mantagibaru.com—Kehidupan pers di Tanah Air, tak seperti yang
dibayangkan sebagai kontrol sosial yang mampu mengkritisi hal-hal yang timpang.
Kehidupan pers, terutama di daerah, tak bisa lepas dari ketiak pemerintah
daerah. Ini menjadi masalah besar sebenarnya. Kondisi pers di Sumatera Barat,
tak lepas dari hal demikian.
Wartawan Senior Hasril Chaniago
mengatakan, hari ini pers di Sumbar tengah berlarut-larut dalam menjalankan
roda bisnis dibanding mengedepankan idealisme dalam menjalankan fungsinya,
terutama fungsi kontrol sosial.
Kenyataan tersebut bukan tanpa sebab,
jika dirunut satu per satu, segala macam kelambanan pembangunan di Sumbar pasca
kemerdekaan menjadi alasan mengapa fungsi itu menjadi terbagi.
Memang kita tidak menutup mata,
kelangsungan hidup pers tidak bisa bergantung pada produksi beritanya saja.
Namun, peranan iklan sangat besar sehingga tidak bisa dikesampingkan, apalagi
pada media cetak. Apalagi jika dibandingkan dengan negara maju, memang minat
baca di negara berkembang seperti Indonesia jauh lebih rendah. Hal itu berimbas
pula pada jumlah penjualan koran yang lemah, terutama di daerah-daerah,
sehingga iklan pada media cetak sangat dibutuhkan.
Hasril melanjutkan, lemahnya ekonomi yang
menjadi sahabat karib di negara berkembang selalu menjadi alasan mengapa oplah
koran di Sumbar ikut lemah. Dari oplah lemah berimbas pada keprihatinan kehidupan
wartawan dari segi ekonomi, sehingga mau tidak mau dan suka tidak suka sebagian
wartawan harus memutar otak mencari jalan lain untuk memenuhi kebutuhan.
Bicara kesejahteraan insan pers, Hasril
menilai semuanya bisa diraih asalkan profesionalisme serta mutu wartawan dan
karyawan marketing bisa ditingkatkan. Meskipun bukan pekerjaan gampang, tapi
Hasril yakin suatu saat pers Sumbar akan sampai pada tahapan tersebut.
“Khusus untuk media cetak, bahkan saat
ini kehadiran media elektronik dan media online kadang menjadi tantangan
tersendiri, bahkan ancaman. Bagi media cetak yang cepat tanggap, mereka bisa
menggabungkan ketiganya dalam satu wadah. Bagi yang tidak bisa, tentu akan
sangat terancam,” katanya lagi.
Perihal peran pers Sumbar dalam
pembangunan, Pemimpin Redaksi (Pimred) Singgalang Khairul Jasmi ikut angkat
bicara, ia menilai pers Sumbar saat ini kerap bergantung pada aktivitas angkek talua (bisnis, red). Sehingga
sejalan dengan pemikiran Hasril Chaniago, KJ—sapaan akrab Khairul Jasmi—
menilai wartawan kerap terlena dan mengabaikan tugas utama jurnalistik untuk
mendorong pembangunan.
“Memang bisnis dalam pers tidak bisa
dielakkan,namun sepenting apapun itu, sosial kontrol, penyebaran informasi dan
pendidikan tetap harus diutamakan. Mungkin cara yang paling masuk akal dengan
menyediakan space (ruang) khusus untuk itu, seperti advertorial, pariwara atau
halaman kontrak. Dan semestinya, hurufnya dibedakan,” terang Khairul.
Masih terkait peran pers dalam
pembangunan, Khairul juga mengkritisi para wartawan, terutama redaktur politik
dan wartawan yang biasa nongkrong di gubernuran dan di kantor parlemen Sumbar.
Menurutnya wartawan harus membaca dengan seksama rencana-rencana pembangunan
Sumbar, sehingga tahu mana yang mesti dikiritisi dan mana pula yang harus
dilakukan tindakan indept reporting
(laporan mendalam).
“Pembangunan Sumbar itu bukan sekadar
fisik saja. Halaman ekonomi dan berita mendalam soal ekonomi di semua surat
kabar di Sumbar masih kurang serius dikerjakan, kadang terlalu banyak berita
promosi produk. Selain itu sisi pembangunan adat dan agama juga masih kurang
disentuh dengan serius,” ucapnya lagi.
Khairul juga menerangkan, sekurang-kurangnya
ada empat pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan secepatnya. Pertama,
memantapkan peran pers sebagai pedoman dalam melahirkan pemikiran, karena pers
ibarat agen bus di terminal, tahu bus masuk dan keluar, tahu tipe penumpang,
tipe sopir, tipe pedagang kaki lima dan tipe semua petugas di sana. Untuk itu
pers juga harus menjadi tempat bertanya, bukan sekadar melempar isu.
Pekerjaan rumah kedua, bagaimanapun pers
harus menjaga ideologi jurnalistik. Sebagaimana diketahui, institusi pers
terdiri dari pemilik, pemasang iklan dan ideologi. Semuanya harus saling mengerti
posisi satu sama lain. Perusahaan perlu bekerja secara profesional sehingga
idealisme wartawan bisa tagak tali karena wartawan merasa cukup kebutuhan dan
bisa menjaga ideologi jurnalistik.
“Itu beban berat kita sebagai wartawan,
tapi bagaimanapun itu harus dilakukan demi martabat kewartawanan,” tegas Khirul
lagi.
Sedangkan dua pekerjaan rumah lainnya
adalah masalah kesejahteraan dan peningkatan penjualan. Menarik kepercayaan
konsumen membeli koran dan memasang iklan tentu dengan cara mengedepankan
akurasi dan kepercayaan dalam pemberitaan.
Hari Pers Nasional (HPN) yang jatuh pada
9 Februari, dan peringatannya tahun ini diselenggarakan pada 6-10 Februari 2015
di Tanjungpinang dan Batam dengan tema Pers Sehat, Bangsa Hebat juga
ditanggapi oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Wilayah Sumbar Prof. Dr. H.
Syamsul Bahri dengan turut mengungkapkan sukacita sembari menitip pesan.
“Kehadiran pers di Sumbar tentu sangat
berpengaruh dalam pembangunan. Fungsinya sebagai media penyalur informasi
sangat dibutuhkan. Apalagi media cetak, yang tentu memiliki kompetensi tersendiri
di antara media lainnya,” ucap Syamsul.
Ia juga berharap pers di Sumbar tetap
konsisten menjadi bagian dari media pendidikan, baik pendidikan agama, politik,
ekonomi dan lain sebagainya. “Selain itu, peran pers sebagai media perdamaian
juga sangat diandalkan oleh masyarakat yang kadang berpotensi terpecah belah.
Tentu kita sangat berharap pers di Sumbar bisa menjalankan fungsinya demi
kemajuan Sumbar,” tutup Syamsul.
Sumber Harian
Haluan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar