OLEH
Bagus Kurniawan
Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Abstrak
Sampai saat ini studi filologi
Indonesia masih belum menunjukkan perkembangan yang pesat sejak studi dimulai
oleh pengkaji Eropa di Nusantara kira-kira pada awal abad ke-16 karena masih
berkutat pada studi naskah yang berorientasi penyajian suntingan naskah.
Akibatnya, penelitian-penelitian
filologi Indonesia tidak cukup banyak menghasilkan penelitian kesusastraan
Melayu klasik yang berbobot karena masih terbatas pada studi naskah. Hal itu
merupakan kesinambungan tradisi filologi yang diwariskan para filolog Eropa
tersebut sehingga peneliti Indonesia hanya berkutat pada studi naskah.
Ada tujuan khusus yang ingin dicapai
oleh filolog Eropa dalam meneliti naskah Nusantara terkait posisi mereka
sebagai seorang orientalis yang pada umumnya bertujuan melihat bentuk-bentuk
kebudayaan asli masyarakat Nusantara. Oleh sebab itu, peneliti filologi
Indonesia seharusnya tidak serta merta mengikuti paradigma peneliti filologi
Eropa secara kaku.
Paradigma studi filologi sebagai studi
sastra selain sebagai studi naskah akan membuka kemungkinan untuk meneliti
aspek kesastraan dalam konteks kebudayaannya dengan lebih tajam, lebih
luas,lebih detail, dan mungkin lebih berbobot. Khazanah sastra Melayu klasik
selama ini oleh peneliti-peneliti Eropa dianggap sebagai sebuah tradisi sastra
yang telah mendunia terkait persinggungannya dengan belahan dunia lain di masa
perdagangan maritim. Oleh sebab itu, paradigma filologi sebagai sebuah studi
sastra secara otomatis akan memperkaya kajian-kajian sastra Melayu klasik
sebagai warga sastra dunia.
Kata kunci: filologi, metode, studi
sastra Melayu klasik
Pengantar
Menurut Baried dkk. (1994: 1) filologi
merupakan ilmu yang berhubungan dengan karya sastra masa lampau yang terkandung
dalam naskah tulisan tangan. Karena ditulis dalam wujud naskah tulisan tangan,
maka dalam proses transmisi teks tidak terlepas dari kesalahan-kesalahan atau
ketidakajegan penyalinan. Adanya perbedaan bacaan dalam naskah ketika suatu
teks disalin menuntut adanya perbedaan perlakuan antara teks-teks modern yang
diperbanyak secara modern dengan teks klasik yang diperbanyak secara manual
dengan ditulis tangan.
Oleh sebab itu, ketika akan diteliti
sebagai sebuah penelitian ilmiah membutuhkan pertanggungjawaban filologis
karena satu naskah dengan naskah yang lain bisa berbeda walaupun mengandung
teks yang sama.
Di lain pihak, teks modern yang
diperbanyak menggunakan mesin cetak tentu tidak akan berbeda wujudnya satu sama
lain karena telah menggunakan satu desain produksi yang sama.
Di situlah perbedaan perlakuan yang
mendasar antara teks modern dengan teks klasik. Dalam teks sastra klasik, satu
naskah dapat berbeda satu sama lain dalam hal jumlah halaman, lebar naskah,
wujud sampul, atau bahkan variasi bacaannya.
Oleh sebagian ahli, faktor-faktor di
atas dianggap sebagai prinsip dasar perkembangan ilmu filologi. Dasar
perkembangan ilmu filologi di masa awal dilakukan karena adanya perbedaan
bacaan dalam proses transmisi naskah. Prinsip itu dianut oleh ahli filologi
bangsa Yunani di Kota Iskandariyah abad ke-3 SM.
Pada waktu itu yang berkembang dalam
mazhab Iskandariyah adalah semangat untuk mengetahui sejumlah warisan ilmu
pengetahuan bangsa Yunani kuno yang terdapat di dalam naskah berupa
gulungan-gulungan papirus1. Untuk mencapai tujuan itu, metode yang digunakan
adalah telaah naskah dengan memperbaiki ejaan, huruf, bahasa, tata tulisnya,
dan kemudian menyuntingnya dalam keadaan yang mudah terbaca, dan bersih dari
kesalahan-kesalahan penyalinan. Eksemplar yang bebas dari kesalahan-kesalahan
penyalinan ini kemudian disalin berkali-kali untuk tujuan penyelamatan (Baried
dkk. 1994: 32—33).
Secara historis, hasrat mengkaji
naskah-naskah Nusantara mulai timbul dengan kehadiran bangsa-bangsa Barat di
Nusantara sejak abad ke-16 seiring dengan masuknya pengaruh Eropa. Para
misionaris, zending, dan pedagang menjadi pionir dalam pengkajian naskah-naskah
klasik Nusantara dan menjadi semakin meningkat ketika VOC mulai berkuasa
(Cristomy dalam Mulyadi (Ed), 1991: 63).
Pada masa awal perkembangannya, metode
kajian yang digunakan oleh filolog Barat masih menggunakan metode mazhab
Iskandariyah. Metode itu dilakukan karena para pengkaji naskah Nusantara pada
dasarnya adalah seorang orientalis. Yang dimaksud dengan istilah orientalis
dalam pengertian ini adalah siapa saja yang mengajar, menulis, atau melakukan
penyelidikan dunia Timur yang meliputi bidang antropologi, sosiologi, sejarah,
filologi, dan lain sebagainya (Said, 2001: 2; Hanafi, 2000: 26).
Para orientalis Belanda mengkaji
naskah-naskah klasik Nusantara untuk mempelajari tata bahasa Melayu,
adat-istiadat, dan kebudayaan Melayu untuk tujuan penguasaan kolonial. Dalam
konteks kolonialisme Belanda, upaya-upaya tersebut antara lain dilakukan di
Academie te Delft dan Koninklijke Militaire Academie di Breda yang mendidik
para calon pegawai administrasi Hindia-Belanda (ambtenaar) yang akan ditugasi
di Nusantara (Sudibyo, 2009: 12).
Sepanjang uraian di atas mengisyaratkan
bahwa perkembangan studi filologi di Indonesia pada masa awal tumbuh dan
berkembang dalam tradisi orientalisme (Sudibyo, 2009: 17). Karena terpengaruh
oleh tradisi orientalis, maka studi filologi dimaksudkan untuk menyajikan
suntingan teks terhadap naskah-naskah Nusantara untuk tujuan pembelajaran atau
studi ketimuran.
Tradisi filologi orientalis ini
kemudian berpengaruh besar terhadap perkembangan studi filologi di masa awal
yang dilakukan oleh peneliti-peneliti Indonesia. Karena pengaruh yang begitu
besar itu, pada masa awal perkembangan studi filologi Indonesia sangat suntuk
pada tujuan penyajian suntingan teks. Akibatnya, filologi Indonesia terkesan
monoton, sangat lamban proses perkembangannya, dan bagi para peneliti muda
terkesan tidak trendi dan tidak menarik (Sudibyo, 2009:4).
Dengan demikian, harus diakui bahwa
studi filologi di Indonesia pada masa awal sangat terpengaruh oleh tradisi
filologi Eropa (Belanda). Keinginan untuk menjangkau naskah arketip (naskah
mula) seperti halnya filolog mazhab Iskandariyah sangat besar. Konsekuensinya,
tradisi studi filologi Indonesia tidak berkembang pesat seperti halnya tradisi
pengkajian sastra modern.
Ketidakfamilieran filologi Indonesia di
mata para peneliti sastra Indonesia setidak-tidaknya dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Pertama, filologi Indonesia dipandang sebagai suatu bidang
kajian yang memiliki kesulitan lebih kompleks dibandingkan dengan sastra modern
karena harus berhadapan dengan objek kajian berupa naskah tulisan tangan.
Teks yang masih tersimpan dalam naskah
tulisan tangan memerlukan proses transliterasi dan penyuntingan. Oleh sebab
itu, setiap penelitian filologi dipandang harus melalui tahap penyuntingan dan
transliterasi naskah terlebih dahulu. Bahkan, penyuntingan naskah dianggap
harus tetap dilakukan meskipun sudah ada beberapa suntingan terdahulu yang
dapat digunakan sebagai bahan kajian.
Kedua, penyuntingan naskah
memerlukan waktu yang sangat panjang karena proses penyuntingan memerlukan
energi dan ketekunan dan keuletan peneliti yang sangat besar (Soeratno, 2011:
6; Robson, 1994: 12). Ketiga, adanya pandangan bahwa penelitian filologi
yang sempurna dan dapat dianggap sebagai sebuah studi yang monumental ialah
penelitian filologi yang mampu menyusun stemma codicum atau silsilah
naskah.
Penelitian filologi dalam pengertian
semacam ini sangat menyulitkan peneliti karena untuk dapat menyusun sebuah stemma
codicum atau silsilah naskah, seorang peneliti dituntut memiliki kemampuan
yang luas dalam bidang kebudayaan, tata bahasa secara diakronis, kesusastraan,
atau bahkan mungkin sejarah sosial dan politik.
Oleh sebab itu, sampai dasawarsa ini
ilmu filologi Indonesia terkesan tidak berkembang dengan baik, tidak menemui
suatu kemajuan yang cukup berarti.
Berdasarkan uraian di atas, paradigma
studi filologi Indonesia perlu ditelaah ulang apakah studi naskah/suntingan
naskah merupakan suatu keharusan penelitian filologi atau tidak. Jika melihat
pada penelitian Braginsky (1998), Zoetmulder (1985), dan Koster (1997)
tampaknya paradigma penelitian filologi yang harus selalu menghadirkan
suntingan naskah perlu dikritisi ulang karena ketiga peneliti tersebut mampu
menghasilkan sebuah studi kesusastraan Melayu-Jawa klasik yang elegan dan
berbobot tanpa menyajikan sebuah suntingan naskah terlebih dahulu.
Ketiga peneliti tersebut menggunakan
suntingan-suntingan teks peneliti terdahulu untuk dikaji melalui perspektif
hermeneutika filologi. Artinya, ada suatu kemungkinan bahwa studi filologi
Indonesia tidak harus melakukan studi naskah/suntingan naskah, tetapi dapat
berupa studi yang mengungkapkan penafsiran terhadap teks sastra Melayu klasik sebagai
sebuah produk kebudayaan. Dengan demikian, studi filologi Indonesia dapat
diposisikan sebagai sebuah studi naskah dan sebuah studi sastra Melayu klasik.
Filologi sebagai Metode dan Studi
Sastra
Di dalam buku Pegantar Teori
Filologi yang ditulis oleh Baried dkk. (1994: 12—31; bdk. Soeratno, 2011:
10) diuraikan bahwa filologi dapat berposisi sebagai sebuah disiplin ilmu yang
memerlukan ilmu bantu dari ilmu-ilmu bidang yang lain atau justru sebagai ilmu
bantu bagi bidang-bidang yang lain, seperti sastra, antropologi, hukum, dan
linguistik. Dalam rumusan kalimat yang lain, filologi dapat dipahami sebagai
dua hal.
Pertama,
filologi dapat dianggap sebagai sebuah studi terhadap naskah-naskah klasik
Nusantara.
Kedua, filologi dapat
dimaknai sebagai sebuah studi sastra Melayu klasik. Filologi sebagai sebuah
studi naskah selama ini telah diaplikasikan dalam kegiatan penelitian yang
bertujuan mencari silsilah naskah atau penerbitan suntingan naskah. Dasar kerja
yang dipakai dalam kegiatan pelacakan silsilah naskah ialah suatu naskah dalam
penyalinannya selalu tidak setia, selalu ada bentuk-bentuk variasi atau bahkan
versinya (Baried dkk. 1994: 5).
Dalam pengertian ini, stemma codicum
merupakan tujuan utama penelitian sehingga tujuan akhir penelitian adalah
menghasilkan sebuah naskah yang bersih dari kesalahan-kesalahan bacaan.
Filologi dalam pengertian yang kedua, filologi ditempatkan sebagai sebuah studi
sastra yang berobjek teks-teks sastra Melayu klasik. Filologi beroperasi
sebagai sebuah metode memperlakukan naskah Melayu klasik yang menuntut
perlakuan yang berbeda dibandingkan dengan teks modern.
Perlakuan filologi sebagai sebuah
metode bagi studi sastra Melayu klasik menempatkan suntingan teks bukan lagi
satu-satunya hasil yang harus diraih. Akan tetapi, orientasi penelitian sudah
bergeser dari naskah ke teks. Dalam kontreks studi sastra Melayu klasik,
filologi bukanlah sebagai teori, tetapi metode perlakuan naskah. Filologi hanya
dipakai sebagai salah satu langkah kerja studi sastra Melayu klasik. Hal itu
didasari bahwa perlakuan terhadap naskah modern dengan naskah klasik sangat
berbeda (Soeratno, 2011: 6).
Perbedaan keduanya terletak pada objek
studi sastra modern menggunakan objek kajian berupa naskah yang digandakan
dengan teknik cetak sedangkan studi sastra Melayu klasik menggunakan salinan
penyalinan dalam menggandakan teks sehingga antara satu naskah dengan yang lain
berbeda bacaan maupun wujudnya. Dengan demikian, suatu teks bisa terdapat dalam
naskah yang berbeda-beda satu dengan yang lain.
Filologi sebagai sebuah upaya studi
sastra Melayu klasik berarti pula menempatkan teks-teks sastra Melayu klasik
sebagai sebuah produk kebudayaan yang memiliki signifikansi kultural.
Tampaknya, hal inilah yang perlu dikembangkan oleh para peneliti filologi
Indonesia masa kini.
Hanya saja, hal itu mendapat hambatan
karena kesadaran penelitian filologi masa kini masih cenderung berpusat pada
pengertian filologi sebagai studi naskah. Akibatnya, pada umumnya
penelitan-penelitian filologi terdahulu kurang dapat dimanfaatkan oleh
peneliti-peneliti filologi selanjutnya. Suatu publikasi penelitian filologi
dilakukan oleh Depdikbud melalui proyek-proyek penerbitan suntingan
naskah-naskah Melayu klasik pada dekade 1980--1990-an (Mulyadi dalam
Ahimsa-Putra (Ed), 2007: 345).
Akan tetapi, hasil-hasil penerbitan
tersebut tidak banyak dimanfaatkan sebagai sebuah proses akumulasi ilmu
pengetahuan. Selain itu, para peneliti dari kalangan akademisi kadang-kadang
selalu berpikir melakukan penelitian filologi berarti harus menyajikan
suntingan teks sehingga penggunaan hasil suntingan orang lain sebagai dasar
kajian merupakan hal yang dianggap tabu.
Tujuan
utama dan paradigma penelitian filologi di Indonesia yang masih memandang
penerbitan suntingan adalah segala-galanya merupakan pengertian filologi
sebagai sebuah studi naskah.
Filologi
dalam pengertian ini mengakibatkan penelitian filologi sebelumnya tidak
terakumulasi. Penelitian terdahulu tidak dapat diakumulasi sebagai sebuah
proses perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bagi ilmu filologi Indonesia.
Jadi, hal itu kemudian mengakibatkan perkembangan ilmu filologi di Indonesia
tidak berkembang dengan baik.
Masa Depan Studi Filologi Indonesia dan
Tantangannya
Penelitian filologi Indonesia harus
berupa penerbitan suatu suntingan teks saat ini masih dianggap sebagai suatu
dogma. Penelitian semacam ini berarti pula bahwa filologi masih sebatas sebagai
studi naskah.
Hal ini berarti bahwa studi fillologi
Indonesia berkembang dalam tradisi yang diwariskan oleh para filolog Belanda,
tidak berkembang dengan mempertimbangkan tradisi kesusastraan Melayu klasik
yang sangat berbeda dengan tradisi kesusastraan klasik Eropa. Hal inilah yang
perlu untuk dirumuskan ulang. Citra studi filologi yang kian hari kian
terbentuk adalah suatu bidang kajian yang sangat sulit dan sangat merepotkan
untuk dilakukan dan terkesan sangat eksklusif jika dibandingkan dengan studi
sastra modern.
Oleh sebab itu, sejak masa awal
perkembangannya di Indonesia, studi filologi tidak tumbuh dengan pesat. Hal itu
dapat dilihat melalui kuantitas penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh
para peneliti Indonesia maupun bentuk-bentuk kajiannya.
Dibandingkan dengan jumlah kajian
telaah sastra modern Indonesia, telaah kajian filologi sangat minim. Selain
itu, perkembangan yang ada di antara keduanya baik dari sisi teoretis maupun
bobot kajian juga sangat tidak berimbang. Barangkali telaah-telaah dan hasil
kajian dalam bidang sastra Indonesia modern yang telah diterbitkan di Indonesia
cukup banyak.
Sebaliknya, penerbitan hasil-hasil
kajian ilmiah yang dilakukan dalam bidang filologi tidak setiap tahun ada. Hal
ini kemungkinan besar disebabkan adanya paradigma yang selalu diwariskan oleh
peneliti terdahulu kepada peneliti muda bahwa filologi merupakan kegiatan
penelitian yang membutuhkan ketekunan, keuletan, dan tingkat kesulitan yang sangat
tinggi sehingga filologi tidak digemari. Bahkan, dalam kehidupan kegiatan
ilmiah kajian sastra di universitas-universitas yang memiliki jurusan Sastra
Indonesia, spesialisasi filologi setiap tahun peminatnya sangat sedikit, tidak
mencapai jumlah dua digit angka. Hal ini sangat ironis jika dibandingkan dengan
bidang spesialisasi yang lain, yaitu sastra dan linguistik yang selalu
dibanjiri peminat.
Situasi di atas memerlukan sebuah
solusi. Salah satu yang harus dikerjakan adalah mengubah paradigma penelitian
filologi. Jika paradigma penelitian filologi sebelumnya menganggap studi naskah
sebagai studi filologi yang utama, maka di masa depan paradigma penelitian
filologi harus memiliki alternatif. Salah satu paradigma yang patut untuk
dikembangkan adalah filologi Indonesia sebagai sebuah studi sastra Melayu
klasik.
Paradigma ini bukan berarti kemudian
menganggap studi naskah tidak penting, tetapi hanya sebuah koreksi bahwa studi
naskah bukan satu-satunya alternatif penelitian filologi yang dapat dilakukan.
Oleh karena itu, langkah itu dapat
mengubah dua pandangan yang salah selama ini. Pertama, penelitian
filologi adalah penelitian yang memerlukan biaya sangat mahal karena harus
menghadirkan naskah sebagai suatu bahan suntingan. Kedua, dapat
menghapus paradigma penelitian filologi harus melewati proses transliterasi
naskah sehingga memerlukan waktu yang begitu panjang. Dengan adanya paradigma
baru dalam penelitian filologi di atas diharapkan membuka
kemungkinan-kemungkinan penelitian yang selama ini dianggap bukan sebagai
penelitian filologi.
Paradigma penelitian filologi sebagai
sebuah studi naskah tampaknya juga berakibat tidak berkembangnya teori-teori
dalam filologi Indonesia. Sejak berkembang pada masa awal sampai dasawarsa
sekarang ini, filologi Indonesia dapat dikatakan belum mampu merumuskan sebuah
perumusan teori filologi Indonesia yang komprehensif. Memang, ada perumusan
teori-teori dalam bidang kesusastraan Melayu klasik yang dirumuskan oleh
peneliti-peneliti mancanegara, tetapi dalam bidang filologi Indonesia belum
banyak teori mengenai filologi yang telah dirumuskan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa filologi Indonesia memiliki satu tantangan besar di masa yang akan datang
terkait perumusan-perumusan teoretisnya. Hal ini merupakan sebuah pekerjaan
besar yang belum terwujud sejak perkembangan masa awal perkembangan studi
filologi Indonesia. Jika kita melihat buku yang dianggap sebagai buku babon penelitian
filologi selama ini yaitu Pengantar Teori Filologi (Baried dkk, 1994)
maka kita dapat melihat bahwa belum ada teori filologi Indonesia (Melayu) yang
sudah mapan.
Oleh karena itu, dapat dipertanyakan
apakah filologi Indonesia sejak masa awal sudah mengalami perkembangan yang
cukup berarti atau tidak. Pertanyaan itu dapat terjawab ketika melihat realitas
yang ada. Penerbitan buku-buku kajian filologi yang tidak cukup banyak setiap
tahun mengindikasikan bahwa teori filologi di Indonesia belum benar-benar
matang dan belum benar-benar berkembang. Bahkan, ada stigma di kalangan para
mahasiswa jurusan Sastra Indonesia bahwa filologi Indonesia adalah sebuah
bidang yang sudah usang dan tidak dapat berkembang lagi karena objek kajiannya
semakin lama semakin sempit. Hal ini tentu sebuah kekeliruan karena pada
dasarnya filologi Indonesia belum berkembang sebagaimana mestinya.
Menggunakan alur pemikiran di atas,
dapat diambil sebuah pemahaman bahwa filologi Indonesia masih harus
dikembangkan. Hal ini bertolak belakang dengan anggapan selama ini bahwa
filologi tidak dapat berkembang lagi di masa depan karena jika seluruh naskah
sudah disunting, maka ilmu filologi tidak diperlukan lagi. Dengan kata lain,
khazanah sastra Melayu klasik perlu ditelaah lagi sebagai sebuah tradisi sastra
yang besar, baik dari sisi kuantitas, persebarannya, maupun kualitasnya.
Oleh sebab itu, ada suatu pemahaman
bahwa di masa yang akan datang, kajian filologi Indonesia masih menyimpan suatu
objek studi yang sangat luas. Di satu sisi, sebagai studi naskah, studi
filologi Indonesia belum dianggap paripurna karena penelitian terhadap
naskah-naskah klasik belum sepenuhnya selesai dilakukan. Dari sisi studi teks,
penelitian terhadap kesusastraan Melayu klasik masih belum tergarap dengan
baik.
Jadi, dapat dikatakan bahwa anggapan
filologi Indonesia tidak memiliki masa depan adalah sebuah kekeliruan.
Sebaliknya, di masa depan, filologi Indonesia menyajikan tantangan yang sangat
perlu dijawab sebagai sebuah studi sastra Melayu klasik.
Filologi sebagai Studi Sastra Dunia
Telah diuraikan sebelumnya bahwa para
filolog Belanda sebagai pengkaji naskah-naskah Nusantara berposisi sebagai
seorang orientalis. Posisi mereka sebagai seorang orientalis mengondisikan
tujuan penelitian naskah sebagai bentuk suntingan mengenai naskah-naskah
kebudayaan Timur. Tradisi pengkajian naskah semacam itu mengakibatkan
penelitian filologi Indonesia yang mewarisi tradisi penelitian filologi Belanda
menjadi tidak berkembang karena berkutat pada studi naskah.
Tradisi filologi semacam itu memiliki
kelemahan, yaitu tidak mampu menjelaskan khazanah kesusastraan Melayu klasik
baik dari sisi historis, sosiologis, maupun sebagai produk budaya yang memiliki
signifikansi kultural. Dari sisi historis, khazanah kesusastraan Melayu klasik
telah memainkan peran penting sebagai sebuah produk kebudayaan. Untuk
mengakomodasi hal itu, peneliti filologi Indonesia harus mampu menjelaskan
teks-teks sastra Melayu klasik sebagai produk kebudayaan (Robson, 1994: 13;
lihat juga Sutrisno, 1981: 17).
Dengan kata lain, tradisi filologi
Indonesia harus mengubah paradigma penelitian dari studi naskah ke studi teks
sehingga kemungkinan-kemungkinan untuk meneliti aspek kesastraan dalam konteks
kebudayaan akan lebih luas, lebih tajam, lebih detail, dan mungkin lebih
berbobot dapat terwujud. Hal ini sangat penting untuk segera dilakukan karena
kesusastraan Melayu klasik berada dalam tradisi besar kesusastraan di Asia,
lebih-lebih Asia Tenggara (Braginsky, 1998: 1).
Tradisi sastra Melayu klasik selama ini
merupakan tradisi sastra yang telah mendunia terkait persinggungannya dengan
kebudayaan belahan dunia lain di masa perdagangan maritim. Sebagai sebuah bukti
pernyataan tersebut dapat dilihat pada beberapa karya sastra Melayu klasik yang
dikenal di berbagai penjuru dunia.
Karya-karya tersebut menggambarkan
persinggungan dunia Melayu dengan kebudayaan belahan dunia lain sebagai sebuah
produk kebudayaan. Sebagai contoh, Hikayat Patani, Hikayat Iskandar
Zulkarnain, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Seribu Satu Malam,Sulalatus Salatin,
Hikayat Abdullah, Hikayat Panji Kuda Semirang, Hikayat Amir Hamzah dan lain
sebagainya.
Karya-karya tersebut merupakan karya
yang lintas budaya dalam perpektif geopolitik. Hanya saja, studi yang mendalam
terhadap karya-karya semacam itu sebagai sebuah produk budaya belum begitu
banyak dilakukan sehingga studi sastra Melayu klasik secara deskriptif di suatu
kawasan belum begitu berkembang.
Kegiatan penelitian filologi yang
berorientasi pada studi kesastraan akan menghasilkan studi yang komprehensif
untuk menjelaskan posisi kesusastraan Melayu klasik dalam lintas budaya dan
produk kebudayaan. Pusat penciptaan kesusastraan Melayu klasik terdapat di
Jazirah Melayu dan memiliki wilayah persebaran yang luas, antara lain
Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Kamboja, dan beberapa negara
lain, sedangkan negara-negara yang menyimpan naskah Melayu klasik mencapai
kurang lebih 31 negara (Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurahman, 1999).
Berdasarkan hal itu dapat dikatakan
bahwa sastra Melayu klasik adalah warga sastra dunia karena posisinya telah
melintasi batas-batas suatu bangsa dan kebudayaan serta geopolitik suatu
kawasan (Sarumpaet dalam Fang, 2011: ix). Suatu potensi besar yang harus segera
dijawab melalui paradigma filologi sebagai studi sastra Melayu klasik.
Dengan demikian, penelitian filologi
sebagai sebuah studi teks sastra merupakan sebuah upaya yang harus segera
dilakukan terkait posisi strategis sastra Melayu klasik. Filologi sebagai studi
naskah memang masih diperlukan karena studi terhadap naskah klasik pun belum
usai dilakukan, namun untuk menjawab penjelasan mengenai sastra Melayu klasik
sebagai warga sastra dunia, orientasi studi filologi sebagai studi sastra lebih
penting untuk dilakukan. Filologi sebagai sebuah studi sastra Melayu klasik
akan mampu menjelaskan posisi sastra Melayu klasik sebagai warga sastra dunia.
Penutup
Perubahan paradigma penelitian filologi
Indonesia perlu segera dilakukan untuk kemajuan penelitian filologi Indonesia.
Paradigma lama yang menganggap studi naskah sebagai studi filologi yang paling
utama merupakan paradigma yang dapat menyesatkan.
Hal itu dapat dijelaskan melalui
paradigma filolog orientalis di masa lalu yang membutuhkan suntingan teks
sebagai bahan pembelajaran atau studi ketimuran. Perubahan paradigma penelitian
filologi dengan sendirinya akan menjawab posisi kesusastraan Melayu klasik
sebagai warga sastra dunia karena hasil-hasil penelitian akan mampu
menjelaskannya sebagai sebuah produk budaya masa lampau.
Dengan demikian, filologi Indonesia
belum usang, masih menyisakan bidang kajian kesastraan Melayu klasik yang masih
sangat luas di masa yang akan datang.
Daftar
Pustaka
Siti Baroroh
Baried dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Penelitian
dan Publikasi Fakultas, Seksi Filologi UGM.
Braginsky, V.I.
1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu Abad 7—19. Jakarta:
INIS.
Christomy,
Tommy. 1991. “ Beberapa Catatan tentang Studi Filologi di FSUI” dalam Mulyadi,
S.W.R. (Ed.) 1991. Naskah dan Kita. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.
Hanafi, Hassan.
2000. Oksidentalisme: Sikap Kita terhadap Tradisi Barat. Jakarta:
Paramadina.
Henri Chambert
Loir dan Othman Fathurahman. 1999. Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia
Sedunia. Jakarta: Ecole Francais de Extreme-Orient dan Yayasan Obor
Indonesia.
Koster, G.L.
2003. Mengembara di Taman-Taman yang Menggoda: Pembacaan Naratif Melayu.
Jakarta: KITLV.
Mulyadi, Sri
Wulan Rujiati. 2007. “ Penelitian Naskah Melayu: Sebelum dan Sesudah” dalam
Ahimsa-Putra, Heddy Shri (Ed). 2007. Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu
dalam Perubahan. Yogyakarta: Balai Pengkajian dan Pengembangan Budaya
Melayu.
Robson, S.O. Prinsip-Prinsip
Filologi Indonesia. Jakarta: RUL.
Said, Edward W.
2001. Orientalisme. Bandung: Penerbit Pustaka.
Soeratno, Siti
Chamamah. 2011. Sastra Teori dan Metode. Yogyakarta: Jurusan Sastra
Indonesia UGM dan Program Studi S2 Sastra FIB UGM. 11
Sudibyo. 2009. Filologi dan Studi Sastra dalam
Bayang-Bayang Kolonialisme. Yogyakarta: Unit Penerbitan FIB UGM.
Sutrisno,
Sulastin. 1981. Relevansi Studi Filologi. Yogyakarta: Fakultas Sastra
dan Kebudayaan UGM.
Sarumpaet, Riris
Toha. “Kata Pengantar” dalam Fang, Liau Yock. 2011. Sejarah Kesusastraan
Melayu Klasik. Jakarta: YOI.
Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno
Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
Tulisan
ini disampaikan dalam Kongres Bahasa Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya,
28—31 Oktober 2013 yang digelar Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar