belum banyak ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai lembaga yang sangat berkepentingan menangani hal ini.
UWRF sebagai salah satu ajang penyelenggara pertemuan sastra yang berskala internasional malah memberi ruang yang luas pada karya-karya dari pengarang luar untuk ikut diluncurkan karya mereka di dalam program Book Launches. Misalnya karya Joost Coté yang menjadi editor dan penerjemah bagi kumpulan surat-surat Kartini: the Complete Writings (1898-1904).
Pendapat Sitor Situmorang pada tahun 2010 ketika menjadi pembicara utama sastrawan Indonesia di UWRF saat itu layak untuk dicermati; bahwa suatu festival adalah bentuk pengharapan akan adanya penulis-penulis sastra yang berkualitas. Kualitas festival bukan hanya tergantung pada kerja kepanitiaan UWRF yang memang profesional. Kualitas itu juga tergantung pada siapa yang menjadi partisipan di dalamnya. Tampaknya, yang perlu diagendakan adalah membuat sesi-sesi tertentu lebih istimewa mengacu pada tema yang diangkat dalam rangkaian UWRF. Dengan demikian, akan terasa guratan tematik dalam rangkaian acara. Tidak saja mengundang penulis-penulis terbaik, tetapi bagaimana menjejakkan tematik sebagai spirit dalam festival ini.
Sebuah perhimpunan sastra yang bernama Persatuan Sastra-Budaya Negara Serumpun disingkat PSBNS adalah perhimpunan sastra serumpun yang baru-baru ini didirikan atas inisiatif para pengarang yang bertemu di alam maya seperti Facebook kemudian melanjutkannya ke dunia nyata.
Lima perwakilan negara Asia Tenggara ( Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapur, dan Thailand) pada bulan Juni 2013 di Jakarta bertemu pada bulan Juni yang lalu dan bersepakat untuk membuat sebuah komunitas sastra setelah terlebih dahulu melahirkan satu antologi cerpen yang bertemakan etnis. Kesepakatan itu kemudian diperluas dengan rencana deklarasi bersama perkumpulan ini pada bulan November mendatang di Aie Angek, Padang Panjang, Sumatera Barat. Tidak banyak yang dapat disampaikan mengenai kiprah PSBNS saat ini karena mereka satu perkumpulan yang sangat muda dan masih harus membuktikan diri sebagai sebuah perkumpulan yang tidak dibiayai sama sekali oleh pemerintah dan menjadi perkumpulan yang nirlaba bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah untuk bertahan dan menjalankan program.
Sebagai perhimpunan nirlaba PSBNS masih berorientasi kepada penulis negara anggota yang tergabung di bawah perhimpunan tersebut. Para penulis dari negara- serumpun ini bersatu menerbitkan sejumlah buku dan salah satu yang sudah terbit adalah satu antologi cerpen yang berjudul Cerita Etnis 5 Negara (2013). Program lainnya yang sudah dijalankan oleh PSBNS adalah program pertukaran penulis antara negara anggota (Home Stay).
Para penulis akan ditampung di rumah masing-masing pengarang yang ditunjuk dan disepakati oleh pengurus chapter setiap negara. Program tahun depan PSBNS akan mengembangankan anggota penulis tidak hanya terbatas pada lima negara serumpun saja melainkan juga membuka ruang bergabungnya penulis-penulis dari negara lain di dunia yang tertarik menulis dan menerbitkan karya sastra dalam bahasa Melayu-Indonesia.
Di antara penullis yang berminat dan sudah mendaftarkan diri secara informal ke perhimpunan ini menurut Dr. Free Hearty adalah pengarang dari China, Korea, Jepang, dan Yugoslavia. Jika Mastera dibentuk dan dibiayai oleh pemerintah masing-masing negara anggota, maka PSBNS membiayai diri mereka secara mandiri, tambah Dr. Free Hearty, ketua harian PSBNS.
Penutup
Setelah kita mencermati sepak terjang masing-masing perhimpunan sastra di atas, sungguh semua upaya itu patut dihargai karena dilakukan dengan penuh dedikasi kepada sastra Indonesia dan kebudayaan umumnya. Masing-masing perhimpunan dan komunitas memiliki kelebihan dan kekurangannya tetapi yang jelas semua memiliki tujuan memajukan sastra Indonesia ke pentas antar bangsa melalui beragam program yang dimiliki dan ditawarkan kepada masyarakat sastra Indonesia dan dunia.
Mastera dalam hal ini diwakili oleh Badan Bahasa memang tidak dapat dituntut menyelenggarakan kegiatan festival sastra sebaik yang dilakukan oleh UWRF atau Bienal Sastra Salihara karena keterbatasan sumber daya manusia, waktu, dan kefokusan dalam pekerjaan. Namun, Mastera dapat meningkatkan kegiatannya dengan memperbanyak hubungan kerja-sama dengan lembaga-lembaga swasta seperti yang disebutkan di atas dalam mempromosikan sastra Indonesia-Melayu. Sedangkan fokus ke dalam perhimpunan adalah meningkatkan kegiatan pertukaran karya antar negara anggota, pengarang, dan hasil kajian sastra masing-masing negara.
Kegiatan tersebut sangat relevan dengan tugas pokok dan fungsi Badan Bahasa maupun Dewan Bahasa dan Sastera anggota Mastera yang lain. Selain itu, perlu meningkatkan publikasi untuk setiap kegiatan Mastera sudah sepatutnya dilakukan. Keterbukaan, kebaruan, dan keberterimaan program-program Mastera ke depan perlu sekali diperhatikan oleh Badan Bahasa sebagai satu-satunya lembaga resmi Indonesia yang mewakili masyarakat sastra Indonesia di panggung Asia Tenggara.
Tentu saja peran membawa sastra Indonesia ke khazanah sastra dunia bukan hanya menjadi tugas dan tanggungjawab Mastera (baca Badan Bahasa) tetapi tugas masyarakat sastra Indonesia secara umum. Perlu upaya-upaya lain juga untuk mewujudkan niat baik ini seperti yang sudah dirintis oleh berbagai perkumpulan di atas.
Upaya penerjemahan dan penerbitan karya sastra Indonesia sebanyak mungkin ke dalam bahasa asing tetap merupakan langkah utama agar sastra Indonesia dikenal lebih luas di dunia. Peneliti dan pemerhati sastra harus bekerjasama meyakinkan pemerintah seperti Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bahwa misi kebudayaan di luar negeri sudah sepatutnya dilakukan juga melalui promosi karya sastra Indonesia.
Hasil budaya suatu bangsa bukan hanya tergambar dalam wujud tari-tarian atau tempat wisata belaka sebagaimana yang selama ini dipahami secara keliru oleh pihak Kemenpar melainkan juga dapat disampaikan dan terekam dalam karya sastra. Namun, Badan Bahasa adalah lembaga resmi pemerintah yang paling otoritatif untuk menjadi lokomotif penggerak kejayaan sastra Indonesia di kancah antar bangsa, baik melalui hasisl kajian sastra, penerbitan, penerjemahan, penghargaan, dan kerjasama dengan lembaga-lembaga luar yang relevan dengan kegiatan ini. Mampukah kita? Jawabannya berpulang pada semangat dan kemauan politik Badan Bahasa yang mengurusi sastra dan bahasa di negeri ini. Dan yang paling patut diingat adalah bahwa tinggi rendahnya kebudayaan suatu bangsa dapat diukur dari buku-buku sastra yang dilahirkan oleh penulis-penulis negeri itu.
Daftar Pustaka
Abdullah Hassan. 2008. ―Bahasa Melayu dan Cabaran Kemunculan Era Kreasi Abad ke 21, Makalah Seminar Bahasa dan Sastra MABBIM-MASTERA, Jakarta, 7-8 April 2008.
Anantatoer, Pramoedya. 1965 Perburua. Melaka: Abbas Bandong
-----------------.1977. Keluarga Gerilya. Kuala Lumpur: Pustaka Antara.
Azhar Ibrahim Alwee. 2008. “Memartabadkan Bahasa dan Sastra nasional dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Budaya Serumpun”, Makalah Seminar Bahasa dan Sastra MABBIM-MASTERA, Jakarta, 7-8 April 2008.
Cote, Joost. 2013. Kartini: the Complete Writings (1898-1904). Monash: Monash Unversity Publishing.
Chudori, Leila. S. 2010. Pulang. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
---------.2012. The Longest Kiss. Jakarta:
Hamka. 1961. Tuan Direktur, Kuala Lumpur: Pustaka Antara.
---------.1965. Tenggelam-nya Kapal van der Wijck, Kuala Lumpu: Pustaka Antara.
---------.1965. Pribadi. Kuala Lumpur: Pustaka Antara. Fuadi, Ahmad. 2010.
Ranah Tiga Warna. Jakarta: Gramedia. Mu‘jizah dan Abdul Rozak Zaidan (ed). 2005.
Antologi Cerpen Empat Negara. Jakarta: Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional. (ed). 2005.
Alang-Alang Bulan: Antologi Puisi Mastera. Jakarta: Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional.
--------- (ed). 2010. Matahari Di Nusantara: Antologi Cerpen Mastera. Jakarta: Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional.
--------- (ed). 2010. Bibliografi Kesusasteraan Bandingan, Bibliografi Hasil Penerbitan Mastera (1997-2006), (2006—2009). Jakarta:
Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional Mu‘jizah dkk. 2007. Bibliografi Kajian Kesusasteraan Melayu/Indonesia Klasik. Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional.
Iskandar, Nur Sutan. 1962. Apa Dayaku Kerana Aku Perempuan. Kuala Lumpur: Pustaka Melayu Baru.
Ismail. Taufiq. 2013. Turab Faqq Turab (Debu di Atas Debu): Kumpulan Puisi Dwi Bahasa terjemahan Nabilah Lubis. Jakarta: Horison.
Tohari, Ahmad. 1982. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tulisan ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya, 28—31 Oktober 2013 yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...