OLEH Khairul Jasmi (Wartawan Senior)
Pers Sumatera Barat adalah
pers yang relatif tua. Pada 1859, atau 25 tahun seusai Perang Paderi, perang
yang melibatkan orang Minang melawan Belanda, terbit surat kabar bernama Sumatera
Courant di Padang. Meski surat kabar ini lahir sebelum abad XX, tapi
dinamika persuratkabaran di sana baru terasa pada awal abad XX hingga menjelang
kemerdekaan Indonesia.
Sejumlah nama penting dalam dunia jurnalisme masa itu antara
lain: Mahyuddin Datoek Soetan Maharadja, Rohana Kudus, Sa’adah Alim, Abdullah
Achmad, dan Adinegoro serta Hamka pada generasi berikutnya. Tercatat pula nama
yang tak kalah pentingnya, Ahmad Khatib Datuk Batuah, pemilik surat kabar Djago
Djago dan Pemandangan Islam.
Sejak 1859 sampai kemerdekaan, tercatat 81 penerbitan di
Minangkabau. Sejak kemerdekaan hingga kini tercatat 41 surat kabar, termasuk 23
yang terbit setelah jatuhnya Presiden Soeharto. Daftar panjang surat kabar ini
jadi bukti sejarah bahwa Minangkabau telah lama akrab dengan teks dan
kata-kata.
Kepiawaian menulis atau mengeluarkan pendapat berpendaran di
halaman-halaman surat kabar. Media massa jadi sarana melancarkan perbincangan
dan polemik. Mula-mula tentang kebangkitan Asia, Jepang, lalu format masa depan
negara. Tak luput juga tentang bagaimana agama Islam seharusnya dipahami dan
dijalankan. Pesertanya kaum tua dan muda. Perdebatan agama inilah yang malah
berlangsung tajam.
Di masa Datuk Soetan Maharadja yang lebih dikenal dengan
sebutan Datuk Bangkit, Pelita Ketjil mengambil peran yang luas dalam isu
tadi. Pelita Ketjil, seperti terbaca dalam buku Provinsi Sumatera
Tengah, adalah koran yang terbit pertama kali pada 1882 dan dipimpin H.A.
Mess, seorang Belanda Indo, lalu B.A. Dosseau, dan terakhir dipimpin Datuk
Soetan Maharadja. Datuk, seperti dicatat B. Schrieke dalam buku Pergolakan
Agama di Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi (1973), mengarahkan
penanya kepada ulama Syekh Achmad Chatib.
“Kita orang Minangkabau harus mengusahakan jangan sampai
kita kehilangan kemerdekaan kita dengan menyerahkan diri kepada orang-orang
Mekkah. Bukankah negeri Minangkabau yang indah ini dengan wanita-wanitanya yang
cantik ini sendiri sudah merupakan taman firdaus dibandingkan dengan Arab yang
panas terik, di mana kaum lemah (yang kurang cerdas) secara tepat memakai
kudung,” tulis Datuk.
Pada saat itu surat kabar Pelita Ketjil memiliki
koresponden di Mekkah, yang otomatis mengirimkan berita perkembangan Islam di
sana.
Bapak Jurnalisme Melayu ini mengkal benar hatinya membaca
tulisan Ahmad Khatib Datuk Batuah, pe-mimpin redaksi surat kabar Pemandangan
Islam dan Djago!Djago! yang menyerang para penganut garis keturunan
matriarkat, sesuatu yang lazim di Minang-kabau. Ahmad Khatib Datuk Batuah
mengatakan mematuhi hal itu sama halnya dengan mematuhi lembaga-lembaga kafir,
yang berasal dari setan, dari Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk
Ketumanggungan (dua tokoh legendaris Minangkabau). Matriarkat tak sesuai dengan
ajaran Islam. Karena itu, katanya, seluruh perkawinan yang sudah terjadi di
Minangkabau harus diulang. Harta pusaka tinggi, yang tak bisa diperjualbelikan
dan diatur menurut garis ibu, yang dikuasai kemenakan harus dikembalikan kepada
anak mamaknya. Jika tidak, sama halnya dengan merampas harta anak yatim.
Datuk Soetan Maharadja menulis dan membela kaum adat tak
hanya dalam Pelita Ketjil, melainkan kemudian di Warta Berita,
surat kabar yang didirikannya pada 1891. Tulisan-tulisannya juga muncul di Oetoesan
Melajoe. Itulah contoh perdebatan para pemikir Minangkabau.
Pada 1900, di Padang terbit pula surat kabar Padanger,
gabungan Sumatera Courant dan Nieuw Padangsch de Padanger Handelsblad.
Setahun sesudahnya, kaum muda, para guru, dan pegawai bumiputra berpendidikan
Barat melahirkan sebuah jurnal bernama Insoelinde. Mereka, golongan ini,
yakin kemajuan harus dicapai melalui pendidikan modern. Mereka kurang suka
pendidikan sekolah agama.
Menurut Taufik Abdullah dalam bukunya, Shcools and
Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatera (1927-1933), para
pengasuh Insoelinde tergila-gila pada prestasi Jepang. Kata kuncinya:
kaum muda, sekolah, dan politik. Jurnal ini memiliki koresponden dari seluruh
Nusantara. Kebanyakan memuat artikel yang mendesak kemerdekaan Indonesia. Insoelinde
juga membedah persoalan harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah, sebuah
perdebatan yang hampir satu abad kemudian tetap menarik untuk dilakukan.
Pusaka rendah dalam konsep adat Minangkabau ialah harta
pencarian suami-istri yang diwariskan kepada anak-anak mereka. Adapun harta
pusaka tinggi berupa harta yang diatur menurut garis keturunan ibu. Harta ini
warisan turun-temurun dari nenek moyang sehingga tak boleh diperjualbelikan dan
diwariskan kepada kemenakan (keponakan) dari garis ibu.
Berbeda dengan Insoelinde, surat kabar Wasir
Hindia serta Bintang Sumatera yang terbit pada 1903 memuat banyak
artikel tentang kemajuan Asia terutama Jepang. Pada 1905 terbit pula Sinar
Sumatera, disusul Warta Hindia pada 1908.
Oetoesan Melajoe muncul pada 1910, dan pada tahun berikutnya, Soenting
Melajoe. Kedua surat kabar ini didirikan Datuk Soetan Maharadja, orang dari
Sulit Air itu.
“Chauvinismenya sangat tinggi. Ia selalu membangkitkan
semangat keminangkabauan orang Minang. Karena itulah ia digelari Datuk
Bangkit,” kata Kamardi Rais Datuk P Simulie dari Persatuan Wartawan Indonesia
Sumatera Barat. Datuk Kamardi Rais mengenal Datuk Bangkit lewat
tulisan-tulisannya dan “sering bertanya pada yang tua-tua.”
Oetoesan Melajoe berusaha membangun rasa bangga masyarakat
Minangkabau atas keminangkabauan mereka. Hal ini tercermin dalam moto Oetoesan
Melajoe: “Jang Poenja dan Jang Mentjitak Snelpersdrukkerij Orang Alam
Minangkabau.” Kedekatan hati Datuk Bangkit pada Minangkabau dan Melayu yang
terpantul dalam tulisan-tulisannya, mungkin menjadi alasan Ph. S. Van Ronkel,
seorang filolog dan pembuat katalog naskah Melayu lama menggelarinya “Bapak
Jurnalis Melayu.”
Datuk Bangkit pernah juga terlibat polemik panjang dengan
Sa’adah Alim, kelak jadi pemimpin redaksi Suara Perempuan, tentang
pergaulan muda-mudi. Sa’adah ingin melihat dunia perempuan sebagai dunia yang
tak dikekang terlalu erat. Sa’adah mengeluh betapa sulitnya seorang gadis
hendak pacaran di Minangkabau. Datuk berpaham sebaliknya. Alasannya, pacaran
itu tak sesuai dengan adat-istiadat. Wanita, apalagi seorang gadis, harus suci
sehingga tak boleh bergaul terlalu bebas.
Isi tulisan Datuk Bangkit yang sangat memihak kaum adat
membuat Abdullah Achmad, pendiri Yayasan Syarikat Oesaha Adabiah, terilhami
menerbitkan surat kabar Al Munir pada 1911. Banyak orang pintar menulis
di sana, antara lain Buya Rasul dan Syekh Muhammad Thaib dari Sungayang. Dua
ulama ini tak saja menulis bagaimana menjalankan agama secara baik, tapi juga
perkembangan pemikiran Islam di dunia.
Pada 1915, Al Munir pindah terbit di Padang Panjang
dengan nama baru Al Munirul Mannar. Walau tirasnya kecil, jangkauannya
luas sampai ke Malaysia. Ia jadi bacaan wajib kalangan ulama Minangkabau.
Tahun-tahun berikutnya, artikel yang muncul di surat kabar
Padang lebih mengarah pada soal politik, khususnya semangat anti-Syarikat
Islam. Malahan ada yang sampai pada kesimpulan bahwa Islam tak memerlukan
Syarikat Islam lagi, padahal Syarikat Islam partai politik pertama di daerah
ini dengan tokoh utamanya Abdul Muis, seorang intelektual muda. Banyak penghulu
dan pegawai negeri yang menilai partai politik sebagai perusak otoritas
pemerintah dan pendukung adat.
Setelah Padang, Padang Panjang mengambil peranan cukup
penting dalam perdebatan agama, komunis, dan pembaharuan Islam. Hal serupa
ternyata meluas ke kota-kota lain, seperti Padang Japang, Batusangkar,
Sungayang, Maninjau, Parabek, dan Sulit Air.
Perdebatan tersebut melibatkan hampir semua ulama terkenal,
sesuatu yang tak pernah lagi terjadi di alam kemerdekaan, berpuluh-puluh tahun
kemudian.
Dari sekian banyak media cetak yang terbit pada awal abad
ke-20, satu di antaranya media anak-anak Rantai Mas terbitan Indische
National School Kayutanam. Empat surat kabar khusus perempuan juga meramaikan
dunia persurat kabaran Sumatera ini, masing-masing Soenting Melajoe
(1911) di Padang yang dipimpin Ratna Djuita yang akrab disapa Rohana Kudus, Soeara
Perempuan (1919) yang dipimpin Sa’adah Alim, Soeara SKIS (Serikat
Kaum Ibu Sumatera, 1938) di Padang Panjang yang dipimpin Encik Djusa’ir, serta Soera
Poetri di Bukittinggi yang dipimpin Djanewar Djamil dan Sjamsidar Jahja.
Minat Baca Tinggi
Minat baca masyarakat di Sumatera Barat tak hanya tercermin
melalui wajah penerbitannya sendiri, tapi juga kiriman buku-buku dari Timur
Tengah. Semangat juang yang menggelora pun terlihat dari jumlah pemesan Indonesia
Merdeka, surat kabar terbitan Perhimpunan Indonesia di Belanda. Dari 280
pelanggan Indonesia Merdeka di Hindia Belanda pada 1924, pelanggan
tertinggi berada di Jawa Tengah sebanyak 68 orang dan Jakarta 45 orang.
Sementara Sumatera Barat berada pada urutan ketiga dengan 37 pelanggan,
satu-satunya daerah di Indonesia, di luar Jawa, yang mengakrabi media cetak
secara menakjubkan.
Sebanyak 10 surat kabar di Padang memakai judul yang memikat
dan menggelorakan roh perjuangan, seperti Pelita Ketjil, Djago-Djago, Boeka
Mata, Soeloeh Melaju, Bintang Tionghoa, dan Perubahan. Dari 107
surat kabar dan majalah yang diterbitkan kaum terpelajar Indonesia –seperti
dicatat B. Schrieke, penasihat pemerintah Belanda urusan bumiputera– surat
kabar di Padang dan Semaranglah yang memakai nama-nama bernuansa perjuangan
semacam itu.
Sumbangan surat kabar sebelum kemerdekaan terasa bernasnya.
Mereka membangun masyarakat yang berpikir, menghargai pendapat, memberi ruang
bagi pengembangan ide-ide. Tapi, pada periode berikutnya, mungkin karena medan
perjuangan yang juga berbeda, kehadiran surat kabar dan majalah lebih berbicara
pada rencana setelah kemerdekaan. Lambat-laun mereka masuk dalam kusut-masainya
persoalan bangsa.
Dengan rapi, Goenawan Mohamad—pemimpin redaksi majalah Tempo—menukilkan
di kumpulan eseinya Catatan Pinggir I (1982): “Jangan Loepa! Djangan
Laloe! Dan djangan maoe ketinggalan! Pemandangan Islam tersedia untuk
membela Ra’jat yang melarat dan tertindas.”
Iklan itu tipikal Indonesia pada 1920-an yang resah,
mengabarkan kelahiran sebuah surat kabar perjuangan. Ia dimuat 11 November 1923
dalam surat kabar perjuangan lain, yang namanya sampai kini tak tertirukan: Djago
Djago.
Yang menarik, baik Pemandangan Islam maupun Djago!
Djago! membawa bendera Islam juga panji komunisme. Keduanya didirikan Ahmad
Khatib gelar Haji Datuk Batuah, orang Koto Lawas, yang bagi para ulama dan
penghulu adat di Sumatera Barat waktu itu, mencengangkan sekaligus mencemaskan.
Djago! Djago! terbit tiga kali seminggu dan tampil sebagai
bacaan yang keras. Kondisi rakyat yang melarat menjadi bahan propaganda di
surat kabar ini.
Sementara itu, Pemandangan Islam, tampil lebih ilmiah
sebagai jurnal teoritis tentang komunisme Islam. Ahmad Khatib Datuk Batuah tokoh yang agresif.
Ia murid Haji Rasul di Thawalib, Padang Panjang. Ia kemudian menjadikan
Thawalib basis kegiatan politiknya, meski akhirnya gagal.
Melalui kedua surat kabarnya itu, Ahmad Khatib Datuk Batuah
menyemai paham komunisme di Minangkabau. Thawalib secara mengejutkan
menampilkan murid-murid yang cenderung berpolitik, sesuatu yang ditentang
orang-orang pesantren di Parabek, yang apolitis.
Pengaruh komunisme di Minangkabau tak dapat dipungkiri.
Sejarah Indonesia mencatat bahwa pemberon-takan pertama terhadap pemerintah
Belanda digerakkan oleh kaum komunis yang terjadi di Silungkang pada 1927.
Tujuannya memerdekakan rakyat dari penjajah. Pemberontakan tersebut berhasil
ditumpas kolonial. Di lain pihak, Tan Malaka, salah seorang tokoh mereka yang
terkemuka, juga tak merestui pemberontakan yang dianggap belum matang itu.
Sejumlah pemimpin Partai Komunis Indonesia akhirnya ditangkap dan dibuang ke
Digul, Papua Barat.
Djago! Djago! dan Pemandangan Islam merupakan bagian
dari 20 penerbitan berhaluan komunis di Indonesia yang tersebar di berbagai
kota sepanjang 1920-an. Di Sumatera Barat saja, selain di Padang Panjang, surat
kabar sehaluan terdapat di Padang (Petir, Buka Mata, dan Torpedo),
Bukittinggi (Doenia Achirat), dan Solok (Sasaran Ra’jat).
Surakarta yang terbanyak, memiliki enam surat kabar, disusul Semarang dan
Bandung, masing-masing empat surat kabar. Baik yang terang-terangan membawa
suara kaum komunis maupun yang tidak, hampir semua surat kabar terbitan 1920-an
berhaluan radikal revolusioner.
Sebagaimana yang dicatat Goenawan Mohamad, “Indonesia di
tahun 20-an memang memungkinkan banyak hal, yang ramai.” Namun, jumlah
penerbitan atau surat kabar berhaluan kiri ini jauh lebih kecil dibanding yang
diterbitkan kalangan Islam sendiri.
Ketika Jepang berkuasa di Sumatera Barat, praktis semua
penerbitan gulung tikar. Sepanjang 3,5 tahun itu, hanya ada tiga surat kabar
yang sepenuhnya dikendalikan Jepang. Ketiganya, Padang Nippo, Sumatera
Simbun, dan Domei. Begitu Indonesia merdeka, suasana pun berubah.
Para wartawan yang dulu memiliki surat kabar, berkeinginan menghidupkan kembali
surat kabarnya yang dulu mati suri. Masyarakat sangat haus akan berita,
terutama mengenai perjuangan dan pergolakan yang berlangsung di Pulau Jawa.
Rasa haus itu terpuaskan oleh Bustanuddin yang menghadirkan majalah bulanan Berdjuang
yang terbit di Padang Panjang pada September 1945. Di kota yang sama, tiga
bulan kemudian, muncul harian Demokrasi yang diterbitkan Yusdja dengan
pemimpin redaksi M. Joesoef.
Pada 1946, Hamka dan Haskim kembali menghadirkan sebuah
majalah di Padang Panjang dengan nama Menara. Majalah ini membawa suara
golongan Muhammadiyah. Setelah di kota
hujan itu, pada September 1945 di Padang hadir pula harian Utusan Sumatera yang
diterbitkan Bariun A.S. bersama Mulkan, Muchtar Mahyuddin, Marah Alif dan,
sejumlah nama lain. Masih di Padang, pada bulan yang sama lahir Suara
Sumatera yang diterbitkan Lie Un Sam. Surat kabar ini dipimpin S. Alaudin.
Usianya singkat. Tapi, pemiliknya menerbitkan surat kabar lain, Harian
Penerangan. Adinegoro, kelak
nama tokoh pers nasional ini diabadikan sebagai nama Balai Wartawan Padang, tak
mau ketinggalan. Ia menerbitkan surat kabar Kedaulatan Rakyat pada
Oktober 1945 di Bukittinggi. Ia berhasil memperjuangkan alat-alat percetakan,
kertas, dan tinta di Kayu Ramang, lalu mempercayakan Anwar Luthan menjadi
pemimpin redaksi koran ini.
Sementara itu, Kasoema yang menjadi wartawan Demokrasi di
Padang Panjang pada 1948, menerbitkan surat kabar Haluan di Bukittinggi,
kemudian kantor harian ini pindah ke Padang. Sebelum Haluan milik
Kasoema, pada 1926 pernah terbit surat kabar bernama sama di Padang. Haluan sama
radikalnya dengan surat kabar Boeka Mata yang dipimpin Muhammad Sahak.
Motonya saja berbunyi, “Haluan” menerangkan macam-macam kesesatan dan kegelapan
yang telah ditaburkan oleh beberapa pembohong dan pendusta,” tanpa menjelaskan
siapa yang dimaksud “pembohong dan pendusta” itu. Sejumlah surat kabar lainnya
juga memperkaya konfigurasi jagad pers Minang, seperti Suara Merdeka, Pelopor,
Nyata, dan tabloid Kemudi. Kedaulatan Rakyat satu-satunya
surat kabar di Sumatera Barat, juga dikenal dengan Sumatera Tengah, yang
bertiras paling tinggi masa itu. Oplahnya mencapai 14 ribu eksemplar.
Dengan tiras sebanyak itu, dalam keadaan sulit karena Sekutu
setiap saat mengancam, Kedaulatan Rakyat terus menggelorakan
semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan.
Ketika Adinegoro pindah ke Jakarta, Kedaulatan Rakyat
berubah nama menjadi Daulat Rakyat, lalu berganti lagi dengan Utusan
Rakyat. Barangkali surat kabar yang sering berganti nama memang tak berumur
panjang. Tak berapa lama, bahan-bahan percetakan sulit didapat. Situasi
bertambah buruk saat pemerintah menyita percetakan surat kabar ini. Riwayat Kedaulatan
Rakyat, sebuah surat kabar terbesar yang pernah ada di Sumatera Barat pun
tamat. Namun, sejarah tetap menulisnya.
Itulah riwayat pers Sumatera Barat, yang melalui teks,
perdebatan, konflik, dan jatuh-bangun, telah menyumbangkan pemikirannya untuk
pers Indonesia. ***
Pantau, Tahun II Nomor 022 - Februari 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar