OLEH Sastri Sunarti
Gerakan membawa sastra Indonesia ke
panggung dunia sudah menjadi wacana yang hangat dan lama diperbincangkan di
Badan Bahasa sebagai lembaga yang berkepentingan terhadap hal itu. Tema ini
sudah mulai disinggung dan dibicarakan sejak Kongres ke IX lima tahun yang lalu
di Bidakara Jakarta dan pada Kongres Bahasa dan Sastra ke X tahun ini Badan Bahasa
kembali mengangkat tema tersebut sebagai salah satu tema sastra dalam Kongres
Bahasa yang akan datang.
Upaya Badan Bahasa mengangkat tema―Membawa
Sastra Indonesia ke Panggung Dunia―ini ke dalam Kongres Bahasa dan Sastra
tentulah tidak akan berhasil jika tidak dilanjutkan dengan upaya nyata. Untuk
itu, perlu dilihat upaya-upaya apa saja yang mampu mengantarkan sastra
Indonesia untuk mencapai panggung antar bangsa tersebut.
Berkenaan dengan gagasan itu, kehadiran
perhimpunan dan komunitas sastra yang menyelenggarakan diskusi, seminar,
festival, penerbitan, dan penerjemahan sastra; baik yang dibentuk oleh
pemerintah maupun kelompok independen seperti Mastra (Majlis Sastra Asia
Tenggara), Yayasan Lontar, Ubud’s Writers and Readers Festival, Salihara
Biennalle Literary, Bali Emerging Writers Festival, Makassar
Writers Festival, dan Persatuan Budaya dan Sastra Serumpun (PSBNS), sangat
patut untuk dicermati kiprahnya.
Peran perhimpunan dan komunitas sastra
seperti ini dalam memperkenalkan karya sastra ke pentas antar bangsa ternyata
penting dan memiliki sumbangan yang tidak kecil bagi promosi hasil
kesusasteraan Indonesia. Bagaimana peran perhimpunan sastra dan ajang-ajang
festival itu dalam membawa sastra Indonesia ke pentas dunia akan dibahas dalam
makalah ini selanjutnya.
Kata Kunci: Perhimpunan, Festival, dan
Khazanah Sastra Dunia
Pengantar
Kehadiran perhimpunan sastra di
Indonesia dan negeri serantau, seperti Majlis Sastra Asia Tenggara (Mastera),
Yayasan Lontar, Ubud’s Writers and Readers Festival, Salihara
Biennalle Literary, Bali Emerging Writers Festival, Makassar
Writers Festival, dan Persatuan Budaya dan Sastra Negara Serumpun (PSBNS)
memiliki peran yang penting dalam membawa sastra Indonesia ke khazanah sastra
dunia serta layak untuk dicermati sepak terjangnya.
Pendirian perhimpunan sastra serantau
seperti Mastera, Salihara, dan PSBNS misalnya, menunjukan semangat kebersamaan
antara penulis dan pengkaji sastra dari wilayah serumpun untuk bekerja- sama
memajukan sastra berbahasa Melayu-Indonesia ke wilayah sastra dunia.
Semangat kerja sama sepertini pernah
dibahas dalam satu makalah oleh Prof. Emeritus Abdullah Hassan (2008:2) ketika
membentangkan kertas kerja di forum Mabbim. Beliau menjelaskan bahwa cara
bekerja sebuah perhimpunan sebagai kreasi kelompok seperti ini akan
menghasilkan proses sinergi antara kreativitas sekumpulan individu yang
berlanjut pada hasil secara berkumpulan.
Bidang penyelidikan kreativitas
kelompok seperti ini awalnya didominasi oleh pakar-pakar dari Jepang seperti
Isao Kon, Shuji Honjo, Takeshi Oe, Tashio Hattori, Shinici Nakayama, Hideki
Yukawa, Masanobu Shintani, Nobusyoshi Umezawa, dan Kanehisa Harashima. Isao Kon
mengemukakan sistem yang melihat sesuatu kumpulan individu sebagai sistem yang
beroperasi melalui pembagian peranan di kalangan komponennya. Untuk
meminimumkan konflik di antara keperluan-keperluan individu dengan keperluan
kumpulan, Isao Kon mengusulkan pembentukan subkumpulan, yakni setiap
subkumpulan terdiri dari beberapa ahli saja. Perbincangan demi perbincangan
dalam tiap-tiap sekumpulan akan menghasilkan persetujuan pendapat dan
seia-sekata di peringkat kumpulan besar.
Dengan latar budaya Jepang yang
mengamalkan nilai-nilai kolektif tersebut, pakar-pakar kreatif Jepang berhasil
menciptakan berbagai kaedah dan teknik berfikir untuk digunakan secara
berkumpulan bagi menerbitkan gagasan-gagasan kreatif. Pola bekerja seperti ini
kemudian meghasilkan nama-nama korporat Jepang yang mendunia seperti Honda,
Toyota, Matshushita, Mitsubishi, dan banyak tokoh lain.
Hal ini berbeda dengan etos dan budaya
kerja bangsa Eropa dan Amerika yang mengutamakan serta mengagungkan kerja
individual. Masing-masing individu akan didorong di bidang masing-masing
sehingga kita mengenal nama-nama besar di berbagai bidang seperti Alexander
Bell, Thomas Alfa Edison, Henri Ford, dan Bill Gates yang lahir sebagai produk
budaya kerja keras individualistik ala barat. Termasuk juga nama-nama besar
penerima hadiah nobel dari berbagai bidang banyak didominasi oleh
individu-individu genius dari Amerika dan Eropa ini (Abdullah Hassan, 2008:4).
Etos kerja budaya Melayu sesungguhnya
juga mengutamakan kerja kelompok dan memiliki kemiripan dengan etos kerja
bangsa Jepang yang mengusung semangat kolektivisme tersebut. Semangat
kolektivisme bangsa Melayu itu bahkan terbetik dalam pepatah dan adagium adat
orang Melayu yang berbunyi: bulat air di pembetung (bambu), bulat kata
dimufakat. Namun, ketika terjadi kolonialisme yang membawa pendidikan,
budaya, dan etos kerja Eropa ke dunia Melayu termasuk Indonesia maka etos kerja
kolektif mulai tergantikan oleh etos kerja individual sehingga pelan-pelan
semangat gotong royong yang dulu kita kenal luas di tengah masyarakat Indonesia
mulai luntur kecuali di wilayah pedesaan.
Kini di zaman modern ini ketika batas geografis-politik
tidak mampu lagi menyekat persebaran budaya-informasi termasuk karya sastra
maka timbul kembali kesadaran dan kebutuhan pada semangat kolektif tersebut.
Apalagi jika mengingat bahasa yang digunakan dalam karya sastra serumpun ini
berinduk dari bahasa yang sama yakni Melayu.
Atas dasar dan semangat itulah agaknya
gagasan pendirian perhimpunan seperti Mastera dan PSBNS diwujudkan. Dengan
salah satu tujuan adalah memperkenalkan karya sastra serumpun ke panggung
sastera dunia. Bagaimana sepak terjang perhimpunan semacam ini bergerak membawa
sastra Indonesia-Melayu menuju khazanah sastra dunia, akan dibahas selanjutnya.
Upaya MASTERA Membawa Sastra
Indonesia-Melayu ke Khazanah Sastra Dunia
Majlis Sastra Asia Tenggara (MASTERA)
pertama kali ditubuhkan oleh tiga negara Asia Tenggara yakni Indonesia dengan
lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang Badan Bahasa),
Malaysia dengan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), dan Brunei Darussallam juga
dengan DBP telah menandatangani kesepakatan pendirian Mastera pada tahun 1995
di Kuala Lumpur.
Penandatanganan itu disaksikan oleh
empat wakil negara Asean lainnya yakni Filipina, Singapura, Thailand, dan
Vietnam. Kini setelah berjalan selama 18 tahun Mastera sudah memiliki 4 negara
anggota tetap yakni Brunei, Malaysia, Indonesia, dan Singapura. Negara terakhir
yang disebutkan di atas baru secara resmi menjadi anggota tetap pada tahun 2012
yang lalu. Kehadiran Mastera seolah menjawab tantangan dan kekhawatiran seorang
peneliti Melayu asal Singapur Azhar Ibrahim Alwee (2008:8) yang menulis dalam
satu kertas kerjanya sebagai berikut:
“Lihatlah dalam penelitian dan
pembacaan sastera kita di mana jarang kita keluar menjenguk apa yang
dibicarakan dalam wacana berlangsung di negeri jiran yang serumpun dengan kita.
Tapi kita amat pula tangkas untuk mengajukan dan menukil idea-idea yang
dikedepankan dalam wacana ilmiah Euro-Amerika-Asutralia. Lihat saja rujukan
bibliografi di kalangan ramai penulis dan sarjana kita. Jarang ada yang
menyenarai kupasan-kupasan yang dilakukan oleh para sarjana tempatan dan
negara-negara jiran, betapapun mereka telah menulis perkara pokok yang lebih
konkrit dan tuntas pemerhatian daripada idea-idea luar yang tentunya darang
dari konteks pengalaman budaya dan politik yang berlainan. Kalaupun mereka
tahu, tapi mereka merasakan kurang berprestige untuk diperkirakan para
penulis/sarjana tempatan tadi dalam notakaki atau bibliografi. Tentunya ini
sebahagian daripada ciri minda tertawan.”
Kekhawatiran Azhar ini merupakan
kebalikan dari peristiwa atau sejarah hubungan antara bangsa-bangsa Melayu
(baca Malaysia-Indonesia-Singapur) pada masa lalu. Jika kita merunut kembali
pada tahun 1950-an di Malaysia, orientasi sastra modern Melayu-Malaysia masih
memandang kepada karya sastra Indonesia dan menganggap sastrawan Indonesia
sebagai ‘abang‘ bagi penulis-penulis sastra modern Malaysia.
Ketika itu perbedaan antara bahasa
Melayu di Semenanjung dengan bahasa Indonesia belum begitu besar dan banyak
sekali karya sastra Indonesia yang diterbit-ulang di Malaysia seperti di
Malaka, Kuala Lumpur dan wilayah pantai timur di Kelantan. Karya sastra
Indonesia masih menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah Malaysia pada masa itu.
Nama-nama pengarang Indonesia seperti
Marah Rusli, Abdoel Moeis, Tulis Sutan Sati, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir
Alisyahbana, Sanoesi Pane, Armijn Pane, Hamka, Idrus, Chairil Anwar, hingga
Pramoedya Ananta Toer tidak asing bagi khalayak pembaca sastra di Malaysia.
Beberapa karya sastra Indonesia modern yang awal tersebut bahkan dicetak ulang
hinga 2-3 kali, seperti Tuan Direktur, karya Hamka, Kuala Lumpur:
Pustaka Antara, 1961, Apa Dayaku Kerana Aku Perempuan, Nur Sutan
Iskandar, Kuala Lumpur: Pustaka Melayu Baru, 1962. Tenggelam-nya Kapal van
der Wijck, Hamka, Kuala Lumpu: Pustaka Antara, 1965, Pribadi, Hamka,
Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1965, Perburuan, Pramoedya Ananta Toer,
Melaka: Abbas Bandong, 1977, dan Keluarga Gerilya, Pramoedya Ananta
Toer, Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1977.
Namun, setelah memasuki abad ke 21
ketika ekonomi Malaysia makin meroket meninggalkan Indonesia yang hanya mampu
mengirimkan tenaga kerja kasar ke negeri jiran itu, mulai terjadi perubahan
sikap dan sudut pandang di kalangan pelajar dan intelektual muda Malaysia
terhadap Indonesia. Sastra Indonesia tidak lagi menjadi acuan utama di
sekolah-sekolah Malaysia sebagaimana yang dulu terjadi tahun 1950-1970an.
Sebaliknya masyarakat sastra dan
intelektual Indonesia yang dari dulu besar kepala dan memandang rendah terhadap
karya sastra Malaysia tidak berupaya mengenal karya sastra Malaysia sebagaimana
dulu Malaysia berupaya belajar kepada Indonesia dan sekarang mulai memetik
hasil dari pelajarannya itu. Publik pembaca sastra Indonesia hampir buta
terhadap karya sastra Malaysia meski beberapa nama besar penyair Malaysia
memiliki darah Indonesia seperti Arenawati (keturunan Bugis), Buyung Idris,
Siti Zainon Ismail (keturunan Minangkabau) bahkan Siti Zainon menamatkan kuliah
S-1di ASRI Jogyakarta.
Sementara itu harus kita akui bahwa
kemajuan ekonomi suatu bangsa secara paralel juga membawa kemajuan di bidang
pendidikan dan kebudayaan termasuk karya sastra. Malaysia, Brunai, dan Singapur
yang secara ekonomi relatif lebih makmur dibandingkan dengan Indonesia telah
mulai meninggalkan kita terutama dalam bidang pendidikan. Penulis dan
penerbitan buku sangat banyak dilakukan di Malaysia dan Singapur jika
dibandingkan dengan Indonesia yang penduduknya jauh lebih besar.
Para sastrawan mendapat penghargaan
yang tinggi dari pihak kerajaan Malaysia. Bahkan saat ini banyak pelajar dan
mahasiswa Indonesia yang memilih melanjutkan pendidikan tingkat pascasarjana ke
negeri jiran Malaysia dengan alasan biaya sekolah lebih murah, ketersediaan
buku bagi mahasiswa lebih banyak dan mudah, serta mutu lebih tinggi.
Sementara itu kaum menengah Malaysia
dan Singapura justru lebih memilih melanjutkan pendidikan ke Eropa dan Amerika
termasuk di bidang ilmu budaya dan kesusasteraan. Sehingga penelitian dan karya
sastra mereka adalah negeri Eropa dan Amerika sebagaimana yang disebutkan oleh Azwar
Alwee di atas.
Dalam kondisi seperti itulah kehadiran Mastera
dipandang tepat dan diharapkan dapat menjadi wadah yang efektif untuk
mengurangi jurang saling ketidakpahaman masyarakat penikmat dan sarjana sastra
di antara negara serumpun ini. Mastera yang setakat ini sudah berusia 18 tahun
diharapkan dapat menjembatani banyak hal dalam bidang kesusasteraan. Bagaimana Mastera
menjawab tantangan itu dapat dilihat pada program-program Mastera yang
disepakati pada tahun 1995 yang mencakupi hal-hal berikut:
1. Merancang
dan melaksanakan kegiatan sastera dan penyelidikan sastera di negara-negara
anggota secara bersepadu
2. Merancang
dan melaksanakan secara bergilir program-program bengkel penulisan karya
sastera untuk para sasterawan muda berpotensi di negara-negara anggota.
3. Mengusahakan
peluang penerbitan di setiap negara bagi karya pengarang-pengarang terkemuka di
negara-negara anggota agar dapat disebarluaskan kepada khalayak sastera
antarbangsa.
4. Mengusahakan
dana dan melaksanakan skim anugerah (yang namanya akan ditentukan) bagi
mengikhtiraf para sarjana sastera berkalliber tinggi dalam bahasa utama rantau
ini.
5. Mengusahakan
penerbitan majalah atau jurnal yang akan menampung hasil karya pengarang di
samping mengusahakan penerbitan risalah sebagai pusat pengumpulan maklumat dan
sumber penyebaran maklumat kegiatan kesusasteraan di negara-negara bderkenaan.
6. Meningkatkan
usaha melancarkan urusan lalu lintas pengedaran dan pemasaran penerbitan buku
dan majalah di kalangan negara-negara anggota.
7. Mengadakan
kerjasama dengan pusat-pusat Pengajian Kesusasteraan Asia tenggara seluruh
dunia untuk mengantarabangsakan hasil kesusasteraan rantau ini.
Berdasarkan keputusan umum sidang
Mastera ke 18 tahun 2012 di Kuala Lumpur, perhimpunan ini sudah menjalankan
beragam program yang mereka sepakati pada tahun 1995 tersebut. Beberapa program
yang sudah rutin dijalankan oleh Mastera antara lain: Sidang Musyawarah
Mastera, Seminar Antar bangsa kesusateraan Asia Tenggara (SAKAT), Seri Kuliah
Kesusasteraan Bandingan, Program Penulisan (Puisi, Cerpen, dan Drama). Program
pelatihan penulisan ini melibatkan pengarang-pengarang muda dari negara
anggota. Hasil dari pelatihan ini kemudian diterbitkan dalam beberapa antologi.
Penerbitan berkala Jurnal Pangsura dan Majalah Pusat, Penerbitan
karya seperti, Antologi Cerpen Empat Negara, (2005), Alang-Alang
Bulan: Antologi Puisi Mastera, (2010) dan Matahari di Nusantara:
Antologi Cerpen Mastera, (2010). Selain itu juga sudah dilakukan penyusunan
seperti; Bibliografi Kesusasteraan Bandingan, Bibliografi Hasil
Penerbitan Mastera (1997-2006), (2006—2009), Bibliografi Kajian
Kesusasteraan Melayu/Indonesia Klasik (2007), “Leksikon Sastra MASTERA‖ (2013). Program
Hasil Penelitian yang sudah dilakukan oleh Mastera adalah: “Kritik Sastera
Sebagai Pemahaman Lintas Budaya Antarabangsa Serantau: Novel” (2008), “Kritik
Sastra Sebagai Pemahaman Lintas Budaya Antara Bangsa Serantau:Puisi” (2011), “Kritik
Sastera Sebagai pemahaman Lintas Budaya Antarabangsa Serantau:Drama” (2012).
Program berikutnya adalah pemberian
penghargaan kepada pengarang dari masing-masing negara berdasarkan dedikasi dan
ketokohannya sebagai pengarang di negara masing-masing. Program penerjemahan
yang sudah dilakukan oleh Mastera adalah Penerjemahan Karya Sastera Terpilih:
Cerpen (2009), Penerjemahan Karya Sastera Terpilih: Puisi (2011), Penerjemahan
Karya Sastera Terpilih: Esai (2012), Penerjemahan Karya Sastera Terpilih: Esai
(2013). Mastera juga memiliki program pengharagaan yang disebut dengan Hadiah
Sastera MASTER (HSM).
Terakhir kali HSM diberikan kepada
Pengarang Joni Ariadinata dari Indonesia tahun 2010 atas ketokohannya sebagai
cerpenis dan penggiat sastra di Indonesia. Namun, sayang, program-program
Mastera yang sangat baik ini hanya diketahui di lingkungan terbatas saja
seperti instansi penyelenggara dan negara peserta. Sementara masyarakat sastra
di luar Badan Bahasa dan Mastera belum mengetahui secara luas kegiatan-kegiatan
yang telah dilakukan oleh Mastera.
Hal ini berbeda dengan kegiatan dan
program-program yang sama di bidang kesusasteraan yang digagas oleh UWRF,
Yayasan Lontar, dan Salihara Biennalle Literary yang mengemas setiap
program menarik dan beritanya disebarluaskan ke tengah masyarakat pencinta
sastra. Selain itu satu langkah strategis yang dilupakan oleh Mastera dalam
rangka memperkenalkan karya sastra berbahasa Melayu-Indonesia ke kancah
internasional adalah kurangnya publikasi hasil terjemahan Mastera ditampilkan
di ajang festival. Baik festival yang diselenggarakan oleh Mastera (jika ada)
maupun ajang festival lainnya seperti, Singapore Writers Festival, Ubud
Writers and Readers Festival, dan Frankfurt Book Fair di Jerman.
Kegiatan penerjemahan karya sastra masing-masing negara anggota ke bahasa asing
seperti Inggris, Mandarin, Jepang, Arab, Perancis, dan Jerman akan menjadi
kunci masuk bagi karya sastra Indonesia khususnya dan Melayu pada umumnya ke
masyarakat pembaca sastra dunia.
Mastera dengan kewenangannya yang
sangat luas di bidang sastra sejogyanya menjadi lembaga yang paling otoritatif
dalam menentukan nasib sastra di negara masing-masing sebagaimana pernah
dilakukan oleh Kantoor voor de Volkslectuur ‗Biro Sastra Rakyat Belanda‘
atau lebih populer dengan nama Balai Poestaka di masa Hindia Belanda yang
didirikan tahun 1908.
Balai Poestaka pada masa itu berhasil
memperkenalkan beragam karya sastra dunia khususnya Eropa ke dalam bahasa
Melayu. Bahkan Balai Poestaka memberikan pelatihan untuk menjadi pengarang
sekaligus penerjemah pada masa itu. Hanya sedikit sekali orang pribumi yang
menghasilkan penerjemahan secara mandiri. Diantara yang sedikit itu dapat
dilihat hasil-hasil terjemahan yang diterbitkan oleh para penerbit Muslim di
Medan tahun-tahun 1935. Atau dikenal juga dengan kelompok pengarang Roman Medan
(pen.)
Beberapa penerbit swasta Belanda yang
melakukan penerjemahan seperti Kolff (Buning) dan Wolters memegang monopoli
penerjemahan buku pelajaran di Hindia Belanda, (Doris Jedamski, 2009:173).
Pertemuan antara negara anggota Mastera yang rutin diadakan setiap tahun
hendaknya jangan hanya menjadi pertemuan para birokrat di masing-masing
lembaga. Keterbukaan, keterwakilan antara pengarang, peneliti, dan masyarakat
sastra secara luas hendaknya patut dipertimbangkan oleh panitia Mastera dalam
program-programnya ke depan. Mastera agaknya perlu mencontoh upaya yang
dilakukan oleh Yayasan Lontar yang berhasil memasarkan terjemahan karya sastra
Indonesia terpilih ke bursa buku sastra dunia melalui internet dan menerbitkan
terjemahan itu berdasarkan permintaan (order by demand). Atau upaya
majalah Horison yang secara mandiri gencar menerjemahkan dan menerbitkan puisi
penyair senior Taufiq Ismail ke dalam berbagai bahasa seperti bahasa Arab yang
diterjemahkan oleh Prof. Dr. Nabila Lubis dan berjudul Turab Faq Turab “Debu
di Atas Debu”
(2013). Terjemahan ke bahasa Rusia dilakukan oleh Victor Pogadaev, dan
terjemahan ke bahasa Inggris yang mencakup seluruh karya lengkap Taufiq Ismail
yang berjudul Dust on Dust oleh Prof. Emeritus Amin Sweeney yang baru
akan terbit pertengahan November nanti. Terjemahan ke dalam bahasa Belanda yang
sedang dikerjakan oleh Prof. Dr. Edwin Wieringa dari KÖln University.
Terjemahan ke dalam bahasa Perancis sedang dikerjakan oleh Prof. Dr. Etienne
Naveau, dan terjemahan ke dalam bahasa Persia.
Upaya Yayasan Lontar Membawa Sastra
Indonesia ke Khazanah Sastra Dunia
Yayasan Lontar adalah organisasi
independen dan nirlaba yang berkantor di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Tujuan
utama Lontar sebagaimana dimuat dalam Wikipedia-Indonesia (diunduh, 18
September 2013, pukul 12.01) adalah mempromosikan sastra dan budaya Indonesia
melalui penerjemahan karya-karya sastra Indonesia dengan sasaran sebagai
berikut. 1) Membangkitkan pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia agar
meningkat secara pesat, 2) Memudahkan karya sastra Indonesia diakses oleh
khalayak internasional dan; 3) Mendokumentasikan sastra Indonesia bagi generasi
masa depan. Gagasan untuk mendirikan Yayasan Lontar pertama kali disampaikan
oleh John Mc Glynn, seorang sarjana sastra Indonesia asal Amerika Serikat yang
sudah menetap di Indonesia sejak 30 tahun terakhir.
John Mc.Glynn kemudian bersama-sama
dengan sejumlah pengarang dan budayawan Indonesia yakni Goenawan Moehammad,
Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, dan Subagio Sastro Wardoyo, mendirikan
yayasan Lontar pada tahun 1987. Adapun program-program yang sudah dilaksanakan
oleh Lontar adalah menerbitkan jurnal Managerie yang bertujuan
memperkenalkan karya sastra Indonesia kepada khalayak berbahasa Inggris.
Kemudian Lontar juga memperkenalkan
program Modern Library of Indonesia yakni penerjemahan dan penerbitan 9
novel dan 1 antologi cerpen karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Inggris.
Kesepuluh karya sastra itu adalah: 1) Never the Twain (Salah Asuhan,
Abdoel Moeis, 1928). 2) Shackles (Belenggu, Armijn Pane, 1940),
3).The Fall and The Heart (Kejatuhan dan Hati, S. Rukiah, 1950),
4) Mirah of Banda (Mirah dari Banda, Hanna Rambe, 1986), 5) Familly
Room (Antologi cerpen, Lily Yulianti Farid, 2008—2009), 6) And the War
is Over (Dan Perangpun Usai, Ismail Marahimin, 1977), 7) The
Pilgrim (Ziarah, Iwan Simatupang, 1969), 8) Sitti Nurbaya (Marah
Roesli, 1922), 9) Telegram (Putu Wijaya, 1973), dan 10) Supernova:
The Knight, The Princess and the Falling Stars (Dee, 2001).
Selain karya-karya yang terdaftar dalam
Modern Library Indonsia di atas, Lontar juga pernah menerbitkan karya
Penyair Exile Indonesia (2006) yakni berisi sekumpulan karya puisi penyair
Indonesia yang kabur ke luar negeri karena peristiwa G-30 PKI tahun 1965. Tahun
ini Lontar juga sudah menerbitkan The Dancer (Rongeng Dukuh Paruk karya
Ahmad Tohari, 1982) yang juga sudah difilmkan baru-baru ini.
Upaya Salihara Membawa Sastra Indonesia
ke Khazanah Sastra Dunia
Rasanya hampir setiap insan sastra dan
seni di negeri ini pernah mendengar nama Salihara yakni sebuah komunitas
dibentuk oleh sejumlah sastrawan, seniman, jurnalis, dan peminat seni. Sejak berdiri
pada tanggal 08 Agustus 2008, Komunitas Salihara telah menampilkan berbagai
macam acara seni dan diskusi yang melibatkan seniman, sasgtrawan, dan pekerja
seni dari berbagai mancanegara serta berkelas dunia. Meski baru berdiri tahun
2008, kegiatan dan program mereka di bidang seni-budaya, dan sastra khususnya
sudah dimulai sejak tahun 1994 di Utan kayu Rawamangun sebagaimana dijelaskan
dalam situs resmi komunitas ini.
Setahun setelah majalah Tempo diberedel
pemerintah Orde Baru pada 1994, Goenawan Moehammad dan kawan-kawan mendirikan
Komunitas Utan Kayu di Jalan Utan Kayu 68H, Jakarta Timur, Komunitas Utan Kayu
ini terdiri atas Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Galeri Lontar, Teater
Utan Kayu (TUK), Kantor Berita Radio 68H, dan Jaringan Islam Liberal. Secara
terus-menerus komunitas ini berupaya menumbuhkan dan menyebarkan kekayaan
artistik dan intelektual, baik melalui pertunjukan kesenian, pameran seni rupa,
ceramah dan diskusi tentang beragam topik, maupun lewat tulisan yang
diterbitkan majalah Kalam (sayang sekarang sudah mati).
Komunitas Salihara dapat juga disebut
pusat kebudayaan alternatif yang tidak dimiliki oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah, ataupun kedutaan asing. Visi Komunitas Salihara adalah
memelihara kebebasan berpikir dan berekspresi, menghormati perbedaan dan
keragaman, serta menumbuhkan dan menyebarkan kekayaan artistik dan intelektual.
Program Komunitas Salihara
Selama satu tahun, Komunitas Salihara
menampilkan sekitar 100 mata acara pentas tari dan teater, konser musik, pembacaan
dan diskusi sastra, pameran seni rupa, pemutaran film, dan bengkel kerja tari,
sastra, dan musik. Di samping itu, Komunitas Salihara juga menyelenggarakan
diskusi dan ceramah, untuk menggiatkan perbincangan publik yang saat ini belum
banyak ruangnya; baik tentang isu yang sedang hangat, maupun pemikiran tokoh
dari bidang humaniora tertentu. Relatif dirancang secara jangka panjang,
seluruh program disusun oleh Dewan Kurator yang beranggotakan sastrawan dan
seniman terkemuka Indonesia.
Di samping program seni dan pemikiran
yang berlangsung setiap bulan secara reguler, saat ini Komunitas Salihara
memiliki beberapa program khusus seperti Festival Salihara (seni pertunjukan),
Bienal Sastra, Forum Seniman Perempuan Salihara, dan Forum Teater Salihara.
Bienal Sastra Salihara (Salihara
Biennale Literary) diadakan pertama kali pada tahun 2001 setiap 1 kali dua
tahun. Festival sastra berskala internasional ini bertujuan memperkenalkan n
sastra Indoneia klasik hingga kontemporer dan sastra dunia. Melalui ajang
festival, Salihara mencoba menampilkan karya dan sastrawan Indonesia dalam satu
panggung bersama dengan sastrawan dunia yang diundang ke acara ini. Sejak 2011
kegiatan festival Sastra Salihara berlangsung selama 1 bulan penuh yang
mencakupi program-program seperti: pentas baca sastra, diskusi buku, lokakarya
penulisan dan baca sastra, kunjungan ke sekolah/kampus, bahkan menafsirkan
puisi atau cerpen ke dalam music yang mereka sebut dengan istilah commission
work ‘karya pesanan‘.
Penciptaan komposisi musik atau seni
rupa berdasarkan puisi-puisi Indonesia itu dipilih oleh dewan curator dan
hasilnya dipentaskan atau dipamerkan selama berlangsungnya Bienal Sastra. Tahun
ini Bienal Sastra Salihara bertemakan Sirkus
Sastra yang digelar dari tanggal 20 September-27 Oktober 2013.
Berikut saya kutipkan penjelasan
mengenai program Bienal Sastra Salihara dari laman resminya yang diunduh pada
(www.biennaleliterary. salihara.org. Jumat, 20 September 2013, pukul 11.00).
“KOMUNITAS Salihara kembali menggelar
Bienal Sastra, kali ini bertema ―Sirkus Sastra‖. Serangkaian
perayaan sastra digelar lewat beragam acara dengan tidak selalu berkutat pada
teks dan naskah sastra. Pentas musik, pameran seni rupa ikut memeriahkan
perayaan sastra ini. Termasuk pertunjukkan teater-sirkus kontemporer tanpa
hewan disajikan dari Prancis, Jepang, dan Inggris. ―Sirkus‖
di sini adalah ajakan merenungkan kembali fantasi dan perasaan yang dibentuk
dari pengalaman menonton pertunjukan itu. Kami menemukan pertanyaan-pertanyaan
yang menyumbang kepada refleksi sosial hari ini,” kata Ayu Utami,
Kurator Sastra Komunitas Salihara, dalam pengantarnya. Menurutnya, pada sirkus
termaktub sebuah perenungan tentang keriaan sekaligus keterasingan.
Ayu menyebut bahwa sirkus tentu bukan
model ideal kehidupan, tapi ia adalah pengalaman bersama dan darinya renungan
kehidupan muncul. Tentang bagaimana sikap terhadap binatang, orang cebol,
termasuk mengenai siapa sejatinya sang liyan, yang ditonton atau menonton.
Bienal Sastra 2013: Sirkus Sastra digelar mulai 20 September hingga 27
Oktober mendatang dengan melibatkan para sastrawan dan seniman dari dalam
maupun luar negeri.
Rangkaian acara Bienal Sastra 2013
sejatinya telah diawali sejak April-Juni lalu dalam Kursus Menulis dan Berpikir
Kreatif dengan pengajar utama Ayu Utami. Para peserta lokakarya ini mencipta
cerpen yang akan diterbitkan dalam tema astrologi. Pembuka Bienal Sastra 2013
adalah pertunjukan sirkus kontemporer dari Compagnie Non Nova. Kelompok ini
akan membawakan dua nomor: Afternoon of a Foehn dan Vortex. Pertunjukan
ini yang didukung oleh Institut Français Indonesia bukan sebuah pentas sirkus
biasa. Para pemain akan bermain dengan benda-benda biasa seperti kantong
plastik.
Selain Compagnie Non Nova, masih ada
teater-srikus Gandini Juggling dari Inggris. Pameran seni rupa dan teater-tari
oleh Hiroshi Koike Bridge Project dari Jepang ikut menyemarakan Bienal Sastra
2013. Selain Hiroshi, perupa Entang Wiharso akan menampilkan serangkaian karyanya
selama berlangsungnya Bienal Sastra. Yang lain adalah pembacaan kartu tarot,
juga kursus sulap dan membaca tarot, dan lokakarya sirkus sosial.
Seri kuliah umum tentang Pemikiran
Seputar Sastra menjadi bagian lain dari Bienal Sastra 2013.‖(diunduh Kamis, 19
September 2013 dari www.literarybiennale.salihara.org). Pada tahun 2013 ini
Komunitas Salihara berkolaborasi dengan UWRF dalam menjalankan program
pelatihan penulisan yang bertajuk ―Women of Letters‖ (Surat-Surat
Perempuan).
Upaya UWRF Membawa Sastra Indonesia ke
Khazanah Sastra Dunia
Ubud Writers and Readers festival
disingkat UWRF diselenggarakan pertama kali pada tahun 2003 oleh Janet DeNeefe,
co-founder dari Yayasan yang bernaung di bawah bendera Mudra Swari
Saraswati. Pada tahun 2013 ini UWRF sudah memasuki tahun ke 10 peyelenggaraanya
sebagaimana termaktub dalam website URWF berikut ini:
“2013 marks a mammoth year for the Ubud
Writers & Readers Festival, as Southeast Asia‘s most renowned literary
event gets set to celebrate its 10 year anniversary from 11 – 15 October in
Ubud, Bali. In 2013, the Festival comes full circle returning to its original
theme Through Darkness to Light/ Habis Gelap Terbitlah Terang honouring
RA Kartini, Indonesia‘s beloved women‘s rights pioneer. Beyond paying homage to
Kartini, the 2013 program will focus on women‘s stories, women‘s rights and
education, heroes and visionaries. Writers across all genres will be embraced,
including travel writers, songwriters, playwrights, poets, comedians and
graphic novelists.”
The Ubud Writers & Readers Festival
is the major annual project of the not-for-profit foundation, the Yayasan Mudra
Swari Saraswati. It was first conceived of by Janet DeNeefe, co-founder of the
Foundation, as a healing project in response to the first Bali bombing.‖ (diunduh
www.ubudwritersfestival.com. 16 September, pukul 12.35)
Sebagaimana termaktub dalam kutipan di
atas, UWRF tahun ini mengusung tema festival dengan tajuk: “Habis Gelap terbitlah Terang” yang terinspirasi
dari surat-surat RA. Kartini, tokoh pergerakan perempuan Indonesia yang
terkemuka. Sesuai dengan tema tersebut, UWRF mengundang penulis perempuan
maupun laki-laki dari berbagai negara untuk membicarakan karya dan surat-surat
yang pernah mereka tulis yang berkaitan dengan tema pemberdayaan serta
emansipasi perempuan.
UWRF juga memiliki pilihan-pilihan
program yang dikemas secara menarik dan atraktif yang dapat kita saksikan dalam
laman mereka. Secara umum UWRF memiliki 9 program pada tahun 2013 dan
masing-masing memiliki sub-sub program. Kesembilan program tersebut adalah
sebagai berikut: Main Programe, Special Events, Film Programe,
Workshop, Arts Programe, Books Launches, Youth Programe,
Chliderns,s Programe, Taman Baca, Fringe Events, dan Free
Events. Adapun beberapa karya sastra Indonesia yang dipilih pada program Book
Launches UWRF tahun ini adalah novel Ranah 3 Warna (tahun) karya
Ahmad Fuadi, Pulang (tahun), dan The Longest Kiss(tahun) karya
Leila S. Chudori), The Question of Red (tahun), merupakan versi Inggris
dari Amba: Sebuah Novel (2012) karya Laksmi Pamuntjak.
Selain terdapat juga beberapa karya
lain yang berjudul Rendition of My Soul karya Desak Yoni, Bones of
The Dark Moon karya Richard Lewis. Novel ini mengisahkan kesedihan,
ketakutan, kebahagian, dan pembunuhan massal yang berlatarbelakang peristiwa
gestapu tahun 1965-an di Klungkung, Bali. Novel ini adalah hasil pengalaman
pengarang yang lahir dan besar di Bali ketika mengikuti ayahnya; seorang
misionaris Amerika saat itu. Satu pujian yang sangat tepat diberikan oleh
panitia UWRF terhadap Leila S. Chudori dan karyanya yang saya kutip berikut ini
dari laman UWRF.
“When Leila S. Chudori published Malam
Terakhir in 1989, she was hailed by critics as the golden child of
Indonesian literature. Then her work as a journalist interrupted her literary
career & she did not publish her next collection of stories, 9 Dari Nadira,
until 2009. In 2012, she published the novel Pulang (Coming Home)
to much critical acclaim. Pulang has since gone through three print
runs. Her stories have recently been published in English under the title The
Longest Kiss & her novel is in the process of translation. At the
launch there will be readings from Pulang by actress Adinia Wirasti
& excerpt from The Longest Kiss by Leila”. (Diunduh tanggal 16
September pukul 15.00 dari website UWRF). Ketika Prof.Dr. E.P. Wieringa, Professor
für Indonesische Philologie und Islamwissenschaft, Universität zu Köln,
Jerman berkunjung ke Jakarta pertengahan September yang lalu, ia menyampaikan
pujiannya terhadap novel Pulang karya Leila dan sangat susah berpaling
dari sebelum menyelesaikannya.
Menurut Prof. Wieringa, novel tersebut
sangat layak untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman sebagai salah satu
bakal karya sastra Indonesia modern yang layak dipamerkan pada acara Franfurt
Books Fair, tahun 2015 mendatang di Jerman. Penerjemahan ini menurut beliau
lebih jauh adalah sebagai salah satu langkah untuk memenuhi syarat
keikutsertaan Indonesia pada pameran buku terakbar di dunia karena Indonesia
harus memiliki terjemahan karya sastra sebanyak 75% ke dalam bahasa Jerman.
Namun, sayang sejauh ini syarat itu masih belum banyak ditindaklanjuti oleh
pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Indonesia sebagai lembaga yang sangat berkepentingan menangani hal ini.
UWRF sebagai salah satu ajang
penyelenggara pertemuan sastra yang berskala internasional malah memberi ruang
yang luas pada karya-karya dari pengarang luar untuk ikut diluncurkan karya
mereka di dalam program Book Launches. Misalnya karya Joost Coté yang
menjadi editor dan penerjemah bagi kumpulan surat-surat Kartini: the
Complete Writings (1898-1904).
Pendapat Sitor Situmorang pada tahun
2010 ketika menjadi pembicara utama sastrawan Indonesia di UWRF saat itu layak
untuk dicermati; bahwa suatu festival adalah bentuk pengharapan akan adanya
penulis-penulis sastra yang berkualitas. Kualitas festival bukan hanya
tergantung pada kerja kepanitiaan UWRF yang memang profesional. Kualitas itu
juga tergantung pada siapa yang menjadi partisipan di dalamnya. Tampaknya, yang
perlu diagendakan adalah membuat sesi-sesi tertentu lebih istimewa mengacu pada
tema yang diangkat dalam rangkaian UWRF. Dengan demikian, akan terasa guratan
tematik dalam rangkaian acara. Tidak saja mengundang penulis-penulis terbaik,
tetapi bagaimana menjejakkan tematik sebagai spirit dalam festival ini.
Sebuah perhimpunan sastra yang bernama
Persatuan Sastra-Budaya Negara Serumpun disingkat PSBNS adalah perhimpunan
sastra serumpun yang baru-baru ini didirikan atas inisiatif para pengarang yang
bertemu di alam maya seperti Facebook
kemudian melanjutkannya ke dunia nyata.
Lima perwakilan negara Asia Tenggara (
Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapur, dan Thailand) pada bulan Juni 2013 di
Jakarta bertemu pada bulan Juni yang lalu dan bersepakat untuk membuat sebuah
komunitas sastra setelah terlebih dahulu melahirkan satu antologi cerpen yang
bertemakan etnis. Kesepakatan itu kemudian diperluas dengan rencana deklarasi
bersama perkumpulan ini pada bulan November mendatang di Aie Angek, Padang
Panjang, Sumatera Barat. Tidak banyak yang dapat disampaikan mengenai kiprah
PSBNS saat ini karena mereka satu perkumpulan yang sangat muda dan masih harus
membuktikan diri sebagai sebuah perkumpulan yang tidak dibiayai sama sekali
oleh pemerintah dan menjadi perkumpulan yang nirlaba bukanlah sebuah pekerjaan
yang mudah untuk bertahan dan menjalankan program.
Sebagai perhimpunan nirlaba PSBNS masih
berorientasi kepada penulis negara anggota yang tergabung di bawah perhimpunan
tersebut. Para penulis dari negara- serumpun ini bersatu menerbitkan sejumlah
buku dan salah satu yang sudah terbit adalah satu antologi cerpen yang berjudul
Cerita Etnis 5 Negara (2013). Program lainnya yang sudah dijalankan oleh
PSBNS adalah program pertukaran penulis antara negara anggota (Home Stay).
Para penulis akan ditampung di rumah
masing-masing pengarang yang ditunjuk dan disepakati oleh pengurus chapter
setiap negara. Program tahun depan PSBNS akan mengembangankan anggota penulis
tidak hanya terbatas pada lima negara serumpun saja melainkan juga membuka
ruang bergabungnya penulis-penulis dari negara lain di dunia yang tertarik
menulis dan menerbitkan karya sastra dalam bahasa Melayu-Indonesia.
Di antara penullis yang berminat dan
sudah mendaftarkan diri secara informal ke perhimpunan ini menurut Dr. Free
Hearty adalah pengarang dari China, Korea, Jepang, dan Yugoslavia. Jika Mastera
dibentuk dan dibiayai oleh pemerintah masing-masing negara anggota, maka PSBNS
membiayai diri mereka secara mandiri, tambah Dr. Free Hearty, ketua harian
PSBNS.
Penutup
Setelah kita mencermati sepak terjang
masing-masing perhimpunan sastra di atas, sungguh semua upaya itu patut
dihargai karena dilakukan dengan penuh dedikasi kepada sastra Indonesia dan
kebudayaan umumnya. Masing-masing perhimpunan dan komunitas memiliki kelebihan
dan kekurangannya tetapi yang jelas semua memiliki tujuan memajukan sastra
Indonesia ke pentas antar bangsa melalui beragam program yang dimiliki dan
ditawarkan kepada masyarakat sastra Indonesia dan dunia.
Mastera dalam hal ini diwakili oleh
Badan Bahasa memang tidak dapat dituntut menyelenggarakan kegiatan festival
sastra sebaik yang dilakukan oleh UWRF atau Bienal Sastra Salihara karena
keterbatasan sumber daya manusia, waktu, dan kefokusan dalam pekerjaan. Namun,
Mastera dapat meningkatkan kegiatannya dengan memperbanyak hubungan kerja-sama
dengan lembaga-lembaga swasta seperti yang disebutkan di atas dalam
mempromosikan sastra Indonesia-Melayu. Sedangkan fokus ke dalam perhimpunan
adalah meningkatkan kegiatan pertukaran karya antar negara anggota, pengarang,
dan hasil kajian sastra masing-masing negara.
Kegiatan tersebut sangat relevan dengan
tugas pokok dan fungsi Badan Bahasa maupun Dewan Bahasa dan Sastera anggota
Mastera yang lain. Selain itu, perlu meningkatkan publikasi untuk setiap
kegiatan Mastera sudah sepatutnya dilakukan. Keterbukaan, kebaruan, dan
keberterimaan program-program Mastera ke depan perlu sekali diperhatikan oleh
Badan Bahasa sebagai satu-satunya lembaga resmi Indonesia yang mewakili masyarakat
sastra Indonesia di panggung Asia Tenggara.
Tentu saja peran membawa sastra
Indonesia ke khazanah sastra dunia bukan hanya menjadi tugas dan tanggungjawab
Mastera (baca Badan Bahasa) tetapi tugas masyarakat sastra Indonesia secara
umum. Perlu upaya-upaya lain juga untuk mewujudkan niat baik ini seperti yang
sudah dirintis oleh berbagai perkumpulan di atas.
Upaya penerjemahan dan penerbitan karya
sastra Indonesia sebanyak mungkin ke dalam bahasa asing tetap merupakan langkah
utama agar sastra Indonesia dikenal lebih luas di dunia. Peneliti dan pemerhati
sastra harus bekerjasama meyakinkan pemerintah seperti Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif bahwa misi kebudayaan di luar negeri sudah sepatutnya
dilakukan juga melalui promosi karya sastra Indonesia.
Hasil budaya suatu bangsa bukan hanya
tergambar dalam wujud tari-tarian atau tempat wisata belaka sebagaimana yang
selama ini dipahami secara keliru oleh pihak Kemenpar melainkan juga dapat
disampaikan dan terekam dalam karya sastra. Namun, Badan Bahasa adalah lembaga
resmi pemerintah yang paling otoritatif untuk menjadi lokomotif penggerak
kejayaan sastra Indonesia di kancah antar bangsa, baik melalui hasisl kajian
sastra, penerbitan, penerjemahan, penghargaan, dan kerjasama dengan
lembaga-lembaga luar yang relevan dengan kegiatan ini. Mampukah kita?
Jawabannya berpulang pada semangat dan kemauan politik Badan Bahasa yang
mengurusi sastra dan bahasa di negeri ini. Dan yang paling patut diingat adalah
bahwa tinggi rendahnya kebudayaan suatu bangsa dapat diukur dari buku-buku
sastra yang dilahirkan oleh penulis-penulis negeri itu.
Daftar Pustaka
Abdullah Hassan. 2008. ―Bahasa Melayu
dan Cabaran Kemunculan Era Kreasi Abad ke 21‖, Makalah
Seminar Bahasa dan Sastra MABBIM-MASTERA, Jakarta, 7-8 April 2008.
Anantatoer, Pramoedya. 1965 Perburua.
Melaka: Abbas Bandong
-----------------.1977. Keluarga Gerilya.
Kuala Lumpur: Pustaka Antara.
Azhar Ibrahim Alwee. 2008. “Memartabadkan
Bahasa dan Sastra nasional dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Budaya Serumpun”,
Makalah Seminar Bahasa dan Sastra MABBIM-MASTERA, Jakarta, 7-8 April 2008.
Cote, Joost. 2013. Kartini: the
Complete Writings (1898-1904). Monash: Monash Unversity Publishing.
Chudori, Leila. S. 2010. Pulang.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
---------.2012. The Longest Kiss.
Jakarta:
Hamka. 1961. Tuan Direktur,
Kuala Lumpur: Pustaka Antara.
---------.1965. Tenggelam-nya Kapal
van der Wijck, Kuala Lumpu: Pustaka Antara.
---------.1965. Pribadi. Kuala
Lumpur: Pustaka Antara. Fuadi, Ahmad. 2010.
Ranah Tiga Warna. Jakarta: Gramedia. Mu‘jizah dan Abdul Rozak Zaidan (ed).
2005.
Antologi Cerpen Empat Negara. Jakarta: Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional.
(ed). 2005.
Alang-Alang Bulan: Antologi Puisi
Mastera. Jakarta: Pusat Bahasa, Kementerian
Pendidikan Nasional.
--------- (ed). 2010. Matahari Di
Nusantara: Antologi Cerpen Mastera. Jakarta: Pusat Bahasa, Kementerian
Pendidikan Nasional.
--------- (ed). 2010. Bibliografi
Kesusasteraan Bandingan, Bibliografi Hasil Penerbitan Mastera (1997-2006),
(2006—2009). Jakarta:
Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan
Nasional Mu‘jizah dkk. 2007. Bibliografi Kajian Kesusasteraan
Melayu/Indonesia Klasik. Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional.
Iskandar, Nur Sutan. 1962. Apa
Dayaku Kerana Aku Perempuan. Kuala Lumpur: Pustaka Melayu Baru.
Ismail. Taufiq. 2013. Turab Faqq
Turab (Debu di Atas Debu): Kumpulan Puisi Dwi Bahasa terjemahan Nabilah
Lubis. Jakarta: Horison.
Tohari, Ahmad. 1982. Ronggeng Dukuh
Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tulisan
ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya,
28—31 Oktober 2013 yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar