OLEH Khairul Jasmi (Wartawan Senior)
PULANG kampung tak sekadar melepas rindu, tapi sekaligus membangun kampung halaman. Begitulah tekad perantau Minang. Dulu, ketika mereka pergi ke rantau, selalu diniatkan, kampung halaman baru akan diinjak lagi jika sudah berhasil di negeri orang. Artinya, perantau akan pulang bila sudah mampu menyumbang untuk tanah kelahiran.
PULANG kampung tak sekadar melepas rindu, tapi sekaligus membangun kampung halaman. Begitulah tekad perantau Minang. Dulu, ketika mereka pergi ke rantau, selalu diniatkan, kampung halaman baru akan diinjak lagi jika sudah berhasil di negeri orang. Artinya, perantau akan pulang bila sudah mampu menyumbang untuk tanah kelahiran.
Untuk ukuran provinsi, perantau Minang
memang dahsyat. Jumlah penduduk Sumatera Barat sebanyak delapan juta jiwa,
separuhnya di rantau. Dua juta di Jakarta. Maka tak heran di metropolitan ini
terbit surat kabar khusus untuk perantau, namanya Minang Pos.
Perantau Jakarta itulah yang pekan ini
pulang basamo ke Padang. Mereka membawa uang Rp200 juta untuk dibagi-bagikan
kepada generasi muda yang sedang menimba ilmu di perguruan tinggi, SMU, SLTP,
dan SD. Jumlah yang menerima 706 orang. Mahasiswa mendapat Rp 450 ribu per
tahun, siswa SMU Rp240 ribu per tahun, SLTP Rp185 ribu per orang, dan murid SD
Rp120 ribu tahun. Perantau yang pulang dipimpin oleh Syahrul Effendy itu
menamakan dirinya Gerakan Sosial Orang Rantau (Gesor). Beberapa tahun lalu,
masih dari Jakarta, perantau datang membawa sembilan bahan pokok (sembako) dan
dibagi-bagikan kepada ribuan rakyat di 14 Dati II.
Semua perantau Minang memiliki satu
organisasi: Gerakan Seribu (Gebu) Minang. Masih ada ratusan organisasi lainnya
di berbagai kota di Indonesia dan di luar negeri. Paling kecil adalah
organisasi perantau se-nagari (desa), lalu se kabupaten. Organisasi perantau
nagari yang paling terkenal adalah SAS, singkatan dari Sulit Air Sepakat.
Nagari Sulit Air, negeri kerontang di Kabupaten Solok itu, praktis hidup dari
kiriman wesel dari rantau. Desa kecil itu memiliki stasiun radio sendiri.
Kemudian ada lagi organisasi perantau Koto Gadang, kampungnya Emil Salim. Yang
ini rada unik, sebab yang di rantau hampir 100 persen sarjana. Sementara lebih
dari separuh rumah di kampung kosong.
Tiap jalur perantau mengirim uang ke
kampungnya ke kabupatennya, dan lewat Gebu Minang untuk tingkat provinsi.
Paling tidak, lewat kiriman wesel pos, rumah tangga orang Minang menerima
kiriman dari rantau Rp 3 miliar setiap bulannya. Angka ini akan membengkak
sebelum Lebaran. Itu baru data resmi, belum lagi kiriman uang lewat orang
kampung, kenalan, dan lewat bank.
Kepedulian perantau Minang pada kampung
halaman-nya dapat dilihat dari pembangunan masjid, sekolah, dan sarana sosial
lainnya di kampung halaman mereka. Partisipasi orang rantau sama besarnya
dengan penduduk yang menetap di kampung.
Kiriman uang itu, sampai 1989 tidak
terpantau baik. Sebab memakai jalur tradisional. Lagi pula, lebih banyak
digunakan untuk keperluan konsumtif. Namun, sejak Gebu Minang berdiri 24
Desember 1989 di Bukittinggi, sejak itu penggunaan uang dari rantau sudah
terpantau, paling tidak kiriman uang para perantau yang berhasil dan sukses.
Data per Desember 1998 yang dirilis Ketua
Umum Gebu Minang, Prof Emil Salim, menunjukkan, organisasi itu sudah memiliki
19 Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Lima di antaranya di Jakarta. BPR itu
memiliki aset sebanyak Rp 17 miliar, dengan nasabah sebanyak 50 ribu orang
lebih. BPR Gebu Minang memiliki capital adequary ratio (CAR) yang baik, yaitu
37%, sementara garis minimalnya 8%. BPR ini, juga menjalin kerjasama dengan
United States Agency for Development (USAID). Kerjasama ini untuk meningkatkan
SDM BPR di Gebu Minang.
Gebu Minang, menurut Ketua Eksekutifnya,
Prof Harun Zain, merupakan organisasi sosial orang rantau. Lewat Gebu Minang,
perantau bisa menyalurkan kepedulian sosialnya kepada kampung halaman.
Sensitivitas
Perantau
Kepedulian yang datang dalam wujud
bantuan diberikan juga oleh perantau yang menjadi politisi. Seperti yang
dilakukan Jusril Djusan, anggota DPR RI. Ia satu-satunya anggota dewan yang
memberikan bantuan modal kerja, traktor tangan, sembako kepada ratusan rakyat
tidak mampu di Padang Panjang dan Tanah Datar. Jumlahnya sudah mencapai Rp300
juta lebih.
Pada awal-awal 1990-an, perantau Aminuzal
Amin, gila-gilaan memberikan bantuan. Ia mendirikan sejumlah masjid sendirian,
membantu pembangunan fasilitas kota di Batusangkar.
Selain memberikan uang, sebenarnya ada
satu lagi yang sangat penting diberikan perantau terhadap Minang-kabau. Mereka
selalu peduli pada persoalan sosial, ekonomi bahkan politik. Menurut Harun
Zain, mantan Gubernur Sumatera Barat, semua itu pertanda kepedulian semata.
Tidak ada pemilihan gubernur, bupati, dan walikota di Sumatera Barat yang lepas
dari pengaruh orang rantau. Namun, kadang-kadang ikut campur dalam urusan
politik di kampung terlalu jauh, sering melecehkan aspirasi penduduk yang
bermukim di Sumatera Barat.
Oleh pemerintah daerah, meski tidak
diberlakukan sama, tapi tokoh-tokoh rantau pulang sering disambut dengan resmi.
Ini wajar, sebab meski pulang ke kampung sendiri, tapi mereka tak ubahnya
seperti seorang wisatawan. Mereka membelanjakan uangnya, bahkan menyumbang
dalam jumlah yang cukup banyak. Perantau yang sering menyumbang untuk berbagai
keperluan di Sumatera Barat adalah Is Anwar, Abdul Latief, Nasrul Chas, Fahmy
Idris, Aminuzal Amin, dan lainnya. Sedangkan pikiran-pikirannya yang diharapkan
adalah Emil Salim, Harun Zain, Abdul Latief, Tarmizi Taher, Taufik Abdullah,
Taufiq Ismail, Rosihan Anwar, Yanuar Muin, dan sederetan nama lainnya.
Menurut sosiolog Dr Mochtar Naim dalam
bukunya Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (1984), rantau dalam arti koloni
oleh orang Minang sudah ada sejak abad ke-6. Mereka tidak saja mencari
penghidupan, tapi kemudian berkembang menjadi rantau politik, sekolah, dan
sebagainya. Ir Yanuar Muin menyebutkan, meski jauh merantau tapi ikatan batin
dengan kampung halaman tak akan pernah putus. Ia menamakan ikatan itu dengan
Minang maimbau (Minang mengimbau).
Imbauan, panggilan kampung halaman itu,
sebenarnya sudah ada dalam pantun tua Minang: Karatau madang di hulu/ berbuah
berbunga belum/ merantau bujang dahulu/di kampung berguna belum. Artinya,
seorang yang pergi merantau menginginkan agar dirinya berguna—seperti orang
lain—bagi kampung halamannya. Bila sudah berguna, ia akan pulang dan membangun
tanah kelahirannya.
Apalagi sejak Orde Baru, selalu saja
pemerintah bilang, dana pemerintah tidak cukup, maka partisipasi masyarakat
sangat diperlukan. Lalu, tradisi merantau itu, kemudian terbukti sudah mendarah
daging bagi orang Minang. Dalam konsep budaya Minang, merantau tidak saja
keluar wilayah hukum adat, tapi termasuk merantau keluar dari kabupatennya.
Mereka adalah perantau juga, tapi perantau lokal ini tidak termasuk yang
diwadahi oleh Gebu Minang. Gebu Minang hanya mewadahi perantau di luar Sumatera
Barat. Perwakilannya terserak di seluruh Indonesia dan di luar negeri. Tiap
perwakilan punya ketua dan secara periodik mengirimkan laporannya ke Ketua Gebu
Minang di Jakarta. Sastrawan AA Navis, adalah Ketua Gebu Minang untuk Sumatera
Barat. Ia berinduk ke Jakarta.***
PADANG, 29 JANUARI 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar